Anda di halaman 1dari 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fase Fase adalah adalah keadaan suatu materi dimana sifat fisik unsur penyusunnya seragam. Contoh sederhana misalnya, es, air, dan uap air yang masing-masing adalah fase dari air (H2O). Fase ditentukan oleh fungsi termodinamika, yaitu fungsi energi bebas. Fungsi termodinamika adalah fungsi dari beberapa parameter makroskopik seperti suhu dan tekanan sehingga fase unsur makroskopis ditentukan oleh nilai parameter tersebut. Fase dapat dikarakterisasi oleh kuantitas fisik yang bervariasi. Salah satunya adalah parameter order, yang mengukur bagaimana elemen mikroskopik membuat fase makroskopik berada pada keadaan yang seragam. Parameter order berhubungan dengan kerusakan simetri (broken symmetry) dari sistem yang mengukur derajat dari asimetri dalam fase kerusakan (Nishimori dan Ortiz, 2011). Perubahan fase merupakan perubahan drastis dari fase yang satu ke fase lainnya berdasarkan perubahan parameter sistem seperti temperatur, tekanan dan magnetisasi. Perubahan fase menandakan perubahan struktur dan dapat dikenali dari perubahan drastis dari sifat-sifat fisiknya. Perubahan fase dapat disebabkan oleh fluktuasi termal dan non-termal. Namun kebanyakan yang terjadi di alam disebabkan

oleh fluktuasi termal dan terjadi pada temperatur tertentu. Tipe transisi ini biasanya disebut sebagai perubahan fase klasik (Surungan, 2003). Berdasarkan sifat fungsi energi bebas, fase transisi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu perubahan fase orde pertama (FO) dan orde kedua (SO). Pada transisi FO, turunan pertama fungsi energi bebas bersifat discontinuous, sedangkan pada transisi SO bersifat continuous. Oleh karena itu, transisi SO disebut juga fase transisi continuous.

2.1.1 Perubahan Fase Orde Pertama

(a)
Sumber : Pearce, 2013

(b)

Gambar 1. Perubahan Fase Orde Pertama pada Air Karakterisasi perubahan fase sebagai perubahan sifat makroskopis dijelaskan secara teoritis sebagai kemunculan singularitas pada fungsi yang merepresentasikan kuantitas fisik dari sistem tersebut. Pada Gambar 2, entropi S, volume V, dan panas jenis C memperlihatkan singularitas yang bersifat discontinuous. Ketika air dipanaskan, dan berubah menjadi uap air, volume V berubah secara discontinuous (pada Gambar 2.b, terdapat lompatan pada kurva di titik Pc); sama halnya ketika air
5

didinginkan, dan berubah menjadi es (padat) entropi S berubah secara discontinuous (pada Gambar 2.a, terdapat lompatan pada kurva di titik Tc). Penyebab terjadinya perubahan fase, karena adanya pengaruh dari energi (internal) E dan entropi sistem S, yang keduanya bersama-sama menentukan energi bebas F = E TS. Ketika turunan pertama energi bebas discontinuous, perubahan ini disebut perubahan fase orde pertama. 2.1.2 Perubahan Fase Orde Kedua

Gambar 2. Perbahan Fase Orde Kedua


Sumber : Pearce, 2013

Perubahan fase bersifat continuous jika turunan pertama energi bebas continuous dan ini disebut perubahan fase orde kedua. Pada gambar 3 dapat dilihat model perubahan fase orde kedua dimana pada perubahan entropi berifat continuous walaupun pada perubahan panas jenis terdapat discontinuous. Perubahan fase feromagnetik-paramagnetik yang terjadi pada temperatur kritis adalah salah satu contoh perubahan fase orde kedua. Hal ini disebabkan oleh
6

terjadinya kerusakan simetri sistem akibat dari berubahnya momen magnetik sehingga terjadi perubahan fase. 2.1.3 Fenomena Kritis dan Universalitas Tujuan utama dari mekanika statistik modern saat ini adalah menjelaskan sifat sistem di sekitar titik kritis. Titik dalam ruang termodinamika dimana perubahan fase orde kedua terjadi disebut titik kritis dan sifat dari sistem tersebut secara umum disebut sebagai fenomena kritis. Di sekitar titik kritis, sifat sistem berhubungan dengan beberapa kuantitas termodinamika yang menandakan sifat dari power-law sehingga fenomena kritis dapat dijelaskan oleh sebuah aturan indeks yang disebut eksponen kritis (Surungan, 2003). Eksponen tersebut beserta kuantitas yang berhubungan dapat dilihat pada tabel 1

