2010
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii BAB I: PENDAHULUAN.....................................................................................................1 A.Pengertian Manajemen Pendidikan.............................................................................1 B.Karakteristik Manajemen Pendidikan...........................................................................3 BAB II: SEKOLAH KEJURUAN SEBAGAI SISTEM TERBUKA..........................................9 A.Karakteristik Pendidikan Kejuruan...............................................................................9 B.Sistem Terbuka Pada Manajemen Pendidikan Kejuruan...........................................12 BAB III: PENGAMBILAN KEPUTUSAN ...........................................................................17 A.Optimizing Model.......................................................................................................17 B.Satisficing Strategy....................................................................................................18 C.Incremental Model dan Mixed Scanning Model.........................................................20 D.Model Kaleng Sampah dan Model Politik (Garbage-Can and Politics Models)..........22 BAB III: PENGERTIAN DAN MODEL-MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH......................................................................................................................... 26 BAB IV: MENYUSUN RENCANA STRATEGIS SEKOLAH/MADRASAH.........................45 BAB IV: KEPEMIMPINAN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN KEJURUAN.........................66 A.Teori Kontingensi Versi Fiedler..................................................................................67 B.Path-Goal Theory of Leadership................................................................................68 C.Kepemimpinan Transformasional..............................................................................70 BAB V: AKREDITASI SEBAGAI BENTUK AKUNTABILITAS PUBLIK..............................78 A.Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Akreditasi..................................................78 B.Proses Akreditasi ......................................................................................................81 C.Penutup..................................................................................................................... 86
iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Pengertian Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan merupakan bidang kajian yang berkaitan dengan organisasi pendidikan. Hingga saat ini belum ada definisi tunggal mengenai bidang kajian itu karena perkembangannya sangat tergantung pada berbagai disiplin yang telah mapan seperti sosiologi, ilmu politik, dan ekonomi. Sebagaimana dikemukakan oleh Harries-Jenkins (1984), we are looking at a field of management studies caracterized by a considerable flexibility of discipline boundaries. Penafsiran-penafsiran yang ditarik dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda tersebut tentu akan memberikan penekanan pada aspek-aspek yang berbeda dengan manajemen pendidikan. Kebanyakan definisi manajemen pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli masih bersifat parsial karena mereka umumnya hanya merefleksikan sosok tertentu dari sudut pandang mereka masing-masing. Definisi-definisi yang menerapkan pendekatan yang luas biasanya cenderung menunjukkan kelemahannya. Hoyle (1987:8), misalnya, mengemukakan definisi yang prematur sebagai berikut:
Management is a continuous process through which members of an organization seek to co-ordinate their activities and utilise their resources in order to fulfil the various tasks of the organization as efficiently as possible.
Cuthbert (1984) menyarankan bahwa manajemen adalah sebuah aktivitas yang mencakup tanggungjawab atas keterlaksanaan sesuatu melalui orang lain. Glatter (1979:16) mengemukakan definisi yang lebih bermanfaat karena mampu mengidentifikasi ruang lingkup manajemen pendidikan. Glatter mengemukakan bahwa studi manajemen terkait dengan:
... the internal operation of educational institutions, and also with their relationships with their environment, that is, the communities in which they are set, aand with the governing bodies to which they are formally respponsible.
Pernyataan ini membatasi ruang lingkup manajemen pendidikan akan tetapi masih tetap menyisakan pertanyaan tentang hakekat bidang itu yang sebenarnya. Misalnya, isu-isu apakah yanng merupakan inti dari pendekatan manajerial di
sekolah atau lembaga pendidikan lainnya? Tentu saja bahwa jantung manajemen pendidikan terletak pada tujuan pendidikan. Sebagian besar penulis di bidang manajemen pendidikan menekankan pentingnya tujuan dalam pendidikan. Culbertson (1983), misalnya, menyatakan bahwa penetapan tujuan merupakan fungsi pokok administrasi. Cyert (1975) berpendapat bahwa sebuah organisasi dikembangkan untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu melalui kegiatan kelompok. Sentralitas orientasi tujuan sekolah atau lembaga pendidikan merupakan hal umum bagi kebanyakan pendekatan teoritis di bidang manajemen pendidikan. Akan tetapi masih dijumpai belum ada kesepakatan mengenai rumusan formal tujuan, rumusan siapa yang dijadikan tujuan organisasi, dan tentang bagaimana tujuan tersebut ditetapkan. Tujuan resmi pendidikan biasanya dirumuskan pada tataran yang sangat umum. Tujuan-tujuan itu biasanya menentukan substansi pendukung, namun, oleh karena rumusan itu biasanya berupa sebuah utopia, tujuan-tujuan tersebut masih tetap belum menjadi dasar yang memadai bagi tindakan manajerial. Tujuan khusus sekolah dasar atau menengah dapat dirumuskan untuk membentuk anak yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani rohani, cerdas, terampil, dan berkemampuan sosial yang tinggi. Tujuan semacam ini memang berfaedah namun memiliki keterbatasan jika digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan. Tujuan-tujuan yang lebih spesifik biasanya lebih sulit untuk disepakati. Gagasan mengenai pengahapusan EBTANAS untuk memberikan otonomi profesional yang lebih luas kepada guru, misalnya, masih harus berhadapan dengan pandangan yang mendukung pentingnya sebuah standar pendidikan yang bersifat nasional. Pendekatan tertentu dalam manajemen pendidikan juga berkaitan erat dengan tujuan organisasional, pada saat yanng sama model yang lain menekankan pada tujuan individual. Terdapat berbagai pendapat mengenai dua pandangan itu. Gray (1979:12), misalnya, mengemukakan bahwa:
... the management process is concerned with helping the members of an organizational to attain individual as well as organizational objectives within the changing environment of the organization.
Ada kalanya tujuan individual dan tujuan organisasional saling tidak berkesesuaian atau kadang-kadang tujuan organisasi juga dapat memenuhi
sebagian, dan bukan seluruhnya, aspirasi individu. Dapat diasumsikan bahwa sebagian besar guru menginginkan sekolah tempat mereka bekerja melaksanakan kebijakan yang selaras denngan minat dan preferensi mereka. Oleh karena itu, adalah benar ketika Coulson (1985) menyatakan bahwa tujuan dan motivasi semua individu yang terlibat dalam kehidupan sekolah berinterpenetrasi dengan tujuan yang secara resmi ditujukan terhadap organisasi itu. Kepala sekolah khususnya merupakan posisi yanng tepat untuk mempromosikan tujuan pribadinya sebagai tujuan sekolah. Poster (1976) menyebutkan bahwa adalah kepala sekolah pihak yang akan menentukan prioritas manajemen. Namun demikian, pada kebanyakan sekolah penentuan tujuan biasanya merupakan kegiatan korporasi yang dilakukan oleh lembagalembaga formal (seperti pemerintah) atau kelompok-kelompok informal. Sifat proses penentuan tujuan merupakan elemen pokok dalam berbagai model manajemen pendidikan yang perlu dibahas lebih lanjut.
yang tidak berdasar dan bertentangan dengan kenyataan. Walker (1984) menyarankan pendidikan manajemen umum bagi para administrator pemerintah, dunia usaha, dan pendidikan. Dia meyakini bahwa these men and women learn from one another in a process of managerial symbiosis . Kasus pendekatan umum dalam pendidikan manajer tersebut ditekankan pada fungsi-fungsi umum yang ada pada tipe-tipe organisasi yang berbeda yang meliputi manajemen keuangan, manajemen personalia, dan hubungan dengan klien dan masyarakat. Sampai sekarang banyak yang berpandangan bahwa lembaga pendidikan memiliki beberapa ciri khusus yang menguatkan adanya perbedaan pendekatan dalam pelatihan bagi pihak-pihak yang terkait dengan jalannya organisasi pendidikan. Glatter (1972) berpendapat bahwa lembaga pendidikan memiliki perbedaan pada dimensi-dimensi yang krusial dibandingkan dengan jenis organisasi lainnya. Barell (1982:6) sependapat dengan pandangan yang dikemukakan oleh berbagai kalangan yang berasal dari lingkungan sekolah. Ia menyatakan:
Teachers ... are often impatient when they hear about line management in school. They see it as an inappropriate attempt to introduce industrial techniques into a situation which is based on personal relationships. Education, they say, is not susceptible to the imposition of hard-headed business concepts designed to increase profit margins.
Taylor (1976) merupakan seorang akademisi yang bersikap hati-hati terhadap peningkatan penekanan pada manajemen di dunia pendidikan. Hal yang menonjol mengenai penolakan itu adalah bahwa teori dan praktik manajemen pada pokoknya dikembangkan dalam kaitannya dengan kegiatan industri dan komersial, yang dipandang berbeda secara intrinsik dengan kegiatan pada lembaga pendidikan. Greenfield (1973:561), khusus berkenaan dengan perubahan dalam organisasi, menyatakan:
... we should be more careful than we usually are about making prescriptions for organisastional change that assume similar dynamic in the operation of most, if not all, organisastions. Prescriptive organisastion theory ... is often based almost exclusively upon study of economic organisastions; one seldom gets the feelling that prescriptions for educational change ara based upon theories and conceptions of schools.
Hanson (1998) secara tegas menyatakan keunikan sekolah dibanding organisasi lainnya. Menurutnya sekolah sebagai sebuah organisasi memiliki
karakteristik yang sangat berbeda dengan organisasi lainnya. Sekolah barangkali merupakan hal yang paling rumit diantara produk sosial lainnya. Sebagaimana layaknya organisasi formal lainnya, sekolah harus berkaitan dengan tugas-tugas strukturisasi, pengelolaan, dan pemberian arahan terhadap perpaduan yang rumit antara sumber daya manusia dan materi. Namun demikian, tidak seperti halnya organisasi-organisasi formal lainnya, sekolah harus menghasilkan produk manusia yang menimbulkan berbagai permasalah organisasi dan manajemen yang unik. Oleh karena hampir setiap orangorang tua, masyarakat pembayar pajak, legislatif, guru, dunia usaha, pemerintahdipandang sebagai stakeholder maka proses tata pamong (governance) sekolah menjadi sangat kompleks. Beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa pendidikan memerlukan perlakuan khusus karena sekolah memiliki berbagai karakteristik yang berbeda dengan organisasi lainnya. Bush (1986) mengidentifikasi enam bidang utama yang membedakan manajemen lembaga pendidikan dengan manajemen pada organisasi lainnya, yaitu tujuan, tolok ukur, peserta didik, karakteristik personalia, keterkaitan dengan pihak lain, dan waktu berkomunikasi antar unsur organisasi. Berikut diuraikan lebih rinci perbedaan-perbedaan itu. a. Tujuan lembaga pendidikan jauh lebih sulit untuk didefinisikan dibandingkan organisasi komersial. Tujuan pendidikan tidak mudah dirumuskan dalam ungkapan yang jelas seperti halnya kebanyakan tujuan pada dunia usaha seperti maksimalisasi keuntungan, maksimalisasi keluaran atau diversifikasi produk. Sekolah dan universitas diharapkan untuk mengembangkan kemampuan personal setiap individu, untuk mengembangkan kemampuan yang berkaitan dengan etika, logika, estetika, dan kinestetika, untuk memelihara anak dan generasi muda pada kurun waktu tertentu setiap hari da untuk meyiapkan anak dan peserta didik memasuki pendidikan lebih lanjut dan, pendidikan kejuruan, untuk memasuki dunia kerja. Tujuan yang sangat ambisius ini terkadang menimbulkan berbagai konflik. Guru-guru diharapkan menjadi pekerja sosial, pelindung, atau orangtua yang juga mengembangkan kemampuan siswa dalam belajar. Mengurutkan prioritas dalam rumusan tujuan yang kompleks itu juga akan mengalami berbagai kesulitan.
