Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH PENDIDIKAN ISLAM (MASA PENJAJAHAN HINGGA REFORMASI)

Disusun Oleh :

Dosen Pembimbing :

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QURANIYAH (STIT-Q) MANNA BENGKULU SELATAN


JL. Affan Bachsin No. 29 Manna

TA. 2011/2012

KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur selalu penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penyusun, sehingga tugas ini tepat pada waktunya dapat terselesaikan. Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak karenanya penyusun menghaturkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing Mata kuliah dalam penyusunan Tugas ini. Dan Rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dan pada akhirnya penyusun berharap, makalah ini dapat menambah khasanah dan wawasan bagi kita semua. Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini.

Manna, April 2012 Penyusun

ii

DAFTAR ISI

Halaman Judul Kata Pengantar Daftar Isi

. . .

i ii iii 1 1 3 4 4 7 13 23 30 38

BAB I. Pendahuluan . A. Latar Belakang . B. Tujuan .. BAB II. Pendidikan Islam...................... A. Pendidikan Islam Masa Penjajahan Belanda. B. Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang C. Pendidikan Islam Masa Kemerdekaan (Orde Lama).. D. Pendidikan Islam Masa Orde Baru.. E. Pendidikan Islam Masa Reformasi.. BAB III. Kesimpulan ..

Daftar Pustaka

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan generasi penerus bangsa yang siap melanjutkan estafet perjuangan bangsa Indonesia. Dalam perkembangan sejarah, pendidikan di Indonesia telah berlangsung sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI. Dalam banyak referensi desbutkan bahwa tonggak-tonggak sejarah pendidikan di Indonesia dimulai dari munculnya organisasi Budi Utomo (1908) Kebangkitan Nasional (1928), masa kemerdekaan (1945-1955), masa orde lama (1955-1967), masa orde baru (1967-1997) hingga masa reformasi saat ini. Sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada mulanya didasarkan pada sistem kedaerahan dan tentu saja tidak terkoordinir dan terpusat seperti sekarang ini, sebab tiap-tiap daerah berusaha melancarkan pendidikan dan pengajaran islam menurut daerahnya masing-masing. Karenanya pendidikan islam antara daerah yang satu akan berbeda dengan daerah alainnya. Organisasi islam pada waktu dulu mungkin baru merupakan perkumpulan beberapa orang melakukan keinginan bersama untuk menyebarkan ajaran islam. Penyebaran itu dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi dari rumah agar tidak dicurigai atau dianggap menentang norma-norma yang sudah kuat dipegang oleh penguasa dan diikuti oleh masyarakat pada umumnya. Begitulah gambaran keadaan kegiatan penyiaran sekaligus pelaksanan pendidikan islam yang berjalan secara sangat sedrhana dan tidak menemui kendala yang cukup berarti, sampai datangnya imperialis belanda barat, di mana misi kedatangannya tidak hanya dalam rangka berdagang plus menguasai daerah yang ia datangi, tetapi juga membawa misi lainnya yaitu kristenisasi. Sehingga wajar bila kedatangan bansa barat ini menimbulkan reaksi dan pertentangan di mana-man kepulauan nusantara ini, karena apa yang mereka

lakukan disamping merugikan penduduk pribumi, juga merusak tatanan social budaya masyarakat yang sudah ada. Dalam makalah kami akan membahas pendidikan islam pada masa Belanda. Mendeskripsikan tentang kebijaka-kebijakan koljnial Belanda terhadap pendidikan islam dan mengidentifikasi adanya perbedaan pendidikan. Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Bangsa Jepang bercita-cita besar, menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Menurut rencana tersebut Jepang menginginkan menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, daratan Cina, kepulauan Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo Cina dan Rusia. Perkembangan ekonomi dan industri Jepang memberi gambaran bahwa tampaknya perluasan daerah itu mutlak diperlukan. Oleh karena itu rencana kemakmuran bersama Asia Raya dianggap sebagai suatu keharusan, dan oleh kalangan militer diterima dan disambut dengan hangat karena menjanjikan adanya prestise kepahlawanan dan dedikasi. Dengan demikian maka kejayaan dan masa keemasan kaum penjajah Belanda hilang lenyap sekaligus, ketika pada tanggal 8 Maret 1942 mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia, Jepang mulai menguasai Indonesia. Yang merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan tenaga manusia yang kaya, yang besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik, dan hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Selanjutnya Indonesia memasuki alam baru di bawah pemerintahan Jepang. Pada masa pra-kemerdekaan, pendidikan Islam lebih banyak

didominasi atau diselenggarakan dan diadakan di pesantren-pesantren. Setelah Indonesia merdeka, dunia pendidikan Islam semakin menunjukkan

eksistensinya, dan bahkan dalam beberapa hal mengalami perubahanperubahan. Sehingga dunia pendidikan Islam yang berkembang saat ini, tidak

sepatutnya melupakan atau menafikan keberadaan pendidikan Islam pada masa Orde Lama. Pemerintah pada masa Orde Lama yang dalam tulisan ini dimaksudkan kepada rentang waktu 1950 sampai dengan 1966 diberi tugas oleh UndangUndang Dasar 1945 untuk mengusahakan agar terbentuknya suatu system pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh karena itu, pastilah sejarah mencatat bagaimana pemerintah Orde Lama memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pendidikan islam pada masa orde baru melanjutkan konsep dasar pendidikan islam pada masa ordelama dilihat dari tidak adanya perubahan konsep dasar pendidikan islam pada masa ini. Pengembangan yang dilakukan diisesuaikan dengann perubahan politik dan perkembangan teknologi.

B. Tujuan Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pendidikan Islam dari masa Penjajahan hingga Saat ini antara lain yaitu : a. Pendidikan Islam pada masa Penjajahan Belanda b. Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Jepang c. Pendidikan Islam Pada Masa Kemerdekaan (Orde Lama) d. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru e. Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi Sehingga kami selaku penyusun dapat memahami dan mengerti tentang perkembangan dan Konsep perdidikan Islam dari masa ke masa.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pendidikan Islam Masa Penjajahan Belanda Pada mulanya kedatangan orang-orang asing belanda keindonesia adalah untuk menjalin hubungan perdangangan dengan bangsa Indonesia. Sambil, berdagang belanda berupaya menancapkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia.lambat laun belanda berhasil memperkuat penetrasinya di nusantara. Belanda tidak hanya memonopoli perdagangan dengan bansa Indonesia, namun satudemi satu belanda berhasil menundukan pengusaan-penguasaan local, kemudian merampas daerah-daerah tersebut. Kedalam kekusaanya selanjutnya berlangsunglah sistem penjajahan. Pemerintah belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619, yaitu ketika Jan Pieter Zoan Coen menduduki Jakarta. Kemudian belanda, satu demi satu, memperluas jangkauan jajahanya dengan menjatuhkan penguasa didaerah-daerah. Kehadiran belanda dijawa tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekankan politik dan kehidupan kegamaan rakyat, penetrasi belanda menghancurkan elemen-elemen kehidupan perdagangan orang jawa, kegiatan umat islam dalam politik. Berikutnya, segala aktivitas umat islam yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan ditekan. Upacara-upacara keagamaan yang secara terbuka dilarang. Khawatir akan bahaya setiap kebencian dan permusuhan umat islam, Belanda mulai memberikan edikit kelonggaran terhadap uamat islam dengan mencabut resolusi-resolusi dan oronasi yang membatasi pengalaman agama islam.1 Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama yang mereka sesuaikan dengan prinsip-prinsip yang mereka pegang sebagai kaum

