Anda di halaman 1dari 29

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan bagian dari rumah sakit yang terpisah, suatu ruangan khusus yang memiliki staf dan alat-alat khusus yang ditujukan untuk mengelola penderita dengan penyakit yang mengancam jiwan (Prijanto Poerjoto, 1993). Kecemasan dan nyeri adalah dua factor yang menyebabkan stress emosi yang hebat pada pediatric di ruang PICU. Pemilihan obat premedikasi peroral pada pasien pediatrik penting untuk memberikan efek sedasi yang adekuat dan stabilitas hemodinamik selama tindakan anestesi dan pembedahan (Yudha, 2010). Penilaian klinis derajat berat sakit merupakan elemen penting dalam menentukan prognosis dan pelayanan rujukan pada pasien Pediatric Intensive Care Unit (PICU) (Gunning K, 1999). Penilaian skala sedasi pada anak yang dirawat merupakan hal yang sangat penting dilakukan sebagai panduan untuk menyusun algoritma penanganan nyeri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu fomat pengkajian penilaian sedasi yang efektif bagi anak di ruangan PICU. Kegawatan sirkulasi dan respirasi menempati urutan pertama dan kedua, dengan jumlah pasien yang memakai alat ventilasi mekanik 32 dari 120 pasien (26,7%) di PICU. Leteurtre dkk (2003) melaporkan kegawatan neurologis dan kardiovaskular menempati urutan pertama dan kedua dengan jumlah pasien yang memakai alat ventilasi mekanik 51%. (Leteurtre, Martinot, Duhamel, Proulx, Grandbastien, & Cotting, 2003). Pemasangan ventilator tentunya merupakan salah satu prosedur yang membutuhkan pemberian sedasi untuk mengurangi nyeri. 1

Dalam

sebuah

penelitian

mengenai

persepsi

dan

pemanfaatan

terapi

komplementer dan alternative yang dilakukan oleh perawat yang tergabung dalam American Association of Critical Care Nurses oleh Tracy et al (2005) kepada 726 responden perawat kritis menyatakan bahwa penggunaan terapi komplementer terbanyak yang digunakan adalah manajemen diet, olahraga, teknik relaksasi dan terapi doa yang mengatasi stress, kecemasan serta berbagai macam tanda dan gejala di ruang ICU. Nyeri telah menjadi masalah utama di ruang keperawatan kritis anak sehingga manajemen nyeri menjadi manajemen utama, serta penggunaan sedative harus terus terpantau dengan adanya pengkajian terhadap level sedative. Namun beberapa macam sedative memiliki efek samping yang cukup menyakitkan bagi anak, baik efek samping psikologis dan efek samping fisik. Sedative medikasi terkadang hanya mampu menyelesaikan maslah fisik sedangkan masalah psikologis anak belum terselesaikan, sehingga perlulah adanya terapi non farmakologis sebagai usaha mengurangi efek psikologis pada nyeri. Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis mencoba menyusun makalah mengenai inovasi pengkajian dan intervensi terhadap pasien di PICU. Intervensi yang digunakan yaitu pemberian guided imagery. Distraksi nyeri adalah manajemen nyeri yang paling esensial untuk digunakan sebagai intervensi dalam mengurangi nyeri bagi anak-anak dengan distress (Cohen, 2005). Keefektifan managemen nyeri dapat dilihar melalui pengkajian nyeri. Adapun pengkajian nyeri yang dapat digunakan di ruangan PICU yaitu menggunakan COMFORT Behaviour Scale. Berdasarkan hasil penelitian lain juga menjelaskan bahwa model pengkajian COMFORT Behavior scale lebih efektif digunakan dibandingkan dengan COMFORT Scale (Ista, van Dijk, Tibboel, & de Hoog, 2005).

1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah konsep PICU, pengkajian di PICU dan dan inovasi intervensi di PICU? 1.3 Tujuan 1.3.1Tujuan Umum Mengetahui konsep PICU dan dan menyusun pengkajian dan inovasi intervensi di PICU 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Menjelaskan pengertian PICU 2. Menjelaskan konsep sedasi di PICU 3. Menjelaskan analisa penelitian terkait sedation Assessment di PICU 4. Menjelaskan Konsep Terapi Komplementer dan Alternatif dalam PICU 5. Menjelaskan Analisa Penelitian terkait Guided imagery di PICU

