Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
berbicara tentang bahasa kita selalu mengaitkannya dengan komunikasi. Seperti ditegaskan Lyons dalam Siberani (1992:90) bahwa bahasa berperan sebagai alat komunikasi dan merupakan kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi, selain itu sulit membayangkan batasan istilah yang memuaskan tanpa menghbungkannya dengan pengertian komunikasi. Bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Bahkan dengan bahasa kita
bias mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan suatu bangsa tercermin dari budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya dalam kosa kata kata, pararaf, wacana atau retorika. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan adalah hal yang menarik untuk
dibicarakan,
sehingga
membuat
masyarakat
luas
dengan
berbagai
latar
belakang
tertarik
untuk
membicarakannya.
1
Ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan. Bahasa sebagai wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya dan dari bahasa kita dapat mengetahu seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manusia. Permasalahannya adalah beberapa ahli linguistic bersepakat bahwa mempengaruhi
budaya seseorang. Pendapat ini dipopulerkan oleh dua pakar linguistic bernama Edward Sapir dan Benjamin Whorf, sehingga teori mereka terkenal dengan sebutan Teori Sapir- Whort. Teorinya menyebutkan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran manusia dank arena itu mempengaruhi juga tingkah lakunya, diungkapkan Herman (http://id.scehinstitute.org/index.php?option=com-contens&view=arti, diunduh tanggal 2 Desember 2009). 2. Bahasa dan Kebudayaan 2.1 Bahasa Batasan bahasa ditegaskan Widjono (2007:15) adalah system lambing bunyi ujaran
yang digunakan untuk berkomuniksi oleh masyarakat pemakainya. Digunakan dalam berbagai lingkungan, tingkatan dan kepentingn yang beraneka ragam, misalnya komunikasi ilmiah, bisnis, kerja, sosial dan budaya. Sejalan dengan definisi mengenai bahasa, Kridalaksana dalam Chaer (2003:32)
bahasa adalah sstem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok social untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Sebagai suatu system bahasa sekaligus bersifat sistematis. Artinya bahasa tersusun
menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak, dengan kata lain, bahasa itu bukan merupakan suatu system yang tunggal, tetapi dari subsistem, seperti fonologi, morfologi, sintaksisi dan semantic. Sedangkan arbitrer di sini artinya tidak ada hubungan wajib antara lambing bahasa
(yang
berwujud
bunyi
itu)
dengan
konsep
atau
pengertian
yang
dimaksud
lambing
tersebut.
2
Secara umum fungsi bahasa, yaitu alat komunikasi antar anggota masyarakat.
Dijelaskan Nababan (1993:38), jika dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dapat dibedakan menjadi empat golongan fungsi, (1) kebudayaan, (2) kemasyarakatan, (3) perorangan, dan (4) pendidikan. Keempat fungsi tersebut berkaitan, sebab perorangan adalah anggota masyarakat yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pla-pola kebudayaan yang diwariskan dan dikembangkan melalui pendidikan. Sebagai makhluk social, manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dalam memenuhi
kebutuhannya setiap orang memerlukan kerjasama dengan orang lain, terlebih lagi kebutuhan manusia banyak dan beragam. Mereka perlu berkomuikasi dalam berbagai lingkungan di tempat mereka berada. 2.2 Kebudayaan Hakikat kebudayaan sangat kompleks sehingga para ahli selalu memberikan
pengertian, pemahaman dan batasan yang bervariasi. Wilson dalam Siberani (1992:99), mengatakan bahwa kebudayaan adalah pegetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara social, baik bersifat eksistensi, normative maupun simbolis yang tercermin dalam tingka laku dan benda-benda hasil karya manusia. Sementara Koentjoroningrat merumuskan kerangka kebudayaan memiliki dua aspek,
yaitu (1) wujud kebudayaan yang berupa gagasan, prilaku dan kebudayaan fisik yang bersifat kongkret, (2) isi kebudayaan yang terdiri dari bahasa, system teknologi, system mata pencaharia atau ekonomi, organisasi social, system pengetahuan, system teligi dan sistem kesenian. Dari beberapa define mengenai kebudayaan dapat kita temukan dasar pijakan yang
sama
yaitu
manusia
dengan
segala
macam
kelebihannya
disbanding
dengan
makhluk
lain.
