Anda di halaman 1dari 7

Eksistensi hukum internasional dalam pengaturan HAM di Indonesia

Pembicaraan mengenai hak asasi manusia , pada awalnya dikenal di dunia Barat. Dimulai dari abad XVII yang merupakan tonggak dikonsepkannya hak asasi manusia yang bersumber dari hak kodrat yang mengalir dari hukum kodrat dengan hak politik. Pada abad XVIII Hak-hak kodrat dirasionalkan dalam kontrak sosial dan mulai dipikirkan tentang kebebasan sipil individualisme kuantitatif. Pada abad XIX pemikiran berkembang dengan dukungan etik dan utilitarian dan munculnya paham sosialisme serta hak-hak partisipasi individualisme kualitatif . Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positip) dan hak-hak sosial (sosiale grondrechten). Pada masa ini munculnya Piagam PBB. Piagam PBB ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948. Berlakunya Piagam PBB bagi negara-negara di dunia berdasarkan pada hukum kebiasaan setelah memenuhi dua syarat yaitu keajegan dalam kurun waktu yang lama dan adanya opinion necesitatis. Indonesia mempunyai konsep hak asasi manusia sendiri, yang dirumuskan dalam UUD 1945. Perumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945, belum diilhami oleh Piagam PBB, tetapi hal ini bukan berarti Indonesia tidak mengakui hak asasi manusia dalam Piagam PBB. Perbedaan pandangan konsep Barat dengan konsep Sosialis dalam melihat hak asasi manusia berpengaruh pada sikap dunia melihat pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia. Seolah-olah di Indonesia tidak menghargai dan tidak mempunyai konsep hak asasi manusia. Hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya amandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945 memaksakan untuk dimasukkannya rumusan hak asasi manusia dari Piagam PBB. Pengaturan hak asasi manusia di dalam Piagam PBB

apabila disejajarkan dengan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun
2005, UU No. 12 Tahun 2005 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

No Macam hak 1 2 3 4 5 6 7 8
Non diskriminasi hak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi kebebasan dari perbudakan dan perhambaan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang efektif melalui peradilan kebebasan dari penangkapan, penahanan atau pengasingan sewenangwenang hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal; hak atas suaka hak atas kewarganegaraan hak untuk menikah dan mendirikan keluarga hak untuk memiliki harta benda kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan mendapatkan akses yang sama ke pelayanan publik di

Piagam PBB (Pasal) 2 3 4 5 6,7 8 9 10

UUD 1945 (Pasal)


28 H (2) ; 28 I (2) 28 A 28 I (1) 28 G (2)

UU No. 39 UU No. 12 Tahun 1999 Tahun 2005 (Pasal) (Pasal)

UU No. 11 Tahun 2005 (Pasal)

45 ; 51 9 ; 30 ; 63 20 ; 64 ; 65 32 ; 58 ; 66

20,27 6, 9 8 7 16, 26 9 9, 10 14

28 D (1) ; 28 I (1) 28 D (1) 28 G (1)

17 ; 21 ; 46 ; 50 66 18

28 D (1)

18

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

28 D (1) 28 H (4)

18 19 ; 31 ; 32

15 17 12 13 13, 24 23, 24 11 18 19 21, 22 25 8

28 E (1) 28 G (2) 28 D (4) 28 B (1) ; 28 B (2) 28 G (1) 28 E (1) ; 28 E (2) 28 E (3) 28 E (3) 28 D (3) ; 28 F

27 28 26 ; 47 ; 53 10 ; 52 ; 56 ; 59 29 ; 36 ; 37 22; 55 23 ; 25 15 ; 24 ; 39 14 ; 43 ; 44

20 21 22 23 24 25 26

negaranya hak atas jaminan sosial; hak untuk bekerja; hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama; hak untuk beristirahat dan bertamasya; hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kehidupan; hak atas pendidikan; hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat

22 23 23 24 25 26 27

28 H (3) 28 D (2) ; 28 E (1) 28 H (2) 28 C (1) ; 28 H (1) 28 C (1) ; 28 H (1) 28 C (1) 28 C (2) ; 28 I (3)

41 ; 42 ; 54 ; 62 38 49 61 11 ; 35 ; 40 ; 57 ; 62 12 ; 13 ; 16 ; 48 ; 60 11 - 16

9, 10 6 7 10 11, 12 13, 14 15

Banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia

mendorong Indonesia

terdesak untuk segera meratifikasi beberapa bentuk perjanjian internasional, ke dalam peraturan perundangan Indonesia. Indonesia telah meratifikasi International

Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik) tanggal 16 Desember 1966 dalam UU No. 12. Tahun 2005 dan International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights (Kovenan internasional tentang hak sosial, ekonomi dan budaya) tanggal 16 Desember 1966 dalam UU No. 11. Tahun 2005. Covenant merupakan suatu perjanjian internasional yang digunakan sebagai konstitusi organisasi internasional. Kedua covenant itu bukan merupakan konstitusi organisasi internasional1. Selain itu istilah convention atau conventie digunakan untuk perjanjian internasional multilateral, baik yang diprakarsai oleh negara, lembaga, atau organisasi internasional, yang mengatur tentang masalah besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas baik dalam lingkup regional maupun umum.2
1

I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bagian I, ( Selanjutnya disebut I Wayan Parthiana I ), Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 31. 2 Ibid., h. 28.

Ditinjau dari isi International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights , lebih tepat apabila istilahnya menggunakan convention atau conventie bukan covenant. Kedua covenant itu sudah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005 sehingga sejak saat itu sudah menjadi bagian dari hukum nasional. Selanjutnya harus diterapkan di dalam wilayah negara Indonesia.3 Sebelum tahun 2005, Indonesia sudah mengesahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusi. Ini menunjukkan bahwa pada saat itu kedua covenant itu dianggap oleh pembentuk UU No. 39 Tahun 1999 sebagai hukum kebiasaan bukan sebagai perjanjian internasional. Menurut Harjono, Sebuah perjanjian internasional tidak disahkan oleh suatu negara, tetapi materi yang dimuat di dalam perjanjian internasional tersebut diterapkan dalam sistem hukum nasional. Di dalam hukum internasional dikenal ius cogens atau disebut sebagai hukum internasional umum. Masuknya materi perjanjian internasional sebagi materi hukum positif, disamping formilnya yang merupakan bagian yang terpenting dan paling utama, juga dapat dari aspek substansi atau materinya yaitu dengan melalui timbulnya kebiasaan atau praktik yang telah tumbuh dan diadopsi oleh hukum nasional.4 Kenyataannya, berdasarkan laporan tahunan Komnasham tahun 2004 sampai dengan tahun 2007, di Indonesia masih terdapat pelanggaran hak sipil dan politik serta hak sosial, ekonomi dan budaya. Memang berdasarkan prinsip kedaulatan negara, negara sendiri yang paling berhak menentukan nasibnya sendiri tentang apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Demikian juga negara itu sendirilah yang paling mengetahui dan paling berkepentingan tentang sejauh mana suatu perjannjian internasional itu diberlakukan di dalam wilayahnya.5 Adapun kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara tahun 2004 2007, diantaranya adalah : berdasarkan laporan tahunan Komnasham 2004, terdapat

3 4

I Wayan Parthiana I, op.cit.,h. 265. Harjono, Politik hukum perjanjian internasional, Bina Ilmu, 1999, h. 84-85. 5 I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bagian II, ( Selanjutnya disebut I Wayan Parthiana II ), Mandar Maju, Bandung, 2002, h., 268.