1.4 Manfaat 1.4.1 Bagi Institusi Menjadi salah satu acuan pembelajaran bagi Advanced Nursing Practice 1.4.2 Bagi Mahasiswa Menjadi salah satu sumber acuan pembelajaran mengenai konsep PICU , intervensi dan inovasi pengkajian di PICU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep PICU 2.1.1 Pengertian Pediatric Intensive Care Unit (PICU) adalah unit fokus perawatan kompleks dengan penerapan monitoring hemodynamic secara invasive serta perawatan bagi pasien pediatrik yang sedang menghadapi masa kritis seperti dalam open heart surgery, thoracic surgery, neurosurgery, orthopaedic surgery, otolaryngology surgery, plastic surgery, urologic surgery and transplantation of the heart, lungs, bone marrow and liver. PICU juga termasuk unit perawatan kritis yang merawat dan memonitoring secara intensif kondisi pasien anak dengan trauma mayor. Anak-anak yang dirawat dalam PICU adalah anak dengan rerata usia 1 hari sampai 18 tahun. Diperlukan perawat yang sudah mendapat pendidikan khusus, dan memiliki dedikasi serta motivasi yang tinggi bagi para perawat yang bekerja di PICU. Para perawat tersebut harus bisa melakukan interpretasi keadaan klien pediatrik, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat mengancam jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam jiwa, sebelum dokter datang. Perbandingan perawat dan klien di PICU 1 : 1 atau 2 : 3 (artinya 1 perawat untuk 1 klien atau 2 perawat untuk 3 klien). Pada saat ini pediatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan suatu instalasi tersendiri, dengan disiplin ilmu sendiri, meski tak lepas dari perkembangan disiplin ilmu yang lain (DepkesRI, 2002). 2.1.2 Tujuan Pelayanan Keperawatan Intensif Tujuan pelayanan keperawatan Intensif di ruang PICU antara lain: 4

1. Menyelamatkan kehidupan 2. Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan monitoring yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap data yang didapat, dan melakukan tindak lanjut. 3. Meningkatkan kualitas klien dan mempertahankan kehidupan 4. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh klien 5. Mengurangi angka kematian klien kritis dan mempercepat proses

penyembuhan klien. 2.1.3 Klasifikasi PICU Adapun klasifikasi pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) adalah: 1. PICU primer (standar minimal) Pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) primer merupakan pelayanan pengelolaan resusitas segera untuk klien sakit gawat, tunjangan kardio respirasi jangka pendek, dan mempunyai peran sangat penting dalam pemantauan dan pencegahan penyulit pada klien bayi, anak dan bedah. Pediatric Intensive Care Unit (PICU) harus mampu melakukan ventilasi mekanik dan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam. 2. PICU Sekunder Pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sekunder adalah pelayanan yang khusus mampu memberikan ventilasi bantu lama, mampu melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks. 3. PICU Tersier Pelayanan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) tersier adalah pelayanan untuk semua aspek perawatan intensif, mampu memberikan pelayanan tertinggi termasuk dukungan atau bantuan hidup multi system kompleks dalam jangka

waktu yang tidak terbataas serta mampu melakukan pemantauan invasive dalam jangka waktu yang tidak terbatas. 2.1.4 Peran dan tanggung jawab perawat PICU Perawat PICU memainkan peran penting. Perawat PICU terdaftar secara khusus dilatih untuk merawat anak yang sakit kritis. Perawat PICU memiliki kepedulian yang tinggi untuk anak-anak dari segala usia yang membutuhkan perhatian khusus dari trauma, operasi, dan berbagai kondisi neurologis seperti, pernapasan, kardiovaskular, pencernaan, ginjal atau system genitourinary, ortopedi, membakar, onkologi, dan / atau multi-sistem keterlibatan. Perawat PICU memiliki peranan penting dalam memastikan bahwa kebutuhan fisik pasien dan kebutuhan nyeri terpenuhi, memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan kondisi pasien, berkomunikasi dengan tim perawatan kesehatan, obat-obatan, dan perawatan medis. Memenuhi kebutuhan perkembangan dan emosional pasien sebagai prioritas kerja serta memastikan pasien dan keselamatan keluarga. Tim keperawatan didedikasikan untuk menyediakan perawatan yang sangat baik dan membantu keluarga melalui mereka menginap di PICU. (Monroe Carell Jr. Childern Hospital at Vanderbilt, 2011) 2.1.4 Indikasi masuk ruang PICU Kriteria Klien Pediatric Intensive Care Unit (PICU): 1. Klien untuk rawat PICU adalah 1) Prioritas I: yaitu klien yang dalam keadaan akut dan perlu alat bantu nafas. 2) Prioritas II yaitu klien dengan keadaan perlu monitoring intensif, syok disritmia yang mengancam jiwa, terapi titrasi

3) Prioritas III yaitu klien dengan keadaan endstage suatu penyakit yang mengalami kegawatan 2. Klien tidak masuk PICU adalah klien dengan kriteria MBO (mati batang otak) 3. Klien keluar PICU antara lain: 1) Bila indikasi untuk semua tindakan di ruang intensif tidak dibutuhkan lagi (pemantauan invasive, CVP, arteri line dan intervensi invasive) 2) Kriteria keluar dari PICU didasarkan atas parameter hemodinamik stabil, status respirasi stabil (tanpa ETT, jalan nafas bebas, gas darah normal) dan kebutuhan O2 minimal. 3) Tidak butuh tunjangan inotropok vasodilator, anti aritmia 4) Disritmia jantung terkontrol 5) Kateter pemantau sudah dilepas 6) Pasien dengan PD atau HD kronik yang telah teratasi keadaan akutnya 7) Trakheomalasia tidak lagi membutuhkan suction intensif. 8) Staf medic dan keluarga telah melakukan penilaian bersama dan menyepakati bahwa tidak lagi ada keuntungan untuk mempertahankan perawatan di PICU (informed concent). 2.2 Konsep Sedasi di PICU Nyeri dan kecemasan menjadi masalah umum dalam emergency department (ED). Dengan mengurangi nyeri, akan dapat mengurangi kecemasan dan pasien dapat lebih kooperatif, sehingga dapat meraih hasil akhir / outcome yang lebih baik. Ketakutan, kecemasan dan level perkembangan seorang anak membuat anak mengalami kesulitan dalam menerima setiap prosedur tindakan medis yang diberikan oleh petugas ketika berada dalam ruang PICU, hal ini yang akan