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Pamulung Timur,: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.150-151 4

imperialis dan kolonialisme yaitu kebaratbaratan(weternisasi) dan misi kristenisasi. Kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri terutama kepentingan Kristen. Ketika Van DenBoss menjadi gubernur jenderal dijakarta pada tahun 1831, keluarlah sebagai sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan. Sebagai sekolah pemerintah. Sedangkan departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu, sementara disetiap daerah karasidenan didirikan satu sekolah agama Kristen. Inisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntutkan bagi penduduk pribumi adalah ketika Van Den Capellen menjabat sebagai gubenur jenderal, dimana pada waktu dia memberikan edaran yang ditunjukan kepada para bupati yang isinya adalah dianggap penting untuk secepatnya mengadakan peraturan pemerintah yang

menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan rukun Negara yang diterapkan bela meskipun belanda mendirikan lembaga pendidikan untuk kalangan pribumi, tapi semua demi kepentingan mereka semata. Surat edaran yang dibuat diatas adalah menggambarkan tujuan dari didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama islam yang telah ada dipondok pesantren, masjid, musholah, atau yang lainnya tidak membantu pemerintah belanda menjadi acuan pada waktu itu. Dengan begitu mereka terapkan berbagai peraturan dan kebijakan diantaranya: 1. Pada tahun 1882 pemeritah belanda membentuk suatu badan khusus pendidikan islam yang mereka sebut priesterraden. Dari nasihat badan inilah pada tahun 1902 pemerinatah belanda mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikn pengajaran atau pengajian agama islam harus terlebih dahulu meminta izin kepda pemerintah belanda. 2. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiai) boleh memberikan

pelajaran mengaji terkecuali telah mendapat semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah belanda. 3. kemudian pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah belanda yang disebut ordonasi sekolah liar (wilde school ordonantie)2 Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan model barat membawa arti positif bagi perkembangan pendidkan islam dan kemajuan masyarakat terjajah. Orang-orang pribumi yang belajr disekolah-sekolah belanda menjadi mengenal sistem kelas, pemakaian meja dan bangku, metode belajr mengajar modern, dan ilmu pengetahuan. Selain itu mereka juga mengenal surat kabar atau majalah yang sangat bermanfaat untuk mengikuti perkembangan zaman. Akhirnya dapat melahirkan muslim yang memiliki pola pikir dan wawasan rasional. Pandangan rasionallah yang menjadi salah satu pendorong untuk mengadakan pembaharuan diberbagai bidang, diantarnya adalah perubahan dibidang kegamaan. 3 Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dimasuki ole hide-ide pembaharuan pemikir islam, sekaligus ide-ide juga memasuki dunia pendidikan. Salah satuyang terlihat dari pembaharuan pendidikan itu adalah munculnya uapya-upaya pembaharuan dalam bidang materi, metode. Bidang materi tidak hanya sematamata berorentasi kepada mata pelajaran agama dimasukan pula mata pelajran umum. Metode pengajaran telah bervariasi, tidak lagi sorogan, wetonan, hafalan sekaligus pola pembaharuan juga berkaitan dengan mengubah system nonklasikal menjadi klasikal sejalan dengan itu pemantapan administrasi pendidikan pun secara bertahap mulai dilaksanakan.
2

Drs Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hlm 51-52 3 Harun Asrohah, Op.cit.h. 154 6

Dampak dari munculnya ide-ide pembaharuan dalam bidang islam yang tidak lagi beriorentasi pilah antara ilmu agama dan umum, tetapi setidaknya walaupun belum seimbang, sudah memunculkan pemikiran untuk mengangap penting kedua ilmu tersebut. Fenomena inilah yang berlangsung pada awal abad ke-20 dan ini menjadi dasar bagi pengembangan penyatuan kedua ilmu ini untuk seterusnya. Bila diklasikasikan bentuk dan jenis lembaga pendidikan islam pada masa penjajajhan belanda pada awal dan pertengahan abad ke-20, adalah: 1. lembaga pendidikan pesantren yang masih berpegang secara utuh kepada budaya dan tradisi pesantren, yakni mengajarkan kitab-kitab klasik semata-mata. 2. lembaga pendidikan sekolah-sekolah islam, di lembaga ini di samping mengajarkan ilmu-ilmu umum sebagai materi pokoknya, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama. 3. lembaga pendidikan madrasah, lembaga ini adalah mencoba mengadopsi sistem pesantren dan sekolah, dengan menampilkan sistem baru. Ada unsur-unsur yang diambil dari pesantren dan ada pula unsure-unsur yang diambil dari sekolah.4

B. Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang Kejayaan penjajah Belanda lenyap setelah Jepang berada di Indonesia. Mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Tujuan Jepang ke Indonesia ialah menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya.5 Mengenai pendidikan zaman jepang disebut Hakko Ichiu, yakni mengajak
4

bangsa

Indonesia

bekerjasama

dalam

rangka

mencapai

Dr. h. Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) hlm. 35-36 5 H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998 7

kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu pelajar setiap hari terutama pada pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan di zaman pendudukan Jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajahan Belanda.6 Sekolah-sekolah yang ada pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang. Segala daya upaya ditujukan untuk kepentingan perang. Murid-murid hanya mendapat pengetahuan yang sedikit sekali, hampir sepanjang hari hanya diisi dengan kegiatan latihan atau bekerja. Kegiatan-kegiatan sekolah antara lain: 6 Mengumpulkan batu, pasir untuk kepentingan perang; Membersihkan bengkel-bengkel, asrama-asrama militer; Menanam ubi-ubian, sayur-sayuran di pekarangan sekolah untuk persediaan makanan; Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas. Ada beberapa hal yang perlu dicatat pada zaman Jepang ini yaitu terjadinya perubahan yang cukup mendasar di bidang pendidikan, yaitu: a) Pelatihan guru-guru: Usaha penanaman Ideologi Hakko Ichiu melalui sekolah-sekolah dimulai dengan mengadakan pelatihan guru-guru. Guru-guru dibebani tugas sebagai penyebar ideologi baru tersebut. Pelatihan tersebut dipusatkan di Jakarta. Setiap kabupaten wajib mengirimkan wakilnya untuk mendapat gemblengan langsung dari pimpinan Jepang. Gemblengan ini berlangsung selama 3 bulan, jangka waktu tersebut dirasa cukup untuk menjepangkan para guru.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)

Dengan demikian, habislah riwayat susunan pengajaran Belanda yang dualistis itu, yang membedakan dua jenis pengajaran, yakni pengajaran Barat dan pengajaran Bumi Putra. Hanya satu jenis sekolah rendah yang diadakan bagi semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 tahun, yang ketika itu populer dengan nama kokumin Gakko. Sekolah-sekolah desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi sekolah pertama. Jenjang pengajaran pun menjadi: Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk sekolah pertama) Sekolah menengah 3 tahun Sekolah menengah tinggi 3 tahun (SMA-nya pada zaman Jepang). (Hasbullah, 2001: 64)7 b) Perubahan-perubahan penting: Hapusnya dualisme pengajaran: berbagai jenis sekolah rendah yang diselenggarakan pada zaman pemerintahan Belanda dihapuskan sama sekali; Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi dan bahasa pengantar pada semua jenis sekolah. Bahasa Jepang dijadikan mata pelajaran wajib dan adat kebiasaan Jepang harus ditaati. c) Isi pengajaran: Pengajaran dipergunakan sebagai alat propaganda dan juga untuk kepentingan perang; Untuk melipatgandakan hasil bumi, murid-murid diharuskan membuat pupuk kompos atau beramai-ramai membasmi hama tikus di sawah. Sebagian waktu belajar dipergunakan untuk menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan tanaman jeruk; Pelatihan-pelatihan jasmani berupa pelatihan kemiliteran dan mengisi aktivitas murid sehari-hari;
7

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) 9

Untuk menanamkan semangat Jepang, tiap hari murid-murid harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang. Mereka harus menguasai bahasa dan nyanyian Jepang. Tiap-tiap pagi diadakan upacara, dengan menyembah bendera Jepang dan menghormati Istana Tokyo.

