Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG: Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia.

Demam tifoid adalah penyakit sistemik dikarakterisasikan oleh demam dan nyeri abdomen oleh karena diseminasi S. typhi atau S. Paratyphi. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang wsehingga dapat menimbulkan wabah. TUJUAN: Untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai demam tifoid dengan karakteristik dan pencegahan serta pengobatannya.

PEMBAHASAN Epidemologi Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dan survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35.89% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insiders demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1 Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, dapat juga disebabkan oleh S.Paratyphi.Salmonela adalah bakteri gram negatif, termasuk ke dalam famili

Enterobactericeae.Seperti golongan Enterobactericeae yang lain, salmonela memiliki tiga antigen utama: antigen O [lipopolisakarida (LPS)], antigen Vi (surface antigen; S. typhi dan S. paratyphi C), dan antigen H (flagel). Secara umum, pada pemeriksaan laboratorium, Salmonella dibagi menjadi serogrup A, B, C1, C2, D, dan E. Pemeriksaan biokimia dan serologi tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi serotipe-serotipe ini. S. typhi merupakan patogen enterik yang sangat virulen dan invasif yang menyerang manusia. Sumber penularan terutama melalui pencemaran makanan atau minuman oleh bakteri tersebut yang dikeluarkan melalui tinja penderita demam tifoid.2 ANAMNESIS Demam naik secara bertahap pd minggu pertama lalu demam menetap pd minggu kedua. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari,

Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecahpecah /terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut kembung. Anak nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif, acuh tak acuh (apati) sampai berat (delier, koma).

tubuh menggigil denyut jantung lemah (bradycardia) badan lemah (weakness).

Pada kasus: Demam sejak 6 hari yang lalu, terus-menerus terutama pada sore sampai malam hari, nyeri kepala,nyeri ulu hati, mual dan muntah. Belum buang air besar selama 4 hati.

PEMERIKSAAN FISIK

kesadaran : compos mentis (mengalami kesadaran penuh dengan memberikan respons yang cukup terhadap stimulus yang diberikan). : 38,6oC : 80 x / menit : 20 x / menit : 110 / 80 mmHg : nyeri tekan epigastrium

Suhu Denyut nadi RR TD Pemeriksaan abdomen

Normal: Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 36 - 37,5C tekanan darah normal berkisar 120/80 mmHg Bayi yang baru dilahirkan (neonatus) dapat memiliki dentur 13-150 denyut per menit. Orang dewasa memiliki denyut sekitar 50-80 per menit. Kecepatan pernapasan beraneka ragam tergantung usia. Batas normalnya sekitar 1216 kali penarikan napas per menit.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Lab: Hemoglobin : 14 g/dl

Kadar Hb g/dl Nilai normal : Laki-laki : 13 16 g/dl

Perempuan : 12 -15 g/dl Wanita hamil: > 11 g/dl Anak: 11 - 14 g/dl Widal: S. Thypi O S. Thypi H : 1/320 : 1/320 Hematokrit Leukosit Trombosit : 38% (normal:40-48%) : 4000 /ul (Nilai normal: 5.000 10.000 /ul) : 200.000 /ul ( normal: 150.000 400.000/ul)

S. Parathypi A O : 1/180 S. Parathypi A H : -

1. Darah tepi o Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus. o Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/uL. o Limfositosis relatif dan anaeosinofilia pada permulaan sakit. o Trombositopeni terutama pada demam tifoid berat.

2. Uji Widal Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. tyhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin 0 (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin 0, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin 0 masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap Iebih lama

antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1. Pengobatan dini dengan antibiotik 2. Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3. Waktu pengambilan darah, 4. Daerah endemik atau non-endemik 5. Riwayat vaksinasi 6. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi 7. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang, sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier). Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640. Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). - Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+). Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas. Tes Widal untuk mengukur antibodi terhadap antigen O dan H pada Salmonella Typhi dapat dilakukan. Tetapi tes ini adalah kurang akurat di mana ia bisa memberi hasil positif-palsu dan negative-palsu. Hal ini justru dapat memberi suatu kesalahan mendiagnosa sebagai demam tifoid. Pemeriksaan Gold Standard untuk demam tifoid adalah kultur darah. Akurasinya bervariasi yaitu bisa setinggi 90% pada minggu pertama terkena infeksi demam tifoid dan menurun ke 50% pada minggu ketiga infeksi demam tifoid.

3. Uji Tubex Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S. Thypi 09 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. Thypi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. Thypi. Infeksi oleh S. Parathypi akan memberikan hasil negatif. mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.4 Tes ini sangat akurat dalam

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak

4. Metode Enzyme Immunoassay (EIA) Dot Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.4 Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

5. Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.4

6. Pemeriksaan Dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.4

7. Pemeriksaan Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.4

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. 8. Kultur Darah Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi basil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan basil mungkin negatif; 2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit basil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman 3. Riwayat vaksinasi. Vaksmasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.4

DIAGNOSIS Masa tunas 7 14 hari (ratap 3 30). Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodmal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas terdapat demam remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal bahkan diare. Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama , keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksi, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan. Dalam minggu kedua gejalagejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah tifoid (kotor ditengah, tepi

dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan reseoloe jarang ditemukan pada orang Indonesia.1

DIAGNOSIS BANDING : Pada penyakit malaria, gejala klinisnya hampir sama dengan demam tifoid. Yang membedakan keduanya adalah infeksi malaria karena P. Falciparum, Vivax dan Ovale, demam yang dialami penderita demam tifoid meninggi pada sore-malam hari dan pada malaria yaitu demam berkala khas malaria, trias malaria ( malaria paroxyme), berkeringat, kejang-kejang, dan masa inkubasi yang begitu cepat. Gejala awal demam tifoid juga hampir sama dengan demam berdarah dengue(DBD) tetapi perbedaaan dapat kita lihat pada mata dapat ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimasi dan fotofobia. Eksantem dapat muncul di awal demam yang terlihat jelas di muka dan di dada, berlangsung beberapa jam lalu akan muncul kembali pada hari ke 3-6 berupa bercak ptekiae di lengan dan kaki lalu seluruh tubuh.

