Anda di halaman 1dari 32

ABSES PERIAPIKAL DAN FOKUS INFEKSI

CASE REPORT Diajukan untuk Memenuhi Tugas P3D Pada Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut

Oleh : Grace Eka Putri Jimmy Vareta C11 05 0195 C11 05 0217

Preseptor : Treesje Ekajani, drg.

BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG 2007

ILUSTRASI KASUS

A. Keterangan Umum Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat Agama MedRec : Ny.T : 35 tahun : Perempuan : Ibu Rumah Tangga : Jl. Seke pondok III / 177, Bandung : Islam : 619777

Tanggal Pemeriksaan : 20 juni 2007

B. Anamnesis Keluhan Utama : Rujukan dari poli THT untuk mencari fokus infeksi Anamnesa khusus : Sejak 5 tahun yang lalu pasien mengeluh sering keluar cairan dari lubang hidung kirinya. Cairan yang keluar dari hidung pasien ini awalnya bening namun lama-kelamaan menjadi kuning. Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengaku cairan yang keluar dari hidungnya tersebut mengeluarkan bau tak sedap sehingga pasien merasa tidak nyaman. Karena keluhannya tersebut penderita berobat jalan ke poli THT RSHS dan dirujuk ke poli Gigi dan Mulut. Riwayat keluhan hidung tersumbat tidak ada. Riwayat sering bersin-bersin pada pagi hari atau cuaca dingin tidak ada. Riwayat keluar darah dari hidung tidak ada. Pasien mengaku jika gigi atasnya ada yang berlubang namun tidak terasa nyeri atau pun mengganggu saat ini. Riwayat sakit dan bengkak gigi sebelumnya diakui pasien namun pasien tidak berobat ke dokter gigi. Riwayat sakit gigi pada gigi yang lainnya juga diakui pasien namun juga tidak pernah berobat ke dokter gigi dan hanya minum obat-obatan warung untuk mengatasi keluhan nyeri. Riwayat kencing manis, darah tinggi, cepat lelah saat beraktivitas, dan alergi tidak ada. Riwayat alergi obat-obatan dan sakit maag tidak ada. Riwayat mual, buang

air kecil seperti teh, buang air besar seperti dempul dan penyakit kuning tidak ada. Riwayat batuk-batuk lama tidak ada. Riwayat makan obat-obatan dalam jangka waktu lama tidak ada. Riwayat minum jamu-jamuan tidak ada. Riwayat minum alkohol tidak ada. Riwayat merokok tidak ada. Kebiasaan makan-makanan manis dan lengket tidak ada. Kebiasaan menggunakan tusuk gigi tidak ada. Sikat gigi 2 kali sehari.

C. Pemeriksaan Fisik General Survey : : Compos Mentis. : 120/80 mmHg : 92 x/menit : 20 x/menit

Keadaan Umum Tekanan Darah Nadi Respirasi Ekstra Oral Intra Oral -

: KGB tidak teraba membesar :

Oral Higiene Bibir Mukosa bukal Gingiva Lidah Dasar mulut Palatum Tonsil

: buruk : tidak ada kelainan : tdak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : T1-T1 tenang

GIGI GELIGI Kuadran 1 x v x 8 7 6 5 8 7 6 V x x Kuadran 4 x 4 o 2 2 o 2 3 2 3

Kuadran 2 v x x x 4 5 6 7 8 4 5 6 7 8 x o v Kuadran 3

3 3

1 1

1 1

5 4

o Status lokalis : Gigi Karies Sondasi Dingin Perkusi Tekanan Palpasi Mobility Pocket
2.2 Profunda Tdk dilakukan

o Jaringan sekitar status lokalis : Tidak ada kelainan o Gambaran foto rontgen panoramic : Terlihat bayangan radiolusen pada daerah periapikal gigi 2.2 Tampak sisa akar pada gigi 1.7, 2.5, 3.8 dan 4.8