menyebabkan hasil akhir atau outcome yang diharapkan kurang sesuai dan tidak optimal. Dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa banyak pusat dan pelaku di emergency department kurang memperhatikan premedikasi bagi pasien anak yang akan mendapatkan prosedur yang menyakitkan. Tindakan medis yang biasa digunakan dalam emergency department seperti PICU dan bertujuan untuk mengatasi kecemasan, nyeri dan agitasi adalah prosedur sedasi (sedative procedures). Prosedur sedasi yang biasa digunakan untuk tindakan mayor di emergency departement seperti : reduksi pada fraktur tulang, lumbar puncture, biopsy bone marrow, pemasangan multiple IV lines dan tindakan menyakitkan lainnya pada anak-anak. Prosedur sedasi memiliki tujuan untuk mengurangi restrain (tekanan nyeri) dan mengurangi stress pada pasien dan anggota keluarga. Berbagai macam sedative medication antara lain : 1. Opioid analgesic (memiliki efek hypnosis, tetai ada efek samping pada depresi pernafasan) salah satu contoh opioid analgesic adalah : a. morphine sulfate (memiliki efek yang reliable dan dapat diprediksi dengan baik, efek samping ringan) b. Fentanyl (memilki efek hipotensi, menurunkan cardiac output dan tekanan darah), 2. Benzodiazepines a. Midazolam (larut dalam air, sehingga bisa diberikan per-oral dan tidak menyebabkan nyeri) b. Diazepam (efek menenangkan hypothalamus) 3. Barbiturates (Pentobarbial (ada efek anti konvulsant), Methohexital, Thiopental)

4. Zat lain : Nitrous Oxide (NO), Ketamine, Propofol, dll 2.3 Analisa Penelitian terkait Sedation Assessment di PICU Adapun Penelitian tentang Sedation Assessment di PICU antara lain 1. Assessment of sedation levels in pediatric intensive care patients can be improved by using the COMFORT "behavior" scale Penelitian ini dilakukan pada 78 anak di ruangan PICU dengan menggunakan metode prospective observational study. Peneliti menyebutkan bahwa COMFORT Behaviour Scale lebih reliable dibandingkan Original COMFORT untuk mengukul level sedasi pada pasien anak. Titik cutoff dari skala COMFORT-B berhubungan dengan skor interpretasi perawat yang menggunakan algoritma

sedasi pada unit perawatan intensif anak (Ista, van Dijk, Tibboel, & de Hoog, 2005). 2. An item analysis of the COMFORT Scale in a pediatric intensive care unit Penelitian ini dilaksanakan pada 18 anak yang dilakukan intubasi di ruangan pediatric Intensive Care Unit (PICU. Peneliti melakukan analisis item dari skala COMFORT yang terdiri dari delapan parameter klinis untuk mengetahui tingkat distress pada anak yang mengalami fase kritis. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dari delapan item dalam COMFORT Scale, hanya terdapat 6 item saja yang validitas dan reabilitasnya mencapai 97%. Hal ini dikarenakan dua item yang lain sangat dipengaruhi oleh hemodinamik (Carnevale & Razack, 2002). 3. Assessing sedation in the pediatric intensive care unit by using BIS and the COMFORT Scale Penelitian ini dilakukan pada 31 anak yang terpasang ventilasi mekanik dan sedasi. Tujuan peneliti yaitu untuk mengevaluasi keefektifan Bispektrum Indeks

Scale (BIS) untuk mengukur tingkat sedasi pada anak-anak sakit kritis dan membandingkan kinerjanya dengan penilaian standar tingkat sedasi (COMFORT Scale). Yang dilakukan dua kali sehari selama lima hari. Hasilnya, pengukuran tingkat sedasi dengan mengguna BIS lebih efektif digunakan dibandingkan dengan menggunakan COMFORT Scale (Crain, Slonim, & Pollack, 2002). 4. Correlation of the Bispectral Index Monitor with the COMFORT Scale in the pediatric intensive care unit. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat korelasi antara COMFORT Scale dan monitor BIS. Penelitian ini menggunakan desain studi prospektif dan

dilakukan pada 75 dengan usia rata-rata 10 bulan. Monitor BIS mungkin valid dan berguna untuk mengukur tingkat sedasi anak-anak di PICU. Namun kita tidak bisa mengharapkan korelasi yang sempurna antara nilai-nilai BIS dan skala observasional karena mereka mengukur variabel yang berbeda. Kemampuan monitor BIS untuk membedakan antara tingkat sedasi yang sangat mendalam mungkin berguna untuk mencegah over-sedasi pada anak-anak dalam PICU dan untuk memperjelas target level yang tepat dari obat penenang untuk setiap anak. (MD, J, J, & RH, 2005) 5. State Behavioral Scale: a sedation assessment instrument for infants and young children supported on mechanical ventilation. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji reliabilitas dan validitas State Behavioral Scale (SBS) untuk digunakan dalam menggambarkan tingkat sedasi/ agitasi pada pasien anak dengan intubasi ventilasi mekanik. Penelitian ini dilakukan pada 91 pasien anak dengan intubasi ventilasi mekanik. Penelitian ini menjelaskan bahwa SBS ini dapat digunakan untuk instrument