Agar bahasa Jepang lebih populer, diadakan ujian bahasa Jepang untuk para guru dan pegawai-pegawai, yang dibagi atas 5 tingkat. Pemilik ini akan mendapat tambahan upah.8)

Kebijakan Pendidikan Pemerintah Kolonial Jepang Kebijakan politik Jepang tampaknya tidak jauh dari skenario yang dibuat Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dari politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan pengawasan secara ketat terhadap organisasiorganisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam. Namun, paradok dengan yang pertama, rezim pendudukan Jepang juga membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin Islam terlibat dalam organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam memobilisasi Islam Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit muslim. 9

Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah 1. Tujuan sekolah secara umum Dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia, Jepang menguasai daerah yang berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa, yang antara lain menghasilkan 50% produksi karet dan 70% produksi timah dunia, Indonesia yang kaya akan sumber bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Itulah sebabnya, Jepang menyerbu Indonesia, karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan tenaga manusia
8

H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998 Hal: 98-99
9

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Hal 86

10

yang kaya raya sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang tidaklah hanya

memenangkan peperangan. Secara konkret tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cuma-cuma (rumosha) dan prajuritprajurit yang membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran dan indoktrinasi ketat. Pada akhir zaman Jepang tampak tanda-tanda tujuan menjepangkan anak-anak Indonesia. Maka dikerahkan barisan propaganda Jepang yang terkenal dengan nama sedenbu, untuk menanamkan ideologi baru, untuk menghancurkan ideologi Indonesia Raya. Untuk menyebarluaskan ideologi dan semangat Jepang, para guru digembleng secara khusus oleh pemimpin-pemimpin Jepang, selama tiga bulan di Jakarta. Mereka diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang, murid-murid diajarkan bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran. 10 2. Sikap Jepang terhadap Pendidikan Islam Tentang sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Masalahnya, Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi mereka adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu pemuka agama lebih diberikan keleluasan dalam mengembangkan pendidikannya. Berlainan dengan kolonial Belanda, disamping bertindak sebagai kaum penjajah, tetapi ada misi lain yang tidak kalah penting yang mereka emban yaitu misi agama Kristen, dan untuk ini tentu saja agama Islam yang menjadi mayoritas penduduk pribumi sekaligus sebagai penentang
10

H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998 Hal: 103-105 11

pertama kehadirannya, harus ditekan dengan berbagai cara, dan kalau perlu dilenyapkan sama sekali.11 Karena berseberangan dengan Belanda itulah Jepang berusaha menarik simpati ummat Islam dengan menempuh beberapa kebijaksanaan, di antaranya: a. Kantor Urusan Agama yang ada pada zaaman belanda disebut Kantor Voor Islamistische Zaken yang dipimpin oleh orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu KH. Hasyim Asyari, dan di daerah-daerah juga disebut Sumuka. b. Pondok Pesantren yang besar-besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang. c. Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama. d. Disamping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh KH. Zainal Arifin. e. Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakar, dan Bung Hatta. f. Para ulama bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta). g. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.

Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam pendidikan sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah
11

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) Hal : 64-65 12

diseragamkan dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh pendudukan Jepang. Sementara itu khususnya pada awal-awalnya, madrasah dibangun dengan gencar-gencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh Jepang. Walaupun lebih bersifat politis belaka, kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja dan umat Islam Indonesia memanfaatkannya dengan sebaikbaiknya. Ini tampak di Sumatera dengan berdirinya madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis Islam Tinggi. Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak anak-anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini diadakan pada sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang diajarkan ialah membaca Alquran, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari. Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum

terbengkalai, karena murid-muridnya setiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya, madrasah-madrasah yang berada di dalam lingkungan pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren dapat berjalan dengan wajar.12

C. Pendidikan Islam Masa Orde Lama Penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatikan serius dari pemerintah setelah Indonesia merdeka, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa : Madrasah dan pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber
12

H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998 Hal 110 13

pendidian dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintah.13 Kenyataan ini timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama mereka terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajahan Belanda pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam terbuka secara sangat sempit. Dalam hal ini minimal ada dua hal yang menj adi penyebabnya, yaitu : o Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial yang amat diskriminatif terhadap kaum muslimin. o Politik non kooperatif para ulama terhadap Belanda yang memfatwakan bahwa ikut serta dlam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya adalah suatu bentuk penyelewengan agama.14 Demikianlah diantara beberapa factor yang menyebabkan mengapa kaum muslimin Indonesia amat tercecer dalam segi intelektualitas ketimbang golongan lain. Akan tetapi keadaan berbah secara radikal setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, seakan-akan merupakan ganjaran untuk para pahlawan nasional sepanjang sejarah yang umumnya terdiri dari para ulama atau yang dijiwai oleh keislaman itu, kemerdekaan membuahkan sesuatu yang luar biasa besar manfaatnya bagi kaum muslimin, terutama di bidang pendidikan modern. Tujuan nasional bangsa Indonesia adalah seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut : Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

13

1 A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama , (Jakarta : Dermaga, 1980), hal. 135 14 A. Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Pokitik Bangsa 1925-1984, (Jakarta : CV. Rajawali, 1984), hal. 6

14

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.15 Meskipun Indonesa baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah menghadapi revolusi fisik, pemerintah Indonesia sudah berbenah diri turutama memperhatikan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan menentukan, untuk itu dibentuklah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Dengan terbentuknya Kementerian Pendidikan tersebut maka diadakanlah berbagai usaha, terutama mengubah system pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan yang baru. Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) pertama, Ki Hajar Dewantara mengeluarkan Instruksi Umum yang isinya memrintahkan kepada semua Kepala Sekolah dan guru, yaitu : 16 Mengibarkan Sang Merah Putih tiap-tiap hari di halaman sekolah Melagukan lagu Keangsaan Indonesia Raya Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskanyanyian Kimigayo lagu kebangsaan Jepang Menghapuskan pelajaran Bahasa Jepang serta segala ucapan yang berasal dari pemerintah Balatentara Jepang Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid-murid. Seirama dengan perjalanan sejarah bangsa dan Negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, maka sejarah kebijakan pendidikan di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan Islam, memang tidak bias lepas dari kurun waktu tertentu, yang ditandai dengan peristiwaperistiwa penting dan tonggak-tonggak sejarah sebagai pengingat. Oleh karena itulah perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia sejak merdeka sampai tahun 1965 yang lebih dikenal dengan nama masa Orde Lama.

15

Endang Sudardja, UUD RI 45 dalam hubungannya dengan Pendidikan Moral Pancasila , (Bandung : Ghalia Indonesia, 1984), hal 83 16 Djumhur dann Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung : CV. Ilmu, 1979), hal. 200. Lihat juga : H. A. Mustofa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 111

15

Setelah

Proklamasi

Kemerdekaan

Indonesia,

sebagaimana

dikemukakan perubahan-perubahan di berbagai aspek telah terjadi, tidak hanya dalam bidang pemerintahan, tetapi juga dalam pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyagkut penyesuaian kebijakan

pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka. Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan mengalami perubahan terutama dalam landasan idiilnya, tujuan pendidikan. System persekolahan dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia. Tindakan pertama yang diambil oleh pemerintah Indonesia ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi : Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran Pemerintah mengusahakan suatu system pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Oleh sebab itu, pembatasan pemberian pendidikan disebabkan perbedaan agama, social, ekonomi dan golongan yang ada di masyarakat tidak dikenal lagi. Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih kemana dia akan belajar sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.6 17 Perkembangan pendidikan Islam pada masa Orde Lama sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. lembaga ini secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama18 Dalam salah satu nota Islamic education in Indonesia yang disusun oleh bagian pendidikan Departemen Agama pada tanggal 1 September 1956, tugas bagian pendidikan agama ada tiga, yaitu memberi pengajaran agama di
17

Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Bandung : Angkasa, 1981), hal. 30 Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya , (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 123

18

16

sekolah negeri dan partikulir, memberi pengetahuan umum di Madrasah, dan mengadakan Pendidikan Guru Agama serta Pendidikan Hakim Islam Negeri. Tugas pertama dan kedua dimaksudkan untuk upaya konvergensi pendidikan dualistis, sedangkan tugas yang ketiga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pegawai Departemen Agama itu sendiri.19 Berdasarkan keterangan di atas, ada dua hal yang penting berkaitan dengan pendidikan islam pada masa Orde Lama, yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum.

