Anda di halaman 1dari 10

ATERSIA ANI

Pendahuluan Atresia ani merupakan kelainan kongenital pertumbuhan di daerah anus dan rektum pada masa embrional. Dari beberapa kepustakaan diperoleh angka 1 dari 4.0005.000 kelahiran hidup dan angka kejadian ditemukan sama pada anak laki-laki dan anak perempuan. Embriologi terjadinya suatu atresia ani dimulai pada umur 6 minggu dimana seharusnya sudah terjai pemisahan traktus urogenitalis dan traktus intestinalis dengan suatu septum yang disebut septum urorektal yang selanjutnya akan menjadi perineum, di sini terjadi kegagalan pertumbuhan septum ini. Akibatnya bisa ditemukan berbagai kelainan antara lain atresia ani membranosa, stenosis anus, fistula anorektal, fistula rektovaginal, fistula urorektal. Gejala klinik terdapat 3 gejala pokok pada kelainan ini yaitu : 1). Tidak keluarnya mekoneum peranum, 2). Distensi abdomen, 3) vomiting. Gejala ini tidak mutlak ditemukan karena variasi anatomi yang menyertai kelainan ini. Diagnosis ditegakkan berdasarkan heteroanamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik, setiap bayi baru lahir harus diperiksa lubang anusnya ada atau tidak dengan memasukkan termometer ke dalam anusnya. Dengan demikian perananan para medis yang bekerja di klinik bersalin sangat penting didalam menemukan kelainan ini sejak dini. Penanganan dilakukan berdasarkan bentuk kelainan yang ditemukan dan bertujuan untuk memperbaiki inkontinensia yang ada. Bila jelas adanya fistula di perineum dengan saluran yang menembus muskuli puborectal, maka penatalaksanaan dapat dikerjakan melalui perineum. Bila tidak tampak fistula disini perlu ditentukan lokai rektal pouch, dimana pada tipe ini dilakukan tindakan operatif melalui abdominal. Berikut ini dilaporkan suatu kasus atresia ani dengan prolaps kolon dan dilakukan repair kolostomi dan anoplasti.

LAPORAN KASUS Seorang anak perempuan, JH usia 10 tahun, alamat Wawonasa, MRS tanggal 6 Mei 2004 dengan keluhan utama usus keluar dan bekas operasi kolostomi Anamnesis Usus keluar dari tempat bekas kolostomi dialami penderita sejak 6 tahun yang lalu, pada awalnya hanya sedikit namun makin lama semakin bertambah panjang. Keadaan ini dibiarkan oleh orang tua penderita dikarenakan tidak adanya biaya untuk operasi kembali. Selama ini tidak ada keluhan dengan pengeluaran kotoran melalui tempat kolostomi. Namun, sejak 4 bulan terakhir ini, keluarnya usus dari tempat pembuatan lubang kotoran di perut semakin panjang dan mengganggu aktivitas penderita, sehingga oleh orang tuanya dibawa ke RSUP Manado untuk tindakan rencana operasi. Penderita dilahirkan 10 tahun lalu tanpa lubang anus. Selama berjalannya waktu, bila BAB kotoran keluar lewat alat kelamin penderita. Sejak lahir sampai berusia 3 tahun penderita hanya minum ASI dan belum diberikan makanan padat, keluahn muntah dan perut kembung tidak pernah dialami. Penderita sudah dianjurkan untuk dilakukan operasi, namun belum ada biaya. Tujuh tahun yang lalu (saat berusia 3 tahun ), penderita menjalani operasi pembuatan lubang pembuangan kotoran pada perut di tobelo. Menurut dokter di Tobelo dikatakan operasi ini hanya bersifat sementara dan akan dilakukan pembuatan lubang anus. Namun, dikarenakan masalah biaya operasi tersebut belum dilakukan. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kepala Lidah Gigi Jantung Paru : Cukup, kesadaran : kompos mentis T : 120/b0 mmHg, N : 84x/mnt, R : 24 x/mnt,Suhu axilla :36,9oC : konjungtiva anemis (-) Sklera ikterus (-) : Beslag (-) : Caries (+) : Dalam batas normal

Perut

: Inspeksi Palpasi Perkusi

: tampak dari bekas kolostomi terjadi prolaps dari Kolon sepanjang + 15 cm, hiperemis, feses (+) : lemas, hepar dan lien tidak teraba : Timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal Genitalia Anggota gerak : perempuan, dijumpai fistula pada daerah vestibulum vagina : akral hangat