10

dalam mengukur tingkat sedasi pada anak, namun perlu penelitian lebih lanjut untuk menguji tingkat keefektifan dari SBS tersebut. (MA, SK, KA, RA, & JH, 2006) 6. Optimal sedation of mechanically ventilated pediatric critical care patients. Penelitian ini dilakukan pada 85 anak yang berada di PICU dengan metode Serial prospective agreement cohort studies. Dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa pengukuran level sedasi lebih baik menggunakan COMFORT Scale dibandingkan dengan penilaian global intensivist. (CM, et al., 1994). Dari beberapa penelitian, terdapat beberapa model pengkajian level sedasi pada anak yang sedang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU), antara lain COMFORT Scale, comfort behavior scale, State Behavioral Scale (SBS), dan Bispektrum Indeks Scale (BIS). Model pengkajian SBS belum diketahui efektifitasnya dalam mengukur level sedasi pada anak, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait hal tersebut (MA, SK, KA, RA, & JH, 2006). Pada model Bispektrum Indeks Scale (BIS), beberapa penelitian menyebutkan bahwa model ini efektif untuk mengukur level sedasi pada anak, model BIS juga lebih efektif digunakan dibandingkan dengan model COMFORT Scale (MD, J, J, & RH, 2005). Akan tetapi, BIS ini sangat buruk untuk menilai level sedasi pada opioid dan ketamin (Malviya, Voepel-Lewis, Tai, Watcha, Sadhasivam, & Friesen, 2007). Disamping itu, Sebelum dilakukan pengukuran, pada bagian dahi an dipasang empat buah elektroda perak untuk mengetahui elektromyocity pada keadaan sedasi. Hasil dari pemeriksaan ini akan ditampilkan pada monitor. Akurat tidaknya hasil pemeriksaan ini tergantung pada tinggi rendahnya amplitude dan pemasangan electrode (Johansen, 81-99). Dalam penerapan model BIS ini,

11

kesalahan alat dalam menginterpretasikan kemungkinan bisa terjadi, sehingga perlu dipertimbagkan kembali untuk digunakan. Pada penggunaan model pengkajian COMFORT Scale, dari 8 item yang dikaji, hanya 6 item yang valid dan reliable, sehingga butuh dimodifikasi (Carnevale & Razack, 2002). Berdasarkan hasil penelitian lain juga menjelaskan bahwa model pengkajian comfort behavior scale lebih efektif dibandingkan dengan COMFORT Scale (Ista, van Dijk, Tibboel, & de Hoog, 2005). Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa model pengkajian COMFORT Behaviour Scale yang ebih efektif digunakan dan applicable. 2.4 Konsep Terapi Komplementer dan Alternatif dalam PICU Pengobatan alternatif adalah setiap upaya praktek penyembuhan yang

tidak menggunakan obat konvensional. Terapi alternatif dan komplementer adalah upaya penyembuhan penyakit yang berbasis budaya dimana dapat meningkatkan keberhasilan upaya pemulihan (Conward & Ratanakul,1999). Definisi lain mengenai komplementer adalah adalah penggunaan terapi tradisonal kedalam pengobatan modern (Andrews et al., 19990). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang memengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004). Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai

12

dengan prinsip keperwatan yang memandang manusia sebgai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual). National Center for Complementary/Alternative medicine (NCCAM) membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan ke dalam 5 kategori : 1. Mind-body terapi Yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journalin, bio feedback, humor, tai chi, dan terapi seni. 2. Alternatif sistem pelayanan Yaitu sistem pelayanan kesehatan yang mengembangkan pedekatan pelayanan biomedis berbeda dari barat misalnya pengobatan tradiosonal cina, ayurvedia, pengobatan asli amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy. 3. Terapi Biologis Yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal dan makanan. 4. Terapi manipulatif dan sistem tubuh Yaitu terapi yang didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. 5. Terapi Energi Yaitu terapi yang yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapeutik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet.

13

2.5 Analisa Penelitian terkait Guided imagery di PICU Berbagai macam terapi tambahan (adjuvant therapy) bagi dalam prosedur sedative saat ini telah banyak berkembang. Terapi ajuvan ini adalah sebuah terapi yang memang membutuhkan pelatihan dan pembelajaran dalam penggunaannya, tetapi dalam sekali pelatihan atau pemebelajaran terapi ini mudah untuk dilaksanakan. Salah satu contohnya adalah terapi non-pharmacologycal Guided imagery. Guided imagery telah menjadi salah satu terapi komplementer adjuvant dalam keperawatn kritis terutama dalam keperawatan kritis anak. Berdasarkan penelitian oleh (Kline, Turnbull, Labruna, Haufler, DeVivio, & Ciminera, 2009) mengenai penerapan Guided imagery sebagai manajemen nyeri pada 24 anak postoperative di ruang PICU menyatakan bahwa dengan melakukan Guided Mental Imagery pada klien anak selama 28 menit saat preoperative akan menurunkan tingkat rerata nyeri. Penelitian lain yang menyatakan bahwa guided imagery efektif digunakan sebagai manajemen pain dan membantu mengurang kecemasan dan agitasi ada pasien anak. pernyataan dari (Cohen, 2005) bahwa distraksi nyeri adalah manajemen nyeri yang paling esensial untuk digunakan sebagai intervensi dalam mengurangi nyeri bagi anak-anak dengan distress. Dan menjadi komponen esensial dalam keberhasilan non-pharmacologycal manajemen nyeri (Elliott, 1983). Hasil penelitian Lambert (1996) menggunakan terapi guided imagery dapat menurunkan nyeri postoperative dan mempercepat ALOS pasien anak. Tingkat kecemasan anak juga menurun dibandingkan dengan kelompok control yang tidak diberikan intervensi guided imagery.