D. Diagnosis Banding : o Abses Periapikal Kronis 2.2 o Periodontitis Apikalis Kronis 2.2

E. Diagnosis Kerja o Abses Periapikal Kronis 2.2

F. Rencana perawatan : Pro Rontgen Panoramic Photo Pro Resep Pro Ekstraksi gigi 2.2 dan sisa akar

G. Terapi : o Panoramic photo o Resep :Amoksisilin 500 mg 3dd1 (5hari) Asam Mefenamat 500 mg 3dd1 prn o Konsul Eksodonsia

H. Konseling : Scalling Penambalan gigi yang karies Dental Health Education Ekstraksi sisa akar gigi Protesa gigi Kontrol 6 bulan sekali

J. Prognosis : (setelah terapi) 1. Quo ad vitam : ad bonam 2. Quo ad functionam : ad bonam

ANALISIS KASUS

A. Dasar Diagnosis Yang menjadi dasar dari diagnosis pada pasien ini adalah : a. Berdasarkan keterangan pasien pada anamnesis : o Penderita mengaku bahwa adanya gigi yang berlubang pada gigi bagian kiri atas namun tidak memberikan keluhan saat ini. o Penderita mengaku adanya riwayat sakit dan bengkak gigi sebelumnya namun pasien tidak berobat ke dokter gigi. b. Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan : o Adanya gigi karies profunda di gigi 2.2 c. Berdasarkan pemeriksaan Foto Panoramic ditemukan : o Terlihat bayangan radiolusen pada daerah periapikal gigi 2.2

Gambar Rontgen Panoramic Pasien Ny.T

B. Perjalanan Penyakit Perjalanan penyakit ini dapat dijelaskan dengan bagan sederhana sebagai berikut :
Infeksi dari periapikal kesadaran oral higene Plak

susunan gigi tidak teratur

Bereaksi dengan bakteri+karbohidrat (sukrosa)+gigi+waktu

Asam (dekalsifikasi & demineralisasi)

Karies Karies Insipien, superfisialis


(Iritasi Pulpa)

Karies media (Hiperemis Pulpa)

pulpitis reversibel

Karies profunda

Pulpitis irreversibel
pulpitis totalis

Pulpitis partialis

Klausa Daya tahan tubuh Daya tahan tubuh

Pulpitis kronis Aperta -P.Polip -P.Hiperplastika -P.Granulomatosa

Pulpitis akut

Nekrosis pulpa

Gangren pulpa

Periodontitis apikalis


abses periapikal
Fistula ke gusi (gumboil) Daya tahan tubuh Daya tahan tubuh

abses periapikal kronis


kista radikular

abses periapikal akut periosteal abses

Superiosteal abses

Menyebar dan menyerang tulang dan sum-sum tulang osteomyelitis

Tanpa menyerang&merusak sumsum tulang namun menembus permukaan tulang melalui canalis havers Menyerang jaringan ikat longgar (cellulites)

Menyerang jaringan pendukung lunak Gingival abses

Abses submukosa (vestibular abses)

Mengenai spasium lain: 1.Spasium maksila primer 2.Spasium fasial sekunder 3. Spasium fasial servikal

Supuratif Daya Tahan Tubuh Daya Tahan Tubuh Non supuratif

4. Spasium mandibula primer

Infeksi gigi anterior mandibula menembus spasium submental abses submental

Gigi molar dan premolar mandibula menembus diatas pinggir m.milohioid abses sublingual

Gigi molar dan premolar mandibula menembus dibawah pinggir m.milohioid abses submandibula