b. Kompleksitas tujuan pendidikan tersebut menyebabkan pencapaian tujuan pendidikan lebih sulit diukur. Dalam organisasi komersial sangat dimungkinkan untuk mengukur keberhasilan dalam istilah-istilah finansialpenjualan telah meningkat, keuntungan naik, deviden lebih tinggi, dan sebagainya. Sejumlah faktor menghalangi evaluasi langsung itu dilakukan di dunia pendidikan. Berbagai penilaian harus berjangka panjang untuk memungkinkan terpenuhinya jangka waktu proses pendidikan-tiga tahun, empat tahun, atau enam tahun. Bahkan aspek-aspek tertntu tidak dapat diukur secara memadai. Bagaimana kita mendapatkan ukuran yang tepat mengenai sikap demokratis, sikap profesional, atau kemampuan mengembangkan diri? Memang beberapa aspek dapat diukur melalui EBTANAS atau Ujian Nasional. Akan tetapi sejumlah ahli mengakui bahwa mengukur hasil pendidikan hanya dengan kriteria semacam itu mengandung bahaya karena aspek-aspek lain akan terabaikan. c. Keberadaan anak-anak atau generasi muda sebagai titik pusat lembaga pendidikan juga merupakan sumber kerumitan. Anak-anak tersebut dapat dipandang sebagai klien sekaligus keluaran sekolah. Sebagai klien mereka memiliki karakteristik yang unik. Sebagai partisipan dalam proses produksi anak-anak tersebut sangat berbeda dengan bahan baku industri atau dunia usaha. Anak tidak dapat diproses, diprogram, atau dimanipulasi. Proses belajar terbangun pada hubungan personal dengan segala keunikan dan tidak dapat diramalkan. Keberagaman manusia semacam ini menguatkan masalah pengukuran sebagaimana telah dikemukakan di atas. d. Para pemimpin dan guru yang bekerja di sekolah merupakan orang-orang yang berlatarbelakang profesional dengan segala tata nilai, pendidikan dan pengalaman masing-masing. Sebagai tenaga profesional, guru menuntut otonomi yang besar dalam proses belajar mengajar. Sifat hubungan itu dengan kegiatan dalam kelas atau siswa juga belum dapat disepakati untuk mengatasi definisi atau supervisi. Sifat itu juga menyarankan bahwa guru hendaknya dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di sekolah karena komitmen mereka terhadap implementasi keputusa itu merupakan hal yang mendasar jika keputusan itu dikehendaki tidak hanya sekedar ritual
kosong. Pada beberapa aspek, hubungan klien antara siswa dengan guru juga berbeda dengan hubungan antara kelompok profesional dengan kliennya. Guru memiliki hubungan langsung yang bersifat reguler dan lebih luas dengan siswa; sering mereka bertemu selama seminggu penuh dalam kurun waktu bertahun-tahun. Lebih dari itu, siswa memiliki peluang yang lebih kecil untuk memilih guru. Anak-anak diharuskan menghabiskan waktu sedikitnya selama dua belas tahun untuk menjadi anggota dari lembaga pendidikan dan harus menerima bahwa guru mereka akan dipilihkan oleh orang lain. Glatter (1972:8) menekankan bahwa hal itu merupakan keunikan lain dari lembaga pendidikan yang pengaruhnya terhadap manajemen tidak dapat dihindarkan, sebagaimana pernyataannya:
This gives organisational problems in school, and to only a slightly lesser degree in most other types of educational insitution...a fundamentally different character from those of nearly every other form of institution, evn those which employ a high portion of professional workers.
e. Terdapat struktur manajemen dan organisasi yang terpecah-pecah baik di dalam lingkungan lembaga pendidikan maupun pada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan lembaga pendidikan. Iklim pengambilan keputusan di sekolah sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pihak maupun kelompok dari luar. Pihak-pihak itu meliputi politisi, pengawas baik pada tingkat nasional maupun lokal, orang tua, dan berbagai kelompok masyarakat baik yang formal atau informal. Di lingkungan internal lembaga pendidikan itu sendiri juga terdapat berbagai titik keputusan mengenai manajemen sekolah maupun unitunit yanng ada di dalamnyaseperti jurusan, program studi, rumpun, dan sebagainya. Pecahan-pecahan ini menimbulkan kesulitan untuk melokalisir pengambilan keputusan di sekolah atau perguruan tinggi. f. Banyak manajer senior maupun menengah di sekolah tidak memiliki waktu yang banyak bagi aspek manajerial dalam pekerjaannya. Di sekolah dasar sebagian besar, semua guru merupakan guru kelas penuh-waktu. Hanya kepala sekolah yang memiliki kesempatan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan manajerial. Pada sekolah menengah kepala sekolah ada kalanya bebas dari tugas mengajar, sedangkan para wakil kepala sekolah hanya memiliki separuh dari waktu yang dijadwallkan. Guru-guru lain, apa lagi guru
sekolah swasta, umumnya harus menanggung beban tugas mengajar yang tinggi sehingga kegiatan manajerial hanya disisipkan di sela-sela waktu yang sangat terbatas. Keterbatasan waktu ini memiliki implikasi yang serius bagi manajemen di lembaga-lembaga pendidikan karena keputusan biasanya sering diserahkan kepada pihak-pihak yang senggang. Karakteristik khusus yang dimiliki lembaga-lembaga pendidikan tersebut berimplikasi terhadap penerapan model-model dan praktik manajemen yang diambil dari latar nonpendidikan. Tentu saja semua organisasi memiliki ciri-ciri yang bersifat umum akan tetapi kualitas sekolah yang berbeda membatasi validitas pendekatan yang dipinjam dari sektor industri atau lembaga-lembada komersial. Sebagaimana disarankan oleh Baldridge (1978:9), diperlukan adanya evaluasi dan adaptasi yang cermat terhadap model-model tersebut sebelum diterapkan secara meyakinkan terhadap organisasi pendidikan.
... traditional management theories cannot be applied to educational institutions without carefully considering whether they will well in that unique academic setting ... We therefore must be extremely careful about attempts to manage or improve ... education with modern managing techniques borrowed from business, for example. Such borrowing may make sense, but it must be approached very carefully.
Lebih lanjut uraian pada bahan kuliah ini akan ditekankan pada pendekatan dan praktik manajemen yang dikembangkan berdasarkan pandangan sistem terbuka. Untuk kepentingan praktis, pembahasan hanya dititikberatkan pada (1) organisasi lembaga pendidikan kejuruan sebagai sebuah sistem terbuka, (2) manajemen berbasis sekolah sebagai pendekatan manajemen pengambilan keputusan yang berpijak pada pendekatan sistem terbuka, (3) kepemimpinan dalam organisasi pendidikan kejuruan, (4) supervisi pengajaran di sekolah kejuruan, dan (5) akreditasi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Untuk memperdalam pemahaman dan meningkatkan pengalaman praktis, mahasiswa diharapkan secara aktif terlibat dalam analisis dan pemecahan berbagai masalah yang akan dilakukan melalui pembahasan sejumlah contoh kasus.
meningkatkan emploibilitas. Di Indonesia pendidikan penyiapan tenaga kerja dikenal dengan tiga sebutanpendidikan kejuruan, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. Secara umum ketiganya dibedakan menurut ruang lingkup dan jenjang pendidikan yang harus ditempuh oleh peserta didik. Pendidikan kejuruan dilaksanakan pada jenjang pendidikan menengah untuk mempersiakan peserta didik memasuki dunia kerja pada bidang tertentu. Pendidikan vokasi dilaksanakan pada tingkat setinggitingginya setara dengan program sarjana untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu. Sedangkan pendidikan profesi dilaksanakan pada jenjang pendidikan tinggi setelah program sarjana dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk pendidikan kejuruan dibedakan menjadi Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliah Kejuruan (MAK). Secara rinci tujuan pendidikan kejuruan sebagai berikut: Tujuan Umum: a. meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi warga negara yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab; c. mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki wawasan kebangsaan, memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia; d. mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup, dengan secara aktif turut memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, serta memanfaatkan sumber daya alam dengan efektif dan efisien. Tujuan Khusus: a. menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya; b. menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karier, ulet dan gigih dalam berkompetisi, beradaptasi di lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya; c. membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, agar mampu mengembangkan diri di kemudian hari baik secara mandiri maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi; d. membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi yang sesuai dengan program keahlian yang dipilih. Sesuai dengan ciri dan tujuan pendidikan kejuruan sebagaimana dikemukakan di atas maka pendidikan kejuruan di Indonesia harus memiliki
10
karakteristik khusus yang juga berbeda dengan pendidikan umum. Karakteristik yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan itu meliputi: a. dikembangkan berdasarkan tuntutan kebutuhan dunia kerja ( demand driven) dan menciptakan lapangan kerja baru (market driven). b. menganut sistem terbuka (multi entry-multi exit dan permeable). c. dikembangkan berbasis kompetensi yang dalam pelaksanaannya terutama menggunakan pendekatan pemelajaran berbasis produksi. d. proses pemelajaran berbasis kompetensi dan produksi pada tersebut harus disesuaikan dengan proses produksi di dunia industri/dunia kerja dan dalam kehidupan nyata sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan kompetensi. e. menggunakan pendekatan pendidikan sistem ganda. f. dirancang secara berkesinambungan dengan jenjang pendidikan vokasi (seamless education). g. memungkinkan perpindahan jalur antar jenis dan bidang pendidikan yang setara. h. memperhatikan keunggulan lokal dan perkembangan global. Sebagai sebuah organisasi, manajemen yang diterapkan pada lembaga pendidikan kejuruan memang tidak seluruhnya berbeda dengan organisasi atau lembaga pendidikan lain pada umumnya, namun pada aspek-aspek tertentu berbagai karakteristik khusus tersebut menuntut adanya pendekatan dan praktik manajemen yang khusus pula. Jika dicermati karakteristik yang diuraikan terakhir menunjukkan bahwa lembaga pendidikan kejuruan harus merupakan organisasi yang bersifat terbuka. Jika lembaga pendidikan ini dipandang sebagai sebuah sistem, maka organisasi pendidikan kejuruan juga merupakan sebuah sistem yang bersifat terbuka. Sebuah organisasi yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan dan selalu berinteraksi dengan lingkungan sebagaimana dialami oleh organisme hidup. Organisasi semacam ini menerima masukan ( input) berupa sumber daya manusia dan materi, nilai-nilai, harapan masyarakat, dan tuntutan sosial; kemudian mentransformasikannya melalui proses produksi (misalnya kegiatan pemelajaran); dan mengeluarkan produk (misal lulusan) dengan nilai tambah. Organisasi ini menerima imbalan (misal dukungan pendanaan dari masyarakat) atas usaha yang dilakukan sehingga dapat terus bertahan hidup.
11
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep manajemen yang tepat bagi lembaga pendidikan kejutuan adalah konsep yang didasarkan pada sebuah pandangan bahwa sekolah (kejuruan) sebuah sistem yang terbuka.
Unsur-unsur sebuah sistem dapat berupa simbol, seperti halnya bahasa; dapat berupa obyek, seperti bangku, buku, alat-alat, mesin yang disediakan untuk kegiatan pembelajaran; dan juga dapat berupa subyek seperti halnya peserta didik, guru, atau tenaga kependidikan di SMK. Oleh karena itu, sistem selalu terbentuk dari sekumpulan entitas hidup atau mati yang terdiri dari simbol, obyek, dan subyek yang saling memberi kontribusi terhadap ciri khas dari pola tingkah laku yang ada dalam sistem itu. Sistem dapat dikatakan sebagai wholes whithin wholes sebagaimana organ tubuh manusia yang terdiri dari sel-sel yang terbentuk dari molekul-molekul. Organisasi sebagai sebuah sistem juga terdiri dari berbagai kelompok yang tersusun dari sejumlah individu. Terdapat berbagai macam sistem yang dapat dibedakan atas dasar kompleksitasnya masing-masing. Hanson (1991) mengidentifikasi empat macam sistem yang ia sebut dengan framework, clockworks, cybernetic system, dan open system. Pengertian dari masing-masing adalah sebagai berikut. Frameworks merupakan sistem yang paling sederhana. Dalam sistem ini terdapat hubungan antar bagian bersifat statis atau pasti ( fixed). Kursi atau anatomi binatang merupakan contoh dari sistem ini.
12
Clockworks merupakan sistem yang sederhana namun bersifat dinamis yang memungkinkan adanya gerakan yang memiliki parameter yang sangat pasti. Jam merupakan contoh dari sistem ini.
Cybernetic system merupakan sistem yang memiliki kemampuan untuk mengatur diri secara terbatas sebagaimana terjadi pada termostat sebuah mesin.