14

Selain itu menurut penelitian A Meta-Analysis of the Effect of Guided Imagery Practice on Outcomes (Debra Van Kuiken) di sebutkan bahwa ada hubungan antara lama durasi pemberian intervensi guided imagery terhadap effect outcome nya. Semakin lama di berikan terapi guided imagery maka hasilnya akan semakin positif. Tetapi dalam penelitian tersebut sangat sulit untuk menentukan dosis minimal waktu pemberian terapi guided imagery agar memberikan efek yang besar. Jenis kelamin juga mempengaruhi hasil dari pemberian terapi guided imagery, menurut penelitian Imagery Reduces Pain in Pediatric ICU - CHPA, Hypnotherapy Association (Sullivan 2010) terjadi penurunan yang signifikan terhadap nyeri yang di alami anak laki-laki pain ratings [t(38) = 3.41, p = .0015] sedangkan pada anak perempuan menunjukkan penurunan rasa nyeri yang tidak signifikan. Sehingga penelitian ini menyimpulkan bahwa terapi guided imagery untuk mengatasi nyeri pada anak di ruang intensive care memiliki manfaat.

15

BAB 3 PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Keperawatan saat ini di PICU Penggunaan terapi komplementer dan alternative di dunia keperawatan kritis sudah semakin berkembang. Dalam sebuah penelitian mengenai persepsi dan pemanfaatan terapi komplementer dan alternative yang dilakukan oleh perawat yang tergabung dalam American Association of Critical Care Nurses oleh Tracy et al (2005) kepada 726 responden perawat kritis menyatakan bahwa penggunaan terapi komplementer terbanyak yang digunakan adalah manajemen diet, olahraga, teknik relaksasi dan terapi doa. Lebih lanjut dalam penelitiannya meyatakan bahwa terapi komplementer sangat berperan dalam mengatasi stress, kecemasan serta berbagai macam tanda dan gejala di ruang ICU yang mana kondisi pasien selalu dalam keadaan yang tidak stabil dan memiliki toleransi yang rendah dalam penggunaan terapi farmakologi tradisional. Dan dalam pengembangan Advanced Nursing Practice kami akan mengangkat topik Guided imagery sebagai terapi komplementer adjuvant selain medication sedative untuk menurunkan Agitasi dan nyeri pada Anak di Ruang PICU. 3.2 Pengkajian Level Sedasi Menggunakan COMFORT Behaviour Scale COMFORT B Scale Kriteria anak yang dapat dilakukan pengkajian dengan menggunakan COMFORT Behaviour Scale menurut (Monique van Dijk, B, Peters, & Patricia van Deventer, 2005) yaitu: 1. Mendapatkan pengobatan

16

1) Pemberian analgesik dan obat penenang 2) Tambahan analgesik dan obat penenang 3) Obat-obatan, seperti antikonvulsan, yang dapat mempengaruhi perilaku 4) Sebelum menggunakan agen memblokir neuromuscular (dilakukan setelah bolus diberikan, 5) Nonfarmakologis intervensi penbrian sukrosa. 2. Kondisi anak 1) Penyakit parah yang membatasi gerak 2) Penyakit neuromuskular, penyakit kognitif, dan penyakit neurologis 3) Post operasi 4) Kondisi yang membatasi gerak 5) Pemasangan ventilasi mekanis 6) Lingkungan yang mempengaruhi perilaku 7) Persepsi perawat pada emosi anak, seperti kemarahan atau ketakutan Adapun waktu dilakukannya pengkajian dengan COMFORT Behaviour Scale yaitu: 1. Setiap 2 jam di hari pertama pasien post operasi besar 2. Sebelum dan setelah intervensi pada pasien nyeri 3. Prosedur lain-lain yang menimbulkan rasa sakit akut (Monique van Dijk, B, Peters, & Patricia van Deventer, 2005).

Tabel 1. Analisa rencana inovasi PICOT COMFORT B Scale Population Intervension Comparation Outcome Valid Time dan Setiap 2 jam

Anak yang dirawat Melakukan

17

di

Pediatric pengkajian

untuk level tingkat anak

reliable untuk di mengukur level pertama

hari

Intensive Care Unit mengetahui (PICU) yang sedasi dan pada

sedasi setelah

terpasang ventilator nyeri mekanik

pada anak di operasi ruangan PICU (Monique van (Ista, van Dijk, Dijk, B, & van

dengan menggunakan COMFORT Behaviour Scale.