Mengenai ke3 spasium secara bilateral flegmon

C. Penatalaksanaan Penanganan abses periapikal ini meliputi : 1. Tindakan pembedahan Prinsip utama dari penanganan abses periapikal adalah melakukan pembedahan untuk drainase dan menghilangkan penyebab infeksi. Tujuan utama pembedahan yaitu untuk menghilangkan sumber infeksi yang biasanya berupa pulpa yang nekrotik. Tujuan kedua yaitu untuk melakukan drainase untuk kumpulan pus dan jaringan nekrotik. Jika gigi tidak dapat diselamatkan, maka harus segera dilakukan pencabutan. Ekstraksi menghilangkan sumber infeksi dan memberikan drainase terhadap kumplan pus dan jaringan nekrotik. Insisi pada abses memberikan drainase dan pengeluaran bakteri dari jaringan di bawahnya. Selain itu drainase juga mengurangin ketegangan jaringan sehingga meningkatkan aliran darah dan aliran zat-zat yang berguna untuk pertahanan tubuh pada lokasi infeksi. 2. Terapi antibiotika Antibiotika sebagai salah satu bentuk terapi pada periapikal abses mempunyai manfaat yang sangat besar. Bila diperlukan pemberian antibiotika, langkah awal dalam pemilihan jenis antibiotika dapat dilakukan secara empiris. Sekitar lebih dari 90% bakteri penyebab infeksi orofasial adala golongan streptococcus aerob dan anaerob, peptococcus, fusobacteria, bacteriodes, dan beberapa jenis bakteri lainnya. Antibiotik yang dapat dipilih adalah : Pensillin Eritromisin Klindamisin Sefadroksil Metronidazole Tetrasiklin

10

BAB I PENDAHULUAN

Fokus infeksi didefinisikan sebagai area atau jaringan terlokalisir yang terinfeksi oleh mikroorganisme patogen, sering berlokasi di mukosa atau dipermukaan kulit. Sedangkan fokal infeksi merupakan metastase baik

mikroorganismenya sendiri atau toksin mikroba dari suatu fokus infeksi yang menyebar menjadi infeksi sekunder ke berbagai jaringan dan organ tubuh. Fokus infeksi dapat berasal dari tonsil, rongga mulut, sinus, prostat, apendiks, kandung empedu, ginjal, serta rongga mulut. Infeksi pada mulut yang dapat mencetuskan fokal infeksi yang kronis, antara lain pulpitis kronis, peridontitis apikalis kronis, abses periapikal kronis, periodontitis marginalis kronis. Kaitan antara infeksi oral dan infeksi sistemik bukan merupakan hal yang baru. Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Hipokrates menduga bahwa infeksi pada mulut menyebabkan arthritis. Pada abad ke-19, para ahli mengajukan teori infeksi fokal dengan premis bahwa penyakit kronis dapat disebabkan oleh infeksi oral. Pada tahun 1900, William Hunter pertama kali menyatakan bahwa mikroorganisme oral bertanggungjawab pada penyakit sistemik dan mengklaim bahwa mempertahankan karies dapat menyebabkan pengumpulan agen infeksius. Hunter juga

mengidentifikasi karies, nekrosis pulpa, abses periapikal, gingivitis, dan periodontitis sebagai fokus infeksi. Sehingga dia menganjurkan untuk mengekstraksi kondisi gigi tersebut untuk mengatasi maupun mencegah sepsis. Mekanisme umum yang memungkinkan terjadinya suatu fokal infeksi adalah adanya metastase mikroorganisme dari fokus infeksi melalui jalan perkontinuitatum, hematogen dan limfogen, atau adanya toksin mikroba yang terbawa aliran darah atau aliran limfe dari suatu fokus infeksi ke tempat yang lebih jauh, dimana toksin tersebut akan menyebabkan reaksi hipersensitivitas pada jaringan. Berdasarkan kasus-kasus yang dilaporkan, penyakit sistemik yang berkaitan langsung dengan infeksi oral adalah : (1) arthritis (Rheumatoid Arthritis dan Rheumatic Fever), (2) valvular heart disease (Infective/Subbacterial Endocarditis),

11

(3) penyakit gastrointestinal, (4) penyakit mata (mis. Uveitis), (5) penyakit kulit (mis. dermatitis numularis), (6) penyakit ginjal (mis. glomerulonefritis), (7) sinusitis.