Kebudayaan
selalu
dipandang
sebagai
suatu
yang
khas
manusia
dan
karena
itu
selalu
dihubungkan
dengan
keindahan,
kebebasan
dan
keluhuran.
3
3. Bahasa Dalam Kebudayaan Bahasa dan Kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan
sederajat yang keduduknnya sangat tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu system yang melekat pada manusia. Atau dengan kata lain kebudayaan adalah suatu sistem yang melekat pada manusiamengatur interaksi manusia di dalam bermasyarakat, maka bahasa adalah suatu system yang berfungsi sebagai sarana berlangsung interaksi tersebut. Tentang hubungan bahasa dan kebudayaan ini juga pernah dibahas oleh: D.
Bloomfield, harris dan Voegeli dalam Oka (1974:113) Menurut mereka bahasa jika ditinjau dari luar dirinya adalah sebagai alat dan wadah kebudayaan dalam wujud kegiatan berbahasa baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan. Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit
mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik). Sedangkan fungsi bahasa dalam kebudayaan diperinci Sibrani (1992:101) menjadi
tiga, yaitu (1) sarana perkembangan kebidayaan (2) jalur penerus kebudayaan (3) inventaris cirri-ciri kebudayaan. Sebagai sarana kebudayaan, dilihat dari pemerkayaan kebudayaan Indonesia melalui
daerah dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Seperti dimaklumi penerima kebudayaan hanya bisa terwujud apabila budaya itu dimengerti, dipahami, dan dijunjung masyarakat pemakai bahasa itu. Bahkan sering dinyatakan bahwa kebudayan dapat terjadi apabila ada bahasa, karena bahasalah yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Di sisi lain pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, dan cara berpakaian dan unsure
budaya
lain
juga
bisa
disampaikan
atau
ditransmisi
melalui
bahasa.
Bahkan
kebudayaan
nenek
moyang
dapat
diterima
dan
kita
wariskan
kepada
anak
cucu
kita
melalui
bahasa.
Kebudayaan
nenek
moyang
yang
terkandung
dalam
naskah-naskah
lama,
yang
mungkin
ditulis
berates-ratus
tahun
lalu,
bisa
kita
nikmati
sekarang
ini
hanya
karena
ditulis
dalam
4
bahasa. Pengetahuan sebagai unsure budaya dapat kita sampaikan pada murid dan anak cucu kita hanya karena diutarakan dengan bahasa. Selanjutnya suatu kebudayaan baru dapat disampaikan dan dimengerti apabila
unsure kebudayaan itu mempunyai nama atau istilah. Penamaan atau pengistilahan itu ialah bahasa. Setiap unsure kebudayaan, mulai dari yang terkecil sampai terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan pengajaran kebudayaan, nama atau istilah itulah yang paling diperlukan. Pemberian nama pada unsur kebudayaan sekaligus untuk menginventarisasi kebudayaan tersebut. Hasil inventaris kebudayaan dapat bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan khususnya menyangkut penyebarluasan, pengajaran dan pembelajaran kebudayaan. 3.1 Bahasa Refleksi Diri Levi-Strauss dalam Siberani (1992:104) menyatakan bahwa bahasa adalah hasl
kebudayaan. Artinya bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut. Contoh: Bahasa Sunda Amis : manis Gedang: papaya Raos : enak Atos : sudah Cokot : ambil Bahasa Jawa amis : amis gedhang: pisang raos atos : rasa : keras
cokot : gigit
Dari uraian di atas, jelas bahasa mempunyai latar makna dalam latar kebudayaan
yang menjadi wadahnya. Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan kebudayaan yang menjadi wadahnya. Jika dikaitkan dengan budi bahasa dalam bahasa Indonesia dapat dirtikan dengan
perilaku,
karena
dalam
bahasa
itu
tercermin
perilaku
penuturnya.