Tibboel, & de Peters, Hoog, 2005) Patricia Deventer, 2005)

COMFORT B Scale terdiri dari 7 item yaitu alertness,

calmness-agitation, respiratory response, Crying, movement, tone, dan physical muscle facial

tension yang mana tiap item terdiri dari 5 skor dari 1-5

(Monique van Dijk, B, Peters, & Patricia van Deventer, 2005)

Implementasi COMFORT B Scale

18

Cara mengimplementasikan model pengkajian COMFORT Behaviour Scale terdiri dari beberapa tahap ( www.anestesiarianimazione.com), yaitu: 1. Fase persiapan (sekitar 3 bulan) Perawat merencanakan pengkajian nyeri menggunakan COMFORT Behaviour Scale melalui diskusi dengan tenaga medis dan staf keperawatan. Setelah didiskusikan, mereka mulai membahas pendekatan yang cocok untuk

mengimplementasikan rencana tersebut. Setelah itu dilakukan sosialisasi terkait pengimplementasian COMFORT Behaviour Scale untuk mendapatkan dukungan positif dari tenaga kesehatan lain. Langkah selanjutnya yaitu pelatihan pada perawat dan dokter tentang cara menggunakan COMFORT Behaviour Scale. 2. Fase 2 Selama fase ini kita melakukan penilaian dasar untuk menentukan kebijakan pengobatan nyeri di bangsal. Tujuannya, Comfort Behaviour score dikumpulkan selama dua bulan pertama dan dimasukkan dalam database bersama karakteristik pasien dan dosis pemberian analgesik. Staf medis mengembangkan algoritma pemberian analgesik yang sesuai untuk kelompok pasien tertentu. Pada akhir periode (4bulan), perawat melakukan proses evaluasi melalui survei, wawancara, misalnya, apakah frekuensi penilaian comfort behavior scale sudah cukup, terlalu rendah, atau terlalu tinggi. Selain itu, perawat memeriksa apakah penilaian Comfort Behaviour Scale yang dicatat dalam file pasien yang tepat. Di samping itu, memberikan pengetahuan kepada perawat tentang frekuensi aktual penilaian Comfort Behaviour Scale. Dengan informasi ini, frekuensi penilaian Comfort Behaviour Scale dalam kelompok pasien tertentu dapat disesuaikan, dan algoritma pemberian analgesik secara adekuat dapat ditentukan.

19

3. Setelah perawatan (4 bulan) Selama periode ini, pengkajian terus dilakukan dikombinasikan dengan managemen nyeri terpadu setiap hari. kegiatan selanjutnya berfokus pada keteraturan mengisi form COMFORT Behaviour Scale tanpa mengabaikan proses implementasi. Pelatihan cara menggunakan COMFORT Behaviour Scale juga dapat dilakukan kembali bagi tenaga kesehatan yang belum mengetahui. Diskusi dengan perawat di ruangan lain juga diperlukan untuk bertukar pengalaman tentang pelaksanaan model pengkajian COMFORT Behaviour Scale. 4. Fase 4 Pelaksanaan penilaian nyeri membutuhkan perhatian secara khusus. Perawat melakukan pemeriksaan rutin dalam beberapa kasus untuk memperbaiki skor nyeri agar tidak memburuk, sehingga pelaksanaan penilaian nyeri harus diawasi untuk waktu yang lama. Terdapat beberapa faktor yang menghambat keberhasilan penilaian nyeri yang dikombinasikan dengan algoritma untuk mengetahui adaptasi seseorang yang diberikan obat analgesik. 1. Staf medis acuh tak acuh, menganggap penilaian nyeri sebagai isu keperawatan saja. Komitmen dari tenaga medis sangat penting, karena meraka harus mengembangkan algoritma pemberian analgesic sesuai dengan keadaan terkini. 2. Tidak ada waktu atau uang untuk melakukan pelatihan bagi semua perawat.

20

Gambar 1. Form pengkajian COMFORT Behaviour Scale

21

3.3 Guided imagery untuk Mengurangu nyeri pada Anak di Ruang PICU Nyeri dan kecemasan menjadi masalah umum dalam emergency department (ED). Dengan mengurangi nyeri, akan dapat mengurangi kecemasan dan pasien dapat lebih kooperatif, sehingga dapat meraih hasil akhir / outcome yang lebih baik. Ketakutan, kecemasan dan level perkembangan seorang anak membuat anak mengalami kesulitan dalam menerima setiap prosedur tindakan medis yang diberikan oleh petugas ketika berada dalam ruang PICU, hal ini yang akan menyebabkan hasil akhir atau outcome yang diharapkan kurang sesuai dan tidak optimal. Dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa banyak pusat dan pelaku di emergency department kurang memperhatikan premedikasi bagi pasien anak yang akan mendapatkan prosedur yang menyakitkan. The agency for health care Policy and Research and The American Society of Anasthesiologist memberikan rekomendasi untuk penggunakan pharmacological dan non-pharmacological teknik untuk manajemen nyeri pada pasien anak (Huth, 2009) & (Anasthesiologist, 1992). Nyeri dihasilkan dari hubungan antara komponen afektif dari stimulus noxious (Melzak & Casey, 1968) Noxius adalah Sebuah stimulus berbahaya atau berpotensi, merusak jaringan dan bertanggung jawab untuk menyebabkan rasa sakit, tetapi tidak selalu memyebabkannya. Beberapa rangsangan berbahaya, khususnya di visera, tidak menyebabkan respon nociceptive. rangsangan dapat menyebabkan nyeri viseral atau pembuangan aferen, sebanding dengan yang dari rangsangan merusak. Rangsangan Algogenic adalah mereka yang menimbulkan nyeri dan biasanya, namun tidak selalu ,.Ketika intervensi non farmakologial dikombinasi dengan agen farmakologikal sebagai