Perkembangan Madrasah Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.20 Jenjang pendidikan dalam system madrasah terdiri dari tiga jenjang. Pertama, Madrasah Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun. Ketiga, Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun. Perjenjangan ini sesuai dengan gagasan Mahmud Yunus sebagai Kepala Seksi Islam pada Kantor Agama Provinsi. 21 Sedangkan kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madrasah tidak cukup mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat
19
20

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : PT. Puasaka LP3ES, 1994), hlm.87 Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , (Jakarta : DEPAG RI, 1986), hlm. 77 21 Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), hlm. 55

17

kepada madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama bila dibandingkan dengan sekolah negeri/umum. 22 Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenagatenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional.23 PGA pada dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi

pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan madrasah di Indonesia. Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari progam Departemen Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950, bagian itu membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah profesional keguruan: (1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI terdiri dari dua jenjang: (a) jenjang jangka panjang yang ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan (b) Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrsah Tsanawiyah. SGHAI memilki empat bagian: Bagian a untuk mencetak guru kesusastraan Bagian b untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti Bagian c untuk mencetak guru agama Bagian d untuk mencetak guru pendidikan agama.

22 23

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : PT. Puasaka LP3ES, 1994), hal. 97-98 Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya , (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 124

18

bagiand didirikan PHIN ( Pndidikan Hakim Islam Negeri) dengan waktu belajar 3 tahun dan diperuntukkan bagi lulusan PGA pertama.1924 Perguruan Tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas

keagamaan mulai mendapat perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN ( Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di penerintahan (Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.25 Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolahsekolah umum tersebut, maka pada bulan Desember 1946 dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah kementerian PP dan K. Maka sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan Umum. Di satu pihak Depertemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum. Dan di pihak lain Departemen Pendidkan Pengajaran dan Kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan system pendidikan nasional. Keadaan seperti ini sempat ipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama terutama golongan
24

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1968)hlm. 363-365
25

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 313

19

komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan. Selanjutnya pendidikan agama ini diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 Tahun 1950 pada Bab XII padal 20, yaitu :26 Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah aaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Cara penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. Di bidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaanpernyempurnaan, dalam hal ini telah dibentuk suatu kepanitiaan yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952. Pada Ketatanegaraan Republik Indonesia dinyatakan bahwa Negara berdasarkan UUD 1945. Kedaulatan di tangan rakyat yaitu di tangan MPR. Sebelum dibentuknya MPR menurut UUD 1945 di Indonesia pernah dibentuk MPRS pada tahun 1959. Pada bulan Desember 1960 saat sidang pleno MPRS, diputuskan sebagai berikut : Manipol Usdek di bidang Mental/Agama/Kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia, serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II pasal 2 ayat 1). Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai Sekolah Rendah (Dasar) sampai Universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.27

26

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 77 27 Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), 155

20

Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta). Undang-Undang

Pendidikan tahun 1954 No. 20 berbunyi : a. Pada sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tersebut atau tidak. b. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) bersama dengan Menteri Agama. Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas para murid .28 Sebelumnya, telah ada ketetapan bersama Departemen PKK dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari 1951. ketetapan itu menegaskan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas I dan jam pelajarannya boleh ditambah sesuai kebutuhan, tetapi tidak lebih dari 4 jam per minggu, dengan syarat bahwa mutu pengetahuan umum di sekolah rendah itu tidak boleh kurang bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah di lingkungan lain.29 Di Sekolah Menengah Pertama, pelajaran agama diberikan 2 jam per minggu, sesuai dengan agama para murid. Untuk pelajaran ini, harus hadir sekurangkurangnya 10 orang murid untuk agama tertentu. Selama berlangsungnya pelajaran agama, murid yang beragama lain boleh meninggalkan ruang belajar. Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan oleh Menteri Agama dengan persetuan Menteri PKK.30
28 29

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : PT. Puasaka LP3ES, 1994),Hal .91-92 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1968)hlm. 358 30 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : PT. Puasaka LP3ES, 1994),Hal .92

21

Pada tahun 1960, sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan di perguruan tinggi umum dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967 (periode awal Orde Baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam system penilaian. Beginilah keadaan pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada zaman Orde Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran baru bagi umat Islam, dimana timbulnya minat yang mendalam terhadap masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat umat Islam, sehingga sejumlah organisasi Islam dapat dimantapkan. Dalam hubungan ini Kementerian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut : a. Pesantren Indonesia Klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah. Baik guru maupun para muridnya merupakan suatu masyarakat yang hidup serta bekerja sama, mengerjakan tanah milik pesantren agar dapat memenuhi kebutuhan sendiri. b. Madrasah Diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. Pelajaran berlangsung di dalam kelas, sekitar 10 jam dalam seminggu, di waktu sore, pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah (4 tahun pada Sekolah Dasar dan 3 sampai 6 tahun pada Sekolah Menengah). Setelah menyelesaikan pendidikan menengah negeri, murid-murid ini akan dapat diterima pada pendidikan agama tingkat akademi. c. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan dengan pengajran agama juga diberikan pelajaran umum.

22

Biasanya tujuannya adalah menyediakan 60%-65% dari jadwal waktu untuk mata pelajaran umum, dan 35%-40% untuk mata pelajaran agama. d. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu Sekolah Dasar Negerienam tahun, dimana perbandingan umum kira-kira 1:2. Pendidikan selanjutnya dapat diikuti pada MTsN, atau (sekolah tambahan tahun ketujuh) muridmurid dapat mengikuti pendidikan ketrampilan, misalnya pendidikan Guru Agama untuk Sekolah Dasar Negeri, setelah itu dapat diikuti latihan lanjutan dua tahun untuk menyelesaikan Kursus Guru Agama untuk Sekolah Menengah. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama dua tahun, yang memberikan latihan ketrampilan sederhana. MIN 8 tahun ini merupakan pendidikan lengkap bagi para murid yang biasanya akan kembali ke kampungnya masing-masing. Pendidkan Teologi tertinggi, pada tingkat Universitas diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. Pada saat itu pendidikan Teologi diberikan di dua Fakultas IAIN Yogyakarta dan dua Fakultas di Jakarta.

D. Pendidikan Islam Zaman Orde Baru Berdasarkan UU No. 2 / 1989 makna satu-satunya dari Pendidikan Agama Islam adalah sebagai salah satu bidang studi pendidikan yang bersama-sama dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan

Kewarganegaraan menjadi kurikulum wajib bagi setieap jenis, jalur dan jenjang pendidikan ( pasal 39 (2) ). Sedangkan istilah Pendidikan Islam tidak dikenal dengan UU tersebut, karena lembaga pendidikan yang berciri agama, yang di Indonesia tidak terdapat, baik sekolah maupun luar sekolah, ( termasuk pondok ) harus tetap mengacu pada sistem pendidikan nasional. Jadi, kalaupun suatu lembaga pendidikan menjadikan Islam sebagai landasan sistemnya, harus tetap dalam konteks ke Indonesiaan yang bentuk konkritnya harus dilengkai dengan Pendidikan Pancasila.