3140 pengaduan yang diterima, sebanyak 54 persen merupakan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik, sedangkan 46 persen pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya. Diantara kasus pelanggaran hak asasi manusia itu adalah : tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tanggal 1 Mei 2004 di Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dua orang mahasiswa mengalami luka tembak dan lebih dari 80 mahasiswa menderita luka-luka. 6 Kasus PHK terhadap karyawan PT Dirgantara Indonesia (PT DI), Bandung bermula dari Keputusan Direksi untuk merumahkan 9600 karyawannya. Keputusan tersebut disusul dengan keputusan pemanggilan kembali 3039 karyawan untuk bekerja kembali dan mem-PHK-kan selebihnya yaitu 6561 karyawan.7. Kasus meninggalnya Munir, Direktur Eksekutif Imparsial, sebuah LSM yang bergerak di bidang HAM, pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda8 Peristiwa Wasior, Papua bermula dari terbunuhnya lima anggota Brimob dan seorang warga sipil di base camp perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa (CV VPP) di Desa Wondiboi, Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001. Para pelaku membawa lari enam pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas. Selama proses pencarian tersebut, telah terjadi tindak pembunuhan, penyiksaan, termasuk penyiksaan yang mengakibatkan kematian, penghilangan orang secara paksa, dan perkosaan di sejumlah lokasi, yang dilakukan oleh anggota Polri.9 Berdasarkan laporan tahunan Komnasham 2005, yang didasarkan pada laporan penelitian ILO, terdapat 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia mengalami putus sekolah dan menjadi
pekerja anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 19 persen anak-anak di bawah 15 tahun tidak bersekolah dan lebih memilih untuk menjadi pekerja. Survei yang dilakukan ILO mencakup 1.200 keluarga di lima provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa selain tidak terpenuhinya hak atas pendidikan dasar bagi anak-anak usia sekolah, juga terjadinya pelanggaran terhadap larangan penggunaan anak sebagai tenaga kerja. Laporan Tahunan Komnas HAM 2005 Angka perselisihan perburuhan meningkat seiring dengan memburuknya kondisi perburuhan sektor industri manufaktur. Di sejumlah provinsi di Indonesia, seperti Jawa Timur, terjadi unjuk rasa besar-besaran yang menuntut agar Upah Minimum Regional (UMR) disesuaikan dengan indeks kebutuhan hidup. Buruh juga menjadi sasaran kriminalisasi baik karena perjuangan hak berserikat maupun hak atas kesejahteraan. Berbagai pelanggaran hak buruh, seperti hak untuk memperoleh upah yang layak, hak berserikat dan hak atas kesejahteraan yang dijamin oleh peraturan perundangundangan nasional dan instrumen internasional mengenai HAM, menunjukkan kurang diperhatikannya kepentingan buruh.10

6 7

Laporan tahunan Komnasham tahun 2004, h. 57. Ibid., h. 60 8 Ibid., h. 66. 9 Ibid., h. 72. 10 Laporan tahunan Komnasham tahun 2005, h. 19-20

Selanjutnya berdasarkan laporan tahunan Komnasham 2006, para TKI meminta pemerintah menghapus terminal khusus TKI, di Terminal III di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta karena terjadi banyak praktik pungutan liar, pemerasan, penipuan, dan pelecehan seksual. Selain itu, tidak adanya akses publik ke Terminal III, membuat TKI tidak dapat dijemput keluarganya.11 Temuan penelitian Komnasham terhadap pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Gresik, Makassar, dan Samarinda. adalah belum diterapkannya K3, antara tidak dilakukannya pemeriksaan rutin mengenai kondisi kesehatan pekerja, tidak diterapkannya sistem manajemen K3 sebagai bagian yang integral dari sistem manajemen perusahaan, kurangnya ahli K3, lemahnya pengawasan baik dari pihak manajemen maupun Dinas Tenaga Kerja setempat, serta kurangnya pembinaan dan pelatihan terhadap hal-hal yang dapat berdampak buruk terhadap kesehatan serta keselamatan kerja.12 Masalah TKI sampai dengan tahun 2007, belum menunjukkan upaya perbaikan. Selama tahun 2007 terdapat pengaduan ske Komnasham sebanyak 42 kasus. TKI yang tidak digaji atau tidak mendapatkan upah, 27 kasus TKI yang tidak dipulangkan, 18 kasus TKI yang hilang kontak dengan keluarga atau kerabatnya, 13 kasus TKI yang mengalami kekerasan fisik, 5 kasus TKI yang mengalami pemerkosaan, 2 kasus TKI yang mengalami pemerasan, 1 kasus TKI yang mengalami tuduhan pembunuhan, 1 kasus TKI yang mengalami PHK, 2 kasus TKI yang mengalami trafficking, dan 1 kasus TKI di bawah umur. Dari kategori masalah TKI yang diadukan sebanyak 120 kasus yang diadukan secara perseorangan, dan 1 kasus yang mengadu secara kelompok.13 Dari banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia maka mendorong Negara untuk segera memenuhi kewajibannya membuat perangkat hukum yang mendorong terlaksananya hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai realisasi dari UU No. 11 tahun 2005 jo UU No. 12 tahun 2005.

Rujukan
Harjono, Politik hukum perjanjian internasional, Bina Ilmu, 1999.

11 12

Laporan tahunan Komnasham tahun 2006, h. 24. Ibid., h. 39-40 13 Laporan tahunan Komnasham tahun 2007, h. 101.

I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bagian I, , Mandar Maju, Bandung, 2002. I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bagian II, Mandar Maju, Bandung, 2002. Laporan tahunan Komnasham tahun 2004. Laporan tahunan Komnasham tahun 2005. Laporan tahunan Komnasham tahun 2006. Laporan tahunan Komnasham tahun 2007.

Anda mungkin juga menyukai