22

manajemen nyeri post-operatif maka, sensor dan komponen afektif nyeri dapat berkurang daripada hanya menggunakan medikasi sedative saja (Huth, 2009) The academy of Guided imagery (2010) menyatakan bahwa guided imagery adalah sebah teknik visualisasi dan pemberian sugesti langsung, serta secara metafora dan mendongeng sebagai sebuah jalan untuk menghubungkan antara alam bawah sadar dan menyerupakan sebuah gambar imajinasi yang dapat berkomunikasi dengan alam sadar. Dengan adanya hubungan antara alam sadar dan bawah sadar inilah pasien dapat menggunakan sumber internal yang sebelumnya tidak disadari untuk membantu dam menjadi coping bagi pasien dalam menghadapi situasi yang mengancam. Praktik guided imagery dapat dilakukan melalui instruksi dan pembimbingan dari seorang psikologis, atau pelatih professional lain, dapat melalui rekaman video atau rekaman suara, maupun dapat dilakukan sendiri tanpa ada sumber external yang mempengaruhi. Praktik guided imagery paling umum adalah Interactive Guided imagery, praktik relaksasi ini mengembangkan bentuk imajinasi langsung kepada pasien tanpa adanya professional mapun rekaman suara yang diberikan kepada pasien. (Rossman M, 2004) Huth et al (2004) dalam penelitian experimental secara random menganalisis 73 anak usia sekolah (7-12 tahun) yang akan menajalani tonsilektomi dan/atau adenoidectomy. Pada saat perlakuan, kelompok perlakuan diberikan rekaman video-tape dan diperdengarkan audiotape 1 minggu sebelum hari operasi. Mereka juga diperdengarkan audiotape setelah keluar dari ruang operasi dan ketika sudah berada dirumah (discharge). Hasil menunjukkan bahwa ada penurunan nyeri dan kecemasan yang signifikan antara 1 - 4 jam setelah operasi juga didukung dengan

23

adanya pemberian analgesic dan penangangan kecemasan. Intervensi yang digunakan adalah Magical Island: Relaxation for Kids (Magic Island) yang diawali dengan tension-release exercise untuk meringankan ketengan otot dan stress fisik kemudian diiringi dengan background music seorang narrator membacakan imajinasi perjalanan menggunakan balon udara menuju Magic island (Pulau Ajaib). Anak-anak di dorong untuk teratur melakukan nafas dalam untuk mengubah sirkulasi oksigen dan menenangkan tubuh. Relaksasi Magic Island ini menggunakan tiga alat relaksasi: tension-release exercise, nafas dalam dan imajinasi terbimbing untuk menenangkan pikiran dan mengembangkan imajinasi anak. Tabel 2. Analisa Inovasi PICOT Guided imagery Population Intervension Comparation Instrument : Outcome Terdapat Time 15-20 menit sebelum nyeri tindakan signifikan medis yang

12 anak (usia 3-18 Instrument : tahun) yang dirawat CD di PICU . Responden: 6 anak imagery terdapat

Guided Teaching yang imagery detailed

mental penurunan dan tingkat inquiry yang

Kelompok control 6 rekaman anak

(Kline, Turnbull, pada

kelompok menyakitkan

terjemahan dari Labruna, Haufler, responden yang (Kline, Magical island DeVivio, diberikan pada Ciminera, 2009) responden penelitian untuk perdengarkan & diberikan terapi Turnbull, guided imagery, Labruna, skala trauma Haufler, DeVivio, & Ciminera,

Audio recorded of menunjukkan di Guided imagery in penurunan 2 month tingkat

trauma 2009)

24

kelompok control :

(Miranda A.L. van anak no Tilburg, 2009) Persepsi perawat positif thd

intervention Post medical prosedur : Pain Scale Menggunakan Likert Scale (010) anak painfull Watching Videotape Listening

& sikap kooperatif Audio anak di ruang

rating Tape : Magical PICU Island 2009) (Huth,

usia 8-18 tahun Wong Faces: (happy extremely pained) anak usia 3-7 tahun Pediatric trauma Scale Pediatric trauma score (1 and +2) score Baker

lower

25

indicated greater trauma severity Persepsi perawat dalam merawat responden dan kelompok control