23

Memang dalam UU No. 2 / 1989 tidak terdapat ketentuan bahwa kurikulum pendidikan luar sekolah harus mengikuti pendidikan sekolah, namun Pancasila dengan P4-nya telah menjadi konsensus bangsa Indonesia sebagai ideologi dan falsafah hidup, maka secara moral seluruh satuan pendidikan hendaklah mengacu pada cita-cita nasional, sehingga

keberadaannya akan membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sesuai dengan UU No. 2 / 1989 pasal 39 (2) : Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : a) Pendidikan Pancasila; b) Pendidikan Agama dan c) Pendidikan Kewarganegaraan. Sedangkan jalur pendidikan ada 2 macam : jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah ( pasal 10 ayat 1 ). Makna lain dari pendidikan Islam adalah sebagai ilmu, yang umumnya dikembangkan dalam Fakultas Tarbiyah baik negeri ( IAIN ) maupun swasta, yaitu sebagai Ilmu Pendidikan Islam yang meliputi : Sejarah Pendidikan Islam, Teori Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam. Nomeclatur bagi lembaga pendidikan berciri khas agama Islam yang selama ini digunakan adalah Perguruan Agama Islam sebagaimana terlihat dari nama instansi yang mengelola lembaga tersebut, yaitu Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dengan diundangnya UU No. 2 / 1989, maka nama itu diubah menjadi Lembaga Pendidikan Keagamaan yang bagi Islam adalah sangat wajar apabila ditambah kata Islam di belakangnya. Namun penamaan ini membawa konsekuensi penciutan terhadap maknanya, karena apabila sebelum adanya undang-undang tersebut yang termasuk ke dalam Perguruan Agama Islam adalah : 1. Raudhat Al-Athafal / Bustan Al-Athfal ( Taman Kanak-Kanak Islam ), Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sebagai jalur pendidikan formal, dan 2. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan non formal.

24

Maka dengan adanya UU No. 2 / 1989 terdapat berbagai perubahan antara lain : 1. Kelompok yang pertama di atas sekarang dinamakan jalur pendidikan sekolah kecuali tingkat taman kanak-kanak yang termasuk ke dalam pendidikan pra sekolah sedangkan yang kedua disebut jalur pendidikan luar sekolah. 2. Dengan adanya PP. No. 28 / 1990, No. 29 / 1990 ( sebagai pelaksanaan UU no. 2 / 1989 ) dan dipertegas oleh Kep. Mendikbud nomor 0487 / U / 1989, No. 054 / U / 1993 dan 0489 / U / 1992, maka keduudkan Madrasah Ibtidaiyah adalah sebagai SD yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarkaan oleh Departemen Agama, demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, masing-masing sebagai Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) dan Sekolah Menengah Umum ( SMU ) yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Selanjutnya dipertegas lagi, bahwa Madrasah Ibtidaiyah wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD di samping bahan kajian lain yang diberikan berdasarkan ketentuan yang berlaku ( Kep. Mendikbud No. 0487 / 1992 pasal 19 ). Demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SLTP dan SMU di samping dengan bahan kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut ( Kep. Mendikbud No. 054 / U / 1993 pasal 20 dan Kep. Mendikbud No. 0489 / U / 1992 pasal 20 ). Dengan demikian, jelas bahwa kini yang dinamakan Perguruan Agama Islam dalam arti tradisional hanya ada satu, yaitu yang bernama Pendidikan Keagamaan dan hanya satu jenjang yaitu pendidikan menengah. Dan menurut PP No. 29 / 1990 pasal 3 (3) disebutkan : Pendidikan Menengah Keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 4 (3) menyatakan bahwa penamaan Sekolah Menengah Keagamaan

25

ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah semacam itu ada pada waktu ini adalah Madrasah Aliyah Program Khusus ( MAPK ) dengan pertimbangna jam pelajaran agama : Umum ( 65 % ) dan Agama ( 35 % ). MAPK ini merupakan pengembangan dari program ilmu-ilmu agama ( jurusan ilmu agama ) pada Madrasah Aliyah dengan perbandingan antara pelajaran agama dengan umum 98 : 142 atau 41 % : 59 % . Karena tamatan jurusan ini ternyata kurang berkompeten untuk memasuki IAIN, maka dikembangkan menjadi MAPK yang dari pengalaman penerimaan para tamatannya ke IAIN Walisongo memang menujukkan adanya kemampuan yang lebih baik. Jadi dapat kita katakan bahwa MAPK lah yang kini merupakan satu-satunya bentuk Sekolah Menengah Keagamaan Islam yang murni, yang juga terbuka bagi masyarakat untuk mendirikannya. Dan dengan tidak mentuup kemungkinan para tamatannya untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi umum dengan menempuh ujian akhir Aliyah atau SMU secara individu diharapkan siswa MAPK ini merupakan sumber daya calon-calon mahasiswa IAIN. Masalah lain dalam kaitan ini adalah lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang kini tidak lain smaa dengan SD, SLTP dan SMU Islam ( atau SD, SLTP dan SMU Dep. Agama ), sesuai dengan label berciri khas agama Islam dituntut untuk menunjukkan kekhasan cirinya itu. Dalam kaitan ini Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Depaq menyatakan bahwa ciri khas agama Islam ini akan diformulasikan dalam kegiatan intra dan ekstra kurikuler. Fomulasi dalam bentuk intra kurikuler akan berupa penjabaran mata pelajaran pendidikan agama di SD / SLTP / SMU ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran seperti Al-Qur'an, Hadits, Aqidah, Akhalk, Fiqh, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Waktu yang disediakan diperkirakan akan lebih kecil dibandingkan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum madrasah yang sekarang

26

Memang pandangan sepintas memberikan kesan adanya dualisme dalam sistem pendidikan nasional, karena dua lembaga pendidikan yang hakikatnya sama, dikelola oleh dua departemen yang notabene sama-sama pemerintah. Namun apabila melihat latar belakagn historis maupun kultural, khususnya tentang peran lembaga pendidikan Islam, dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia, status demikian bagi madrasah-madrasah tersebut merupakan satu bentuk kearifan dari kondisi obyektif di Indonesia saat ini yang menggambarkan adanya kemajemukan dalam kesatuan ( Bhinneka Tunggal Ika ) dalam sistem pendidikan. Dengan demikian, ide tentang sistem dan sub-sistem dalam pendidikan di Indonesia tetap terjamin. Selanjutnya terdapat sedikit perbedaan orientasi tamatan Madrasah Aliyah dalam melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi dibandingkan sistem pendidikan Madrasah sebelumnya. Apabila MAPK terutama

berorientasi di IAIN, maka tamatan Aliyah adalah terutama berorientasi ke perguruan tinggi umum, dengan tidak tertutup kemungkinan ke IAIN tergantung kepada kemampuan individual. Khusus IAIN, baik UUSPN maupun PP 30 / 1990 tidak menyebutkan sebagai jenis pendidikan tinggi khusus sebagaimana Madrasah. Namun, apabila dilihat dari tujuan dan keahlian yang ingin dicapai oleh pendidikan ini, baik akademik maupun profesional, maka analog dengan pendidikan mengenah, cukup alasan untuk memasukkan IAIN ke dalam kategori Pendidikan Tinggi Keagamaan yang dikelola oleh Departemen Agama walaupun secara akademik harus mengacu pada ketentuan yang ditetapkan oleh Depdikbud ( UUPSN pasal 12 dan 19 ). Karena peraturan khusus tentang IAIN belum ada, menurut hemat penulis, di samping status yang sampai sekarang juga belum keluar, masih diperlukan adanya peraturan khusus, baik berbentuk PP ataupun Keputusan Menteri. Tentang Pondok Pesantren sebagai jalur pendidikan keagamaan luar sekolah, yang kini berperan sebagai mitra sekolah telah banyak dibahas baik dalam forum pertemuan ilmiah sebagai salah satu proyek pembangunan

