Anda di halaman 1dari 47

PENDAHULUAN Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat tinggi.

Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup, sementara AKB mencapai 34 per 1000 kelahiran hidup. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah triwulan ke-2 tahun 2012, angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup sebesar 347 kasus. Penyebab AKI diantaranya adalah perdarahan (17%), eklamsia (37%), infeksi (4%) dan lain-lain (42%). Berdasarkan data statistik di beberapa negara maju menunjukkan bahwa 1030% dari kematian ibu disebabkan oleh preeklampsia yang juga sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal (Dina, 2002). Mortalitas semakin meningkat sesuai dengan berat dan lamanya penyakit yang dialami. Preeklampsia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang tinggi di Indonesia. Menurut Dinas Kesehatan Surakarta, berdasarkan persalinan dengan komplikasi tahun 2006, insidensi preeklampsia sebesar 13,42% (Ryadi, 2008). Di Rumah Sakit Dr Moewardi, selama periode 1 januari sampai 31 desember 2001 terdapat 162 kasus preeklamsia berat dan eklampsia dengan insidensi 4,4% dari seluruh persalinan. Jumlah kematian maternal yaitu 16 kasus (9,8%), yang terdiri dari 5 kasus (31,25%) preeklampsia berat dan 11 kasus (56,25%) eklampsia (Sihwiyana, 2003). Sedangkan untuk distribusi kematian neonatal sebagian besar di wilayah Jawa dan Bali sekitar 66,7% dan di daerah pedesaan sekitar 58,6%. Menurut umur kematian yaitu 70,4% adalah angka kematian neonatal pada usia 07 hari dan 20,6% terjadi pada usia 8-28 hari. Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan (Prawirohardjo, 2007). Menurut (Cunningham, 2006) preeklampsia didefinisikan sebagai sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Pada preeklampsia berat dan eklampsia dijumpai perburukan patologis fungsi sejumlah organ dan sistem, mungkin akibat vasospame dan iskemia (Cunningham, 2006).

Tanda-tanda pada preeklampsia yang timbul disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem vaskularisasi, berupa kerusakan endotel yang menyeluruh pada tubuh penderita. Dalam perjalanan penyakit, penderita preeklampsia akan mengalami banyak perubahan, disfungsi sistem dan kegagalan pada sistem tubuh. Salah satu perubahan yang terdapat pada preeklampsia adalah perubahan pada hematologi. Perubahan hematologi yang terjadi yaitu diidentifikasi adanya penurunan volume plasma. Volume plasma pada preeklampsia akan menurun 30%-40% dibanding dengan kehamilan normal. Penurunan plasma akan menyebabkan terjadinya peningkatan hemokonsentrasi, setelah itu terjadilah peningkatan viskositas darah yang dapat diidentifikasi dengan kenaikan kadar hemoglobin dan hematokrit (Rambulangi, 2003). Berdasarkan pada National Institutes of Health (NIH) Working Group on Blood Pressure in Pregnancy. Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah persalinan. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg. Proteinuria didefinisikan sebagai adanya protein dalam urine dalam jumlah 300 mg/ml dalam urine tampung 24 jam atau 30 dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tandatanda infeksi saluran kencing. HELLP syndrome merupakan suatu kumpulan gejala multisistem pada penderita preeklamsia berat dan eklamsia ditandai dengan adanya Hemolisis, Peningkatan kadar enzym hepar, Penurunan jumlah trombosit. Angka kejadian HELLP syndrome masih berkisar antara 2 12 % pada penderita preeklamsia berat (Robert JM., 2004). Angka kejadian dari sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan karena timbulnya sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya yang mirip dengan gejala penyakit non obstetrik. Angka kejadian sindroma HELLP pada seluruh kehamilan berkisar antara 0,2 sampai 0,6 %. (Padden MO, Martin JN et all). Di RS Dr. Pirngadi Medan menurut penelitian Siregar (1997) yang dilakukan selama satu tahun angka kejadian sindroma HELLP didapati 1,54 % (1 kasus dari 65 kasus preeklampsia berat dan eklampsia). Sofoewan (2000) melaporkan pada penelitian retrospektif di RS Dr.

Sardjito Yogyakarta didapati 3 kasus (4,4 %) sidroma HELLP Murni dan 11 kasus ( 16,2 %) sindroma HELLP Parsial dari 68 kasus preeklampsia berat yang ditelitinya sejak Januari 1998 sampai September 2000.

TINJAUAN PUSTAKA I. PREEKLAMPSIA a. Definisi Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan dan umumnya terjadi dalam triwulan ketiga kehamilan (Wiknjosastro et al, 2007). Sedangkan menurut Cunningham et al, 2006; Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehmailan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel dimana proteinuria adalah sebagai tanda penting preeklampsia. Dalam klasifikasinya, preeklampsia dibedakan menjadi preeklampsia ringan dan berat. Preeklampsia ringan didefinisikan dengan tekanan darah sistolik 140 mmHg tetapi < 160 mmHg, atau tekanan diastolik 90 mmHg tetapi < 110 mmHg. Definisi preeklampsia berat sendiri adalah ketika tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg dengan keterlibatan organ (Ling and Duff, 2001). b. Epidemiologi Insiden preeklampsia sering disebut sekitar lima persen, walaupun laporan yang ada bervariasi. Insiden sangat dipengaruhi oleh paritas, berkaitan dengan ras dan etnik, dan predisposisi genetik; sementara faktor lingkungan juga mungkin berperan. Sebagai contoh, tempat yang tinggi di Colorado meningkatkan insiden preeklampsia. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita yang sosioekonominya lebih maju lebih jarang terjangkit preeklampsia, bahkan setelah faktor ras dikontrol. Sebaliknya, dalam studi epidemiologis yang terkontrol dengan baik, Baird dkk (1969) mendapatkan bahwa insiden preeklampsia tidak berbeda di antara lima kelas sosial ( Cunningham, 2006). c. Faktor predisposisi Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami preeklampsia bila: a. Etnis Amerika-Afrika

b. c. d.

Nullipara Usia < 20 tahun atau > 35 tahun Komplikasi medis (obesitas, diabetes, penyakit ginjal, hipertensi kronik, penyakit tiroid, anemia sel sabit, penyakit kolagen vaskular)

e. f. g.

Komplikasi obstetrik, seperti pada kehamilan multipel Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya Riwayat keluarga dengan preeklampsia (Cunningham, 2006; Ling and Duff, 2001)

d. Etiologi Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui. Terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit tersebut, tetapi belum ada yang dapat memberikan jawaban memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: a) Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa b) Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan c) Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus d) Sebab jarangnya terjadi preeklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya e) Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma (Wiknjosastro et al, 2007) Sejumlah teori mencakup adanya respon abnormal imunologis ibu terhadap alograf janin, abnormalitas genetik yang mendasari, ketidak seimbangan kaskade prostanoid, dan adanya toksin dan atau vasokonstriktor endogen dalam aliran darah ( Norwitz and Schorge, 2008). e. Patogenesis Chesley (1978) mendeskripsikan preeklampsia sebagai disease of theories karena penyebabnya masih belum diketahui.

Hipotesis terkini untuk patogenesis preeklampsia adalah gangguan imunologi yang menyebabkan implantasi plasenta secara abnormal sehingga mengakibatkan perfusi plasenta menurun. Abnormalitas perfusi tersebut menstimulasi produksi zat-zat pada darah yang mengaktivasi kerusakan endotel dengan organ target multipel yang terlibat pada preeklampsia (DeCherney and Pernoll, 1994). Selain itu, terdapat empat hipotesis yang mendasari patogenesis dari preeklampsia ( Dekker G.A, Sibai B.M, 1998) sebagai berikut: a. Iskemia plasenta Peningkatan deportasi sel trofoblas yang akan menyebabkan kegagalan invasi ke arteri spiralis dan akan menyebabkan iskemia pada plasenta. b. Mal adaptasi imun Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel trofoblas pada artera spiralis, dan terjadinya disfungsi endotel dipicu oleh pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas. c. Genetic inprenting Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung pada genotip janin. d. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity Preventing Activity (TxPA) Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin rendah, pengangkutan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak ke dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik dimana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul. Dalam perjalanannya, keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi trofoblas dan terjadinya iskemia plasenta. Menurut Jaffe dkk. (1995), pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesisnya.