Keeratan
ini
5
mengakibatkan kesulitan penerjemahan kata-kata atau ungkapan dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain karena yang diterjemahkan atau yang dialihkan bukan saja kata-kata atau ungkapan-ungkapan tersebut, melainkan juga konsep budaya yang mendasari mereka. Contoh: Bahasa Sunda Bahasa Jawa putu : cucu (netral) wayah : cucu (halus) lambe : bibir (netral) lathi : (netral)
Jika dibandingkan antara bahasa Sunda dan jawa, meskipun beberapa kata kadang-
kadang mengacu pada objek yang sama, maka kata-kata tersebut sering berbeda apabila ditinjau dari segi tutur (undak-undak) sesuai dengan budaya yang mendasarinya. Tata cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi norma-norma budaya suku
bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang sunda juga berbeda dengan tata cara berbahasa orang Jawa meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat berpengaruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu memahami norma-norma kebudayaan sebelum atau selain mempelajari bahasa. 3.2 Fenomena Bahasa Dari kacamata social, memang bahasa dan budaya bagai dua sisi mata uang,
hubungan
bahasa
dan
budaya
bisa
dirunut
dari
pandangan
yang
berbeda.
Pertama
menace
pada
kesemestaan
budaya
yang
menyatakan
bahwa
bahasa
seperti
halnya
kepercayaan
dan
mata
pencaharian
adalah
komponen
penting
budaya.
Menurut
Koentjoroningrat,
dalam
Mustafa
(2008),
jika
budaya
didefinisikan
sebagai
totalitas
pola
perilaku
seni,
kepercayaan,
hsil
karya
dan
buah
pemikiran
manusia
signifikansi
bahasa
terletak
pada
kenyataan
bahwa
bahasa
memegng
peranan
penting
sebagai
alat
transmisi
budaya
dari
satu
generasi
ke
generasi
selanjutnya.
6
Para ahli budaya menilai bahasa sebagai cermin budaya member pengaruh signifikan
pada kemajuan sebuah bangsa. Penelitian Arief Rahman Hakim dalam Mukhamad (http://suara pembaca.detik.com/read/2009/10/29/175539/1231296/47, diunduh tanggal 2 Desember 2009), menyebutkan di Kalimantan satu dari 50 bahasa tak lagi digunakan. Di Sumatera dari 13 bahasa dua diantaranya kritis dan satu punah. Di Sulawesi, satu dari 110 bahasa telah lenyap dan 36 dalam kondisi terancam. Di Timor flores dan Samba tercatat 50 bahasa masih bertahan, tapi delapan diantaranya hamper punah. Hal tersebut menunjukkan bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada fenomena
bahasa yang mempeihatinkan. Puluhan bahasa daerah punah dan lainnya berpotensi punah juga. Kenyataan ini pelu dicermati karena denan melemahnya bahasa daerah, membuat bahasa Indonesia akan seakin terpuruk. Apalagi saat ini hanya sebagian kecil saja kosa kata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa daerah. Selebihnya adalah bahasa asing. Ini mengidentifikasikan bahasa daerah sebagai sumber kekayaan bahasa (budaya) Indonesia keberadaannya terabaikan. Karena itu kalau tidak segera diantisipasi serbub bahasa asing akan semakin mendomonasi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. 4. Bahasa Pengaruhi Budaya 4.1 Teori Sapir-Whort Banyak ahli bahasa dan budaya dua hal yang saling terkait dan dalam teori Sapir-
Whorf
dinyatakan
bahwa
bahasa
mempengaruhi
budaya.