Open system atau sistem terbuka merupakan sistem yang mampu mengatur keberadaannya dengan cara menerima dari dan memberi kepada lingkungannya. Di dalam sistem, terutama sistem terbuka, selalu terjadi siklus yang terdiri
dari serangkaian peristiwa. Siklus ini terjadi secara terus-menerus selama masingmasing unsur dan peristiwa yang menjadi komponen siklus itu berfungsi dengan baik. Contoh siklus dari serangkaian peristiwa yang merupakan sistem ini antara lain apa yang kita lihat pada siklus terjadinya hujan. Siklus hujan ini akan terus berlangsung selama bagian-bagian peristiwa seperti ketersediaan cahaya matahari, penguapan air laut dan air tanah, terjadinya awan, sampai timbulnya hujan berjalan dengan baik. Dengan kata lain, terdapat dua hal penting yang seharusnya menjadi perhatian dalam siklus berkelanjutan semacam itu agar sistem itu tetap tetap bertahan. Pertama siklus itu harus dapat mampu melakukan penguatan diri (self reinforceing) secara terus-menerus agar terjadi apa yang disebut proses entropi negatuf dimana sistem menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak dari yang dibutuhkan sehingga dapat terus bertahan bahkan dapat berkembang. Kedua, siklus tersebut harus berlangsung terus-menerus sehingga benar-benar terbentuk apa yang disebut sistem. Jika konsep siklus peristiwa tersebut dikaitkan dengan apa yang terjadi di sekolah, kita dapat mengidentifikasi serangkaian peristiwa yang membentuk sebuah sistem. Dalam rangkaian kegiatan tahunan, misalnya siklus diawali dengan pendaftaran murid baru, dilanjutkan dengan proses belajar mengajar, ujian, pemberian nilai, dan akhirnya siswa naik kelas atau lulus. Dalam sistem pendidikan di SMK, rangkaian ini berlangsung berulang-ulang dalam periode tahunan, tiga atau empat tahunan. Masing-masing siklus itu dapat dijabarkan
13
menjadi sub-sub-siklus yang lebih kecil yang dpat dibedakan menurut unit-unit organisasi sekolah, kurun waktu terjadinya siklus, macam-macam orang yang terlibat dalam siklus, dan sebagainya. Rangkaian peristiwa yang ada di sekolah sebagai sebuah sistem dapat dibedakan menjadi masukan (input), proses (throughput), dan luaran (output). Sebagai sistem terbuka, semua peristiwa itu berada menerima dan memberi energi dari lingkungan. Siklus hubungan antara ketiga peristiwa itu dapat disajikan sebagaimana Gambar 2.1. Input dalam sistem tersebut dapat dikelompokkan menjadi (1) manusia, yang meliputi guru, siswa, pimpinan sekolah, tenaga kependidikan di sekolah, laboran, teknisi, staf administrasi, penjaga sekolah, dan sebagainya; (2) material antara lain lahan, gedung, sarana dan prasarana kelas dan laboratorium, media pembelajaran; (3) teknologi; (4) informasi; dan (5) hambatan atau constrain yang dapat berupa harapan orang tua, ketentuan pemerintah, tatanilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Feedback
Gambar 2.1 Model Sistem Terbuka
Proses throughput terdiri dari sejumlah subsistem yang saling berinteraksi untuk mengubah input menjadi output. Di sekolah, inti dari komponen ini terletak pada proses belajar-mengajar. Sedangkan proses-proses lain seperti rapat guru, penegakan disiplin sekolah, dan lain-lain dipandang sebagai pendukung kegiatan
14
belajar mengajar. Hal-hal yang termasuk dalam proses thoughputs dapat dikelompokkan menjadi (1) teknologi pembelajaran ( database, teori belajar, teknik pemelajaran), (2) peran-peran formal dan informal (guru, siswa, pimpinan sekolah), (3) strategi pengambilan keputusan (sentralisasi atau desentralisasi), (4) sistem insentif (intrinsik atau ekstrinsik), (5) strategi evaluasi (kesejawatan, atau supervisif), dan sejumlah kategori lainnya. Proses keluaran meliputi unsur-unsur seperti perolehan belajar, perubahan sikap, tingkat kesiap-pakaian keterampilan, kemampuan pengendalian diri, berfikir kritis, perubahan tingkah laku, dan lain-lain sebagaimana diharapkan dalam tujuan pendidikan kejuruan yang telah ditetapkan. Jika serangkaian peristiwa tersebut berlangsung terus-menerus, sekolah akan menerima imbalan informasi dan ekonomi yang memungkinkan terjadinya peremajaan kembali siklus. Imbalan ini merupakan kontribusi masyarakat yang terus-menerus diberikan atas jasa-jasa yang telah diberikan oleh sekolah. Lingkungan merupakandalam sistem tersebut dapat terdiri dari individu, kelompok, lembaga, atau lingkungan alam yang ada di luar lingkungan sekolah. Lingkungan ini juga dapat berupa institusi sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam kaitannya dengan sekolah kejuruan, lingkungan itu dapat berupa masyarakat sekitar sekolah, asosiasi profesi, organisasi dunia usaha, berbagai peraturan pemerintah dan kondisi sosial politik (Kabupaten/Kota, Propinsi, atau Pusat), dan lain sebagainya. Sistem sekolah terikat dengan jaringan yang terdiri dari berbagai macam tipe organisasi seperti lembaga pendidikan guru, badan akreditasi, dewan pendidikan, kontraktor bangunan, lembaga keuangan pemerintah, penerbit buku, industri pembuat peralatan pembelajaran, pemerintah daerah, dan badan legislatif. Semua organisasi ini berada di luar kontrol sekolah. Pada umumnya organisasiorganisasi itu berjalan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Akan tetapi siklus input-output di lingkungan sekolah tidak dapat menghindar dari keterikatan dengan organisasi-organisasi itu. Pada saat tertentu keterikatan ini memang tidak membelenggu namun justru mendukung sekolah, akan tetapi ada kalanya keterikatan itu justru membatasi dan tidak mendukung sekolah.
15
Sebagai sebuah sistem terbuka, pengelolaan lembaga pendidikan kejuruan juga harus menerapkan proses dan fungsi-fungsi manajemen yang relevan dengan sistem itu. Perkembangan terakhir dalam bidang pendidikan kejuruan di Indonesia menunjukkan adanya perubahan mendasar terhadap kewenangan sekolah dalam pengambilan keputusan, peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan pendidikan, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu pembahan pada bab-bab berikut akan ditekankan kepada tiga fungsi manajemen itu. Di samping tiga fungsi itu, fungsi kepemimpinan pada lembaga pendidikan kejuruan juga akan dikaji lebih mendalam karena unsur manajemen ini diketahui sebagai kunci bagi keefektifan semua jenis organisasi kependidikan termasuk sekolah kejuruan.
16
A. Optimizing Model
Model ini tergolong sebagai model klasik dalam pengambilan keputusan. Model ini berasumsi bahwa keputusan harus rasional; pembuat keputusan berusaha mencari alternatif yang terbaik untuk memaksimalkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sebagai pengejawantahan dari asumsi ini adalah bahwa
17
terdapat satu solusi terbaik bagi masalah-masalah yang dapat jangkau dan diimplementasikan. Manurut model klasik, proses pengambilan keputusan merupakan serangkaian langkah yang berurutan sebagai berikut.
1) Identifikasi masalah: Masalah adalah kesenjangan antara hasil yang dicapai
dengan yanng diharapkan. Administrator memantau berbagai kegiatan sekolah dalam rangka mengidentifikasi masalah, yakni untuk menentukan apabila kinerja sekolah gagal mencapai apa yang harapan.
2) Diagnosis masalah: Pengumpulan dan analisis informasi yang menjelaskan
masing-masing alternatif.
5) Evaluasi: Semua alternatif dievaluasi dalam kaitannya dengan tujuan dan
sasaran.
6) Pemilihan:
alternatif
terbaik
dipilih,
yakni
alternatif
yang
mampu
B. Satisficing Strategy
Model klasik sebagaimana dikemukakan di atas memiliki keterbatasan dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Para pengammbil keputusan sering menggunakan pendekatan yang lebih realistis mengingat kompleksitas yang terjadi pada kebanyakan masalah-masalah manajemen dan karena terbatasnya kemampuan daya pikir manusia menyebabkan tidak mungkin memnerapkan optimizinng strategy pada semua masalah kecuali hanya pada masalah-masalah yang sederhana. Berikut diuraikan secara singkat strategi pemuasan atau strategy of satisficing untuk memberikan gambaran apa yang dikerjakan dan seharusnya dikerjakan oleh administrator dalam pengambilan keputusan. Satisficing strategy merupakan proses pengambilan keputusan yang dikembangkan karena ketidak-mampuan individu untuk menerapkan strategi rasional secara menyeluruh pada masalah-masalah yang rumit. Dengan
18
keterbatasan ini para pengambil keputusan tetap berusaha mencari solusi terbaik terhadap masalah yang dihadapi, yaitu pillihan solusi yang paling memuaskan. Oleh karena itu Hoy dan Tarter (2004) menyatakan they seek to satisfices because they do not have the knowledge, ability, or capacity to maximize. Langkah-langkah yang ditempuh pada strategi pemuasan itu meliputi: 1) mengakui dan membatasi masalah (recognizing and defining the problem); 2) analisis kesulitan pada situasi yang ada ( analyze the difficulties in the existing situation); 3) mengembangkan kriteria bagi solusi yang memuaskan ( establish criteria for satisficing solution); 4) mengembangkan strategi untuk bertindak, yang meliputi spesifikasi dari alternatif-alternatif yang mungkin, prediksi terhadap berbagai konsekwensi yang timbul, melakukan pertimbangan-pertimbangan, dan memilih sebuah rencana tindakan (action plan); dan 5) menyusun rencana tindakan. Tabel 3.1 Perbandingan antara Model Klasik dan Administratif
Recognize and define the problem
Develop an action plan: Specify the alternatives Predict the consequences Consider the option Select an action plan
19
Karakteristik
Perumusan Tujuan Analisis alat-tujuan (means-end analysis)
Administratif
Tujuan biasanya ditentukan sebelum pengembangan alternatif Pada intinya analisis alattujuan dilakukan; akan tetapi ada kalanya tujuan berubah setalah analisis dilakukan. Ketercapaian tujuan yang memuaskan. Pemuasan. Berpartisipasi dalam pemcarian problemistis untuk mengembangkan serangkaian alternatif yang memuaskan. Mengandalkan baik pada teori maupun pengalaman. Deskriptif dan normatif
Penguatan Perspektif
20
jelas. Konsekwensi yang ditimbulkan sering mengambang. Sebagaimana dinyatakan oleh Kenneth dan Boulding (1964:931) the incrementalists fate may be to stumble through history putting one drunken foot in front of other. Sebaliknya, mixed-scanning model dipandang sebagai strategi cakupan yang mengambil manfaat dari perbandingan yang tidak menentu yang diarahkan oleh kebijakan organisasi; mixed scanning diarahkan oleh paham incrementalism. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa mixed scanning model biasanya merupakan strategi yang lebih tepat bagi pengambilan keputusan administratif dibandingkan dengan incremental model. Meskipun incremental model lebih banyak digunakan daripada mixed scanning model, akan tetapi model yang kedua ini dapat dan seharusnya digunakan pada situasi-situasi dimana diperlukan pendekatan incremental. Mixed-scanning model akan menghindarkan pengambangan, memandu proses pengambilan keputusan, dan memaksa pengambil keputusan bukan hanya mempertimbangkan berbagai konsekwensi tindakan secara reflektif namun juga meletakkan kebijakan organisasi dalam posisi yang penting dalam proses pengambilan keputusan. Apabila waktu mendesak, informasi tidak memadai, prediksi sullit dilakukan, kompleksitas tinggi, mixed scanning model merupakan pendekatan yang tepat. Mixed scanning model merupakan alat yang bersifat adaptif bagi administrator yang reflektif, pendekatan yang dapat dipelajari. Sebagai strategi yang secara sistematis disesuaikan dengan praktik administrasi, pendekatan ini sangat mungkin untuk direalisasikan. Keberhasilan penggunaan model itu membutuhkan praktik; oleh karena itu sangat dianjurkan agar kita dapat memprkatikkan penerapannya pada kasus-kasus aktual. Perbandingan antara dua model tersebut dapat diringkas sebagaimana Tabel 3.2. Tabel 3.2 Perbandingan antara Model Incremental dan Mixed Scanning Karakteristik
Perumusan Tujuan Analisis alat-tujuan (means-end analysis)
Mixed Scanning
Panduan kebijakan yang luas ditetapkan sebelum mengembangkan alternatif Tujuan yang bersifat umum dan alat yang bersifat tentatif merupakan fokus dari analisis.