Tabel 1. Kuantitas fisik sistem magnetik bergantung pada eksponen kritis


7

Sumber : Surungan, 2003

Secara umum, eksponen kritis bukanlah bilangan rasional sederhana dan secara teratur menunjukkan universalitas. Universalitas adalah nilai parameter kritis yang bersifat universal. Sebagaimana dipahami, perubahan fase orde kedua memiliki sejumlah parameter kritis yang dikenal dengan istilah eksponen kritis ( critical exponent). Nilai eksponen dari suatu sistem menjadi sifat khas dari sistem tersebut. Jika dua buah sistem memiliki parameter kritis yang sama maka dua sistem tersebut berada pada kelas universalitas yang sama. Beberapa sistem dikelompokkan dalam kelas universalitas yang sama. Salah satu contohnya adalah FM Ising dan perubahan air-gas berada pada kelas universalitas yang sama. Alasan fundamental dari universalitas adalah bahwa sifat sistem pada daerah kritis tidak berdasarkan sifat
8

mikroskopik sistem melainkan beberapa kuantitas seperti dimensi spasial, dimensi spin, simetri ordered state, dan kerusakan simetri (Landau dan Binder, 2000) 2.2 Fenomena Kemagnetan dan Model Magnetik 2.2.1 Magnetisasi Spontan Dalam feromagnetisme, medan magnet yang ditimbulkan oleh bahan disebabkan oleh spin elektron yang tidak berpasangan. Tiap spin tersebut senang menunjuk pada arah yangs ama dengan arah spin tetangganya. Namun, penyearahan spin-spin tersebut hanya terjadi pada skala kecil (sekitar 10-3 mm3). Dalam skala makroskopis arah dari spin tersebut berbeda sehingga medan magnet yang ditimbulkan bahan tersebut 0. Itulah sebabnya mengapa sepotong besi bukan magnet permanen. Ketika terjadi perubahan suhu, maka hal tersebut dapat menghilangkan arah spin yang seragam dan terjadilah magnetisasi spontan. Pada saat keadaan mencapai titik kritis pada temperatur curie, sifat feromagnetik bahan akan menjadi paramgnetik. 2.2.2 Model Spin Ising Model Ising adalah model statistik sederhana interaksi feromagnetik. Model ini diperkenalkan oleh Wilhelm Lenz pada tahun 1920 dan diselesaikan oleh Ising pada tahun 1925 untuk kasus pada 1D dimana tidak terjadi perubahan fase. Dalam

kasus 2D, dibutuhkan pemecahan analitik yang lebih rumit dan telah diselesaikan oleh Larns Onsager pada tahun 1944 dengan metode matriks transfer. Model ini merupakan model statistik dengan variabel diskrit yang merepresentasikan momen dipol magnetik yang dapat dinyatakan dalam dua keadaan (+1 atau -1). Spin ditempatkan dalam kisi yang membolehkan adanya interaksi antara spin dengan spin tetangganya. Hamiltonian interaksi sistem tersebut dinyatakan sebagai

2.1
adalah reprentasi interaksi antata spin 2.2.3 Model Spin Edge-Cubic

2.1 1

Dimana si adalah spin ke i yang ditinjau, sj adalah spin tetangga terdekatnya, dan J

Model spin kubik adalah bagian diskrit dari model Heisenberg dengan grup simetri (O3). Grup simetri oktahedral Oh, dengan 48 jenis simetri, terdiri dari beberapa subgrup yang berhubungan dengan model diskrit seperti inversi Z2 dari model Ising, dan C3h dari model chiral 3-state Potts (Surungan dkk, 2013).

Tabel 2. Karakteristik Model Kubik Model Hexahedron (Cube)


Sumber : Surungan, 2010

Vertices 8

Faces 6

Edges 12

Grup Simetri Oh

10

Dalam model ini, vektor spin ditempatkan pada pusat kubik dengan arah orientasinya berdasarkan model yang dipilih berdasarkan karakteristik kubik tersebut. Berdasarkan tabel 1, maka akan didapatkan tiga model kubik yaitu face-cubic (6 keadaan), corner-cubic (8 keadaan), dan edge cubic (12 keadaan). Model spin facecubic telah diteliti dan ditemukan bahwa pada model tersebut terjadi perubahan fase tunggal. Untuk model spin corner-cubic, diduga sebagai model trivial dari 3 pasang model Ising. Dalam meneliti model spin edge-cubic, dapat diketahui kerusakan simetri Oh, dan juga melihat kelas universalitas kubik. Penelitian yang dilakukan oleh Surungan dkk. (2013) telah mempelajari model spin edge-cubic feromagnetik pada kisi 2D pada syarat batas tertentu. Grup simetri oktahedral Oh sistem mengalami kerusakan simetri. Pertama, Oh rusak menjadi C3h pada temperatur kritis 0.602. Dua eksponen kritis dapat diperkirakan yaitu eksponen correlation length v = 1.50 dan eksponen fungsi korelasi = 0.260. Ketika sistem terus didinginkan, perubahan fase kedua dapat ditinjau. Perubahan temperatur rendah terjadi pada T = 0.5422 yang memisahkan antara keadaan transisi dari grup simetri C3h dan keadaan dasar. Nilai eksponen eksponen correlation length v = 0.833 dan eksponen fungsi korelasi = 0.267. Nilai kedua eksponen tersebut bersesuaian dengan model 3-state Potts. 2.2.4. Panas Jenis dan Magnetisasi
Panas jenis dari sistem dapat dinyatakan sebagai berikut