Mereka
mengatakan
demikian
karena
apa
yang
diungkapkan
pengguna
bahasa
mencerminkan
kebiasaan
si
penutur.
Contoh,
untuk
menyatakan
waktu,
Indonesia
terkenal
dengan
jam
karet
karena
bahasa
Indonesia
tidak
menunjukkan
batas
waktu
yang
jelas.
Selanjutnya
kata
nanti
di
sini
juga
tidak
jelas
batas
waktunya.
Makanya
bisa
untuk
pada
hari
yang
sama
atau
hari
berikutnya
atau
hari
berikutnya
lagi
yang
tak
jelas
kapan.
Beda
dengan
bahasa
Inggris,
misalnya
ada
kalimat
I
bought
a
book
dan
I
buy
abook.
Kedua
kata
tersebut
memiliki
makna
yang
sama
dalam
bahasa
Indonesia
membeli
,
namun
kedua
kata
tersebut
diletakkan
dalam
konteks
waktu
yang
berbeda.
Bought
digunakan
untuk
waktu
yang
berlalu,
sedangkan
buy
digunakan
untuk
waktu
sekarang.
7
menegaskan bahwa bahasa mempenagruhi budaya (kebiasaan). Dalam masyarakat Inggris yang tidak terbiasa (budaya) makan nasi, mereka tidak memiliki kosa kata yang lengkap untuk menyatakan beras, padi, dan nasi. Dalam bahasa Inggris hanya ada satu kata untuk itu semua, yakni rice. Contoh lain pada masyarakat Eksimo karena sudah berbudaya hidup dalam salju, sedangkan dalam ahasa Indonesia hanya ada satu kata salju untuk menyatakan salju dengan beragam jenisnya. Kita juga sering kesulitan dalam dalam menerjemahkan kata-kata atau ungkapan dari
suatu bahasa ke bahasa lain. Contoh, perkataan village dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam kebudayaan Inggris atau Amerika sangat berbeda dari konsep desa dalam ebudayaan Indonesia. Karena itu ungkapan yang pernah dikeluarkan penulis asing menyebutkan kota Jakarta sebagai suatu big village akan hilang artinya jika diterjemahkan dengan desa yang besar. 4.2 Budaya Pengaruhi Bahasa Jika menunjuk teori sapir-Whorf, dalam pembentukan bahasa juga lahir dari pola
piker manusia, teori tersebut dapat dibenarkan. Lantas, apa sih dapat disebutkan bahasa mempengaruhi budaya, sedangkan ketiadaan budaya di suatu daerah telah menyebabkan ketiadaan kosa kata untuk mengutarakan budaya atau yang mewakili budaya tersebut. Hal ini jelas memperlihatan bahwa tidak selamanya bahasa itu mempengaruhi
budaya. Namun ada kalanya budaya mempengaruhi bahasa. Menjadi wajar, manakala teori sapir-Whorf masih dipertanyakan saat ini. Bahkan dalam tindakan sehari-hari, kebanyakan budaya lebih dahulu ada disbanding bahasa. Misal dalam masyarakat Aceh, alat yang digunakan untuk membajak sawah disebut langlai. Benda itu (langlai) semula tidak ada nama, namun setelah bendanya tercipta dan menjadi kebiasaan manusia membajak sawah dengan benda tersebut, barulah kemudian muncul nama (bahasa) untuk menyebutkan benda tersebut. Contoh lain suatu kata, ungkapan atau konsep yang ada dalam dalam bahasa suatu
kebudayaan
belum
tentu
mempunyai
padanan
yang
sesuai
dengan
bahasa
kebudayaan
lain.