Gambaran fokus infeksi pada mulut yang dapat mencetuskan fokal infeksi: Pulpitis kronis Tampak gambaran gigi karies dengan massa berwarna merah yang merupakan polip pulpa

Tampak pembentukan polip pulpa, atap pulpa telah perforasi mengalami

12

Periodontitis apikalis kronis

Tampak gambaran lesi radiolusen pada daerah apikal gigi molar

Abses periapikalis kronis

Tampak gambaran lesi berupa pustule yang merupakan keluar fistula saluran pada

abses periapikal kronis

13

Tampak

gambaran

radiolusen di daerah ujung akar

Periodontitis marginalis kronis

Tampak tanda-tanda periodontitis marginalis berupa destruksi membran periodontium yang menyebabkan gigi menjadi goyang, saku gusi bertambah dalam, gusi menjadi resesi, gigi memanjang, dan adanya tandatanda gingivitis marginalis

14

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Sinusitis 2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Sinusitis merupakan penyakit yang telah dikenal luas oleh orang awam dan merupakan penyakit yang sering dieluhkan. Keberhasilan terapi pada sinusitis tergantung dari berbagai faktor. Hal tersebut memerlukan penatalaksanaaan yang teliti agar penyakit ini tidak berlanjut serta menimbulkan komplikasi. Anamnesis yang teliti, pemeriksaaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang memadai, pengetahuan tentang mikrobiologi sinus serta pengenalan terhadap faktor predisposisi merupakan hal yang penting. Sinusitis adalah suatu inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasalis. Klasifikasi sinusitis dibuat berdasarkan ; 1. Gejala kliniknya (akut,subakut,kronik) 2. Lokasi anatomik yang terkena. 3. Organisme yang bertanggung jawab ( virus,bakteri,jamur) 4. Ekstra sinus yang terkena 5. Faktor yang memperberat/penyebab spesifik, misal : atopi, imunosupresi atau obstruksi osteomeatal. Menurut Spector dan Benstein (1998) klasifikasi sinusitis adalah 1. Sinusitis akut : Gejala berlangsung selama 3-4 minggu, gejala yang ditimbulkan meliputi infeksi saluran pernafasan atas yang menetap, adanya rhinorea yang purulen, post nasal drip, anosmia, sumbatan hidung, nyeri fasial, sakit kepala, demam dan batuk. 2. Sinusistis kronik: Gejala timbul lebih dari 4 minggu. Beberapa penderita tidak memberikan gejala yang khas sehingga umumnya ditemukan kelainan CT atau MRI.

15

3. Sinusitis rekuren : Bila episode sinusitis akut berulang hingga 3-4 kali dalam satu tahun dan kemungkinan disebabkan oleh infeksi yang berbeda pada setiap episodenya.

2.1.2. Anatomi Sinus paranasalis berkembang sebagai suatu rongga berisi udara di sekitar rongga hidung yang dibatasi oleh tulang wajah dan kranial. Terdapat 8 sinus paranasalis yaitu 4 disebelah kanan dan 4 disebelah kiri, yaitu sinus frontalis, sinus etmoidalis anterior dan posterior, sinus maksilaris serta sinus spheinodalis.

16

SINUS MAKSILA Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah processus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1. Dasar dari anatomi sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehigga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. 2. Sinusitis maksila dapat menimbulka komplikasi orbita. 3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

SINUS FRONTAL Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.

Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kana dan kiri biasanya tidak simetris satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%

17

orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontalis berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.

SINUS ETMOID Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ii dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2-4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara koka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmiod anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyenpitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau

18

peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundubulum dapat menyebabkan sinusitis maksilaris. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatassan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

SINUS SFENOID Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuliuh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.

KOMPLEKS OSTIO-MEATAL Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksilaris, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamaka kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulu etmoid yang terdapat di belakang processus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

2.1.3. Fisiologi Sinus paranasalis merupakan rongga berisi udara yang dilapisi mukosa epithelium pseudostratife bersilia diselingi sel-sel goblet. Silia tersebut menyapu

19

cairan mukus kearah ostia. Penyumbatan ostia sinus akan mengakibatkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenase sinus dan tekanan udara sinus. penurunan oksigenase sinus akan menyuburkan pertumbuhan bakteri anaerob. Tekanan pada rongga inus yang menurun akan menimulkan rasa nyeri daerah inus terutama sinus frontal dan sinus maksilaris. Fungsi sinus paranasal : Menghasilkan dan membuang mukus Mengatur tekanan intranasal Resonansi suara Memanasakan dan melembabkan udara inspirasi Bertindak sebagai Shock absorben kepala untuk melindungi organ-organ yang sensori. Membantu pertumbuhan dan bentuk muka Mempertahankan keseimbangan kepala.