21
Karakteristik
hal yang dapat dipisahkan Pengambil keputusan sepakat bahwa keputusan telah berada pada arah yang benar. Perbandingan suksesif. Pencarian terbatas pada alternatif yang erat kaitannya dengan masalah.
Penguatan Perspektif
D. Model Kaleng Sampah dan Model Politik (Garbage-Can and Politics Models)
a. Model Kaleng Sampah Pengambilan keputusan dengan menerapkan model kaleng sampah paling mungkin terjadi pada organisasi dengan ketidak-pastian yang tinggi. Organisasi semacam ini dicirikan dengan preferensi problematis, teknologi yang tidak jelas, dan partisipasi yang cair. Ciri-ciri dasar model kaleng sampah adalah proses pengambilan keputusan yang tidak diawali dengan masalah dan berakhir dengan pemecahan, akan tetapi keputusan merupakan produk dari alur yang tidak bergantung pada peristiwa-peristiwa organisasional. Empat peristiwa yang ditangkap adalah masalah, pemecahan, partisipan, dan peluang-peluang pilihan: Masalah merupakan titik-titik ketidak-puasan yang membutuhkan perhatian, akan tetapi tidak independen terhadap solusi dan pilihan-pilihan. Sebuah masalah dapat atau tidak dapat mengarah kepada sebuah solusi, dan masalah dapat atau tidak dapat dipecahkan ketika solusi diterima. Solusi merupakan gagasan yang diusulkan untuk diadopsi, akan tetapi ada kalanya solusi independen terhadap masalah. Pada kenyataannya, kemenarikan sebuah ide dapat menstimulasi pencarian sebuah masalah untuk
22
menilai gagasan tersebut. Cohen dan kawan-kawannya (1972) berpendapat bahwa, disamping ada pernyataan bahwa seseorang tidak dapat memperoleh jawaban sebelum mengetahui pertanyaannya, pada pemecahan masalah organisasi kadang-kadang kita dapat memiliki jawaban sebelum mengetahui pertanyaannya. Partisipan adalah anggota organisasi yang keluar masuk organisasi. Masalah dan pemecahannya dapat berubah dengan cepat karena orang-orang yang ada di dalamnya dapat berubah dengan cepat pula. Peluang pilihan (choice opportunities) merupakan kesempatan dimana organisasi diharapkan untuk membuat keputusan. Kontrak harus ditandatangani, pegawai harus diangkat dan diberhentikan, uang harus dibelanjakan, dan sumber daya harus dialokasikan. b. Model Politik Kekuasaan merupakan fakta yang ada pada kehidupan organisasi. Semua organisasi harus berurusan dengan isu-isu politik, yang mempengaruhi sebagian besar, jika tidak semuanya, keputusan. Yang dimaksud politik di sini adalah sebuah situasi dimana kendali ( control) menjadi kekuatan yang sangat menentukan dalam organisasiyakni, ketika politik menggantikan legitimasi, prosedur pengambilan keputusan, dan menggantikan tujuan. Merupakan hal yang naif jika ada yang menyarankan bahwa sebagian besar keputusan tidak memiliki unsur politik. Politik memiliki sejumlah konsekwensi yang fungsional; kadang-kadang politik diperlukan untuk mengkoreksi kekurangan yang terjadi pada struktur formal; tidak jarang politik dibutuhkan untuk mendorong perubahan dalam organisasi yang telah terkunci oleh sistem legitimasi kontrol; ada kalanya politik merupakan hal yang esensial untuk membuka jalan bagi pelaksanaan sebuah keputusan; dan politik dapat memperkuat pandangan bahwa pemimpin yang kuat dan gagasangagasan yang bagus memiliki hak suara. Meskipun kadang-kadang bermanfaat, politik dalam pandangan kita secara umum tidak legitimate karena politik dapat menggusur pengaruh alat organisasi yang legitimate. Pengambilan keputusan dalam organisasi yang dipolitisasi sangat berbeda dengan model-model yang telah dikemukakan karena tujuan yang ingin dicapai
23
lebih bersifat pribadi dan kurang memperhatikan tujuan organisasi. Secara paradoksial, individu dapat menggunakan pendekatanl incremental, mixedscanning, atau satisficing dala proses pengembangan strategi atau agenda; akan tetapi persoalan-persoalan organisasi hanya dijadikan arena bagi kegiatan politik. Singkatnya, tujuan dari model politik bersifat pribadi. Tujuan pribadi, bukan tujuan organisasi, mengendalikan proses. Analisis alat-tujuan pribadi menggantikan analisis alat-tujuan organisasi. Tujuan pribadi ditentukan, baru kemudian kendaraan organisasi digunakan untuk mencapai tujuan pribadi itu. Tolok ukur bagi keputusan yang baik diletakkan pada ketercapaian tujuan pribadi. Politik merupakan kekuatan utama yang menenrukan keputusan. Apabila menggunakan strategi satisficing atau adaptif, penggunaan itu berada pada tingkatan pribadi. Model politik merupakan kerangka deskriptif yang mengandalkan kekuasaan dalam menjelaskan konsep pengambilan keputusan. Oleh karena organisasi yang bersifat politis ini sarat dengan konflik dan ketidak teraturan, maka proses pengambilan keputusan pada organisasi semacam ini sulit untuk dipahami. Banyak kegiatan dan proses pengambilan keputusan melibatkan konflik dan memperkuat kekuasaan, proses yang dihasilkan juga sarat dengan konflik. Perbandingan antara model kaleng sampah dan model politik sebagaimana diuraikan di atas dapat diringkas sebagaimana tabel 3.3 berikut ini. Tabel 3.3 Perbandingan antara Model Garbage-Can danPolitical Model Pengambilan Keputusan Garbage-Can
Perumusan Tujuan Analisis alat-tujuan (means-end analysis) Tujuan mengemuka secara tiba-tiba. Alat dan tujuan saling independen satu dengan yang lainnya.
Karakteristik
Political
Tujuan bersifat personal. Menonjolkan analisis alat-tujuan pribadi. Tujuan pribadi, bukan tujuan organisasi, ditentukan dan kendaraan organisasi digunakan untuk mencapai tujuan pribadi. Ketercapaian tujuan pribadi Politis. Menggunakan adaptive
Partisipan sepakat bahwa solusi dan masalah sepadan. Peluang. Menemukan kesepadanan
24
Karakteristik
Political
satisficing pada tingkatan pribadi. Mengandalkan pada politik. Deskriptif.
Penguatan Perspektif
25
A. Pengertian Perencanaan Pengembangan Sekolah Perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menggerakkan atau memimpin (actuating atau leading), dan pengendalian (controlling) merupakan fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam proses manajemen. Jika digambarkan dalam sebuah siklus, perencanaan merupakan langkah pertama dari keseluruhan proses manajemen tersebut. Perencanaan dapat dikatakan sebagai fungsi terpenting diantara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Apapun yang dilakukan berikutnya dalam proses manajemen bermula dari perencanaan. Daft (1988:100) menyatakan: When planning is done well, the other management functions can be done well. Perencanaan pada intinya merupakan upaya pendefinisian kemana sebuah organisasi akan menuju di masa depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu. Dengan kata lain, perencanaan berarti pendefinisian tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan pembuatan keputuan mengenai tugas-tugas dan penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu. Sedangkan rencana (plan) adalah hasil dari proses perencenaan yang berupa sebuah cetak biru (blueprint) mengenai alokasi sumber daya yang dibutuhkan, jadwal, dan tindakantindakan lain yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan. Dalam pengertian tersebut, tujuan dan alokasi sumber daya merupakan dua kata kunci dalam sebuah rencana. Tujuan ( goal) dapat diartikan sebagai kondisi masa depan yang ingin diwujudkan oleh organisasi. Dalam organisasi, tujuan ini terdiri dari beberapa jenis dan tingkatan. Tujuan pada tingkat yang tertinggi disebut dengan tujuan strategis ( strategic goal), kemudian berturut-turut di bawahnya dijabarkan menjadi tujuan taktis ( tactical objective) kemudian tujuan operasional (operational objective). Tujuan strategis merupakan tujuan yang akan dicapai dalam jangka panjang, sedangkan tujuan taktis dan tujuan operasional adalah tujuan jangka pendek yang berupa sasaran-sasaran yang terukur. Dalam organisasi sekolah, tujuan strategis merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai pada tingkat sekolah. Tujuan ini bersifat umum dan biasanya tidak
26
dapat diukur secara langsung. Tujuan-tujuan taktis merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh-oleh bagian-bagian utama organisasi sekolah, misalnya bidang kurikulum, kesiswaan, atau kerja sama dengan masyarakat. Untuk SMK tujuantujuan taktis ini dapat berupa tujuan-tujuan yang harus dicapai pada tingkat jurusan atau program keahlian. Sedangkan tujuan operasional merupakan tujuan yang harus dicapai pada bagian-bagian yang secara struktur yang lebih rendah dari bagian-bagian utama sekolah tersebut. Tujuan mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, misalnya, dapat dikategorikan sebagai tujuan operasional. Masing-masing tingkatan tujuan tersebut terkait dengan proses perencanaan. Tujuan strategis merupakan tujuan yang harus dicapai pada tingkat rencana strategis (strategic plan). Tujuan taktis dan tujuan operasional masing-masing merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai pada rencana taktis ( tactical plan) dan rencana operasional (operational plan). Perlu dicatat bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, ada atau diadakan atas dasar asumsi, keyakinan, sistem nilai dan mandat tertentu. Dalam kaitannya dengan perencanaan, dasar-dasar keberadaan ini disebut dengan premis organisasi. Secara formal permis-premis perencanaan itu biasanya disajikan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan nilai-nilai fundamental organisasi. Visi dapat dipandang sebagai alasan atas keberadaan lembaga dan merupakan keadaan ideal yang hendak dicapai oleh lembaga; sedangkan misi adalah tujuan utama dan sasaran kinerja dari lembaga. Keduanya harus dirumuskan dalam kerangka filosofis, keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut oleh organisasi yang bersangkutan dan digunakan sebagai konteks pengembangan dan evaluasi atas strategi yang diinginkan. Premis-premis tersebut harus menjadi titik-tolak dalam perencanaan. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam rencana harus berada dalam kerangka premis-premis itu. Untuk memudahkan pemahaman, Gambar 3.1 mengilustrasikan hubungan antara premis organisasi, herarkhi tujuan, dan bentuk rencana sebagaimana diuraikan di atas.
27
28
Tujuan
(hasil)
Rencana
(alat)
Manajemen Puncak
(Tingkat Sekolah)
Tujuan Strategis
Rencana Strategis
Manajemen Menengah
(Jurusan, Prog. Keahlian)
Tujuan Taktis Rencana Taktis
Manajemen Bawah
(Mapel, Individu Guru)
Tujuan Operasional
Rencana Operasional
Gambar 3.1 Hubungan antara Premis, Tujuan, dan Rencana Perencanaan sebuah sekolah pengembangan secara sekolah ( school development pokok planning) rencana
merupakan proses pengembangan sebuah rencana untuk meningkatkan kinerja berkesinambungan. Perbedaan pengembangan dengan rencana lainnya terletak pada tujuan. Sedangkan herarkhi tujuan dan rencana sebagaimana telah diuraikan di atas juga berlaku dalam rencana pengembangan. Tujuan yang akan dicapai dalam rencana pengembangan merupakan hasil-hasil yang lebih baik dari apa yang selama ini telah dicapai oleh sekolah. Rencana pengembangan sekolah disusun agar sekolah terus-menerus meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu, selain
29
didasarkan pada visi dan misi sekolah, perencanaan pengembangan harus didasarkan atas pemahaman yang mendalam tentang keberadaan dan kondisi sekolah pada saat rencana pengembangan itu disusun. Pemahaman semacam ini dapat dilakukan melalui kajian dan telaah mendalam terhadap kondisi internal maupun lingkungan eksternal dimana sekolah itu berada. B. Kerangka Umum Perencanaan Pengembangan Sekolah Kerangka umum proses perencanaan pengembangan sekolah sebenarnya dapat digambarkan sebagai sebuah siklus yang bergerak mengelilingi sebuah titik pusat. Siklus itu terdiri dari empat langkah kunci: Telaah ( Review) atau evaluasi diri (self evaluation), Rancangan Strategi (Strategy Design), Implementasi (Implementation), dan evaluasi. Sedangkan titik pusatnya terdiri dari: Visi, Misi, dan Tujuan. Kerangka tersebut dapat diilustrasikan dalam diagram sebagai Gambar 3.2. Untuk mengoperasionalkan siklus tersebut, langkah-langkah dalam proses perencanaan dapat diubah menjadi sejumlah pertanyaan pokok. Masing-masing langkah dapat direpresentasikan dengan sebuah pertanyaan pokok yang dijabarkan menjadi pertanyaan-pertanyaan khusus. Pertanyaan-pertanyaan khusus ini kemudian digunakan untuk menentukan tugas-tugas utama yang harus dilaksanakan dalam proses perencanaan pengembangan. Tabel 3.1 merangkum operasionalisasi siklus tersebut. Uraian lebih rinci mengenai langkah-langkah pelaksanaan dari masing-masing operasi tersebut disajikan pada bab-bab selajutnya dalam bahan pelatihan ini.