PATO-FISIOLOGI Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung. Sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus selsel epitel dan, selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Akibat difagositosisnya Salmonela, bakteri ini menjadi kebal terhadap respons imun PMN, komplemen, dan juga antibodi. Salmonela sudah berevolusi sedemikian rupa sehingga mampu menghindari/menunda proses pembunuhan oleh makrofag. Hal ini dimungkinkan karena saat difagositosis, bakteri membentuk suatu spacious phagosome dan alterasi regulasi ~200 protein bakterial. Sistem regulator yang paling terkenal adalah PhoP/PhoQ, duet komponen regulon yang mendeteksi perubahan lokasi dan ekspresi protein bakterial. Alterasi yang dimaksud adalah modifikasi LPS dan sintesis outer-membrane proteins; perubahan tersebut berkontribusi dalam remodeling permukaan membran bakteri sehingga mereka menjadi resisten terhadap aktivitas antimikroba dan signaling host cell. PhoP/PhoQ juga memediasi sintesis transporter kationik divalent yang men-scavenge magnesium. Dengan mekanisme sekresi second type

III, Salmonela bisa secara langsung mentranslokasi protein bakterial ke dalam makrofag, fenomena yang dipercayai sebagai mekanisme survival bakteri di dalam sel fagosit. Dengan ini, Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk, ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk ke kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kernbali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Didalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi selsel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di receptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan ganggua organ lainnya.1

TERAPI Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan domain tifoid, yaitu: Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil. dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan letap perlu diperhatikan dan dijaga. Diet dan Terapi Penunjang Diet merpakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Pemberian Antimikroba Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol (pilihan utama), tiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, golongan florokuinon, dan dapat diberikan kombinasi obat antimikroba, dan kortikosteroid bila diperlukan.1,5,6 Obat Mekanisme kerja Dosis Keterangan Perbaikan dalam 4 x 500 7 mg hari sampai dicapai 3-7

Kloramfenikol Berikatan

dengan Oral

unit 50S bakteri

interval

hari. Tidak digunakan pada pasien anak. Perbaikan dicapai

bebas demam Tiamfenikol Berikatan dengan Oral 4 x 500 7 mg hari

unit 50S ribosom bakteri sampai

dalam 4-6 hari. Efek samping lebih ringan dari kloramfenikol.

bebas demam

Tidak diberikan pada ibu hamil khususnya trimester 1

Ampisilin

Menghambat pembentukan dinding sel bakteri

Oral 75-150 BB, mg/kg 3

Perbaikan dalam 3-5 hari terbagi

dicapai

kali berikan 10-14 hari TMP-SMZ Menghambat

sehari, selama

2 x 2 tablet/hari Perbaikan yang

dalam sama

pembentukan asam (400 mg SMZ- rentang dihidrofolat 80 mg

TMP) dengan kloramfenikol

selama 2 minggu Ceftriaxone Menghambat pembentukan dinding sel bakteri Ciprofloxacin Menghambat sintesis bakterial 2 x 500 mg/hari Teruskan pengobatan DNA selama 6 hari hingga setelah menghilang Corticosteroid Mengurangi inflamasi Dexamethasone Pada dosis tinggi toxic, peritonitis kasus tifoid sepsis, 2-4 hari gejala 3-4 gram dalam

KOMPLIKASI Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalamn : 1. Komplikasi intestinal a. Perdarahan usus b. Perforasi usus c. Ileus paralitik 2. Komplikasi ekstraintestinal 3. A.Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopeni dan atau koagulasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik. c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema dan pleuritis. d. Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolelitiasis. e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis. f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis. g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sreing terjadi pada keadaaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

Komplikasi intestinal: 1. Pendarahan Intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi pendarahan. Selain karena faktor luka, pendarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.pendarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. 2. Perforasi usus Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar keseluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit dan mobilitas penderita.

Komplikasi Ekstra-Intestinal: 1. Komplikasi Hematolo gi Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia,

peningkatan prothrombin time, peningkatan fibrin degadration products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit disistem retikuloendotelial.

Penyebab KID pada demam tifoid berjumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatnkan perangsangan mekanisme koagulasi. 2. Hepatits Tifosa Pembengkakan hati ringan sampai sesdang dijumpai pada 50% kasus demam tifoid dan lebih abnyak dijumpai karena S.thypi daripada S.parathypi. pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatits oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. 3. Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. 4. Miokarditis Pasien penderita miokarditis biasanya tanpa gejala kardivaskular atau berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.thypi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. 5. Tifoid Toksik Tifoid toksik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skozofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindrom GuillainBarre dan psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.1

KESIMPULAN Hipotesis terbukti bawah pasien ini menderita Demam Thypoid.

DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Il.mu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.1752-1757 2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p.916-918. 3. Rafli A, Hidayati AD, Abdaly MS, Ekaputri K, Widiyanti R, Satrio S, et al. Aspek Molekular demam tifoid. Modul Biologi Molekular. FKUI: 2006. 4. Cook G C. Problem gastroenterologi daerah tropis. Jakarta: EGC; 2003. 5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Jakarta :Ikatan Dokter Anak Indonesia: 2003. p.37-46. 6. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Jakarta: EGC; 2000.

Anda mungkin juga menyukai