LABORATORIUM ( 4 Mei 2004) Malaria Hematokrit Hemoglobin Leukosit Trombosit BT CT :: 33,3 % : 13,1 gr % : 8.400 / mm3 : 411.000 / mm3 : 1 menit : 6 menit

Hasil toraks foto Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal Diagnosis kerja : Post kolostomi ec. Atresia ani + Prolaps kolon Penatalaksanaan : Pro repair kolostomi + anioplasti FOLLOW UP Tanggal 18 mei 2004 Keluhan :Pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak sehat, kesadaran kompos mentis T : 110/70 mmHg, N : 88x/mnt, R : 24x/mnt, Suhu badan : 37,10C

Kepala Toraks Abdomen

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik : jantung dan paru dalam batas normal : datar, lemas, Hepar / lien tidak teraba, bising usus (+) normal Regio hipogastrika : tampak prolaps kolon dari bekas kolostomi Sepanjang + 15 cm, hiperemis, feses (+)

Ekstremitas Diagnosis Penatalaksanaan :

: Akral hangat

: Post kolostomi ec. Atresia ani + prolaps kolon

Pro repair kolostomi + anoplasti IVFD NaCl 0,45 in D 5

Tanggal 19 Mei 2004 Konsul anastesi---- setuju dilakukan operasi Tanggal 21 Mei 2004 Dilakukan operasi repair kolostomi dan anoplasti Operasi dimulai jam 10.00 WITA da selesai jam : 11.50 WITA Lama Operasi : 1 jam 50 menit Laporan Operasi : Operasi I Posisi penderita litotomi kemudian dilakukan narkose umum A/antisepsis daerah perineal, dipersempit dengan doek steril Dilakukan cut back incision, dilakukan RT : teraba fecolith yang telah mengeras Feses dievakuasi dan dibuat lubang anus dengan menjahit mukosa rektum dengan kutis perineal Operasi II posisi pasien tidur terlentang A/antisepsis regio abdomen, kemudian dipersempit dengan doek steril Dibuat incisi sekitar kolostomi, incisi diperdalm sampai peritoneum, kolostomi dikeluarkan

Dilakukan wedge incision kemudian dilakukan jahitan seromuscular secara kontinyu Usus dikembalikan ke dalam peritoneum, luka kolonostromi ditutup lapis demi lapis Operasi selesai : Post repair kolostomi ec. Atresia Ani + post anoplasti

Diagnosis -

Penatalaksanaan IVFD RL : KaENMg3 : D 5 = 2 : Injeksi ceftriaxone 2 x 500 mg Injeksi Metronidazole 2 x 250 mg Antrain 3 x amp Transamin 3 x ampul Puasa sampai dengan bising usus / peristaltik (+) Cek Hemoglobin, bila Hemoglobin < 10 maka transfusi PRC Rawat luka dan rendam daerah anus dengan PK

Cek Laboratorium : - Hemoglobin : 11,3 gr % - Leukosit - Tombosit : 11.300 / mm3 : 126.000 / mm3

Tanggal 22 Mei 2004 ( hari 1 post operasi) Keluhan Pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak sehat, kesadaran kompos mentis T : 110/70 mmHg, N : 82x/mnt, R : 24x/mnt, Suhu badan : 370C Kepala Toraks Abdomen : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik : jantung dan paru dalam batas normal : Inspeksi Palpasi Perkusi : datar, luka terawat : lemas, DM (-) : timpani 5

Auskultasi : bising usus (+) normal Ekstremitas Regio anal Diagnosis Penatalaksanaan IVFD RL : KaENMg3 : D 5 = 2 : Injeksi ceftriaxone 2 x 500 mg Injeksi Metronidazole 2 x 250 mg Antrain 3 x amp Transamin 3 x ampul Puasa sampai dengan bising usus / peristaltik (+) : Akral hangat : luka terawat, pus (-)