30
Gambar 3.2. Kerangka Umum Proses Perencanaan Tabel 3.1 Langkah-langkah, Pertanyaan Pokok, Pertanyaan Khusus, dan Tugas dalam Proses Perencanaan Pengembangan
LANGKAH PERENCANAAN PERTANYAAN POKOK PERTANYAAN KHUSUS
TELAAH (REVIEW) Dimanakah posisi Sejauh mana kita melakukan hal-hal yang berkaitan sekolah kita sekarang? dengan: pencapaian visi, misi, dan tujuan kita? kinerja kita sebelumnya? praktik-praktik terbaik (best practices)? pemenuhan kebutuhan siswa? pemenuhan kebutuhan orang tua dan masyarakat? tindak lanjut terhadap tujuan pendidikan nasional? pengelolaan perubahan (baik internal maupun eksternal)? Kemana kita akan membawa sekolah ini pada akhir siklus perencanaan? RANCANGAN (DESIGN) Bagaimana kita akan membawa sekolah agar mencapai apa yang kita inginkan? Apa yang dapat kita raih lebih dari apa yang kita capai sekarang? Perubahan apa yang harus kita lakukan? Apakah prioritas pengembangan kita? Apa persisnya yang ingin kita capai? Tindakan-tindakan apa yang tersedia dan dapat kita pilih untuk memampukan kita mencapai tujuan kita? Tindakan terbaik mana yang sesuai untuk mencapai tujuan? Sumber daya apa yang kita butuhkan? Siapa yanng akan melaksanakan tindakantindakan itu? Bagaimana kemajuan tindakan akan diukur?
31
LANGKAH PERENCANAAN
PERTANYAAN POKOK
PERTANYAAN KHUSUS Bagaimana kita memastikan bahwa tujuan, kebijakan, prioritas, dan rencana sekolah diketahui dan didukung oleh semua warga sekolah?
IMPLEMENTASI Apa yang seharusnya (IMPLEMENTAION) kita kerjakan untuk menghantarkan sekolah sampai pada apa yang kita inginkan?
Bagaimana seharusnya usaha kita sehari-hari mencerminkan visi, misi, dan tujuan sekolah? Bagaimana kita dapat mendorong kemajuan yang terkait dengan prioritas sekolah? Apa yang harus kita lakukan untuk menjamin keberhasilan implementasi Rencana implementasi program pengembanganan? Kemajuan apa yang kita capai untuk mencapai tujuan kita? Apakah tujuan khusus masih tepat dalam kaitannya dengan tujuan umum dan prioritas kita? Apakah tugas-tugas kita: Fisibel Tepat Tersedia sumber daya yang memadai? Apakah biaya yang dianggarkan: termanfaatkan? mampu memanfaatkan? Berdasarkan pengalaman, apakah rentang waktu yang ditetapkan dapat diterima/cukup beralasan? Penyesuaian-penyesuaian apa yang dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan Rencana Sekolah Kita?
Selama implementasi, bagaimana kita akan mengecek apakah kita telah membawa sekolah ke arah yang kita inginkan?
Pada akhir siklus perencanaan, bagaimana kita akan mengetahui apakah kita telah membawa sekolah ke tempat yang kita inginkan?
Sampai dimana yang telah kita capai? Sejauh mana kita telah: Mencapai tujuan (objectives) dari rencana implementasi program pengembanganan yang kita buat? Mengembangkan prioritas yang kita tetapkan? Mengimplementasikan kebijakan yang kita tetapkan? Memperluas misi, visi, dan tujuan sekolah kita? Apakah kita telah berjalan pada jalur yang benar? Dalam kaitannya dengan perubahan social budaya, sejauh mana ketepatan: Misi, visi, dan tujuan kita? Kebijakan kita? Prioritas pengembangan kita? Sasaran-sasaran (objectives) kita? Apakah kita telah menggunakan metode terbaik untuk sampai ditujuan? Seberapa sesuaikah model proses perencanaan yang kita pilih? Seberapa efektifkah kita mengimplementaiskan model itu?
Dengan cara apa kita kelak mengetahui bahwa kita telah memilih arah yang benar?
Proses
Bagaimana kelak kita akan mengetahui bahwa kita telah memilih kendaraan yang paling sesuai?
32
LANGKAH PERENCANAAN
PERTANYAAN POKOK
Rekomendasi
Berdasarkan pengalaman kita: Perubahan apa yang seharusnya kita lakukan terkait dengan model proses perencanaan kita? Aspek kehidupan sekolah yang mana yang harus menjadi focus pada siklus perencanaan kita berikutnya?
33
C. Model-Model Alternatif Perencanaan Pengembangan Sekolah Standar nasional pendidikan esensial yang dalam pengelolaan pada setiap sebagaimana telah diuraikan pada bab Dalam harus kaitannya mampu dengan standar dan sebelumnya menunjukkan bahwa proses perencanaan menjadi perangkat yang sekolah. sekolah pengelolaan satuan pendidikan, sistem perencanaan pengembangan lembaga diterapkan memfasilitasi mengakomodasi lima pilar utama yang digariskan dalam standar pengelolaan itu kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Model perencanaan strategis (strategic planning) hingga saat ini dipandang sebagai proses perencanaan yang demikian itu. Dengan menerapkan pendekatan perencanaan strategis, diharapkan sekolah akan terdorong untuk melakukan perencanaan secara sistematis. Sekolah diharapkan akan menyediakan waktu untuk mentelaah dan menganalisis dirinya sendiri dan lingkungannya, mengidentifikasi kebutuhannya untuk mendapatkan keunggulan terhadap yang lain, dan melakukan komunikasi dan konsultasi secara terus-menerus dengan berbagai pihak baik dari dalam maupun luar lingkungan lembaga selama berlangsungnya proses perencanaan. Di samping itu perencanaan strategis juga diharapkan akan mendorong sekolah untuk menyusun langkah-langkah dalam rangka mencapai tujuan strategis, secara terus-menerus memantau pelaksanaan rencana itu, dan secara teratur melakukan pengkajian dan perbaikan untuk menjaga agar perencanaan yang dibuat tetap relevan terhadap berbagai kondisi yang terus berkembang (Nickols dan Thirunamachandran, 2000). Perencanaan strategis merupakan bagian dari proses managemen strategis yang terkait dengan proses identifikasi tujuan jangka panjang dari sebuah lembaga atau organisasi, penggalian gagasan dan pilihan-pilihan, pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, dan pemantauan (monitoring) kemajuan atau kegagalan dalam rangka menentukan strategi di masa depan (Nickols dan Thirunamachandran, 2000). Secara historis, perencanaan strategis bermula dari dunia militer. Perkembangan selanjutnya, perencanaan strategis diadopsi oleh dunia usaha pada tahun 1950an dan berkembang pesat dan sangat populer pada tahun 1960 hingga 1970-an,
34
dan berkembang kembali tahun 1990-an Mintzberg (1994) sebagai " process with particular benefits in particular contexts." Penerapan perencanaan strategis di dunia pendidikan baru berkembang sekitar satu dekade yang lalu. Saat mana lembaga-lembaga pendidikan dipaksa harus berhadapan dengan berbagai perubahan baik di dalam maupun di luar lingkungan lembaga, dan dipaksa harus tanggap terhadap berbagai tantangan yang timbul seperti halnya menurunnya dukungan struktur keuangan, pesatnya dan perkembangan teknologi, dan berubahnya kependudukan,
tertinggalnya program-program akademik. Sebagai dampak dari kondisi ini, sejumlah lembaga pendidikan kemudian menggunakan perencanaan strategis sebagai alat untuk meraih manfaat dan perubahan strategis untuk menyesuaikan diri dengan pesatnya perubahan liungkungan (Rowley, Lujan, & Dolence, 1997). Diantara model-model perencanaan strategis yang berkembang, yang hingga saat ini masih banyak diterapkan pada lembaga pendidikan antara lain: Model Dasar (Foundational Model), Perencanaan Tindakan Tahap Permulaan ( Early Action Planning Model), dan Model Tiga-Unsur Sejajar ( The Three-Strand Concurrent Model). Berikut diuraikan secara singkat masing-masing model yang tersebut. Pada bagian akhir bab ini diurai sebuah model perencanaan pengembangan sekolah yang pernah diterapkan di Indonesia dalam kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. 1. Model Dasar (Foundational Model) Sesuai dengan namanya, model dasar ini pertama-tama difokuskan pada peletakan landasan-landasan yang diperlukan dalam perencanaan pengembangan dan pengembangan prasarana yang tepat, sebelum melangkah pada perencanaan pengembangan pada skala yang menyeluruh. Model ini didasarkan pada premis bahwa perencanaan pengembangan akan terlaksana lebih efektif apabila tujuan dan nilai-nilai fundamental sekolah telah diklarifikasi sehinga dapat menjadi kerangka acuan, dan bila perlu memampukan tersusunnya struktur rencana pengembangan. Model tersebut terdiri dari urutan kegiatan sebagai berikut:
35
a. Pembentukan/pengkajian struktur kolaborasi dan konsultasi dalam tahap persiapan. b. Perumuskan/pembaharuan rumusan visi, misi, dan tujuan. c. Perumuskan/pembaharuan Kebijakan Umum Sekolah yang terkait dengan bidang-bidang kunci kehidupan sekolah, seperti kedisiplinan, kesehatan dan keselatan, dan pemeliharaan kehidupan beragama. d. Perumuskan/pembaharuan kebijakan dan prosedur yang terkait dengan perencanaan terkoordinasi dalam bidang belajar mengajar yang dilakukan oleh guru, jurusan, kelompok-kelompok lintas kurikulum. e. Evaluasi/revisi kebijakan dan prosedur yang terkait dengan anggaran serta spesifikasi dan pengalokasian sumber daya. f. Merancang dan adaptasi model perencanaan pengembangan sekolah. g. Penerapan struktur umum dan prosedur yang sistematis dari operasi dasar perencanaan pengembangan: kaji, rancang, implementasi termonitor, dan evaluasi. h. Penerapan model perencanaan pengembangan.Setelah evaluasi, kembali ke langkah pertama dan ulangi proses
36
Bagi sekolah yang baru pertama kali melaksanakan perencanaan strategis, untuk menyelesaikan langkah a sampai dengan e di atas kemungkinan diperlukan waktu selama 18 bulan. Akan tetapi apabila sekolah telah memiliki rencana strategis dan hanya perlu melakukan penyesuaian atau perubahan-perubahan, langkah a sampai dengan e dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang sangat singkat, karena kemungkinan hanya memerlukan sekedar perubahan-perubahan minor terhadap apa-apa yang sudah ada. Namun demikian, langkah-langkah itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Model dasar itu dapat diilustrasikan dalam bentuk diagram sebagaimana Gambar 3.3.
2. Model Perencanaan Tindakan Tahap Permulaan (Early Action Planning Model)
Model Perencanaan Tindakan Tahap Awal ( Early Action Planning Model) pertama-tama menitik beratkan pada identifikasi cepat sejumlah kecil prioritas jangka pendek dan inisiatif rencana implementasi program pengembanganan untuk mencapai prioritas itu. Model ini didasarkan pada premis bahwa cara terbaik untuk mendorong keberterimaan (acceptance) dan penyatuan Perencanaan Pengembangan Sekolah adalah memastikan kelancaran tindakan dan capaian pada tahap permulaan sebagai penguatan yang positif bagi partisipan dalam proses perencanaan. Pengalaman berhasil pada tahap permulaan ini akan menjadi bukti kemanfaatan perencanaan pengembangan sekolah. Dengan demikian, akan terjadi penguatan yang dapat mengurangi kecenderungan munculnya berbagai keluhan seperti: kita hanya bicara dan bicara, akan tetapi tidak ada yang menjadi kenyataan dan tidak pernah terjadi perubahan.