Tahap pertama adalah hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus plasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu dan akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress yaitu suatu keadaan dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan ( Robert J.M, 2004). Oxidatif stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia. Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus.Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ, seperti: a. b. c. d. e. Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan edema paru dan edema menyeluruh Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati Pada hepar dapat terjadi perdarahan dan gangguan fungsi hati

f. g.

Pada sistem saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina, dan perdarahan Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksi janin, dan solusio plasenta Teori intoleansi imunologik antara ibu dan janin. Pada kehamilan

normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLAG) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) dari ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasi sel trofoblas kedalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu yang mengalami preeklampsia terjadi penurunan ekspresi HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada preeklampsia.

Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan molekul pelekat (adhesion molecules) atau kegagalan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dalam mengekspresikan integrin, sehingga tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel trofoblas, dan pada sebagian arteri spiralis yang mengalami invasi tahap pertama secara normal tetapi invasi kedua tidak berlangsung, sehingga bagian a. spiralis yang berada dalam miometrium tetap memiliki dinding muskolo-elastis yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskular. Resistensi vasckular disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua, sehingga

aliran darah didaerah intervilli menurun dan menyebabkan iskemik dan hipoksia di plasenta, yang dapat mempengaruhi perkembangan janin sehingga terjadi IUGR atau kematian janin IUFD. Selain itu hipoksia di plasenta dapat menyebabkan terjadinya pengeluaran zat-zat toksik seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase. Hal ini akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress dalam sirkulasi maternal yaitu suatu keadaan radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan ( Robert J.M, 2004). Oxidatif stress & zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel. Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida yang lebih rendah dari pada vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II yang dapat memicu terjadinya hepertensi. Pada beberapa penelitian melaporkan hubungan antara

histokompatibilitas HLA-DR4 dan proteinuria hipertensi. Diduga pada ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan preeklampsia dan IUGR dari pada ibu-ibu tanpa halotipe tersebut. f. Diagnosis Pada umumnya, diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya dua dari trias tanda utama: hipertensi, edema, proteinuria. Hal ini memang berguna untuk kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda dapat merupakan bahaya walaupun ditemukan tersendiri. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan, apalagi cepat tidaknya penyakit meningkat tidak dapat diramalkan (Wiknjosastro et al, 2007). Uji diagnostik untuk preeklampsia meliputi: a. Uji diagnostik dasar 1) Pengukuran tekanan darah 2) Analisis protein dalam urin

3) Pemeriksaan edema 4) Pengukuran tinggi fundus uteri 5) Pemeriksaan funduskopik b. Uji laboratorium dasar 1) Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit pada sediaan apus darah tepi). 2) Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartat aminotransferase, dan sebagainya). 3) Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin). c. Uji untuk meramalkan hipertensi 1) Roll-over test 2) Pemberian infus angiotensin II (Wiknjosastro et al, 2007). Diagnosis definitif untuk preeklampsia hanya boleh ditegakkan setelah usia gestasi 20 minggu. Bukti adanya hipertensi gestasional proteinurik sebelum usia 20 minggu meningkatkan kemungkinan adanya kehamilan mola yang mendasari, gejala penghentian obat (drug withdrawal), atau (jarang) abnormalitas kromosom pada janin (Norwitz and Schorge, 2008). g. Klasifikasi Penentuan diagnosis preeklampsia berdasarkan klasifikasi dan manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut: a. Preeklampsia ringan Kriteria untuk preeklampsia ringan adalah sebagai berikut: 1) Tekanan darah sistolik 140 mmHg, tetapi < 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg, tetapi < 110 mmHg. 2) Proteinuria 300 mg/24 jam, tetapi < 5 g. 3) Edema (Ling and Duff, 2001). b. Preeklampsia berat Kriteria diagnosis untuk preeklampsia berat berdasarkan hal berikut: 1) Gejala

a) Gejala gejala disfungs sistem saraf pusat ( sakit kepala berat, penglihatan kabur, skotomata ). b) Gejala-gejala peregangan kapsul hati (nyeri kaudran kanan atas dan/atau epigastrik) ( Norwitz and Schorge, 2008). 2) Tanda a) Tekanan darah sistolik 160 mmhg, diastolik 110 mmHg b) Edema paru c) Eklamsia (kejang menyeluruh atau koma yang tidak dapat dijelaskan) d) Cedera cerebrovaskular e) Pertumbuhan janin terhambat 3) Temuan laboratorium a) Proteinuria ( > 5 g/24 jam) b) Gagal ginjal atau oliguria ( < 500 ml/24 jam) c) Peningkatan kreatinin d) Cedera hepatoseluler ( kadar transaminase serum 2x normal) e) Trombositopenia ( < 100.000/mm3) f) Koagulopati g) HELLP (hemolisis, enzim hati meningkat, trombosit rendah) ( Ling and Duff, 2001; Norwitz and Schorge, 2008; Wiknjosastro et al, 2007). h. Penatalaksanaan Tujuan utama penanganan pada preeklampsia adalah mencegah terjadinya preeklampsia berat dan eklampsia, melahirkan janin hidup, dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya (Wiknjosastro et al, 2007). a. Preeklampsia ringan 1) Kehamilan kurang dari 37 minggu Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian dua kali seminggu secara rawat jalan, yaitu:

a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan kondisi janin b) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya preeklampsia dan eklampsia c) Lebih banyak istirahat d) Diet biasa ( tidak perlu diet rendah garam) e) Tidak perlu diberi obat-obatan Jika rawat jalan tidak mungkin dilakukan maka dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit dengan kriteria yaitu: 1) Diet biasa 2) Pantau tekanan darah dua kali sehari,dan urin (untuk proteinuria) sekali sehari. 3) Tidak perlu diberi obat-obatan 4) Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut. 5) Jika tekanan diastolik turun sampai normal, pasien dapat dipulangkan dengan adanya nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda preeklampsia berat, kontrol dua kali seminggu untuk memantau tekanan darah, urin, keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat, dan jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali. 6) Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan dan observasi kesehatan janin 7) Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak, rawat sampai aterm 8) Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat. 2) Kehamilan lebih dari 37 minggu a) Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin

b) Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan prostaglandin atau kateter Foley atau lakukan seksio sesarea. b. Preeklampsia berat dan eklampsia Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus berlangsung dalam 12 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia. Semua kasus preeklampsia berat harus ditangani secara aktif. Penanganan konservatif tidak dianjurkan karena gejala dan tanda eklampsia seperti hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering tidak sahih. 1) Penanganan kejang a) Beri obat antikonvulsan Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan eklampsia. Pemberian MgSo4 pada preeklampsia berat dan eklampsia meliputi sebagai berikut: i) Dosis awal MgSO4 4 g I.V. sebagai larutan 40% selama 5 menit. Segera dilanjutkan dengn pemberian 10 g larutan MgSO4 50%, masing-masing 5 g di bokong kanan dan kiri secara I.M. dalam, ditambah 1 ml lignokain 2% pada semprit yang sama. Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4. Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2 g (larutan 40%) I.V. selama 5 menit. ii) Dosis pemeliharaan MgSO4 1-2 g per jam infus, 15 tetes/menit atau 5 g MgSO4 I.M. tiap 4 jam. Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pascapersalinan atau kejang berakhir.

iii) Sebelum

pemberian

MgSO4,

periksa:

Frekuensi

pernapasan minimal 16/menit, Refleks patella (+) dan Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir. iv) Berhentikan pemberian MgSO4, jika: Frekuensi pernapasan < 16/menit, Refleks patella (-), Urin < 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir. v) Siapkan antidotum: Jika terjadi henti napas: lakukan ventilasi (masker dan balon, ventilator) beri kalsium glukonat 1 g (20 ml dalam larutan 10%) I.V. perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi. Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan resiko terjadinya depresi pernapasan neonatal. Dosis tunggal diazepam jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal. Pemberian terus menerus secara intravena meningkatkan resiko depresi pernapasan pada bayi yang sudah mengalami iskemia uteroplasental dan persalinan prematur. Pengaruh diazepam dapat berlangsung beberapa hari. Cara pemberian diazepam adalah sebagai berikut: i) Pemberian intravena Dosis awal 1) Diazepam 10 mg I.V. pelan-pelan selama 2 menit. 2) Jika kejang berulang, ulangi dosis awal. Dosis pemeliharaan 1) Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan Ringer Laktat per infus. 2) Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg/jam. 3) Jangan berikan > 100 mg/24 jam. ii) Pemberian melalui rektum

Jika pemberian I.V. tidak mungkin, diazepam dapat diberikan per rektal, dengan dosis awal 20 mg dalam semprit 10 ml tanpa jarum. Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan 10 mg/jam atau lebih, bergantung pada berat badan pasien dan respons klinik. b) Persiapan untuk penanganan kejang ( jalan napas, sedotan, masker danbalon, oksigen) c) Beri oksigen 4-6 liter per menit d) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat terlalu keras e) Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi f) Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu

2) Penanganan umum a) Jika tekanan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, berikan obat antihipertensi sampai tekanan diastolik di antara 90-100 mmHg. Obat pilihan adalah hidralazin i) Berikan hidralazin 5 mg I.V. pelan-pelan setiap 5 menit sampai tekanan darah turun. Ulangi setiap jam jika perlu atau berikan hidralazin 12,5 mg I.M. setiap 2 jam. ii) Jika hidralazin tidak tersedia, berikan Labetolol 10 mg I.V.: Jika respons tidak baik (tekanan diastolik tetap > 110 mmHg), berikan labetolol 20 mg I.V; Naikkan dosis sampai 40 mg dan 80 mg jika respons tidak baik sesudah 10 menit. iii) Atau berikan nifedipin 5 mg sublingual. Jika tidak baik setelah 10 menit, beri tambahan 5 mg sublingual. iv) Metildopa 3x250 500 mg/hari.

b) Pasang infus dengan jarum besar ( 16 gauge atau lebih besar ) c) Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload cairan d) Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria e) Jika jumlah urin kurang dari 30 ml per jam: i) Hentikan magnesium sulfat (MgSO4) dan berikan cairan I.V. (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) pada kecepatan 1 liter per 8 jam; ii) Pantau kemungkinan edema paru. f) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin. g) Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam h) Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru. i) j) Hentikan pemberian cairan I.V. dan berikan diuretik misalnya furosemid 40 mg I.V. sekali saja jika ada edema paru. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana (bedside clotting test). Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati. 3) Persalinan Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil. Penundaan persalinan meningkatkan resiko untuk ibu dan janin. a) Periksa serviks b) Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuban, lalu induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin. c) Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam (pada eklampsia) atau dalam 24 jam (pada preeklampsia), lakukan seksio sesarea.

d) Jika denyut jantung janin < 100/menit atau > 180/menit lakukan seksio sesarea. e) Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio sesarea. f) Jika anestesia untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau jika janin mati atau terlalu kecil: i) Usahakan lahir pervaginam; ii) Matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin, atau kateter Foley. Jika seksio sesaria akan dilakukan, perhatikan bahwa: a) Tidak terdapat koagulopati. b) Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum, sedang anestesia spinal berhubungan dengan resik hipotensi. Resiko ini dapat dikurangi dengan memberikan 500 1000 ml cairan I.V. sebelum anestesia. c) Jika anestesia umum tidak tersedia, janin mati, atau kemungkinan hidup kecil, lakukan persalinan pervaginam. 4) Perawatan pascapersalinan a) Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir. b) Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolik masih 110 mmHg atau lebih. c) Pantau urin. 5) Rujukan Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika: a) Terdapat oliguria (urin kurang dari 400 ml per 24 jam) selama 48 jam setelah persalinan; b) Terdapat koagulopati, atau sindrom HELLP; c) Koma berlanjut lebih dari 24 jam sesudah kejang (Saifuddin et al, 2010)

i. Komplikasi Komplikasi dari preeklampsia adalah sebagai berikut: a. Komplikasi jangka pendek 1) Otak: Eklampsia, stroke, kematian ibu 2) Paru-paru: Edema paru,aspirasi bronkial, ARDS 3) Ginjal: Gagal ginjal, oliguria 4) Hati: Cedera hepatoselular, Gagal hati, Ruptur hati, perlemakan hati 5) Darah dan pembuluh darah: Hipertensi tak terkontrol, DIC, HELLP ( Hemolisis, enzim hati meningkat, trombosit rendah) 6) Plasenta: Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, infark plasenta, abruptio plasenta, insufisiensi uteroplasenta, prematuritas, perdarahan pasca persalinan. b. Efek jangka panjang 1) Komplikasi preeklampsia hampir selalu menyembuh sepenuhnya (dengan perkecualian cedera cerebrovaskular). 2) Tidak ada peningkatan resiko hipertensi kronik 3) Tidak membuat penggunaan pil kontrasepsi dilarang 4) Peningkatan resiko preeklampsia/eklampsia pada kehamilan berikutnya bergantung pada keparahan, usia gestasi, dan tekanan dari kondisi medis yang mendasari penyakit ini 5) Tingkat kekambuhan untuk eklampsia adalah 10% 6) Peningkatan resiko komplikasi obstetrik lain dalam kehamilan berikutnya (abruptio plasenta, pertumbuhan janin terhambat, peningkatan persalinan preterm,dan peningkatan mortalitas perinatal) ( Norwitz and Schorge, 2008) j. Prognosis

Preeklampsia dan komplikasinya selalu menghilang setelah bayi lahir (dengan perkecualian cedera cerebrovaskular). Diuresis (>4L/hari) merupakan indikator klinis paling akurat dari menyembuhnya kondisi ini. Prognosis janin sangat bergantung pada usia gestasi pada saat kelahiran dan masalah-masalah yang berhubungan dengan prematuritas (Norwitz and Schorge, 2008). k. Pencegahan Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tandatanda dini preeklampsia dan harus dilakukan penanganan semestinya. Perlu lebih waspada akan timbulnya preeklampsia dengan adanya faktor predisposisi yang berkaitan. Walaupun timbulnya preeklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil. Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat dan pekerjaan sehari-hari dikurangi. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam, dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan segera merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi, merupakan kemajuan yang penting dari pemeriksaan antenatal yang baik (Wiknjosastro et al, 2007). II. Sindroma HELLP a. Definisi Terminologi HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low Platelet counts. Sindroma ini merupakan kumpulan dari gejala multisistim pada preeklampsia berat dan eklampsia dengan karakteristik trombositopenia, hemolisis (anemia hemolisis mikroangiopatik) dan enzym hepar yang abnormal.