8
Karena tu Jika ingin membicarakan suatu konsep dari kebudayaan lain. Kita sering menggunakan istilah dalam bahasa aslinya untk mengungkapkan konsp tersebut, sebab jika kata itu diterjemahkan sering artinya terlalu jauh dari apa yang diungkapkan. Inilah mengapa kadang-kadang bahasa memakai suatu kata atau istilah bahasa lain dalam menyatakan sesuatu. Ada juga yang berpendapat cara berfikir mempengaruhi cara bahasa atau dengan
kata lain pikiran yang masuk kebudayaan mempengaruhi bahasa. Wardhaugh dalam Sibarani (1992:109), menyatakan pikiran (kebudayaan mental) mengarahkan bahasa menjadi bahasa yang berisi, bermakna dan bermanfaat. Jikalau terjadi keruskan dalam pikiran seseorang , maka akan mempengaruhi bahasanya. Mungkin bahasa orang yang mengalami kerusakan pikiran ini masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaat dan tujuan tidak dapat dipahami. Padahal bahasa sebagai system komunikasi harus dapat dipahami makna dan tujuannya terutama bagi penyapa dan pesapa. Hubungan lain yang perlu diperhatikan dalam komunikasi, tata cara berbahasa harus
sesuai dengan norma-norma kebudayaan. Apabila tidak sesuai dengan norma-norma kebudayaan, tak jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak beradat dan berbudaya. Menurut Nababan (1993:53) tata cara berbahasa ini mengatur, (1) apa yang sebaiknya kita katakana pada waktu dan eadaan tertentu, (2) ragam bahasa apa yang sewajarnya kit pakai dalam situasi sosiolingistik tertentu, (3) kapn dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara dan menyela pembicaraan orang lain, dan (4) kapan kita dian dan jangan berbicara. Tata cara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai system
komunikasi. Suara keras yang menyertai tanda verbal seorang ketika berkomunkasi dengan atasannya mungkin dianggap kurang sopan. Akan tetapi mungkin hal itu dimaklumi apabila yang berbicara itu orang dari suku Batak. Sebaiknya kalau kita menyapa atasan kita pagi- pagi di kantor, adalah wajar kalau kita menapa, Selamat Pagi, Pak/Bu, dan tidak wajar mengatakan Apa kabar Pak/Bu, karena kata-kata itu lebih tepat dipakai kepada orang yang setingkat dengan pembicara dan bernada ragam santai. Artinya tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku
bangsa
atau
kelompok
masyarakat
tertentu.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
kebudayaan
yang
9
sudah mendarah daging sangat berpenagruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma kebudayaan sebelum atau selain mempelajari bahasa. 5. Kesimpulan Dari paparan di atas memperhatikan bahwa tidak selamanya bahasa itu
mempenagruhi
budaya.
Ada
kalanya
budaya
yang
mempengaruhi
bahasa.
Wajar
jika
teori
Sapir-Whorf
masih
dipertanyakan.
10
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer,
Abdul,
1995.
Sosiolinguistik
Perkenalan
Awal.
Jakarta:Rineka
Cipta.
Chaer,
Abdul.2003.
Linguitik
Umum.
Jakarta:
Rineka
Cipta
Herman
2009.
Bahasa
Mempengaruhi
Budaya?
Tunggu
Dulu
(http://id.acehinstite.otg/index.php?option=com-content&view=arti,
diunduh
tanggal
2
Desember
2009
Nababan,
PWJ,
1993.
Sosiolinguistik
Suatu
Pengantar.
Jakarta:
Gramedia
Pustaka
Utama
Najib,
Mukhamad,
2009.
Karena
Bahasa
Cerminan
Budaya
Bangsa.
(http://suara
Pembaca.detik.com/read/2009/10/29/175539/1231296/47
Diunduh
tanggal
2
Desember
2009).
Oka,
I
Gusti
Ngurah,
1974.
Problematika
Bahasa
dan
Pengajaran
Bahasa
Indonesia.
Surabaya:
Usaha
Nasional
Sibarani,
Robert,
1992.
Hakikat
Bahasa
Bandung:
Citra
Adtya
Bakti
Widjono.2007.
Bahasa
Indonesia.
Jakarta:Grasindo
11