2.1.4. Patofisiologi Patofisiologi sinusitis berhubungan dengan tiga faktor yaitu patensi dari ostia sinus, fungsi silia, kualitas dari sekresi nasal. Berikut tabel yang memeperlihatkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan patologi sinusitis:

Ostial patency Edema: Allergens Infection (viral/bacterial) Polyps: Atopy Cystic fibrosis Chronic infection

Cilliary function Decreased frequency Cilliotoxins(viral/bacterial) Cold air Loss of cilliary

Mucus beat Changes in quantity Allergens Airway irritant/pollutant Goblet cell metaplasia metachronous Changes in quality Abnormal water-electrolyte transport Dehydration

coordination Scarring Synecchia

20

Structural factors: Septal deviation Hallers cell Concha bulosa Nasal packs Nasal tube

Loss of cilliated cell Airway irritant/pollutant Increased intranasal airflow Inflammatory mediators Viral/bacterial-mediated death surgical cell

Cystic fibrosis

Adapun faktor predisposisi dari sinusitis adalah: A. Lokal maupun regional Kegagalan transpor mukosilier karena udara yang dingin atau kering, serta beberapa obat-obatan. Infeksi gigi terutama bagian apikal, merupakan penyakit regional yang paling sering menyebabkan sinusitis yang supuratif. Adanya gangguan di hidung atau trauma wajah (mid-face) Kelainan septum yang berat, akan menyebabkan obstruksi mekanik. Khoanal atresia akan menyebabkan drainase hidung terganggu. Edema karena infeksi traktus respiratorius bagian atas yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus dan menyebabkan bakteri masuk ke sinus sehingga menghasilkan sinusitis yang supuratif Barotrauma atau perubahan tekanan akibat perjalanan di udara, berenang atau menyelam, dapat menyebabkan edema ostium sinus, juga saat berenang, bakteri dapat masuk melalui air kehidung dan sinus. Polip hidung, benda asing, maupun tampon hidung, dapat menyebabkan gangguan ventilasi sinus. Tumor hidung. Sindroma imotil atau diskinesia silia

21

B. Sistemik Malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes melitus yang tidak terkontrol, diskrasia darah, kemoterapi, dan faktor lain yang menyebabkan penurunan status metabolik. Infeksi nosokomial. Defesiensi imun yang berat.

2.1.5. Manifestasi Klinik 1. Sinusitis akut : nyeri yang berhubungan dengan lokasi sinus terkena, obstruksi nasal, nasal discharge dapat berupa mukopurulen berwarna kuning kehijauan, gejala sistemik seperti panas, malaise, lethargi. 2. Sinusitis kronik: nasal discharge yang mukopurulen, nasal obstruksi yang jelas, nyeri dan gejala sistemikjarang ada. Sinusitis di sphenoid dan ethmoid, dapat menyebabkan gejala nyeri di verteks, oksipital atau parietal, juga nyeri di nasal atau retrobulbar serta dapat menjalar ke leher dan bahu.Infeksi dapat menyebar ke sinus lain karena osium dari semua sinus terletak dalam daerah sempit meatus media pada kompleks osteomeatal. Proses inflamasi yang melibatkan semua sinus disebut pansinusitis. Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan ; edema mukosa dan eritema. Tampak mukopurulen discharge. Nyeri palpasi di lokasi sinus yang terkea seperti di pipi atau muka. Periorbital edema Pada anak-anak : adakah nafas berbau. Nasofaring : obstruksi adenoid, tumor, khoanal atresia, post nasal discharge. Telinga, hidung dan tenggorokan : otitis media atau otitis media serosa Gigi : karies.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Transluminasi : untuk sinus maksilaris dan frontalis.

22

Nasal endoskopi lokal.

: dapat melihat sinus dan mencari faktor predisposis

Sinoskopi dengan kultur, biopsi, ataupun lavage dapat dilihat melalui anterior maxilla puncture.