: Post repair kolostomi ec. Atresia ani + post anoplasti

Tanggal 24 Mei 2004 ( hari ke 3 post operasi ) Keluhan :Pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak sehat, kesadaran kompos mentis T : 100/70 mmHg, N : 84x/mnt, R : 26x/mnt, Suhu badan : 36,90C Kepala Toraks Abdomen : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik : jantung dan paru dalam batas normal : Inspeksi Palpasi Perkusi Ekstremitas Regio anal Diagnosis Penatalaksanaan IVFD RL : KaENMg3 : D 5 = 2 : Injeksi ceftriaxone 2 x 500 mg Injeksi Metronidazole 2 x 250 mg Antrain 3 x amp : Akral hangat : luka terawat, pus (-) : datar, luka terawat : lemas, DM (-) : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

: Post repair kolostomi ec. Atresia ani + post anoplasti

Transamin 3 x ampul Diet cair (peptisol) Rawat luka dan rendam daerah anus dengan PK

Tanggal 25 Mei 2004 ( hari ke 4 post operasi ) Keluhan : flatus (+) Pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak sehat, kesadaran kompos mentis T : 100/70 mmHg, N : 84x/mnt, R : 26x/mnt, Suhu badan : 36,90C Kepala Toraks Abdomen : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik : jantung dan paru dalam batas normal : Inspeksi Palpasi Perkusi Ekstremitas Regio anal Penatalaksanaan : Terapi lanjut Diet bubur saring Rawat luka dan rendam daerah anus dengan PK : Akral hangat : luka terawat, pus (-) : datar, luka terawat : lemas, DM (-) : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Tanggal 26 Mei 2004 ( hari ke 5 post operasi ) Keluhan : flatus (+) Penatalaksanaan : Aff infus AB oral : metronidazol 2 x 250 mg, antrain 3 x tab Diet bubur saring Rawat luka dan rendam daerah anus dengan PK

Tanggal 27 Mei 2004 ( hari ke 5 post operasi )

Keluhan -

: BAB (+) lembek, warna kuning kecokelatan

Penatalaksanaan : Antibiotika lanjut Diet bubur saring Rawat luka dan rendam derah anus dengan PK

DISKUSI Atresia ani merupakan suatu keadaan dimana tidak terbentuknya lubang anus normal. Kelainan ini meupakan suatu kelainan anorektal yang sering terjadi dalam kasus bedah anak. Penyebabnya belum diketahui pasti, namun dari beberapa peneliti melaporkan bahwa faktor herediter mungkin berperan dalam terjadinya anomali ini. Tidak ada perbedaan ras dan dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Kelainan ini terjadi pada masa perkembangan embrio akibat terhentinya pemisahan kloaka menjadi traktus genitourinarius dan traktus intestinal Berdasarkan letaknya terhadap otot puborektal, secara klinis dapat dibedakan menjadi lesi letak tinggi ( supralevator), intermediate dan lesi letak rendah (translevator). Lesi letak tinggi lebih banyak terjadi pada anak laki-laki sedangkan lesi letak rendah lebih banyak terjdi pada anak perempuan. Atresia ani dapaty terjadi dengan atau tanpa cvistel. Pada anak perempuan, paling sering terjadi fistel rektovaginal, biasanya fistel terdapat pada fouchette posterior atau pada vestibulum ( rektovestibumlum). Pada anak laki-laki, biasanya fistel berhubungan ke kandung kemih atau ureta Pada penderita ini, berdasarkan letaknya termasuk lesi letak rendah (translevator) dengan fistel anovestibulum. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa fistula anovestibulum merupakan kelainan anal paling sering terjadi pada perempuan. Gejala klinis atresia ani tergantung dari malformasi yang terjadi. Atresia ani tanpa fistel biasanya tidak dapat bertahan hidup lebih dari 7-10 hari. Pada penderita ini, terdapat gejala obstruksi letak rendah komplit yang dapat menyebabkan distensi abdomen yang sangat cepat dan terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan serta muntah empedu ( bile-stained material) terjadi lebih dini. Pada penderita dengan fistel rektovaginal