27

bidang agam aoleh Depag, yaitu proyek Pembangunan dan Bantuan kepada Pondok Pesantren. Lewat proyek ini telah dimasukkan pendidikan

ketrampilan, antara lain penjahitan dan perajutan, administrasi dan manajemen, pertukangan, pertanian, peternakan, bahkan juga fotografi. Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki ciri-ciri khas yang membuat Pesantren tetap survise yaitu semangat percaya diri sendiri, mandiri, sederhana dan rasa solidaritas (Ukhuwah) yang tinggi. Ciri-ciri yang demikian, pada hakikatnya juga merupakan ciri-ciri manusia yang diharapkan oleh pendidikan nasional yang diformulasikan ke dalam konsep manusia seutuhnya. Beberapa prinsip lain yang diajukan Mastuhu ( 1987 ) adalah wisdom ( kearifan ) sebagai tujuan yang akan dicapai ( meskipun apabila berlebihan dapat menjauhkan santri dari kehiduan riil ), kebebasan yang terpimpin ( oleh kyai ), self-government (mengatur diri sendiri secara kolektif), hubungan kyai, guru, santri dan masyarakat yang mesra dan ibadah ( bahwa semua aktivitas di Pondok adalah dalam rangka ibadah kepada Allah ). Dari berbagai penelitian dan pengamatan para pakar, ada ciri khas lain yang menonjol, yaitu peran kyai pemilik / pimpinan pondok dengan kharismanya yang sangat dominan, yang merupakan unsur utama dan pertama dari suatu Pondok Pesantren. Hal ini karma otoritas keagamaan yang dimilikinya dan moral yang tinggi sebagai bapak, penasehat dan contoh kepribadian ( uswah khasanah ) dan lebih penting lagi dipercaya sebagai pewaris Nabi yang bisa memberikan barokah kepada sekelilingnya). Kepemimpinan kharismatis yang demikian, ternyata bisa menjadi kendala bagi upaya pengembangan suatu pondok, karena dengan

meninggalnya seorang kyai pimpinan pondok, pondok tersebut mengalami semacam krisis kepemimpinan. Krisis ini akan dapat diatasi apabila sang kyai mempunyai anak / keturunan yang setaraf dengan kharismanya .

28

Atas dasar ini maka diperlukan adanya upaya untuk lebih menjadikan kepemimpinan pondok lebih bersifat rasional / demokratis agar

kesinambungannya lebih terpimpin. Dalam kaitannya dengan pembangunan dan pendidikan nasional, maka lembaga pendidikan luar sekolah yang sebagian besar terletak di pedesaan ini diharpakan mampu berperan sebagai agent of development khususnya bagi masyarakat pedesaan sebagaimana yang kini telah banyak ditunjukkan oleh banyak pondok seperti Darul Falah di Jawa Barat, Pabelan di Jawa Tengah dan An-Nuqayyah di Jawa Timur. Untuk ini sekalipun masih ada kendala sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dr. Hiroko Horikoshi ( di Jawa Barat ) terhadap perubahan dan mempertahankan kedudukan yang berpengaruh dalam sistem tradisional. Akan tetapi, menurut Krocher ( 1988 ) bahwa pesantren telah menunjukkan penyesuaian mereka dengan perubahan sosial, dengan menerima inovasiinovasi secara hati-hati dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka kerja yang ada dalam keharmonisan dengan tradisi-tradisi Jawa Kuno dengan menerima pengaruh asing tanpa melepaskan diri secara drastis dari keyakinan dan praktik sebelumnya. Yang jelas adalah bahwa kini kebanyakan Pesantren telah membuka madrasah, dari jenjang Ibtidaiyah bahkan sampai Perguruan Tinggi, sehingga kebanyaka mereka sesungguhnya telah masuk ke dalam pola pendidikan sekolah. Dan karena materi utamanya adalah ilmuilmu agama Islam, akan lebih mudah untuk mewujudkan pendidikan keagamaan semacam MAPK. Satu hal lagi yang ada di Pesantren yaitu bahwa masalah dikotomi yang ada di sekolah-sekolah umum ( bahkan juga di beberapa Madrasah ), tidak kita jumpai di Pesantren yang dapat mengintegrasikan pelajaran ( agama dan umum ) ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga berakibat terbukanya sistem belajar yang luas dan fleksibel, karena pada hakikatnya semua aktifitas sehari-hari di Pesantren yang memacu kehidupan mandiri itu adalah belajar.

29

Dengan adanya uluran tangan Prof. Habibie yang menawarkan pemasukan teknologi ke dalam Pondok Pesantren dan dengan beberapa inovasi yang diperlukan, kiranya potensi Pondok Pesantren dapat

dikembangkan secara optimal.

E. Pendidikan Islam Masa Reformasi Apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Menurut para pakar pendidikan Islam bentuk pendidikan yang indigenous adalah pesantren yang telah hidup dan berada di dalam budaya Indonesia sejak zaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam. Pesantren yang mempunyai pengertian archaic, juga mempunyai konotasi kemasyarakatan, bahkan suatu kesatuan ekonomis dan mungkin pula politik selain daripada suatu masyarakat pendidikan dengan nuansa agama. Madrasah juga lebih berkonotasi kepada cara penyampaian ilmu maupun agama secara klasikal dan lebih modern. Namun keduanya mempunyai kesamaan yaitu telah tumbuh dan dimiliki oleh masyarakat sekitar terutama di daerah pedesaan karena pengaruh historis. Oleh sebab itu pendidikan pesantren dan madrasah cenderung bersifat tradisional dan ortodoks sungguh pun tidak selalu benar sebagaimana yang kita lihat di dalam perkembangan pesantren modern seperti Pesantren Tebuireng. Pesantren dan madrasah adalah milik kebudayaan Indonesia. Dan oleh karena pendidikan adalah sebenarnya merupakan gagasan kebudayaan, maka mendidik berarti pula menggagas kebudayaan masa depan. Di sinilah letaknya arti pesantren di dalam membangun kebudayaan masa depan. Seperti Malik Fadjar mengatakan gelombang peradaban masa depan merupakan satu kesatuand ari gejolak magma cultural dari dalam dan kekuatan globalisasi yang menerjang dari luar. Kehidupan pesantren masa depan tidak terlepas dari

30

kedua gelombang peradaban ini. pendidikan pesantren akan survise dan menjadi pendidikan alternatif dari masyarakat Indonesia apabila dia peka terhadap gelombang peradaban tersebut. Oleh karena itu perlu kita kaji apa yang merupakan kekuatan dan kelemahan dari pendidikan pesantren dan madrasah. 1. Kekuatan Pendidikan Islam : Pendidikan Yang Lahir Dari Masyarakat Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di dunia dan di Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk pendidikan. Demokrasi hanya akan lahir dan berkembang apabila rakyat diberdayakan dan masyarakat ikut serta di dalam memberdayakan diri sendiri. Pesantren adalah suatu sistem kehidupan yang lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat. Pesantren telah lahir di dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu pesantren sebenarnya dikelola oleh masyarakat yang memilikinya. Meskipun di dalam perkembangannya pengelolaan pesantren banyak ditentukan oleh para kiai sebagai pemiliknya, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan pesantren telah ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Apabila dewasa ini kita berbicara mengenai inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (community based management ( CBM ) maka pesantren merupakan model archaic dari pendidikan tersebut. Sudah tentu prinsip-prinsip manajemen modern perlu diterapkan di dalam pola pendidikan yang berdasarkan manajemen masyarakat. Pada akhirnya community based management dari pendidikan akan bermuara kepada manajemen sekolah ( school based management ( SBM ) atau manajemen madrasah yang berarti pengelolaan lembaga pendidikan madrasah adalah pengelolaan yang otonom yang mengimplementasikan aktivitas dan kreativitas para pengelolanya baik kepala sekolahnya maupun para gurunya di dalam melaksanakan misi sekolah. Tentunya manajemen pendidikan CBM dan

31

SBM menuntut para pengelola yang mempunyai pandangan yang luas serta menguasai teknik-teknik manajemen modern, termasuk manajemen sekolah.