Radiologi

2.1.7. Penatalaksanaan 1. Terapi medikamentosa: Antibiotika minimal 10 hari, biasanya dapat sampai 3 minggu atau lebih. Topikal dan sistemik dekongestan, untuk 23ocal23oti dan drainase pus sinus dengan cara mengurangi edema 23ocal23. Antihistamin, tidak dianjurkan pada pasien tanpa predisposisi alergi. Analgetik Humidifikasi, dapat berupa uap hangat atau dingin. Mukolitik atau ekspektoran, untuk sekresi yang banyak. Irigasi nasal dengan saline seperti prosedur proetz.

2. Terapi pembedahan Untuk drainase sinus. Irigasi sinus : terutama untuk sinus maksilaris, dilakukan bila tampak mukopurulen pada pasien imunosupresi, sinusitis akut yang tidak sembuh dengan terapi antibiotika. 3. Terapi faktor penyebab

2.2. Arthritis ( Rheumatoid 2.2.1. Definisi

Arthritis)

Arthritis didefinisikan sebagai pembengkakan atau efusi pada sendi, dan atau adanya 2 tanda pada sendi y.i : katerbatasan gerakan, nyeri tekan atau nyeri pada pergerakan, pada palpasi dirasakan lebih panas (kalor). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah kelompok penyakit yang ditandai dengan arthritis kronis disertai sejumlah manifestasi ekstra artikuler.

23

2.2.2. Etiologi Etiologi dari RA tidak diketahui karena kuman tidak dapat dikultur dari sendi. Pasien sering kali memiliki titer yang tinggi terhadap Streptococcus hemolitikus grup A. Diduga merupakan reaksi hipersensitivitas jaringan sebagai akibat dari reaksi inflamasi.

2.2.3. Epidemiologi RA dapat mengenai semua usia, tetapi paling sering terjadi awal 4 dan 5. Wanita : pria = 3:1. Ada beberapa gaya hidup yang dikaitkan dengan peningkatan kejadian RA, tetapi bukanlah penyebab RA secara langsung, misalnya : merokok, mengkonsumsi daging merah dalam jumlah besar, minum kopi secara berlebihan. Telah dilaporkan pula pasien dengan keluhan arthritis kronis dan pulpitis kronis. Setelah dilakukan ekstraksi pada gigi yang diduga sebagai 24ocal infeksi (pulpitis kronis), diperoleh Rheumatoid factor menjadi dan pasien tersebut bebas dari gejala setelah 16 tahun kemudian.

2.2.4. Patofisiologi Patofisiologi RA masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Ditemukan adanya reaktivitas sel limfosit T dalam darah dan cairan sinovial terhadap beberapa antigen bakteri, di samping beberapa penelitian lainnya memperlihatkan peranan (HLA) dan reaktivitas imun selular. Beberapa teori fokal infeksi sebagai etiologi dari Rheumatoid Arthritis : Infeksi Streptokokus pada tenggorokan, sinus nasalis, dan tonsil dapat mencetuskan manifestasi klinis RA baik sebagai serangan inisial maupun rekuren. Penyembuhan yang cepat terjadi setelah dilakukannya pengangkatan fokal infeksi.

24

Gambaran patologi dan anatomi jaringan limfoid pada infeksi tonsil, sinus, dan abses periapikal memungkinkan sirkulasi darah masuknya produk toksin ke dalam

Bakteriemi dapat terjadi segera setelah tonsilektomi, ekstraksi gigi, atau setelah pemijatan berlebihan pada gusi.

Teori yang bertentangan dengan teori diatas : Sering kali pada RA tidak ditemukan focal infeksi Umumnya setelah pengangkatan fokal infeksi tidak tampak perbaikan Antibiotik dan vaksin tidak memberikan efek terapi yang memuaskan Beberapa penderita yang menderita penyakit selain RA atau orang sehat memiliki fokal infeksi yang sama dengan penderita RA

25

2.2.5. Manifestasi Klinis Nyeri, bengkak,dan sakit pada sendi merupakan keluhan utama pasien RA. RA juga menyebabkan kekakuan sendi, terutama setelah inaktivitas yang cukup lama. Kekakuan ini sering juga muncul di pagi hari yang lamanya lebih dari 1 jam. Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnosi penyakit imunologik ini.