Sindroma ini sebelumnya telah dipublikasikan oleh Pritchard dan kawan-kawan yang melaporkan adanya tiga kelainan pada sistim target maternal pada penelitiannya terhadap 3 kasus eklampsia dan hanya satu orang yang hidup. Dan pada tahun 1972, McKay melaporkan sindroma HELLP pada 4 kasus eklampsia, didapati dua orang mengalami ruptur hepar dan satu orang mati. (Weinstein L, 1982) Sindroma ini selalu dianggap sebagai varian dari preeklampsia, tetapi sindroma ini juga dapat berdiri sendiri. Sindroma ini dapat muncul pada preeklampsia ringan, namun hipertensi akan muncul dan menjadi berat apabila kehamilannya tidak segera diakhiri. (Padden MO) Karena sindroma HELLP berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin maka diperlukan diagnosa yang tepat dan penanganan yang cepat untuk sindroma ini. Definisi dari sindroma HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut Godlin sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari preeklampsia berat. Weinstein melaporkan sindroma HELLP merupaka n varian yang unik dari preeklampsia tetapi Mackenna dkk melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan dengan preeklampsia. Dan dilain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk yang ringan dari Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan laboratorium yang tidak adekwat. Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi terhadap sindroma ini, karena adanya perbedaan dalam kriteria diagnostik dan metode yang digunakan pada waktu penelitian (Tabel I). Walaupun hampir semua peneliti sepakat bahwa sindroma ini merupakan petanda keadaan penyakit yang berat dan dengan prognosa yang jelek. (Hohllagschwandtner M, 2000)

Tabel Perbandingan dari Kriteria Diagnostik Sindroma HELLP, Dikutip dari Hohllagschwandtner

b. Angka kejadian Angka kejadian dari sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan karena timbulnya sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya yang mirip dengan gejala penyakit non obstetrik. Angka kejadian sindroma HELLP pada seluruh kehamilan berkisar antara 0,2 sampai 0,6 %. (Padden MO, Martin JN et all). Di RS Dr. Pirngadi Medan menurut penelitian Siregar (1997) yang dilakukan selama satu tahun angka kejadian sindroma HELLP didapati 1,54 % (1 kasus dari 65 kasus preeklampsia berat dan eklampsia). Sofoewan (2000) melaporkan pada penelitian retrospektif di RS Dr. Sardjito Yogyakarta didapati 3 kasus (4,4 %) sidroma HELLP Murni dan 11 kasus ( 16,2 %) sindroma HELLP Parsial dari 68 kasus preeklampsia berat yang ditelitinya sejak Januari 1998 sampai September 2000. c. Etiologi dan Patofisiologi Etiologi dan patogenesis dari sindroma HELLP ini selalu dihubungkan dengan preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia sampai saat ini juga belum dapat diketahui dengan pasti.( Lockwood CJ, Paidas MJ. 2000) Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk mengungkapkan patogenesis dari preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Saat ini ada empat buah hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari preeklampsia, yaitu : iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik. Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular. (Dekker GA, Sibai BM. 1998)

Dari skema dan gambar memperlihatkan secara skematis patofisiologi dari preeklampsia. Adanya kegagalan invasi dari trofoblas pada trimester kedua dalam menginvasi tunika muskularis arteri spiralis, menyebabkan vasokonstriksi arterial pada bagian uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan molekul pelekat (adhesion molecules) atau kegagalan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dalam mengekspresikan integrin. Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah intervilus, hipoksia dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin. Dan selanjutnya mengakibatkan efek terhambatnya pertumbuhan janin intrauterin (PJT). Akibat kerusakan dari endotel ini terjadi pelepasan zat -zat vasoaktif, dimana tromboksan (TXA2 ) meningkat dibandingkan dengan prostasiklin (PgI2). (Dekker GA, Sibai BM. 1998 ; Lockwood CJ, Paidas MJ. 2000) Adanya perubahan respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari perubahan polymorphism HLA-G (human leucocyte antigens G) terhadap trofoblas, menyebabkan terjadinya proses imunologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses imunologis akibat perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel endotel, ini terbukti dengan dilepaskannya sel mediator pada sel

endotel. Kerusakan dari sel endotel menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2, penurunan produksi dari nitric oxide dan merangsang terjadinya agregasi dari trombosit yang seterusnya akan mengakibatkan vasospasme. Dengan berkurangnya fungsi endotel, menyebabkan bertambahnya tahanan vaskuler, meningkatnya produk peroksida lipid dan meningkatnya aktifitas radikal bebas. Anion peroksida ini mengganggu keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2 sehingga TXA2 menjadi lebih dominan. Anion peroksida juga menambah agregasi trombosit, serta menyebabkan asam lemak tak jenuh pada membra n fospolipid mengalami konversi menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid ini menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut. (Arias F. 2000). Kerusakan integritas endotel diikuti dengan hilangnya kapasitas vasodilator, yang mana dapat dinilai dengan meningkatnya respo n terhadap angiotensin II dan noradrenalin. Kerusakan dari sel endotel arteri spiralis mengakibatkan hipoksia dan seterusnya menjadi aterosis akut. Aterosis akut ditandai dengan adanya diskontinuitas dari sel endotel, gangguan fokal pada membrana basalis, deposisi trombosit, terbentuknya mural trombus dan akhirnya terjadi nekrosis fibrinoid. Dengan rangsangan dari trombosit growth factor terjadi perubahan proliferasi yang tidak teratur pada tunika intima, dan pada tunika media mengakibatkan hiperplasia. Aterosis akut ini merupakan keadaan yang patognomonis pada preeklampsia. Walaupun aterosis akut ini dapat juga terjadi pada keadaan hipertensi kronis, Diabetes Mellitus, penyakit ginjal maupun Lupus. Efek semua kejadian yang telah disebutkan di atas terjadilah gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan koagulasi pada ibu yang selanjutnya menjadi sindroma HELLP. Pada keadaan normal setiap sel mempunyai daya pertahanan terhadap serangan ekstrasellular. Membran sel sangat berperan dalam fungsi pertahanan ini. Sel darah merah pada penderita preeklampsia tidak memiliki pertahanan terhadap radikal bebas yang selanjutnya mengakibatkan membran

sel darah merah menjadi tidak stabil dan mengalami kerusakan. Daya pertahanan membran sel darah merah ini berhubungan dengan kadar prostasiklin di dalam plasma melalui gen superoxidase dismutase (SOD). Penurunan aktivitas dari SOD ini mengakibatkan penurunan daya pertahanan terhadap radikal bebas. Perubahan stabilitas membran sel darah merah menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel, terjadi peningkatan aktivitas sel dan terjadi perubahan dari rigiditas membran. Perubahan ini menyebabkan sel darah merah berubah bentuknya, mudah pecah (fragmentasi) dan sel cenderung menjadi lisis. Keadaan di atas dapat menerangkan terjadinya hemolisis pada penderita preeklampsia. Pada sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat fragmentasi sel darah merah, sel darah merah menjadi menjadi lebih mudah keluar dari pembuluh darah yang kecil. Dimana pembuluh darah tersebut telah mengalami kebocoran akibat kerusakan endotel dan adanya deposit fibrin. Pada gambaran darah tepi terlihat gambaran spherocytes, schistocytes, triangular cell dan burr cell.

Schistocytes dan Spherocytes (Dikutip dari Weinstein)

Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar dimana gambaran histopatologisnya berupa nekrosis parenkhim periportal dan atau fokal yang disertai dengan deposit hialin yang besar dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Pada penelitian dengan imunoflourescen dijumpai mikrotrombi fibrin dan deposit fibrinogen pada sinusoid dan daerah

hepatoselular yang nekrosis. Adanya mikrotrombi dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang merupakan dasar dari terjadinya peningkatan enzim hepar dan terdapatnya nyeri perut kuadran kanan atas. Gambaran nekrosis selular dan perdarahan dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya perdarahan intrahepatik dan hematom subkapsular atau ruptur hepar. Barton dkk melaporkan pada penelitian terhadap 11 pasien sindroma HELLP yang dilakukan biopsi pada heparnya didapati perdarahan periportal 8 orang (73%) yang 25%-nya terdapat nekrosis lobular. Deposit fibrin periportal didapati pada 6 orang (55%), dengan satu orang tanpa perdarahan periportal. Gambaran perdarahan periportal dan deposit fibrin mempunyai hubungan bermakna dengan tingkat keparahan dari sindroma HELLP. Oosterhof dkk melaporkan pada penelitian mengukur indeks pulsasi (pulsatility index) dengan USG Doppler didapati peningkatan resistensi pada arteri hepatika. Hal ini menunjukkan terdapatnya vasokonstriksi pada arteri hepatika yang bertanggung jawab untuk terjadinya sindroma HELLP nantinya. Perubahan histopatologis pada hepar yang terdapat pada sindroma HELLP dapat dibedakan dari penyakit perlemakan hepar yang akut. Hal ini dilaporkan oleh Usta dkk pada perlemakan hepar yang akut dengan pemeriksaan mikroskop elektron didapatinya gambaran steatosi (perlemakan mikrovaskular) derajat rendah yang difus pada daerah sentrilobular. Gambaran ini berbeda bermakna terhadap perubahan histopatologi hepar pada sindroma HELLP. Penurunan jumlah trombosit pada sindroma HELLP disebabkan oleh meningkatnya konsumsi atau destruksi dari trombosit. Meningkatnya konsumsi trombosit disebabkan oleh agregasi trombosit. Hal ini akibat dari kerusakan endotel, penurunan produksi prostasiklin, proses imunologis maupun peningkatan jumlah radikal bebas. Penyebab dari destruksi trombosit sampai saat ini belum diketahui. Dijumpainya peningkatan megakaryosit pada biopsi sumsum tulang menunjukkan pendeknya life span dari trombosit dan cepatnya proses daur ulang.