37
Gambar 3.4. Model Perencanaan-Tindakan Tahap Permulaan bagi Perencanaan Pengembangan Sekolah Selain itu juga akan memperkuat komitmen terhadap proses perencanaan dan menjadi insentif bagi keteribatan dalam prosedur perencanaan yang lebih kompleks. Model permulaan tersebut dapat mencakup tahap-tahap kegiatan (1) Perencanaan Tindakan Awal; (2) Refleksi, dan (3) Perencanaan Terelaborasi. 3. Model Tiga-Unsur Sejajar (The Three-Strand Concurrent Model) The Three-Strand Concurrent Model memfokus pada kerangka waktu perencanaan. Model ini mengakui bahwa pengembangan sekolah memiliki dimensi-dimensi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Model itu didasarkan pada premis bahwa tiga dimensi waktu itu harus dicapai secara bersama-sama oleh sekolah jika sekolah memang memberikan respon yang efektif terhadap kebutuhan lingkungan yang dinamis. Model itu menyarankan sebuah kerangka yang terdiri dari tiga langkah kegiatan perencanaan yang saling terkait namun berbeda-beda yang memampukan sekolah untuk mengatasi perubahan-perubatah yang rumit dan tidak dapat diprediksikan.
38
Gambar 3.5. The Three-Strand Concurrent Model untuk Perencanaan Pengembangan Sekolah Model itu meliputi unsur-unsur: (1) Berfikir Masa Depan untuk mengatasi dimensi jangka panjang dalam perencanaan sekolah (5-15 tahun), (2) Niatan Strategis dan Tujuan Strategis untuk mengatasi dimensi jangka menengah (3-5 tahun), dan Perencanaan Operasional untuk mengatasi dimensi jangka pendek (13 tahun). Three-Strand Concurrent Model tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagaimana Gambar 3.5. 4. Model Perencanaan Pengembangan Sekolah di Indonesia Digulirkannya konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) pada tahun 1999 sebenarnya merupakan rintisan diterapkannya perencanaan strategis di lembaga pendidikan menengah di Indonesia. Konsep manajemen ini menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun
39
berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mandiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat (Umaedi, 1999). Kemiripan MPMBS dengan perencanaan strategis sebagaimana diuraikan sebelumnya sangat tampak pada strategi pelaksanaan yang digariskan pada tingkat sekolah. Secara singkat langkah-langkah yang ditetapkan itu diuraikan sebagai berikut. a. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah (Tujuan Situasional Sekolah) b. Mengidentifikasi Fungsi-Fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran c. Melakukan Analisis SWOT d. Mengembangkan Langkah Pemecahan Persoalan e. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu f. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan g. Merumuskan Sasaran Mutu Baru D. Menumbuhkan Budaya Pengembangan Berencana Di Sekolah Perencanaan pengembangan sekolah pada dasarnya merupakan proses yang berlangsung terus-menerus, bukan merupakan kegiatan sekali jadi. Agar perencanaan pengembangan itu efektif dalam memampukan (enabling) sekolah untuk menghadapi tantangan ganda yang berkaitan dengan peningkatan kualitas dan pengelolaan perubahan, perencanaan pengembangan harus menjadi modus operandi normal bagi setiap sekolah. Bagi sekolah pada umumnya, perencanaan pengembangan yang sistematis akan memerlukan perubahan mendasar dari kondisi yang ada sekarang. Bab ini memaparkan tantangan inovatif yang harus diatasi dengan cermat untuk ke menjamin dalam keberhasilan kehidupan pengintegrasian sehingga perencanaan pengembangan sekolah,
perencanaan akan menjadi budaya dalam manajemen sekolah. Berdasarkan penelitian internasional terhadap perubahan pendidikan pada umumnya, penumbuhan budaya perencanaan pengembangan sekolah dibagi menjadi tiga tahap:
40
Pemulaan (Inisiation): tahapan ini meliputi penetapan keputusan untuk memulai perencanaan pengembangan sekolah, menumbuhkan komitmen terhadap proses perencanaan, dan penyiapan partisipan. Pembiasaan (Familirialisation): tahap ini mencakup siklus awal dari perencanaan pengembangan sekolah, dimana masyarakat sekolah belajar bagaimana melaksanakan proses perencanaan pengembangan itu.
Penyatuan (Embedding): tahap ini terjadi ketika perencanaan pengembangan sekolah telah menjadi bagian pola kehidupan sekolah sehari-hari dalam melaksanakan segala sesuatu.
1. Tahap Pemulaan (Inisiasi) Secara formal semua pengelola sekolah bertanggung jawab atas inisiatif perencanaan pengembangan sekolah untuk menjamin bahwa keputusan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah benar-benar terlaksana dan terwujud. Akan tetapi, pada praktiknya, inisiatif itu pada umumnya diambil oleh kepala sekolah atau komite sekolah. Komitmen guru terhadap inovasi sekolah merupakan hal yang esensial bagi keberhasilan dalam inovasi sekolah. Mereka harus benar-benar memahami halhal pokok berkaitan dengan apa, mengapa, dan bagaimana perencanaan pengembangan sekolah dilakukan. Guru-guru harus disadarkan tentang peran yang harus mereka ambil dalam proses perencanaan dan manfaat apa yang dapat mereka peroleh dari proses itu. Pemahaman mereka harus difokuskan pada keterkaitan antara proses dengan isu-isu yang penting bagi guru pada umumnya, sehingga relevansi proses perencanaan dan kebutuhan sekolah dapat disampaikan dengan jelas. Penjelasan serupa juga harus dilakukan kepada semua mitra kerja yang ada di lingkungan sekolah agar proses perencanaan pengembangan sekolah memperoleh dukungan dari mereka. Kegiatan-kegiatan berikut merupakan cara-cara yang dapat membantu warga sekolah untuk mempersiapkan partisipasinya dalam proses perencanaan pengembangan sekolah. a. Membaca berbagai panduan, buku-buku pegangan dan laporan-laporan hasil penelitian mengenai perencanaan pengembangan sekolah.
41
b. Mencari saran-saran, masukan dan dukungan dari lembaga-lembaga yang peduli terhadap pendidikan yang ada di sekitar sekolah. c. Menghadiri seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan yang relevan dengan perencanaan pengembangan sekolah. d. Menghubungi sekolah-sekolah lain yang dipandang lebih maju di bidang perencanaan pengembangan sekolah untuk menggali dan belajar dari pengalaman yang mereka miliki. e. Mengundang pembicara dari luar untuk menyajikan paparan tentang perencanaan pengembangan sekolah di hadapan guru, pengelola sekolah, komite sekolah, dan orang tua, baik secara bersama-sama atau terpisah. f. Mengundang tokoh-tokoh kunci di lingkungan sekolah untuk memaparkan pentingnya perencanaan pengembangan sekolah dan mendorong partisipasi semua pihak. g. Memanfaatkan fasilitator dari luar untuk membantu memulai dan mengimplementasikan perencanaan pengembangan sekolah.
Keluaran yang dicapai dari tahap pemulaan meliputi:
a. Telah
dibuatnya
keputusan
untuk
mengawali
(mengintroduksi)
perencanaan pengembangan sekolah. b. Semua guru memiliki pemahaman yang benar mengenai perencanaan pengembangan sekolah dan memiliki komitmen terhadap proses itu. c. Semua mitra sekolah telah diberi penjelasan pada tahap awal proses tersebut. d. Terpilihnya fasilitator untuk membantu melaksanakan proses tersebut. 2. Tahap Pembiasaan (Familirialisation) Pada tahap pembiasaanbiasanya merupakan langkah pertama dari siklus perencanaan pengembangan sekolah secara utuhmasyarakat sekolah berada dalam proses belajar dari pengalaman bagaimana melaksanakan proses perencanaan tersebut. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan tumbuh berdasarkan pengalaman dan struktur kolaborasi yang berkembang. Hasil dari
42
tahapan ini adalah terkonsolidasikannya dan menguatnya komitmen terhadap proses perencanaan. Selama berlangsungnya tahap ini, fasilitator yang terampil, koordinasi yang cermat, dan dukungan yang cukup dan berkelanjutan, termasuk di dalamnya pelatihan dalam jabatan, akan sangat membantu keberhasilan proses perencanaan. Perhatian khusus harus diberikan agar timbul penguatan yang positif di kalangan guru.
43
3. Penyatuan (Embedding) Tahap penyatuan terjadi ketika perencanaan pengembangan telah menjadi bagian dari cara-cara yang biasa dilakukan sekolah dalam melaksanakan segala sesuatu. Tatanan manajemen sekolah telah berkembang menjadi pendukung yang baik terhadap pengembangan maupun pemeliharaan sekolah yang bersangkutan, dan menjadi bagian dari pola prilaku yang berterima ( acceptable) bagi semua pihak. Terdapat begitu luas ragam penggunaan rencana implementasi program pengembanganan oleh guru. Dalam hal ini rencana pengembangan sekolah harus berfungsi sebagai kerangka acuan bagi perencanaan-perencanaan yang terkoordinasi yang dilakukan oleh guru secara individual, unit-unit yang ada sekolah, tim-tim lintas kurikulum, dan dampaknya akan tampak pada praktikpraktik pembelajaran dalam kelas. Seluruh proses tersebut pada saat itu telah menjadi cara kita melakukan segala sesuatu di sekolah ini atau "the way we do things around here."
44
Jelas dan tidak membingungkan Menarik dan mudah diingat Aspiratif, realistis dan dapat dicapai Selaras dengan nilai-nilai, budaya, dan cara pandang sekolah
45
Berjangka waktu Singkat, sebaiknya kurang dari sepuluh kata Inspiratif dan menantang Disepakati oleh semua stakeholder sekolah Menyatakan dengan jelas esensi dari apa yang seharusnya dicapai oleh sekolah Fleksibel dan menumbuhkan kreativitas.
Selain itu, agar benar-benar efektif, visi sekolah harus terasimilasi kedalam budaya sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab untuk terus-menerus mengkomunikasikan visi sekolah, menciptakan arahan dan bimbingan yang mengarah pada visi, bertindak sebagai role-model dengan cara menjadi simbol visi, merumuskan tujuan-tujuan jangka pendek yang sesuai dengan visi sekolah, dan mendorong warga sekolah lainnya untuk menyesuaikan visi pribadi masingmasing dengan visi sekolah. Misi sekolah merepresentasikan raison detre atau alasan mendasar mengapa sebuah sekolah didirikan. Rumusan misi mencakup pesan-pesan pokok tentang (1) tujuan asal-muasal (original purpose) didirikannya sekolah, (2) nilai-nilai yang dianut dan melandasi pendirian dan operasionalisasi sekolah, dan (3) alasan mengapa sekolah itu harus tetap dipertahankan keberadaannya. Banyak orang memiliki pemahaman yang salah terhadap visi dan misi sekolah/madrasah. Visi menyatakan identitas masa depan sekolah sedangkan misi menjelaskan mengapa visi akan dicapai. Visi sekolah terkonsentrasi ke masa depan.Visi bersifat lebih spesifik terkait dengan tujuan dan masa depan. Visi merupakan sebuah bentuk prestasi yang ingin dicapai. Visi sekolah dapat menstimulasi warga sekolah untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Visi sekolah menjadi sumber aspirasi dan menjadi kriteria utama dalam setiap pengambilan keputusan. Sedangkan misi sekolah mendefinisikan tujuan yang bersifat umum dan luas dari eksistensi sekokah yang bersangkutan. Misi merupakan panduan keberlangsungan sekolah yang tak berbatas waktu. Misi sekolah dapat tetap diberlakukan dalam jangka waktu yang lama. Misi sekolah menyediakan jalan menuju terwujudnya visi sekolah.