26

DAFTAR PUSTAKA Anasthesiologist, A. s. (1992). Acute pain management in infants, childern, adolescent: operative and medical prosedure. Bakke AC, P. M. (2002). The effect of hypnotic-guided imagery on psychological well-being and immune function in patients with prior breast cancer. J Psychosom Res. , 2002 Dec;53(6):1131-7. Carnevale, F. A., & Razack, S. M. (2002). An item analysis of the COMFORT scale in a pediatric intensive care unit. Pediatric Critical Care Medicine: Volume 3 ; Issue 2 , 177-180. CM, M., PG, S., LH, L., KW, H., B, A., TS, Y., et al. (1994). Optimal sedation of mechanically ventilated pediatric critical care patients. Critical Care Medicine , 163-170. Cohen, M. L. (2005). a comparison distraction strategies of venipuncture distress in childern. journal of pediatrics psychology vol 30 , 387-396. Crain, N. M., Slonim, A. M., & Pollack, M. M. (2002). Assessing sedation in the pediatric intensive care unit by using BIS and the COMFORT scale. Pediatric Critical Care Medicine; Volume 3; Issue 1 , 11-14. Curley MA, H. S. (2006). State Behavioral Scale: a sedation assessment instrument for infants and young children supported on mechanical ventilation. Pediatric Critical Care Medicine , 107-140. DepkesRI. (2002). Pelayanan Intensive Care. In D. Y. RI, Pelayanan Intensive Care (pp. 21-25). Jakarta: Depkes RI. Elliott, C. H. (1983). the management of childern distress in response to painful medical treatment for burn injuries. behaviour research and therapy Vol 21 , 675-683. Gunning K, R. K. (1999). Outcome data and scoring system. BMJ , 241. Huth, M. M. (2009). Evaluation of the M a g i c Island : Relaxation for Kids Compact Disc. CNE ContinuingNursing Education Series vol 35 no 5 , 290-295. Ista, E. R., van Dijk, M. P., Tibboel, D. M., & de Hoog, M. M. (2005). Assessment of sedation levels in pediatric intensive care patients can be improved by using the COMFORT "behavior" scale . Pediatric Critical Care Medicine , 58-63. Johansen, J. W. (81-99). Update on Bispectral Index monitoring . Best Practice & Research Clinical Anaesthesiology , 2006. Kline, W. H., Turnbull, P., Labruna, V. E., Haufler, L., DeVivio, S., & Ciminera, a. P. (2009). Enhancing Pain Management in the PICU by Teaching Guided Mental Imagery: A Quality-Improvement Project. Journal of Pediatric Psychology , Volume 35, Issue 1Pp. 25-31.

27

Lambert, S. A. (1996). The effects of hypnosis/guided imagery on the postoperative course of children. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics , Vol 17(5), Oct 1996, 307-310. Leteurtre, Martinot, Duhamel, Proulx, Grandbastien, & Cotting. (2003). Validation of the paediatric logistic organ dysfunction (PELOD) score: prospective, observational, multicentre study. Lancet , 192. MA, C., SK, H., KA, F., RA, J., & JH, A. (2006). State Behavioral Scale: a sedation assessment instrument for infants and young children supported on mechanical ventilation. Pediatric Critical Care Medicine , 107-140. Maj Eric A. Gonzales, C. M. (2010). Effects of Guided Imagery on Postoperative outcomes in patients undergoing same-day surgical procedures: a randomized single blind study. AANA Journal June 2010 Vol. 78, No. 3 , 181-188. Malviya, S., Voepel-Lewis, T., Tai, A. R., Watcha, M. F., Sadhasivam, S., & Friesen, R. H. (2007). Effect of Age and Sedative Agent on the Accuracy of Bispectral Index in Detecting Depth of Sedation in Children. Pediatrics , 120;e461. MD, T., J, Z., J, G., & RH, F. (2005). Correlation of the Bispectral Index Monitor with the COMFORT scale in the pediatric intensive care unit. Pediatric Critical Care Medicine , 648-653. Miranda A.L. van Tilburg, P. D.-M. (2009). Audio-Recorded Guided Imagery Treatment Reduces Functional Abdominal Pain in Children: A Pilot Study. PEDIATRICS Vol. 124 No. 5 November 1, 2009 . Monique van Dijk, P. R., B, J. W., Peters, P. R., & Patricia van Deventer, R. a. (2005). The COMFORT Behavior Scale A tool for assessing pain and sedation in infants. AJN Vol. 105, No. 1 . Monroe Carell Jr. Childern Hospital at Vanderbilt. (2011, August 25). Retrieved March 7, 2013, from http://www.childrenshospital.vanderbilt.org/services.php?mid=7143: http://www.childrenshospital.vanderbilt.org/services.php?mid=7143 Pope-Angulo, N. (2010). , RN. B.S. WCSI CCEP 4 , 1-2. Rossman M, L. (2004). Guided imagery in cancer care. Seminars in integratif medicine , 99-106. Traci R. Stein, P. M. (2010). A Pilot Study to Assess the Effects of a guided imagery audiotape intervention on psychological outcomes in patients undergoing coronary artery bypass graft surgery. JOURNAL OF HOLISTIC NURSING PRACTICE , 213-215. Weydert, J. A. (2006). Evaluation of guided imagery as treatment for recurrent abdominal pain in children : a randomized control trial . BMC Pediatrics , 1-10. Yudha, S. (2010). Perbandingan Premedikasi Klonidin Dan Diazepam Peroral Terhadap Level Sedasi Dan Respons Hemodinamik Pediatrik. Retrieved

28

Maret 2013, 2013, http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=29178.

from

Zen-zen. (2010). Managemen PICU . Retrieved Maret 6, 2013, from http://akatsuki-ners.blogspot.com/2010/11/manajemen-picu-dan-.html.

29

Anda mungkin juga menyukai