Kriteria RA menurut American Rheumatism Associated (Revised,1987). Untuk menegakkan diagnosis RA harus didapatkan 4 atau lebih dari berikut ini: 1. Kaku pagi hari selama paling sedikit 1 jam, dan telah berlangsung paling sedikit 6 minggu. 2. Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih selama paling sedikit 6 minggu. 3. Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih.

26

4. Pembengkakan sendi yang simetris. 5. Pemeriksaan tangan menunjukkan perubahan khas RA; harus didapati erosi atau dekalsifikasi tulang yang nyata. 6. Nodul rheumatoid. 7. Serum rheumatoid positif

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang Radiologi Laboratorium : pemeriksaan serum rheumatoid

2.2.7. Penatalaksanaan Terdapat tiga cara dalan penatalaksanaan RA : 1. Memelihara sendi, dalam arti menjaga kesimbangan antara istirahat sendi dan aktivitas sendi, serta fisioterapi. 2. Farmakoterapi: non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), diseasemodifying anti-rheumatic drugs (DMARDs), dan kortikosteroid. 3. Pembedahan : tidak selalu dibutuhkan, bervariasi dari bedah minor berupa pembebasan saraf atau tendon, hingga bedah mayor replacement. berupa joint

2.3.

Valvular Heart Disease (Infective Endocarditis)

2.3.1. Definisi Infective Endocarditis (IE) merupakan terminologi umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu inflamasi pada daerah endokardium terutama pada katup jantung. infeksi pada lapisan jantung yang menyebabkan vegetasi pada katup jantung. 2.3.2. Etiologi Penyebab IE adalah bakteri, virus, jamur, riketsia, dan parasit. Sedangkan penyebab paling sering adalah Streptococcus sanguis, Strep. Bovis, Strep. Mutans, and Strep. Mitis yang diisolasi dari pasien endokarditis.

27

2.3.3. Epidemiologi Elliot melaporkan kejadian endokarditis pada 13 dari 56 pasien (23%) mempunyai riwayat operasi gigi sebelumnya. Geiger melaporkan pada 12 dari 50 pasien endokarditis mempunyai riwayat ekstraksi gigi sebelumnya. Bay melaporkan pada 6 dari 26 kasus endokarditis mempunyai riwayat ekstraksi gigi. Barnfield 6 dari 92 kasus endokarditis berkaitan dengan ekstraksi gigi. Endokarditis bakterialis dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah ekstraksi gigi. 2.3.4. Patofisiologi Untuk berkembangnya suatu endokarditis harus terdapat kerusakan dan bakteriemia. Jika mengalami kerusakan namun tidak terdapat bakteriemia maka tidak akan terjadi endokarditis, begitupula sebaliknya. Bakteriemia pada endokarditis secara spontan terjadi karena mengunyah makanan atau menyikat gigi, atau dapat juga berasal dari infeksi fokal seperti infeksi periodontal atau infeksi periapikal. Tindakan pembedahan atau instrumensasi gigi juga dapat menyebabkan bakteriemia. 2.3.5. Manifestasi Klinis Demam (80-85%), nyeri dada, atralgia atau mialgia, sesak nafas, anoreksia, penurunan berat badan, malaise, keringat malam, dan hemoptisis. Pemeriksaan fisik yang cukup penting adalah ditemukannya murmur yang merupakan petunjuk lokasi keterlibatan katup. Pemeriksaan fisik lain ditemulkan pembesaran limpa pada 15-50% pasien, kelainan kulit antara lain ptekie, Oslers node, lesi Janeway berkisar antara 3-25%. 2.3.6. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : Anemia, leukositosis, peningkatan LED dan C-reaktif protein. Ekokardiografi

