Anda di halaman 1dari 6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan

karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap

partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

2.2. Epidemiologi

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan

perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK

umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK

terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008)

di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007

menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah

81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok

yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.

Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak

ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2%

penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok.

Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah,

ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar

anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.

Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun

2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak adalah penderita

pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita (84,8%), dan penderita

yang merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi 63,0%. Menurut hasil

penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika (2009) di RS. Haji Medan pada tahun

Universitas Sumatera Utara

2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang paling banyak adalah

proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121 penderita

(91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan

Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK tertinggi pada kelompok usia

60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%. Proporsi

gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan sesak napas (100%), disusul nyeri

dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%), dan terendah mual sebanyak 11

pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK

menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang\

dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada periode

Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada.

2.3. Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang

menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko

tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan.

Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru.

Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin

protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap

rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan

pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan

paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK (Helmersen, 2002).

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi

tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok.

Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan

dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini

mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok

selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati

penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan

perokok (Helmersen, 2002). Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari

dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan

akan lebih besar. Hubungan

Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya

merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang

merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal

setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok,

asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti

gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta

polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain.

Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK.

Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil

dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan

oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga

merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk

terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat

pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi

(Helmersen, 2002).

2.4. Patogenesis

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan

oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air

sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan

perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi

adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan

perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri

dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi

berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai

untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk

dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks

Universitas Sumatera Utara

gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik

(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital

paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap

rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia

yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem

eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah

besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat

persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul

peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi

terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit

dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik

pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur

penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,

maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena

ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah

inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan

terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,

komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi

oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil

Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease,

sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut,

terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.

Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,

bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan

konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

pertama

Anda mungkin juga menyukai