46
Mana yang lebih dulu? Visi atau misi? Berbagai referensi menyajikannya secara berbeda-beda. Bagi sekolah yang baru atau sedang memulai sebuah upaya perubahan, visi akan menjadi panduan dalam merumuskan misi sekolah berikut semua kegiatan perencanaan pengembangan sekolah lainnya. Jika sekolah telah memiliki dan menjalankan misinya secara mapan maka misi akan menjadi pemandu perumusan visi dan seluruh kegiatan perencanaan strategis lainnya. Oleh karena itu, perencana pengembangan sekolah harus benar-benar memahami dimana sekolah sekarang telah berada dalam konteks pelaksanaan misinya, sumberdaya yang telah dimiliki, hambatan-hambatan yang sedang dihadapi, dan kemana arah pengembangan sekolah akan dibawa. Tujuan sekolah merupakan pernyataan umum tentang tujuan pendidikan di sekolah itu. Tujuan-tujuan itu harus berkait dengan usaha mendorong perkembangan semua siswa baik secara intelektual, fisikal, sosial, personal, spiritual, moral, kinestetikal, maupun estetikal. Tujuan sekolah harus memberikan fokus yang jelas bagi sekolah. Tujuan sekolah harus dirumuskan dalam kerangka visi dan misi sekolah. Aspirasi semua stakeholder harus terwadahi dalam konteks yang lebih luas dari rumusan visi dan misi sekolah. Selain ketentuan yang bersifat umum tersebut visi, misi, dan tujuan strategis sekolah harus juga dirumuskan dalam kerangka visi, misi, dan tujuan pendidikan baik pada skala nasional, regional (propinsi) maupun, daerah (kabupaten/kota). Untuk mengingat kembali rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dianjurkan untuk membaca kembali Bab II materi diklat ini. 2. Mengapa Sekolah Perlu Merumuskan Visi, Misi, dan Tujuan? Di era perubahan sekarang ini, pengembangan rumusan visi, misi dan tujuan sebuah sekolah merepresentasikan kesiapan dan kemauan sekolah untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya dan untuk mengelola perubahan dengan cara-cara yang positif dalam kaitannya dengan visinya. Rumusan misi sekolah merupakan dasar bagi kebijakan dan raktik-praktik yang berlangsung di sekolah. Tidak diragukan lagi bahwa nilai-nilai dan keyakinan yang membimbing kehidupan sekolah memiliki implikasi yang penting bagi semua pilihan dan keputusan yang harus dibuat dalam pengembangan rencana sekolah.
47
Maksud dirumuskannya visi dan misi sekolah adalah: a. untuk memberikan arah yang jelas bagi usaha-usaha yang dilakukan sekolah; b. untuk mengilhami masyarakat sekolah dengan sebuah tujuan yang bersifat umum; c. untuk memberikan kerangka yang bagi penentuan kebijakan dan prioritas; d. untuk membangun pusat acuan (reference point) yang digunakan sekolah dalam mentelaah keberhasilan kegiatan-kegiatannya. Visi dan misi sekolah tidak dapat dipindah tangankan dengan mudah dari satu pihak ke pihak yang lain. Keduanya harus dikembangkan dan diklarifikasi melalui sebuah proses refleksi bersama atas nilai-nilai, keyakinan, dan aspirasi dari warga sekolah. Visi dan misi harus mencerminkan usaha sekolah untuk memadukan nilai-nilai yang sering saling bertentangan di kalangan warga sekolah. Kesadaran atas nilai-nilai personal di kalangan warga sekolah merupakan hal yang sangat penting. Sekolah akan dapat mengakomodasi sejumlah nilai asalkan terdapat nilai-nilai yang didukung oleh setiap individu warga sekolah. Nilai-nilai, apakah disadari atau tidak, merupakan inti dari tindakan yang kita lakukan. Waktu yang diluangkan khusu untuk mengeksplorasi nilai-nilai individual dan nilai-nilai kolektif kita sendiri merupakan waktu yang sangat berharga dan kelak akan berpengaruh terhaap segala sesuatu yang kita kerjakan di sekolah. 3. Langkah-Langkah Merumuskan Visi dan Misi Pengembangan rumusan visi dan misi merupakan proses yang sangat menantang bagi sekolah karena proses itu harus mampu mencapai sebuah kesepakatan di antara warga sekolah terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang dianut dan diyakini di lingkungan sekolah. Ketika kesepakatan itu telah dicapai, baru dapat dikatakan bahwa rumusan visi dan misi telah selesai. Langkah-langkah kunci dalam pengembangan Rumusan Visi dan Misi meliputi: a. Identifikasi nilai-nilai personal bersama semua staf sekolah; b. Pembahasan nilai-nilai tersebut dalam kaitannya dengan filosofi pendidikan, kebijakan pemerintah pemerintah di bidang pendidikan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat; c. Pebuatan kesepakatan terhadap nilai-nilai pokok dari kalangan staf sekolah;
48
d. Membuat rancangan (draft) rumusan bersama komite sekolah; e. Merumuskan kembali rancangan rumusan visi dan misi terkait dengan respon yang diberikan oleh semua pihak tersebut, diikuti dengan konsultasi lebih lanjut dan, bila perlu, dilakukan dirancang ulang; f. Pencapaian kesepakan yang ditekankan pada tumbuhnya rasa memiliki terhadap rumusan visi dan misi di kalangan warga sekolah; g. Penjaminan bahwa visi dan misi diwujudkan dalam tindakan; h. Mentelaah kembali rumusan visi dan misi setelah kurun waktu tertentu. Lampiran 1 menguraikan pilihan kegiatan-kegiatan pokok dan sejumlah contoh Lembar Kerja yang dapat membantu sekolah dalam proses Pengembangan Rumusan visi dan misi sekolah. Kegiatan Pokok 1, 2 dan 3 merupakan kegiatan Pengembangan Rumusan Misi. Sekolah dapat menggunakan salah satu dari tiga kegiatan itu yang dipandang paling sesuai dengan kebutuhannya. 4. Telaah Rumusan Visi dan Misi Telaah terhadap rumusan visi dan misi adalah penentuan relevansi dan validitas rumusan visi dan misi yang ada sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam telaah ini antara lain: a. Aspek-aspek mana dari rumusan visi dan misi yang ada masih relevan? b. Dalam kaitannya dengan kebutuhan akan perubahan masyarakat yang berlangsung saat ini, apa yang perlu duperbarui, ditambahkan, atau dihilangkan dari rumusan visi dan misi tersebut? c. Bagaimana visi dan misi tersebut dapat dipertahankan dalam masyarakat sekolah? d. Sejauh mana kebijakan dan dokumentasi sekolah menceminkan visi dan misi tersebut? e. Sejauh mana kurikulum merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam visi dan misi sekolah? f. Sejauh mana manajemen sekolah merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan yang dinyatakan dalam rumusan visi dan misi?
49
g. Sejauhmana hubungan di lingkungan internal sekolah dan antara berbagai pihak di kalangan warga sekolah merefleksikan rumusan visi tersebut? h. Sejauhmana rumusan visi dan misi merefleksikan kebutuhan sebuah masyarakat multi-kultural yang kompleks? Telaah tersebut dapat dilakukan melalui survei sederhana dangan meminta warga sekolah untuk memberikan tanggapan atas rumusan visi dan misi sekolah yang telah ada. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan terdahulu dapat menjadi titik tolak untuk mengeksplorasi persepsi warga sekolah terhadap rumusan vsi dan misi yang ada dan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang memerlukan perubahan dan pengembangan. Kegiatan 2 dan 3 pada lampiran menguraikan pilihan kegiatan-kegiatan pokok dan sejumlah contoh Lembar Kerja yang dapat membantu sekolah dalam proses Eksplorasi dan Telaah terhadap Visi dan Misi dalam tindakan sehari-hari. Kegiatan 2 dan 3 merupakan kegiatan Eksplorasi dan Telaah terhadap Visi dan Misi. Sekolah dapat menggunakan salah satu dari dua kegiatan itu yang dipandang paling sesuai dengan kebutuhannya. Lembar Kerja 2.1a sampai dengan 3.1d pada Lampiran dapat membantu proses perumusan visi dan misi tersebut. 5. Tujuan Yang Efektif Pada Bab II Bahan Diklat ini telah dikemukakan herarkhi tujuan yang meliputi tujuan strategis, tujuan taktis, dan tujuan operasional. Tujuan yang maksud pada bagian ini adalah tujuan pada tingkat strategis, yakni tujuan yang dirumuskan untuk dicapai oleh sekolah secara keseluruhan. Sesuai dengan sifatnya, tujuan strategis merupakan pernyataan umum tentang arah kemana kelak organisasi akan menuju di masa depan. Agar tujuan benar-benar efektif dan cukup punya peluang untuk dicapai, maka rumusan tujuan harus memenuhi sejumlah kriteria keefektifan. Kriteria keefektifan tujuan dapat dilihat dari karakteristik tujuan itu sendiri dan prilaku dalam proses tujuan itu dirumuskan. Dari segi karakteristiknya, sebuah tujuan yang efektif harus memenuhi lima kriteria: spesifik dan terukur, mencakup dimensi-dimensi kunci, menantang namun tetap realistis, terbatasi oleh kurun waktu tertentu, dan terkait dengan imbalan atau ganjaran. Dari segi prilaku dalam proses perumusannya,
50
sebuah tujuan akan efektif apabila mampu membangun kebersamaan diantara bagian-bagian dalam struktur organisasi sekolah dan adanya partisipasi dari semua unsur warga sekolah untuk mengadopsi dan mengimplementasi tujuan tersebut. Uraian berikut memaparkan secara rinci kriteria keefektifan tujuan tersebut. Karakteristik Tujuan Spesifik dan Terukur. Jika dimungkikan sedapat mungkin tujuan dirumuskan dalam terminologi kuantitatif, misalnya peningkatan jumlah siswa yang diterima pada perguruan tinggi unggulan sebesar 5% dari kondisi tahun sebelumnya; penurunan siswa yang putus sekolah sampai dengan 0%, meningkatkan skor keefaktivan mengajar guru dari 3,72 menjadi 3,95. Apabila tujuan sulit atau tidak dapat dinyatakan dalam rumusan yang bersifat kuantitatif, maka rumusan tujuan dapat dinyatakan secara kualitatif. Akan tetapi, apabila ini dilakukan, rumusan tujuan hendaknya disertai indikator-indikator yang spesifik dan bersifat kuantitatif. Mencakup Dimensi-Dimensi Kunci. Tujuan strategis tidak mungkin dirumuskan secara rinci untuk setiap unsur terkecil dari organisasi sekolah. Oleh karena itu, dimensi-dimensi yang dicakup dalam tujuan strategis hendaknya cukup pada dimensi-dimensi yang bersifat pokok atau kunci saja. Di sekolah dimensidimensi kunci itu dapat dibedakan menurut fungsi-fungsi organisatoris sekolah atau ranah kompetensi atau kualifikasi lulusan. Dari sisi fungsi organisatoris sekolah dimensi-dimensi kunci itu dapat dibedakan menjadi kurikulum, kesiswaan, atau kerja sama dengan masyarakat. Sedangkan dari dimensi ranah kompetensi lulusan, dimensi-dimensi kunci tersebut dapat dibedakan menjadi kompetensi itelektual, kompetensi moral dan spiritual, kompetensi sosial, kompetensi personal, kompetensi estetikal, dan kompetensi kinestetikal. Selain dua perspektif itu, delapan tipe tujuan sebagaimana dikemukakan di atas juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci yang perlu dicakup dalam rumusan tujuan strategis sekolah. Menantang tapi Realistis. Tujuan harus menantang namun bukan berarti terlalu sulit untuk dicapai. Tujuan yang terlalu sulit dapat berdampak pada timbulnya keputus-asaan di kalangan staf; tapi jika terlalu mudah para staf itu
51