2. Kelemahan : Cenderung Kepada Ortodoksi Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren dan madrasah justru disitulah pula terletak kelemahannya. Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan pesantren dan madrasah telah terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolonial, masa pendudukan Jepang, maupun pada masa kemerdekaan. Kelemahannya terletak kepada keunikannya bahwa pesantren dan madrasah tumbuh dari bawah, dari masyarakat sendiri. Di dalam pertumbuhannya tersebut yang hidup dari kemampuan sendiri di tengah-tengah masyarakat yang miskin sudah tentu perkembangan pendidikan pesantren dan madrasah berada di dalam kondisi yang serba sulit. Keadaan ini pula yang telah melahirkan suatu defense mechanism untuk mengungkung diri dari pengaruh luar. Kecurigaan yang berlebihan menyebabkan isolasi dan menolak perubahan. Isolasionisme ini juga diperkuat lagi dengan sifat keragaman dari pendidikan pesantren dan madrasah. Pengelolaan pesantren dan madrasah yang berorientasi kepada masyarakat telah melahirkan keanekaragaman pengelolaan sehingga sulit untuk dicarikan standar untuk meningkatkan mutu. Di dalam menghadapi tuntutan dunia modern karena standar-standar tertentu diperlukan maka pengelolaan pendidikan pesantren dan madrasah perlu disesuaikan agar lebih peka menyerap dan meningkatkan kemampuan dari lembaga tersebut di dalam kehidupan global yang penuh persaingan. Sungguhpun terdapat kekuatan dan kelemahan dari sistem pendidikan pesantren dan madrasah, tentunya tidak dapat kita

generalisasikan. Sebagai ilustrasi bagaimana lahir dan berkembangnya Pondok Pesantren Tebuireng yang berkembang di tengah-tengah

32

kemajuan teknologi di sekitar pabrik gula di desa Cukir sekitar Jombang. Menyadari akan kemajuan ilmu dan teknologi, Pondok Pesantren Gontor sangat kreatif dan adaptif untuk menyerap nilai-nilai yang baru tanpa meninggalkan ciri khas dari pendidikan pesantren. Ternyata kekutan pesantren dapat dilestarikan apabila di kelola dengan cara-cara yang inovatif dan kreatif serta sensitif terhadap tuntutan perubahan. Setelah kita lihat apa yang merupakan visi pendidikan Islam dan kemudian dituangkan dalam misi yaitu program-program dan kegiatankegiatan untuk mewujudkan visi tersebut, langkah selanjutnya ialah penyusunan program aksi di dalam suatu rencana yang matang dan fleksibel untuk dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu secara bertahap. Pada tahap pelaksanaan inilah terdapat berbagai kendala dan masalah-masalah konkret yang perlu diatasi. Tidak jarang perencanaan yang telah matang disusun harus mengalami penyesuaian-penyesuaian di lapangan karena kondisi sosial budaya, politik, ekonomi, kepemimpinan, dan partisipasi masyarakat yang berbagai ragam. Salah satu komponen dari pelaksanaan yang berhasil ialah pengelolaan. Pengelolaan pada dasarnya berarti bagamana menjaga, mengarahkan, mengevaluasi, dan menyesuaikan rencana-rencana yang telah disusun rapi agar visi dan misi yang telah ditetapkan dapat dicapai secara bertahap. Pengelolaan pendidikan Islam menjadi lebih kompleks oleh sebab dia bukan hanya berkenaan dengan masalah-masalah intern kelembagaan dan

kepemimpinan pendidikan Islam, juga seperti yang telah diuraikan dia mengadapi berbagai masalah dualisme dan dikotomi pendidikan dalam kaitan dengan pembinaan sistem pendidikan nasional, dan sekaligus menghadapi gelombang perubahan globalisasi. Sesuai dengan permasalahannya, menurut pendapat penulis pengelolaan pendidikan Islam meliputi empat bidang prioritas yaitu : 1) Peningkatan kualitas,

33

Di dalam berbagai survei dan penelitian mengenai pendidikan Islam jelas menunjukkan suatu gap yang sangat lebar antara lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas tinggi seperti SMU Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasab Ibtidaiyah di Malang dibandingkan dengan tingkat kualitas beberapa madrasah lainnya yang tersebar di daerah-daerah. Di dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam diperlukan berbagai usaha dan persiapan tenaga-tenaga yang berkuailtas sampai kepada penyediaan fasilitasfasilitas pendidikan lainnya. Di dalam pemanfaatan sumber-sumber daya pendidikan tersebut diperlukan pengelolaan yag baik agar dengan sumber-sumber yang terbatas itu dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas secara optimal. Terbitnya SKB 3 Menteri yang terkenal bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya untuk bidang non-agama. Di dalam usaha untuk peningkatan komponen pendidikan non-agama perlu selalu dicermati agar kita tidak jauh dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lainnya. Diperlukan suatu pengelolaan yang baik supaya selalu terdapat keseimbangan antara ciri khas pendidikan Islam dengan niat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diminta oleh perubahan zaman. 2) Pengembangan invonasi dan kreativitas, Dengan adanya kecenderungan untuk memanfaatkan kekuatan pendidikan Islam yang berbasis pada masyarakat, maka terdapat suatu ruangan yang terbuka bagi pengembangan inovasi dan kreativitas. Sebenarnya pengembangan kedua komponen tersebut telah merupakan bagian dari pendidikan pendidikan dan pesantren. Community based education management dalam pendidikan Islam bukanlah suatu hal yang baru. Yang baru mungkin berupa penyesuaian kembali asas-asas pengelolaan yang lebih berdimensi keluar dan berdimensi global.

34

Di dalam hal ini diperlukan suatu kerja sama yang erat antara lembaga pendidikan dengan masyarakat yang menggunakan

pemimpin-pemimpin in-formal untuk menggerakkan masyarakat ke arah visi yang modern. School based management yang dikenal di dalam sistem pendidikan pesantren maupun madrasah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pengelola serta para guru untuk mengembangkan kemampuan inovasinya serta kreativitasnya. Coba kita lihat misalnya masalah akreditasi yang kini ditentukan dari atas seharusnya muncul dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Gontor atau Tebuireng tidak memerlukan akreditasi seperti yang kita kenal dewasa ini. Ada atau tidaknya akreditasi kedua pondok pesantren yang sangat progresif tersebut dengan sendirinya memperoleh akreditasi dari masyarakat. Inilah sistem akreditasi yang sebenarnya. 3) Membangun jaringan kerja sama ( networking ), Telah kita lihat betapa pendidikan Islam mempunyai profil yang sangat beragam dengan berbagai tingkat mutu serta kekuatannya masing-masing. Boleh dikatakan masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri sendiri-sendiri. memang ada usaha atau kecenderungan masyarakat untuk menegerikan madrasah yang ada. Menurut pendapat penulis kecenderungan tersebut merupakan suatu langkah mundur. Dengan adanya keinginan masyarakat untuk menegerikan madrasahmadrasah swasta berarti mereka melepaskan otonomi lembaga pendidikannya meskipun penegerian madrasah-madrasah tersebut bukan berarti suatu yang negatif. Barang kali yang dibutuhkan ialah perlunya dibangun suatu jaringan kerja sama yang lebih baik antara madrasah-madrasah, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta. Dewasa ini telah selesai diadakan pemetaan sekolah ( school mapping ) yang akan sangat berguna bagi usaha peningkatan mutu