Beberapa peneliti terdahulu beranggapan bahwa DIC merupakan proses primer yang terjadi pada sindroma HELLP. Walaupun didapatinya gambaran histologis dari mikrotrombi yang mirip antara sindroma HELLP dan DIC tetapi pada sindroma HELLP tidak dijumpai koagulopati intravaskular. Pada sindroma HELLP terjadi mikroangiopati dengan kadar fibrinogen yang normal. Jadi DIC yang terjadi pada sindroma ini bukan merupakan proses primer tetapi merupakan kelanjutan dari proses patofisiologis sindroma HELLP itu sendiri (sekunder).

Perbedaan DIC dan Mikroangiopati

Van Dam dkk melaporkan dari 18 pasien dengan sindroma HELLP pada pemeriksaan laboratorium saat masuk rumah sakit, didapati 7 orang dengan DIC yang manifes. Tetapi pada saat melahirkan dilakukan pemeriksaan laboratorium lagi maka didapati 10 orang dengan DIC manifes. Setelah 72 jam post partum hanya 4 orang yang tidak terbukti DIC. Hal ini menunjukkan bahwa DIC terjadi sejalan dengan progresivitas penyakit. Dan DIC merupakan petunjuk dari derajat keparahan dari sindroma HELLP. d. Klasifikasi Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindroma HELLP, yaitu : 1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati. Audibert dkk 24 melaporkan pembagian sindroma HELLP berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang di dapati yaitu : sindroma HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini, yaitu : hemolisis, peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya burr

cell, schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT > 70 IU/L ; bilirubin > 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 . Sedangkan sindroma HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi tidak ketiga parameter sindroma HELLP. Lebih jauh lagi sindroma HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H), Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL). 2. Berdasarkan jumlah dari trombosit. Martin mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kelas, yaitu : kelas I jumlah trombosit 50.000/mm3 kelas II jumlah trombosit > 50.000 - 100.000/mm3 kelas III jumlah trombosit > 100.000 - 150.000/mm3. e. Gambaran Klinis 1. Karakteristik penderita Weinsten melaporkan sindroma HELLP didapati pada nulipara 68% dan pada multipara 34%. Pada nulipara umur rerata 24,0 tahun (16 40 tahun), dengan usia kehamilan rerata 32,5 minggu (24 36,5 minggu). Sedangkan pada multipara umur rerata 25,6 tahun (18 38 tahun) dengan usia kehamilan rerata 33,3 minggu (25 39 minggu). Sibai (1990) melaporkan karakteristik penderita sindroma HELLP berkulit putih, multipara dengan riwayat luaran kehamilan yang jelek, usia ibu > 25 tahun, dan gejala muncul sebelum kehamilan aterm ( < 36 minggu). Gejala dapat muncul antepartum dan postpartum. Gejala sindroma HELLP pada antepartum dijumpai 69%, dimana 4% pada usia kehamilan 17-20 minggu, 11% pada usia kehamilan 21 26 minggu, dan selebihnya muncul pada pertengahan trimester ketiga. 31% gejala timbul pada postpartum. Pada kasus postpartum timbulnya bervariasi antara beberapa jam sampai 6 hari setelah persalinan. Sebahagian besar muncul pada 48 jam postpartum. Pada kelompok ini, 79% penderita sindroma HELLP

telah menderita preeklampsia sebelum persalinan. Namun 21% tidak menderita preeklampsia baik sebelum maupun pada saat persalinan. (Morikawa H. 2001) 2. Gejala dan tanda klinis Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau kwadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 86%). Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus, didapatinya hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%). Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang, jaundice, perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai hipoglikemia, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal dan diabetes insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasanya dijumpai pada kasus sindroma HELLP yang timbulnya postpartum atau antepartum yang ditangani secara konservatif. 3. Pemeriksaan laboratorium Proses yang dinamis dari sindroma ini, sangat mempengaruhi gambaran parameter dari laboratorium. Gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. a) Hemolisis Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis, adalah dengan didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell. Proses hemolisis pada sindroma HELLP oleh karena kerusakan dari sel darah merah intravaskuler, menyebabkan hemoglobin keluar dari intravaskuler. Lepasnya hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks hemaglobin-haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat. Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan

terjadinya hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar bilirubin berkisar 0,1 1,0 mg/ dL. Dan pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu > 1,2 mg/dL. Hemolisis merespon intravaskuler menyebabkan proses sumsum tulang yang dengan mengaktifkan eritropoesis,

mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur. Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi, dan mengeluarkan isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma lactic dehidrogenase (LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya peroses hemolisis. (Arias F. 2000) Pada wanita hamil normal kadar LDH berkisar 340 670 IU/L. Dan pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L. b) Peningkatan Kadar Enzim Hepar Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamat oksaloasetat transaminase/ SGOT) dan alanine aminotranferase ( serum glutamat piruvat transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar. Pada Preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Menurut penelitian Martin dkk kadar SGOT lebih tinggi dari SGPT pada sindroma HELLP. Peninggian ini menunjukkan fase akut dan progresivitas dari sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT juga merupakan tanda terjadinya ruptur kapsul hepar (capsula glisson). Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 35 IU/L . Dan pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. c) Jumlah Trombosit yang Rendah Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang spesifik. Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata menurun selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. Pada wanita hamil normal kadar

trombosit berkisar > 150.000/ mm3. Dan pada sindroma HELLP kadar ini menurun sampai < 100.000/ mm3. Martin dkk melaporkan dari 158 preeklampsia berat dengan sindroma HELLP didapati kadar trombosit berbeda-beda. Didapatinya 19% pasien pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah trombosit > 150.000/mm3, 35% antara 100.000 150.000/mm3, 31% antara 50.000 100.000/mm3 dan 15% < 50.000/mm3. f. Penatalaksanaan Sampai saat ini penanganan sindroma HELLP masih kontroversi. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru-paru janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu. Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satusatunya terapi defenitif. Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru-paru janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu dengan mempergunakan kortikosteroid. Tompkins dan Thigarajah (1999) melaporkan pemberian kortikosteroid baik Betametason maupun Deksametason meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah trombosit, mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan LDH menurun) serta memungkinkan untuk pemberian anastesia regional. Isler dkk (2001) melakukan penelitian prospektif tentang efikasi dari Deksamethason dan Betametason. Dilaporkan bahwa pemberian Deksametason 10 mg/12 jam/IV lebih efektif dibandingkan dengan pemberian Betametason 12 mg/24 jam /IM. Pemberian Deksametason dapat diberikan langsung kedaerah intravaskular, dimana Betametason (tidak dapat diberikan secara intravena) harus diabsorbsi terlebih dahulu setelah pemberian secara intramuskuler. Hal ini menyebabkan terlambatnya onset of action atau berkurangnya efektifitas obat waktu sampai di pembuluh darah.

Prinsip penanganan pada sindroma HELLP sama dengan Preeklampsia berat. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap abnormalitas pembekuan darah. Penanganan sindroma HELLP secara ringkas dapat dilihat dari tabel.

Adanya sindroma HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk melahirkan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan. g. Prognosis Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19 27 % untuk mendapat resiko sindroma ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan berikutnya. sindroma HELLP kelas I merupakan resiko terbesar untuk berulangnya sindroma ini pada kehamilan selanjutnya. Sibai dkk melaporkan penderita dengan normotensif sebelum menderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklampsia, 27% terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindroma HELLP pada kehamilan berikutnya. Tetapi bila penderita sindroma HELLP dengan riwayat kronik hipertensi sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklampsia dan 5% kemungkinan terjadi sindroma HELLP pada kehamilan berikutnya.