11

2.2

dimana E adalah energi unit J sedangkan < > merepresentasikan rata-rata ensambel. Temperatur dinyatakan dengan J/kB dimana kB adalah konstanta Boltzmann. Pada sistem feromagnetik, magnetisasi dinyatakan dengan yang

merupakan parameter order. Dengan mendefenisikan Mk sebagai momen order magnetisasi ke- k dan momen dan korelasi dinyatakan sebagai
2.3

sebagai fungsi korelasi, maka rasio

2.4

Perkiraan parameter perubahan fase ditentukan dari temperatur berdasarkan UL dan QL. Pada temperatur yang sangat rendah dimana sistem mendekati keadaan dasar, rasio momen dan korelasi bersifat trivial. Namun pada excited states, keduanya tidak trivial tetapi bergantung pada temperatur (Surungan dan Okabe, 2010) 2.3 Metode Monte Carlo

12

Simulasi Monte Carlo adalah model statistik yang digunakan sebagai pembangkit bilangan acak. Tujuan utama metode Monte Carlo adalah untuk memperoleh nilai dari objek fisika yang diamati melalui sebuah sampel yang sesuai pada ruang konfigurasi (microstate) sistem. Konfigurasi sampel dibangkitkan secara acak melalui proses Markov, yang membangkitkan konfigurasi baru berdasarkan konfigurasi umum. Metode Monte Carlo adalah metode standar yang dibentuk untuk mempelajari banyak masalah dalam fisika. Ada begitu banyak algoritma yang digunakan dalam metode Monte Carlo yang masing-masing mempunyai karakteristik sesuai dengan masalah yang ingin dipecahkan. Algoritma Metropolis adalah salah satu yang paling sering digunakan. Namun algoritma ini tidak efisien untuk perhitungan temperatur yang berifat continuous karena memerlukan proses pengulangan seluruhnya untuk temperatur lain yang berbeda. 2.3.1 Algoritma Metropolis Misalkan sebuah kisi berlapis N, yang masing-masing diisi oleh spin Ising, maka akan ada 2N konfigurasi. Panas rata-rata pada temperatur T, untuk kuantitas fisik Q dapat dinyatakan
2.5

Dimana Qi adalah nilai dari kuantitas pada konfigurasi I, pi adalah probabilitas Gibbs dari sistem pada konfigurasi i, yang dinyatakan oleh
13

2. 6

Dimana Ei dan (1/kT) berturut-turut adalah energi dari konfigurasi i dan temperatur invers, serta Z adalah fungsi partisi. Perhitungan persamaan 2.5 membutuhkan memori komputer yang sangat besar dan waktu yang cukup banyak. Untuk menghindari hal ini dibutuhkan cara yang tepat untuk membentuk microstates sehingga hanya diambil microstates yang dalam keadaan setimbang dari sistem pada temperatur T. Cara untuk membuat model tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Metropolis. Anggap kita memilih sebuah konfigurasi wi dengan probabilitas P(wi) pada M sampel, diperkirakan <Q> diberikan oleh
2.7

Karena P(wi) dinyatakan sebagai Probabilitas Gibbs, perkiraan untuk <Q>M secara sederhana dinyatakan sebagai
2.8

Proses Markov adalah suatu teknik untuk membangkitkan secara acak konfigurasi baru dari konfigurasi sebelumnya yang memberikan spesifikasi probabilitas transisi W(i-j) dari satu microstate ke yang lainnya. Dalam proses ini berlaku
2.9 14

Kita dapat merumuskan rasio probabilitas transisi yang tergantung pada perubahan energi sebagai berikut
2.10

Walaupun W(i-j) pada persamaan 2.10 tidak ditentukan secara khusus, pilihan yang biasa digunakan adalah

untuk

2.11

otherwise

Yang berarti bahwa perubahan untuk energi yang lebih tinggi diterima dengan probabilitas exp(-(Ej-Ei)) sedangkan untuk konfigurasi energi yang lebih rendah selalu diterima. Algoritma sederhana untuk menjalankan prosedur ini adalah Algoritma Metropolis yang melakukan pembaharuan spin tunggal untuk perubahan Ei Ej. Sebagai metode kanonik, dibutuhkan pengulangan keseluruhan prosedur untuk menghitung temperatur lain. Konfigurasi spin perlu diekuilibrasi. Oleh karena itu, kita harus melakukan MCS awal sebelum memulai pengukuran. Bilangan