35

pendidikan madrasah. Dengan networking tersebut juga dapat dibangun suatu educational management information system ( EMIS ) yang akan sangat berguna di dalam pengelolaan termasuk pemanfaatan sumber-sumber belajar sehingga sumber-sumber tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Di dalam kaitan ini pula perlu dibangun suatu kerja sama dengan pendidikan tinggi ( universitas / IAIN ) di daerah agar antara pendidikan tinggi, menengah, dan dasar terdapat suatu kerja sama yang saling menguntugnkan demi untuk

pembangunan daerah. Di dalam kaitan ini barang kali dapat mengambil pengalaman dari pelaksanaan Land-grant College di Amerika Serikat. 4) Pelaksanaan otonomi daerah. Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 kepengurusan pendidikan dan kebudayaan diserahkan kepada daerah bahkan kepada kabupaten. Hal ini mempunyai implikasi yang snagat jauh di dalam pengelolaan pendidikan yang lebih dekat kepada kebutuhan

masyarakat dan daerah. Pendidikan Islam yang telah dilaksanakan melalui pondok-pondok pesantren dan madrasah adalah sebenarnya merupakan pelaksanaan otonomi pendidikan. Oleh sebab itu sudah tiba masa bagi kita untuk lebih mengembangkan dan menyempurnakan pengalaman-pengalaman pengelolaan otonomi pendidikan

sebagaimana yang telah dilaksanakan di pondok-pondok pesantren dan madrasah. Kajian mengenai pengalaman-pengalaman tersebut bukan hanya bermanfaat bagi pengembangan pendidikan Islam tetapi juga bagi pengembangan pendidikan nasional yang lebih merakyat. Dengan uraian di atas, makin jelas kepada kita betapa relevansinya pengalaman pengelolaan pendidikan Islam di dalam menghadapi perubahanperubahan besar di dalam masyarakat dengan demokratisasi pendidikan nasional. Proses demokratisasi ini yang merupakan salah satu unsur penting di dalam reformasi total kehidupan berbangsa dan bernegara kita, ternyata sudah

36

kita mulai secara lebih mendasar di dalam sistem pendidikan kita khususnya di dalam pendidikan Islam yang telah mempunyai pengalaman dalam pelaksanaannya. Di dalam kaitan ini pendidikan Islam merupakan ujung tombak dari usaha reformasi pengelolaan pendidikan nasional yaitu mengembalikan kepedulian masyarakat terhadap pendidikannya. Selama ini pendidikan nasional telah mencabut dari akarnya ialah kehilangan peran serta masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pendidikan nasional kini cenderung kepada pembentukan kemampuan intelektual semata-mata dan kehilangan orientasi kepada pembentukan mental dan emosional. Visi pendidikan nasional di dalam era reformasi ialah membagnun manusia Indonesia yang utuh yaitu yang bertakwa, bermoral dan inovatif di dalam membangun masyarakatnya sendiri. Untuk pelaksanaannya di perlukan pengelola-pengelola pendidikan yang menghayati visi dan misi serta mempunyai kemampuan untuk mengelola sistem pendidikan tersebut.

37

BAB III PENUTUP

Dengan demikian sejarah pendidikan islam di Indonesia pada masa pemerintahan Belanda membawa positif bagi perkembangan pendidikan islam dan kemajuan masyarakat terjajah. Karena orang-orang pribumi yang belajar sekolahsekolah dibelanda mengenal sistem kelas,pemakaian metode belajar-mengajar modern, dan ilmu pengetahuan. Pada permulaan abd ke-20 masyarakat islam Indonesia telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun pencarahan. Salah satu dorongan untuk melawan penjajahan bansa Belanda. Tidak mungkin bangsa Indonesia harus

mempertahankan segala aktivuitas dengan cara tradisioanl untuk melawan pemerintahan Belanda. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan apakah dengan menggali mutiara-mutiara islam dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan umat islam pada abad pertengahan untuk mengatasi barat dalam pengetahuan serta dalam memprluas pengaruh, atau dengan menggunakan metode-metode baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh Belanda. Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan utama imperialisme jepang dalam ikut campur terhadap sistem pendidikan khuisusnya pendidikan islam antara lain teringkas dalam point-point berikut. a. Menaklukkan Islam yang merupakan kekuatan penyeru pembebasan dan perlawanan melawan musuh. b. Membuka lahan baru untuk memasarkan hasil industri yang meledak pasca kebangkitan industry c. Memperluas jangkauan negara imperialis. d. Mengambil aset negara jajahan. e. Memanfaatkan potensi rakyat negara jajahan untuk kepentingan negaranegara imperialis

38

Dengan paparan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam pada masa Orde Lama terfokus kedalam dua hal: Perkembangan dan peningkatan mutu madrasah sehingga diharapkan mampu sejajar dengan sekolah umum dan memperluas jangkauan pengajaran agama, tidak terbatas pada madrasah, tetapi menjangkau sekolah umum bahkan perguruan tinggi umum. Kedua hal ini terkait erat dengan upaya pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Departemen Agama melakukan konvergensi dualisme pendidikan yang telah tumbuh sejak masa kolonial. Jenis jenis pendidikan Islam pada masa orde lama adalah sebagai berikut : Pesantren Indonesia Klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama. Madrasah Diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran umum yang menyediakan 60%-65% dari jadwal waktu untuk mata pelajaran umum, 35%-40% untuk mata pelajaran agama.
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu Sekolah Dasar Negeri enam tahun, dimana perbandingan umum kira-kira 1:2. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama dua tahun, yang memberikan latihan ketrampilan sederhana. Pendidkan Teologi tertinggi, pada tingkat Universitas diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN.

Pendidikan islam pada masa orde baru dan reformasi pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep pendidikan islam masa orde lama yang dikembangkan berdasarkan perkembangan teknologi dan zaman serta

mempertimbangkan berbagai hal khusunya untuk menciptakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan saat ini.

39

Daftar Pustaka

Al-Wakil, Muhammad Sayyid, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1998) Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Pamulung ciputat: PT Logos Wacana Ilmu 1999 Daulay, Putra, Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, jakarta: kencana, 2009. Djaelani, A. Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, Jakarta : Dermaga, 1980. Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu, 1979. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998) Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) Hasbullah, Sejarah Pendidikan islam di Indonesia, Jakarta: PT persada, 1999. Idris, Zahara, Dasar-dasar Kependidikan, Bandung: Angkasa, 1981. Koenjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, Pustaka Utama, 1997. Makalah disajikan pada Diskusi Kelas Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 Lokal 6 PAI Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin Jam 16.00 18.00 di bawah bimbingan Dosen : Abdul Khaliq, S.Pd.I, M.Pd Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta : tp, 1998. Mustofa, A dan Aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 1998.

40

Noer, Deliar A., Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1983. Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beraga Depag RI, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta: tp., 1983/1984. Prof. Dr. Tilaar, Msc, Ed, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, Saidi, A. Ridwan, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1958-1984, Jakarta: CV. Rajawali, 1984. Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1994. Sudardja, Endang, UUD RI 45 dalam Hubungannya dengan Pendidikan Moral Pancasila, Badung : Ghalia Indonesia, 1984. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1991. Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : DEPAG RI, 1986 Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1968. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006. Zuharsini, dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Malang : IAIN Walisongo, 1983.

41

Anda mungkin juga menyukai