mungkin dapat terjadi kembung, tetapi jarang sampai terjadi muntah. Mekonium dapat ditemukan keluar dari vagina. Gejala yang ada hanya sedikit atau tidak tampak sama sekali sampai terbentuk kotoran yang lebih keras. Pada fistel perineum, terjadi pengeluaran mekoneum dengan gas usus. Dengan demikian, distensi abdomen dan tandatanda obstruksi usus, timbul lebih lambat. Pada bayi laki-laki dengan atresia ani yang berhubungan dengan fistel rektovesikal atau rektouretra, distensi abdomen dan muntah juga timbul lebih lambat. Jika fistel berhubungan dengan kandung kemih dan uretra posterior, mekonium keluar hanya padda saat berkemih. Pada sebagian besar kasus, diagnosis dapat di tegakkan pada pemeriksaan fisisk rutin yang dilakukan segera setelah lahir. Pada bayi baru lahir, tidak adanya mekonium dalam 24 jam pertama memerlukan pemeriksaan daerah perineum yang lebih cermat. Colok dubur dengan jari kelingking selalu harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya suatu atresia ani. Diagnosis radiologis pada penderita atresia ani tanpa fistula penting dilakukan untuk menentukan jarak pouch dari perineum. Pemeriksaan dilakukan dengan posisi inversi ( invertogram Wangenstein-Rice). Ultrasonografi (USG) perineum ( area rektum dan vagina ) dapat membantu menentukan jarak antara rektum distal yang terisi mekonium dan jari yang diletakkan di perineum, juga dapat menentukan adanya anomali traktus urinarius. Pada umumnya diagnosis atresia ani didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (radiologi). Namun pada kasus ini hanya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik saja dikarenakan penderita datang pada usia 10 tahun setelah dilakukan kolostomi pada usia 3 tahun. Dari anamnesis diketahui bahwa penderita terlahir tanpa anus dan bila BAB, kotoran keluar lewat alat kelamin penderita. Hal ini memberikan dugaan kearah adanya suatu fistel. Gejala klinis adanya distensi abdomen dan muntah tidak ditemukan pada penderita ini. Hal ini mungkin karena adanya fistel dan belum terbentuknya feses yang keras karena sampai usia 3 tahun penderita hanya diberikan ASI. Sebenarnya penderita telah dianjurkan untuk dilakukan operasi, namun karena ketidakadaan biaya, operasi baru dilakukan pada saat penderita berusia 3 tahun. Operasi dilakukan untuk membuang

lubang anus sementara di abdomen (kolostomi) dan setelah itu perlu dilakukan operasi berikutnya untuk pembuatan lubang anus. Setelah dilakukan kolostomi, penderita dapat makan / minum seperti biasa dan feses yang terbentuk keluar lewat kolostpmi. Prolaps kolon terjadi 1 tahun setelah operasi kolostomi dilakukan. Pada mulanya hanya dibiarkan oleh orang tuanya karena tidak ada masalah dengan pengeluaran feses dan belum adanya biaya untuk berobat. Namun semakin lama, prolaps yang terjadi semakin panjang dan sejak 4 bulan terakhir, keadaan ini mengganggu aktivitas penderita. Penatalaksanaan operatif penderita ini tergantung pada derajat keparahan dan kondisi kelainan. Atresia ani letak rendah dapat dilakukan perbaikan pada masa neonatus dengan prosedur anoplasti perineal. Pada atresia ani letak tinggi, biasanya dilakukan kolostomi sebelum dilakukan operasi definitif beberapa bulan kemudian. Pada penderita ini dilakukan operasi anoplasti pada usia 10 tahun ( 7 tahun setelah operasi kolostomi) dan dilakukan repair dan penutupan kolostomi pada saat yang bersamaan. Setelah dilakukan anoplasti, pada anus yang baru dilakukan dilatasi secara teratur selama beberapa bulan. Hal penting yang harus diperhatikan paska anoplasti adalah kemampuan kontinens. Kontinens dipengaruhi oleh berbagai faktor dan yang terpenting adalah sensasi. Tidak adanya sensasi normal pada kanalis ani menyebabkan refleks defekasi normal tidak timbul dan tidak tercapainya kontinens. Penanganan paska operatif untuk perawatan luka dapat dilakukan dengan kompres larutan garam fisiologis /PK. Komplikasi umumnya terjadi pada beberap tahun pertama sejak operasi. Sembilan puluh persen penderita atresia ani dengan lesi letak rendah pada akhirnya dapat mencapai kontrol kontinens dengan baik. Sedangkan pada lesi letak tinggi sulit diprediksikan. Prognosis atresia ani jarang fatal, namun anomali yang kadang terdapat bersamaan dengan atresi ani dapat menyebabkan konsekuensi yang serius.

10

Anda mungkin juga menyukai