Angka kematian ibu pada sindroma HELLP 1,1 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%),gagal ginjal akut ( 7,7 %), edema pulmonum (6%), hematom hepar subkapsular (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi berkisar 10 60% tergantung dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang ibunya menderita sindroma HELLP akan mengalami pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan sindroma kegagalan pernafasan. Abramovici dkk (1999) melaporkan angka kematian bayi 5,5 %, dari 269 bayi dengan ibu sindroma HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindroma gagal nafas. Morbiditas dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan dari pada ada atau tidaknya sindroma HELLP.

LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien


1. Nama 2. Usia 3. Alamat 4. Suku Bangsa 5. Agama 6. Pekerjaan 7. Usia Pernikahan

: Ny. F : 36 tahun : Ngledok, Ngargoyoso : Jawa : Islam : Buruh Pabrik : 7 tahun

B. Riwayat Obstetrik a. Riwayat Obstetrik : G2 P1 A0 1. Anak pertama laki-laki, usia sekarang 7 tahun, riwayat usia kehamilan aterm, berat lahir 3000 grm, lahir dengan spontan, lahir ditolong bidan desa. 2. Kehamilan sekarang b. Menarche c. Siklus Haid d. Lama Haid f. HPL g. UK h. Riwayat KB 1. KB dengan PIL selama 1 bulan (2006) 2. KB dengan Suntik 5 tahun (2006-2011) C. Riwayat Perjalanan Penyakit Keluhan Utama : Pusing dan muntah Riwayat Penyakit Sekarang 8 bulan SMRS (trisemester pertama) Pasien tidak mengalami gangguan kesehatan disaat awal kehamilan. Mual (+), frekuensi jarang dan muntah (-). Setelah usia kehamilan 5 minggu, pasien : 13 tahun : 28 hari : 7 hari : 28-02-2013 : 33 minggu 4 hari

e. Haid terakhir : 21-05-2012

mengalami keluhan pusing dan berobat ke bidan, dengan tekanan darah 150/100 mmHg. Pasien rajin kontrol kehamilan di bidan desa dan dinyatakan baik dengan tensi 120/80 mmHg dengan pengobatan anti hipertensi selama 4 hari. (Riwayat pengobatan di bidan aspilet dan voldiamer B6, tanpa pengobatan hipertensi) 4 bulan SMRS (trisemester ke dua) Keadaan pasien baik, kehamilan dalam kondisi baik. Pasien mengaku rajin kontrol ke bidan. Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg). 1 bulan SMRS (trisemester ke tiga) Pasien mulai merasa sering pusing, dan ketika kontrol ke bidan desa tekanan darah naik (140/90 mmHg) dan kaki mulai bengkak. Karena tidak kunjung sembuh maka pasien kontrol lagi dengan tensi 180/100, dan diberi obat anti hipertensi. Hari MRS Pasien datang kiriman dari bidan dengan tensi tinggi (180/100) dan mengeluh pusing sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasa memberat dan disertai dengan muntah sejak 2 minggu SMRS. Pandangan menjadi agak kabur (+), pusing cekot-cekot (+), mual (+), muntah (+), batuk (-), hidung tersumbat (-), kenceng-kenceng pada perut (-), BAB dalam batas normal, BAK banyak warna merah dan kadang coklat kental. D. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat Penyakit Jantung Riwayat Asma Riwayat Kejang Riwayat Alergi Riwayat Penyakit Hati Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal : Tidak tahu : Tidak tahu : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Tidak tahu : Tidak tahu

E. Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat Asma Riwayat Alergi F. Pemeriksaan Fisik
1. KU 2. Kesadaran 3. Vital Sign

: Ada (pada ayah & ibu) : Disangkal : Disangkal : Disangkal

: Lemah : Komposmentis : TD :200/110 mmHg R : 22 x/mnt N : 80 x/mnt S : 36 C

4. Pemeriksaan Kepala

a.

Mata

: Konjungtiva Anemis/Skera ikterik (-/-), pandangan kabur (+) : Caries gigi (-) : Kelenjar tiroid tidak ada kelainan, Kelenjar getah bening tidak membesar, JVP tidak meningkat.

b. Gigi c. Leher

d. Pemeriksaan Thorax i. Paru ii. Jantung : SDV (+), rhonki (+) basah, whizing (-/-). : BJ I/II murni regular, suara bising (-),

murmur (-). Dalam batas normal, ictus cordis tidak nampak, tidak kuat angkat, tidak ada lateralisasi. G. Status Obstetrik 1. Inspeksi : abdomen destended (+), adanya benjolan massa (-), pembesaran organ hepar (+), nyeri tekan regio hipokondriaka dextra dan epigastrik (+), daerah genetalia externa : rambut pubis tersebar merata, edema vulva (-), benjolan/masa (-), varises (-), pengeluaran darah pervaginam (-), pengeluaran cairan pervaginam (-).

2.

Palpasi : Lp I : tinggi fundus uteri 27 cm, TBJ : 2325 grm Lp II : teraba bagian besar di kiri (punggung kiri) Lp III : bagian bawah janin kepala Lp IV : kepala belum masuk panggul, konvergen - HIS (-) - DJJ (+) 136 x/mnt

3.

VT : Porsio mencucu, pembukaan negatif, lendir darah (-)

H. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan LAB Hb : 11,5 g/dl AL : 8.700 AT : 262.00 HMC : 37.2 % (37-43 %) CT : 0330 BT : 0130 Gol. Darah : B GDS : 109 Hbs Ag : Negatif SGOT : 43.1 (0-31 U/I) SGPT ; 27.1 (0-32 U/I) Bil. Indirek : 2.39 mg/dl (0.15-07) Bil. Direk : 1.58 mg/dl (0.05-0.3) Bil. Total : 3.39 (0.2-1) Ureum/Kreatine : 19.5/1.88 (10-50/0.5-0.9) Prot. Total : 7.54 g/dl (6.6-8.7) Albumin : 3.35 g/dl (3.7-5.2) Prot Urine : 1+

I. Diagnosis Preeklampsia Berat dengan HELLP sindrome pada Secondigravida hamil preterm (33 minggu 4 hari) belum dalam persalinan. J. Prognosis Quo ad Vitam Quo ad Sanam Quo ad Fungsionam : dubia at malam : dubia at malam : dubia at malam

K. Penatalaksanaan Non Medikamentosa Balance Cairan dengan RL:D5% (2:1) dan Pasang DC Rencana terminasi dengan tindakan seksio sesaria trans peritonial Died rendah garam Medikamentosa Nifedipin 10 mg / 8 jam Inj Kortikosteroid / 12 jam untuk merangsang pembentukan surfaktan janin. L. FolowUp Jenis operasi : Sectio Caesarrhea Cito Jenis anestesi : Spinal Anestesi Diagnosa Pasca bedah : Post Sectio caesarhea atas indikasi PEB dengan HELLP sindrom parsial S Pasien Masuk Ruang OP SCTP KU : lemah, tersedasi =Vital sign : TD 190/110 mmHg SpO2 = 99 % Ruang Pemulihan KU : cukup, =Vital sign : TD : 190/110 mmHg N : 108, R : 32x/mnt, S : Operasi O KU : lemah, tersedasi Vital Sign : TD 200/120 mmHg SpO2 = 98%,

36,5C A Diagnosa pra bedah :Durante op SCTP a/IPost Op SCTP a/I PEB Preeklampsia BeratPEB dengan HELLPdengan HELLP sindrom Observasi dengan HELLP sindrom sindrom P Inf Asering 30 tpm Observasi Anestesi spinal Ranitidin 2 Amp Ketoprofen 2 Amp 2500, TB : 48 cm, LK : 33 cm, LD : 32 cm. Apgar skor : 5-6-7. Cacat (-), Anus (+).