28

2.3.7. Penatalaksanan Pemberian antibiotik setelah ekstraksi gigi dapat mencegah terjadinya bakteriemia. Standar profilaksis dalam gigi dan mulut adalah Amoxicillin s.d, p.o (2g untuk dewasa dan 50mg/kgBB untuk anak-anak). Klindamisin dan antibiotik lainnya boleh dipertimbangkan bagi pasien yang alergi penisilin. Pemberian antibiotik profilaksis pada Subbakterial Endokarditis Keadaan Profilaksis standar Obat Amoksisilin Profilaksis 50mg/kgBB p.o 1 jam sebelum tindakan Tidak dapat minum obat Ampisilin 50mg/kgBB 30menit tindakan Alergi Penisilin Klindamisin atau 20mg/kgBB p.o 1 jam sebelum tindakan Sefaleksin/Sefadroksil 50mg/kgBB p.o 1 jam sebelum tindakan Alergi Penisilin dan Azitromisin/Klaritromisin 15mg/kgBB i.v 1 jam sebelum tindakan Klindamisin atau 20mg/kgBB i.v 30menit sebelum tindakan Sefazolin 25mg?kgBB 30menit tindakan i.v/i.m sebelum i.v/i.m sebelum

tidak dapat minum obat

Rekomendasi profilaksis pada prosedur gigi : Prosedur gigi yang direkomendasikan mendapat antibiotik profilaksis Ekstraksi gigi Prosedur periodontal meliputi pembedahan, scalling, root planning, probing, dan pemeliharaan Penempatan dental implant dan reimplantasi gigi yang avulse Instrumentasi endodontik (root canal) atau pembedahan di atas apeks

29

Pemasangan fiber subgingival Pemasangan awal orthodontic bands, tetapi bukan bracket Injeksi intraligamentun Pembersihan pencegahan pada gigi atau implant apabila terdapat perdarahan

Prosedur gigi yang tidak direkomendasikan mendapat antibiotik profilaksis Restorasi gigi (operasi atau prostodontik) dengan atau tanpa retraction cord Injeksi anestesi lokal (non intraligamentum) Perawatan endodontik intrakanal Pemasangan rubberdams Pengangkatan jahitan pasca operasi Pemasangan prostodontik yang dilepas (removable) atau piranti ortodontik Pencetakan gigi Terapi fluoroid Radiografi oral Pemasangan piranti kawat gigi ortodontik Pencabutan gigi primer

Gambaran endokarditis (tampak adanya vegetasi di daerah katup)

30

DAFTAR PUSTAKA 1. Goldman HM, Girlin RJ. Thomas Pathology Vol. 1.6 thedition. St. Louis: The C.V Mosby Company. 1970.p.235 2. Mealey BL, Klokkevold PR. 2002. Chapter 13: Periodontal Medicine in Carranzas Clinical Periodontology Ninth Edition. WB Saunders Company: Philadelphia. p.230. 3. Rote NS, Huether SE. 2006. Infection in Pathophysiology The Biologic Basis for Diseases in Adults and Children Fifth Edition. Elsevier Mosby: St. Louis. p.293-303. 4. Becker W, Waumann HH, Pfaltz CR. 1994. Ear, Nose, and Throat Diseases Second Revised Edition. Thieme : Stuttgart. p.224-244, 337-343. 5. Yardley K. 2004. Ear, Nose, and Throat Diseases in Human Disease for Dentists. Blacwell: Munksgaard. p.127-130. 6. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. 1995. Section VIII: Evaluation and Management of The Patient with Joint Disese. WB Saunders Company: Philadelphia. 7. Winfield J, Akil M. 2004. Rheumatological Diseases in Human Disease for Dentists. Blacwell: Munksgaard. p.140-142. 8. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. 1995. Section III: Evaluation and Management of The Patient at Risk for Bacterial Endocarditis in Principles and Practice of Oral Medicine. WB Saunders Company: Philadelphia. 9. Channer K. 2004. Cardiovascular Diseases in Human Disease for Dentists. Blacwell: Munksgaard. p.41-43. 10. Brashers VL. 2006. Alterations of Cardiovascular Function in Pathophysiology The Biologic Basis for Diseases in Adults and Children Fifth Edition. Elsevier Mosby: St. Louis. p.1124-1128.

31

Anda mungkin juga menyukai