15

ekuilibrasi yang biasa digunakan untuk MCS berkisar 10 4 - 105, tergantung seberapa cepat sistem mencapai kesetimbangan. 2.3.2 Algoritma Wang-Landau Algoritma Wang-Landau (WL) adalah salah satu metode yang dilmiliki oleh Metode Monte Carlo. Dalam metode ini, random walk dilakukan dalam ruang energi untuk memperoleh rapat energi states (DOS). Tujuan utama dari WL adalah untuk mempercepat dinamika random walk sehingga DOS g(E) dapat dievaluasi dengan efisien dan tepat. Ini dilakukan hingga probabilitas transisi dinyatakan sebagai
2.12

dimana g(E) adalah DOS untuk E. Karena g(E) tidak diketahui pada saat awal simulasi, maka diperkirakan g(E) = 1. DOS kemudian dievaluasi berulang-ulang sampai random walk dan nilai eksaknya diperoleh ketika histogram h(E) energi mencapai kondisi rata (flatness condition). DOS dan h(E) diperbaharui setiap saat E ditinjau dengan
2.13

2.14

Dimana f(i) adalah parameter modifikasi dimana secara bertahap menjadi nol ketika DOS konvergen.
16

Rata rata termal kuantitas fisik Q diperoleh dari hubungan


2.15

dimana = 1/KT, K dan T berturut turut adalah konstanta Boltzmann dan temperatur.

Langkah-langkah penyusunan algoritma sebagai berikut 1. Membuat (a) konfigurasi spin awal dan faktor iterasi awal fi = 1; (b) asumsikan bahwa nilai awal DOS dan histogram ln g(Ei) = 1 dan h(Ei) = 0 2. Memperbaharui konfigurasi berdasarkan probabilitas transisi (pers.2.12) 3. Memperbaharui DOS dan histogram ( pers. 2.13 dan 2.14) dan melakukan langkah ke-2 hingga histogram mencapai kondisi rata (flatness condition) 4. Menyaring faktor iterasi fi = fi/2, skala ulang DOS dengan menggunakan kondisi Ei g(Ei) = 2N; dan mengulangi histogram h(Ei) = 0 kembali pada langkah ke-2.

17

5. Melakukan langkah 1 sampai 4 hingga DOS konvergen, kemudian melakukan pengukuran kuantitas fisik Qi dengan bilangan tertentu dari MCS. 2.4 Finite-Size Scaling Finite-Size Scaling (FSS) dilakukan untuk menentukan temperatur dan eksponen kritis dari data pada sistem dengan ukuran tertentu. Dalam transisi KT, kita dapat menjelaskan sifat skala dari rasio korelasi dan prosedur FSS. Pertama, kita menuliskan fungsi korelasi g(r) untuk system tak hingga pada titik kritis yang dapat dinyatakan sebagai
2.16

dimana dimensi spasial dipilih d = 3. Untuk sistem berhingga pada daerah kritis fungsi korelasi berdasarkan dua rasio panjang
2.17

dimana adalah correlation length. Jika ditentukan dua rasio, r / L dan r / r, rasio fungsi korelasi dengan jarak yang berbeda akan mempunyai bentuk FSS dengan variabel skala tunggal,
2.18

Dalam prosedur FSS untuk memperkirakan temperatur KT, berdasarkan sifat skala pada persamaan 2.18 dan bentuk KT dari correlation length

18

dimana

, kita dapat menuliskan L berdasarkan TKT(L)

2.19

TKT adalah temperatur KT dalam limit termodinamika. TKT setiap ukuran sistem diperoleh dari data temperatur berdasarkan rasio korelasi R, Kita dapat menentukan tiga nilai berbeda , R = 0.988, 0.984, 0.980, dimana setiap nilai tersebut akan memberikan TKT yang berbeda. Kemudian setiap TKT (L) diplot berdasarkan persamaan 2.19 .Perkiraan temperature KT berdasarkan ratarata ketiga nilai tersebut. Eksponen dari fungsi korelasi didapatkan dari persamaan 2.17. Data dari fungsi korelasi ( r = L / 2 atau r = L / 4 ) untuk ukuran sistem yang berbeda akan diplot. Kemudian, kemiringan kurva akan memberikan perkiraan untuk . Perkiraan nilai pada beberapa temperatur akan memberikan nilai temperatur yang berdasarkan nilai (Surungan, 2003).

19

Anda mungkin juga menyukai