Bayi laki-laki, BB :Inf Aminofusin

RUANG KENANGA M.Post OP H1 S Vital mengeluh perut Sign sakit bagian N. Post OP H2 O. Post OP H3

baik,Vital Sign baik, pusingVital Sign baik, pusing (-), pada(-), pandangan kabur (+)pandangan bawah.turun, demam kabur (-), asi (-),demam (-), nyeri perut

Pusing (+), pandanganmengeluh sakit pada perutbawah (+) menurun, perdarahan (+) 30 cc.kenceng, perdarahan (+)(-), BAB (-), BAK warna20 keruh coklat. O KU : Baik, Vital Sign : T cc. BAK warna kuning keruh. KU : Baik,

kabur (+), demam (-),bagian bawah, kenceng-sudah keluar, perdarahan plek-plek (+). BAB banyak,dbn, BAK banyak, agak bening. KU : Baik,

=Vital Sign : T = 180/110,Vital Sign : T = 170/90, x/menit, S : 36,6 C Ext edema : +/+ (berkurang)

170/110, Nadi = 108 x/,Nadi = 100 x/, RR = 24Nadi = 92 x/, RR = 24 RR = 38 x/menit, S :x/menit, S : 36,6 C 36,6 C Ext edema : +/+ Balance cairan = Input : 1522 cc Output : 1100 cc A Post Op SCTP a/I PEBPost Op SCTP a/I PEBPost Op SCTP a/I PEB dengan HELLP sindrom dengan HELLP sindrom dengan HELLP sindrom P -Observasi KU + VS -RA -Inj Furosemid iv -Balance cairan -Tx : alinamin, analgesik -Observasi KU + VS -RA -Inj Furosemid iv -Balance cairan Observasi KU + VS Tx : Nifedipin 10 mg 3x1, Amoxilcilin tab 3x1, Asam mefenamat tab 3x1, milmor Ext edema : +/+

nifedipin,-Tx: antibiotik, nifedipin,2x1. ranitidine,analgesik

PEMBAHASAN Preeklampsia Berat dengan HELLP sindrome pada Sekundigravida hamil preterm (33 minggu) belum dalam persalinan

Keluhan utama pasien adalah pusing dan mual/muntah. Saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan keaadaan umum nampak lemas, composmentis, tensi 200/110 mmHg, pemeriksaan edema facia (+/+) dan extremitas (++/++), pemeriksaan lab didapatkan proteinuria (+1) positif. Dari data yang didapat maka pasien ini masuk dalam kriteria preeklampsia berat. Riwayat pasien mengalami kenaikan tensi pada saat usia kehamilan 7 bulan. Tensi awal kehamilan 120/80 mmHg dan tetap baik sampai trismester ke-2, naik menjadi 140/90 mmHg pada trismester ke-3. Ini merupakan tanda khas kenaikan tekanan darah pada preeklampsia, dan hal ini diikuti dengan munculnya edema pada extremitas inferior dan pandangan mata kabur. Setelah tidak kunjung sembuh (riwayat berobat di bidan) pasien akhirnya dirujuk ke RSUD. Patofisiologi preeklampsia pada pasien adalah adanya intoleansi imunologik antara ibu dan janin. Pada kehamilan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) dari ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasi sel trofoblas kedalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu yang mengalami preeklampsia terjadi penurunan ekspresi HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada preeklampsia.

Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel trofoblas, dan pada sebagian arteri spiralis yang mengalami invasi tahap pertama secara normal tetapi invasi kedua tidak berlangsung, shg bagian a. spiralis yang berada dalam miometrium tetap memiliki dinding muskolo-elastis yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskular. Resistensi vasckular disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua, sehingga aliran darah didaerah intervilli menurun dan menyebabkan iskemik dan hipoksia di plasenta yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan janin / IUGR atau IUFD, selain hal tersebut adanya perubahan respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari perubahan polymorphism HLA-G (human leucocyte antigens G) terhadap trofoblas, menyebabkan terjadinya proses imunologis, Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses imunologis akibat perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel endotel, ini terbukti dengan dilepaskannya sel mediator pada sel endotel. Kerusakan dari sel endotel menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2, penurunan produksi dari nitric oxide dan merangsang terjadinya agregasi dari trombosit yang seterusnya akan mengakibatkan vasospasme sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Dengan berkurangnya fungsi endotel, menyebabkan bertambahnya tahanan vaskuler, meningkatnya produk peroksida lipid dan meningkatnya aktifitas radikal bebas. Anion peroksida ini mengganggu keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2 sehingga TXA2 menjadi lebih dominan. Anion peroksida juga menambah agregasi trombosit, serta menyebabkan asam lemak tak jenuh pada membran fospolipid mengalami konversi menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid ini menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut. (Arias F. 2000). Keluhan utama pasien adalah pusing dan mual/muntah, merupakan gejala yang muncul karena adanya edema cerebri yang disebabkan oleh karena disfungsi endotel sistemik khususnya pada vaskularisasi otak. Dan pada pasien terjadi edema retroorbital yang menyebabkan munculnya gejala pandangan mata menjadi kabur/tidak fokus. Manifestasi lain dari disfungsi endotel adalah munculnya edema anasarka.

Proteinuria pada pasien ini oleh karena terjadi glumerulopati yang menyebabkan fungsi filtrasi glumerolus terganggu. Patofisiologi di dasarkan pada prerenal (yang dihubungkan dengan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan parenkim), intrarenal (yang mengakibatkan kerusakan instrinsik pada parenkim ginjal). Proteinuria pada pasien menyebabkan penurunan kadar Albumin dalam darah 3.35 g/dl (3.7-5.2). Hal ini dapat menyebabkan penurunan tekanan osmotik yang di sebabkan oleh albumin sehingga terjadi ketidak seimbangan tekanan osmotik dan muncul manifestasi edema selain yang disebabkan oleh disfungsi endotel. Kerusakan glumerolus ginjal pada pasien selain adanya proteinuria di interpretasikan dengan naiknya kadar kreatinin dalam darah 1.88 (0.5-0.9). Kerusakan glumerolus ginjal pada pasien selain adanya proteinuria di interpretasikan dengan adanya hematuria, proteinuria +1 adalah tanda terjadinya glumerulopati. Namun dilihat dari keadaan umum pasien, proteinuria bisa lebih dari +2. Hal ini dapat didukung dengan hasil laboratorium darah berupa penurunan kadar albumin : 3.35 g/dl (3.7-5.2). Untuk mendukung pemeriksaan proteinuria dapat dilakukan pemeriksaan protein esbach {Proteinuria kuantitatif (Esbach) 2 gr / 24 jam pada PEB}.

Dari pasien ditemukan nyeri tekan abdomen pada regio hipokondriaka dextra dan epigastrium, dengan tropografi organ hepar. Kemungkinan pada pasien terjadi komplikasi yang sudah mengarah ke target organ dari vasospasme endotel vaskular hepar. Pada sindroma HELLP karena adanya mikroangiopati yang menyebabkan aktifasi dan konsumsi yang meningkat dari platelet terjadi penumpukan fibrin di

sinusoid hepar, maka gejala yang menonjol adalah rasa nyeri pada daerah epigastrium kanan, nyeri kepala, mual, muntah, ikterus. Deposit fibrin intravaskuler dihati dan disertai dengan obstruksi sinusoidal, terkait dengan hipovolemia. Iskemia hepatik menyebabkan infark hati, subcapsular hematoma dan perdarahan intraparenchymatous, yang dapat mengakibatkan ruptur hepar. Disfungsi hepar direfleksikan dari peningkatan enzim hepar yaitu Aspartate transaminase (AST/GOT), Alanin Transaminase (ALT/GPT), dan juga peningkatan LDH. Semakin lanjut proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan koagulasi dan hemostasis darah dengan ketidak normalan protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen. Pada pasien juga terdapat proses hemolisis. Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin bebas ke dalam medium sekelilingnya (plasma). Penyebab terjadinya hemolisis dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah stres oksidatif dan vasokonstriksi pembuluh darah yang menyebabkan turbulensi aliran darah yang menyebabkan eritrosit menjadi pecah. Pada keadaan normal setiap sel mempunyai daya pertahanan terhadap serangan ekstrasellular. Membran sel sangat berperan dalam fungsi pertahanan ini. Sel darah merah pada penderita preeklampsia tidak memiliki pertahanan terhadap radikal bebas yang selanjutnya mengakibatkan membran sel darah merah menjadi tidak stabil dan mengalami kerusakan. Daya pertahanan membran sel darah merah ini berhubungan dengan kadar prostasiklin di dalam plasma melalui gen superoxidase dismutase (SOD). Penurunan aktivitas dari SOD ini mengakibatkan penurunan daya pertahanan terhadap radikal bebas. Perubahan stabilitas membran sel darah merah menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel, terjadi peningkatan aktivitas sel dan terjadi perubahan dari rigiditas membran. Perubahan ini menyebabkan sel darah merah berubah bentuknya, mudah pecah (fragmentasi) dan sel cenderung menjadi lisis. Keadaan di atas dapat menerangkan terjadinya hemolisis pada penderita preeklampsia. Pada sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat fragmentasi sel darah merah, sel darah merah menjadi menjadi lebih mudah keluar dari pembuluh darah yang kecil. Dimana pembuluh darah tersebut telah mengalami kebocoran akibat kerusakan endotel dan adanya deposit fibrin. Pada

gambaran darah tepi terlihat gambaran spherocytes, schistocytes, triangular cell dan burr cell.

Schistocytes dan Spherocytes (Dikutip dari Weinstein)

Hemolisis ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH).

Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar dimana gambaran histopatologisnya berupa nekrosis parenkhim periportal dan atau fokal yang disertai dengan deposit hialin yang besar dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Pada penelitian dengan imunoflourescen dijumpai mikrotrombi fibrin dan deposit fibrinogen pada sinusoid dan daerah hepatoselular yang nekrosis. Adanya mikrotrombi dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang merupakan dasar dari

terjadinya peningkatan enzim hepar pada pasien dan adanya keluhan yang dirasakan pasien berupa nyeri perut kuadran kanan atas. Gambaran nekrosis selular dan perdarahan dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya perdarahan intrahepatik dan hematom subkapsular atau ruptur hepar. Dari pemeriksaan lab fungsi hepar didapatkan terjadi proses kerusakan sel hati (hepatosit) ditandai dengan peningkatan enzim hepar SGOT 43,1 (0-31 U/I) dan penurunan fungsi hepar berupa kenaikan kadar Bil. Indirek : 2.39 mg/dl (0.15-07), serta adanya proses hemolisis berupa kenaikan Bil. Direk : 1.58 mg/dl (0.05-0.3) dan Bil. Total : 3.39 (0.2-1). Penurunan jumlah trombosit pada sindroma HELLP disebabkan oleh meningkatnya konsumsi atau destruksi dari trombosit. Meningkatnya konsumsi trombosit disebabkan oleh agregasi trombosit. Hal ini akibat dari kerusakan endotel, penurunan produksi prostasiklin, proses imunologis maupun peningkatan jumlah radikal bebas. Penyebab dari destruksi trombosit sampai saat ini belum diketahui.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ambramovici D, Friedman SA, Mercer BM, et al. Neonatal Outcome in Severe preeclampsia at 24 to 36weeks Gestation : Does the HELLP Syndrome Mater. AmJ obtet Gynecol 1999; 180 : 221-5. 2. BPS dan ORC. Macro Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002- 2003, Claverton, Maryland, USA; ORC Macro, 2003 . 3. Cunningham F G., 2006. Obstetri Williams Vol.1. Edisi 21. Jakarta : EGC. h : 631-7. 4. Cunningham, F.G.et al. Hipertensive Disorder in Pregnancy. In: Williams Obstetrics-22nd Edition. USA: Mc Graw Hill co. 2005. 5. Dekker G.A. Sibai B.M. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current concept. Am. J. Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-75 6. Dekker GA, Walker JJ. Maternal Assesment in Pregnancy Induced Hypertensive Disorder : Special Investigation and Their Pathophysiological Basis. In : Walker JJ, Gant NF. Hypertension in pregnancy. London : Chapman&Hall. 1997 :107 62. 7. Depkes RI, 2003. Pedoman Pemantauan dan Penyeliaan Program Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 8. Jaffe R, Dorgan, A. Abramowitz J.S. 1995. Color Doppler Imaging of the Utero placental Circulation in the First Trimester : Value in Inpredicting Pregnancy Failure or Complications. Am. J. Obst. Gynecol 130 (2 PT 1): 102-5). 9. Lockwood CJ, Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In : Cohen WR. Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins. 2000 : 207 26. 10. Manuaba I.B.G., 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta:EGC,pp.401-31. 11. Martin JN, Blakes PG, Perry KG, et all. The Natural Hystory of HELLP Syndrome : Patern of Disease Progression and Regression. AmJ Obstet Gynecol 1991; 164 : 1500 13. 12. Morikawa H, Umikage H, Yamasaki M. Clinical Difference Between HELLP Syndrome and Partial HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and Workshop. Bandung. 2001. 13. Notoatmodjo S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. h : 78-89, 145-50. 14. Padden MO. HELLP Syndrome : Recognation and Perinatal Management. Available at : http ://www.findarticles.com. 15. Prawirohardjo Sarwono, Ed. Kedua. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 1981. hal. 237.

16. Prawirohardjo, S. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Penerbit PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 17. Prawirohardjo, S. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Penerbit PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 18. Rambulangi J. 2003. Penanganan pendahuluan prarujukan penderita preeklamsia berat dan eklamsia. Indonesian Journal of Obstetric and Gynecology, 139 : 16. 19. Rambulangi, John. 2003. Beberapa Cara Prediksi Hipertensi Dalam Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran No. 139. Pp 5-7. 20. Robson S.C., Hypertention and Renal Disease in Pregnancy In: Keith DE, Eds Dewhurts Textbook of Obstetric and Gynecology for Post Graduate 6th ed. Blackwell Science Inc USA 1999: 165-85. 21. Ryadi, P. D. U. 2008. Eklampsia : Introduction. Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp.5. 22. Sihwiyana, Bambang. 2003. Hubungan Antara Strees Psikologis dalam Kehamilan dengan Preeklamsia Berat. Thesis. Surakarta: Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 23. Siregar MF. Luaran Janin dan Ibu pada Penderita Preeklampsiaa di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Medan : Universitas Sumatera Utara. Tesis. 1997. 24. Sofoewan S. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeclampsia With and Without HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and Workshop. Bandung. 2001. 25. Sudhaberata, 2001. Profil Penderita Preeklampsia-Eklampsia di RS Tarakan Kaltim. http//www.tempo.co.id/medika/arsip/022001/art-2.htm. (13 Maret 2011).

26. Sudhaberata, 2001. Profil Penderita Preeklampsia-Eklampsia di RS Tarakan Kaltim. http//www.tempo.co.id/medika/arsip/022001/art-2.htm. (13 Maret 2011). 27. Suhariadi, Dody. 2005. Strategi Penurunan Kejadian Preeklamsia (PE) melalui Pendekatan Studi Kasus Kelola dan Multiple Criteria Utility Assesment (MCUA) di Kota Medan. Tesis. Medan: FK USU. 28. Taufiqurrahman M.A., 2008. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta : UNS Press. Pp. 130-1. 29. Tierney, M.L., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. Current Medical Diagnosis & Treatment-45th Edition.. USA: Mc Graw Hill co.2006. 30. Weinstein L. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit counts : A Severe Consequence of Hypertension in Pregnancy. AmJ Obstet Gynecol 1982 ; 142 : 159 67.

31. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Berat Bayi Lahir Rendah, dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta.YBP, pp.283-5 32. Wiknjosastro, Hanifa; Saifuddin, A. Bari dan Trijatmo Rachimhadhi. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Pp 246-272 & 723-736.

Anda mungkin juga menyukai