akan kurang merasa termotivasi. Rumusan tujuan strategis hendaknya terjamin bahwa tujuan itu dirumuskan dalam lingkup sumber daya yang tersedia dan tidak jauh di luar jangkauan sumber daya yang tersedia di sekolah, baik yang berkaitan dengan waktu, SDM, sarana dan pra-sarana, keuangan, informasi, maupun teknologi. Dibatasi Dalam Kurun Waktu Tertentu . Rumusan tujuan harus menetapkan jangka waktu pencapaiannya. Kurun waktu itu biasanya dijadikan batas waktu (deadline) mengenai kapan pencapaian tujuan tersebut akan diukur. Sebuah sekolah berstandar internasional (SBI), misalnya, dapat menetapkan tujuan pada tahun 20XX, siswa harus telah tesebar dari seluruh negara-negara di kawasan ASEAN. Terkait dengan Imbalan atau Ganjaran . Dampak akhir dari tujuan bergantung pada sejauh mana peningkatan gaji, promosi, dan imbalan lainnya didasarkan pada prestasi terkait dengan pencapaian tujuan. Siapa saja yang berhasil mencapai tujuan harus mendapatkan ganjaran. Ganjaran dapat memberi makna dan signifikansi terhadap tujuan dan akan membantu memberikan suntikan enerji kepada staf untuk berlomba-lomba mencapai tujuan. Prilaku Perumusan Tujuan Konflik sering muncul ketika tujuan sedang dirumuskan karena ada beberapa unsur organisasi sekolah yang tidak sepakat dengan rumusan tujuan yang sedang dikembangkan. Oleh karena itu, agar tujuan efektif, komitmen semua pihak terhadap tujuan menjadi faktor yang esensial. Dua teknik untuk mendapatkan komitmen ini meliputi mambangun koalisi dan partisipasi. Pembangunan Koalisi (Coalition Building). Koalisi merupakan sebuah aliansi informal antara pihak-pihak yang mendukung tujuan tertentu. Membangun koalisi merupakan proses pembentukan aliansi di kalangan pimpinan dari berbagai unsur warga sekolah. Pembangunan koalisi mencakup negosiasi dan tawar-menawar. Tanpa adanya koalisi, individu atau kelompok-kelompok yang berpengaruh di sekolah dapat menghambat proses perumusan tujuan. Pembangunan koalisi dapat memberi kesempatan kepada para tokoh tersebut untuk berdiskusi dan berkontribusi dalam proses perumusan tujuan, yang
52
berdampak pada peningkatan komitmen mereka terhadap tujuan yang pada akhirnya akan ditetapkan. Bangunan koalisi sering terjadi pada tingkat pimpinan dimana ketidak-pastian sangat tinggi. Partisipasi. Pada struktut organisasi yeng lebih rendah, setiap pimpinan atau individu, semua pendidik dan tenaga kependidikan, seharusnya mengadopsi tujuan yang sejalan dengan tujuan strategis. Akan tetapi jika tujuan-tujuan yang lebih rendah tersebut bersifat preskriptif dari pihak atasan, dari atas ke bawah (top-down), kemungkinan besar para pendidik dan tenaga kependidikan tersebut tidak manganggap tujuan tersebut sebagai miliknya. Proses yang efektif untuk mencegah hal ini adalah dengan mendorong bawahan untuk berpartisipasi dalam proses perumusan tujuan. Dalam hal ini kepala sekolah dapat bertindak sebagai konselor yang membantu warga sekolah lainnya merumuskan berbagai macam pilihan tujuan, mendiskusikan apakah tujuan itu realistis dan spesifik, dan menentukan apakah tujuan telah sejalan dengan tujuan organisasi. Diskusi itu harus mempertimbangkan minat dan kemampuan bawahan. Melalui komunikasi dua arah, diharapkan tujuan yang dirumuskan konsisten dengan tujuan strategis sekolah dan semua warga sekolah memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan itu. Untuk memudahkan kita mengingat, tujuh kriteria tujuan yang efektif tersebut dapat diringkas menjadi lima kriteria yang disingkat SMART. Kelima kriteria itu meliputi: spesifik (spesific), dapat dikelola pencapaiannya ( manageable), disepakati (agreed upon) oleh semua warga sekolah, didukung sumber daya yang memadai (resources supported) , dan terdapat batasan waktu (time-bound). B. Evaluasi Diri Tujuan evaluasi diri adalah untuk memampukan ( enabling) warga sekolah: (1) mendefinisikan kondisi dari sekolah saat ini; (2) menganalisis kondisi saat ini dalam kaitannya dengan bagaimana dan seperti apa sekolah kelak diinginkan di masa depan; dan (3) mengidentifikasi perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Evaluasi diri dapat dilakukan dengan berbagai cara yang berbedabeda. Uraian berikut ini menyajikan garis-garis besar sejumlah pendekatan yang dapat diadaptasi sesuai dengan kondisi yang beragam.
53
1. Merencanakan Evaluasi diri a. Pastikan bahwa evaluasi diri difokuskan pada isu-isu yang berkembang, bukan pada pribadi-pribadi Anggota staf yang tidak terbiasa dengan proses evaluasi diri yang sistematis dapat merasa tidak nyaman. Pengakuan terhadap adanya sensitifitas semacam itu dan pengarahan berbagai bentuk ekspresi atas dasar kesadaran membuka diri merupakan hal yang penting. Dengan demikian, perlu ditekankan sejak awal bahwa fokus evaluasi diri adalah pada isu yang berkembang, bukan pada pribadipribadi. Selain itu pembahasan mengenai keterbatasan yang ada di sekolah hendaknya dilakukan secara santun dan dalam niatan untuk membangun. b. Pastikan bahwa proses evaluasi diri memiliki orientasi positif Dalam rangka memperkuat moral, manfaatkan peluang yang ada untuk membangkitkan kesadaran mengenai kekuatan sekolah dan untuk mengakui prestasi yang dicapai sekolah. Jika fokusnya terletak pada bagaimana membuat sekolah yang baik menjadi lebih baik, evaluasi diri dapat berupa pemberian energi pengalaman. c. Arahkan ruang lingkup evaluasi diri pada kondisi sekolah secara utuh Perlu diingat bahwa evaluasi diri bukan merupakan akhir dari segalanya akan tetapi merupakan alat untuk memperjelas jalan menuju masa depan yang lebih baik. Keefektifan evaluasi diri diukur dari apa yang terjadi berikutnya. Dengan demikian, ruang lingkup evaluasi diri harus memadai dalam memampukan warga sekolah untuk melakukan penilaian yang realistis terhadap kebutuhan dan peluang sekolah sebagai dasar perencanaan yang akan dilakukan. Namun demikian, evaluasi diri hendaknya tidak terlalu luas sehingga menguras energi warga sekolah secara berlebihan, yang dapat berakibat pada tidak adanya daya untuk bertindak yang mengarah pada pencapaian dampaknya. Akan sangat membantu apabila kita berfikir bahwa sekolah merupakan sebuah mekanisme yang terdiri dari ratusan bagian yang sama-sama bergerak. Mekanisme itu memerlukan pemeliharaan secara teratur untuk menjamin
54
kesinambungan kinerja yang optimal. Mekanisme itu memerlukan bongkar-pasang secara periodik yang dapat mencakup pemasangan bagian-bagian baru dalam rangka membuatnya mampu memenuhi standar-standar baru. Akan tetapi apabila Anda memisah-misahkannya untuk mengetahui apa yang membuatnya muncul, evaluasi diri dengan sendirinya akan terhenti. Dan semakin lengkap telaah tersebut dipisah-pisahkan, semakin sulit untuk memulainya lagi. Atau, sekolah dapat diibaratkan sebagai organisme hidup yang rumit. Untuk menjamin kesehatannya agar selalu optimal, sekolah memerlukan asupan gizi dan pemeliharaan secara terus-menerus. Apabila dikehendaki agar kegiatan dan dinamikanya terus jaga, sekolah memerlukan perlakukan periodik untuk mencegah terjadinya luka dan sakit. Jika Anda memecah-belah sekolah untuk memahami struktur dan prosesnya, berarti Anda membunuhnya. 2. Struktur Evaluasi Diri Struktur dan format evaluasi diri sebenarnya sangat beragam bergantung pada kebutuhan masing-masing sekolah. Namun demikian komponen-komponen pokok berikut harus tercantum dalam setiap evaluasi diri. a. Analisis lingkungan eksternal yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi sekolah. Analisis dilakukan terhadap kondisi dan situasi diluar sekolah, baik pada tingkat lokal, nasional, dan international. Aspek-aspek yang dievaluasi terkait dengan kecenderungan perubahan (ideologi, politik, kultur dan budaya, ilmu pengetahuan, sistem pendidikan), kebutuhan stakeholders dan pasar kerja (industri, masyarakat, pemerintah, dan kemungkinan bagi lulusan untuk menciptakan pasar kerja). b. Evaluasi kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Aspek-aspek yang dievaluasi meliputi kekuatan dan/atau kelemahan lulusan, siswa, kurikulum, proses pembelajaran, kegiatan ekstra kurikuler, pembangunan karakter, program layanan khusus, dan sebagainya. c. Evaluasi sumber daya pendidikan. Sumber daya yang dievaluasi meliputi sumberdaya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), sarana dan prasarana sekolah, sistem informasi, dan keuangan.
55
d. Manajemen dan kepemimpinan sekolah. Aspek-aspek yang dievaluasi meliputi organisasi dan tata kelola sekolah, kepemimpinan, serta budaya dan iklim sekolah. 3. Pengumpulan Data Evaluasi diri harus mampu menyajikan (a) fakta, dan (b) pandanganpandangan warga sekolah, dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan sekolah yang sedang ditelaah. Evaluasi diri harus menjamin bahwa proses telaah memberikan hasil penilaian yang realistis mengenai kebutuhan pengembangan sekolah. Oleh karena itu, proses evaluasi diri harus mencakup pengumpulan, pengorganisasian, analisis dan interpretasi data. Kita dapat mebedakan data-data itu kedalam dua kategori: data yang siap terekam di sekolah, seperti catatan kehadiran siswa, guru dan staf sekolah, hasil-hasil ujian, nilai rapor, dan data-data keuangan; data yang masih harus dikumpulkan secara khusus dalam rangka kepentingan Telaah tersebut, misalnya data mengenai pandangan staf sekolah, siswa, orang tua terhadap aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sekolah. Dengan demikian, kita dapat membedakan dua aspek yang dievaluasi secara umum: penelitian dokumen (desk research) dan penelitian lapang (field research). a. Penelitian Dokumen (Desk Research) Penelitian ini meliputi pelacakan dan pengorganisasian data dan informasi yang telah tersedia di sekolah. Kegiatan ini mencakup penataan dan penyajian data dalam bentuk-bentuk yang dapat memfasilitasi dilakukannya penilaian terhadap pola-pola yang bermakna. Sebagai misal, penelitian ini dapat mencakup: tabulasi data yang diambil dari rekaman absensi untuk menunjukkan pola-pola absensi pada hari Senin dan Sabtu. tabulasi hasil-hasil ulangan untuk menunjukkan kecenderungan dari tahun ketahun atau antara satu mata pelajaran dengan yang lain. membangun populasi siswa dalam kaitannya dengan karakterisktik tertentu, seperti pekerjaan atau tingkat pendidikan orangtua.
56
Penelitian dokumen akan lebih mudah dilakukan apabila pencatatan yang ada di sekolah terekam dan tersedia dengan lengkap dan reliabel, dan jika sekolah menggunakan format-format standar untuk merekam semua jenis informasi mengenai kegiatan yang bersifat rutin. Akan tetapi dalam kenyataannya, karena berbagai alasan ada kalanya rekaman data di sekolah tidak lengkap atau tidak tertata-tata rapi. Masalah ini harus benar-benar disadari dan mendapat perhatian khusus. b. Penelitian Lapang (Field Research) Penelitian lapang meliputi pengumpulan dan pengorganisasian informasi yang secara khusus diperlukan untuk keperluan evaluasi diri. Penelitian ini memerlukan pemilihan dan rancangan instrumen yang tepat untuk mengumpulkan data-data yang relevan. Instrumen-instrumen pengumpulan data yang dapat digunakan oleh sekolah antara lain: kuesioner, daftar cek, pedoman wawancara, format-format terstandar, dan log. 4. Analisis Data Pada dasarnya data hanya ada 2 katagori, yaitu (1) data profil ( profile data) dan (2) data kinerja (performance data). Data profil adalah data yang diambil saat itu, sedangkan data kinerja adalah data yang diambil dalam kurun waktu tertentu. Dengan perkataan lain, data kinerja adalah terdiri dari sederetan data profil yang disusun berdasarkan waktu pengambilan data profil tersebut. Untuk data profil, interpretasi dilakukan dengan membandingkan antara data tersebut dengan indikator kinerja sekolah yang dapat dianggap standar yang ingin di capai. Kesimpulan dari interpretasi tersebut, umumnya adalah gradasi buruk sampai dengan baik. Dikatakan baik, apabila data profile sesuai atau melebihi standar yang diacu, demikian juga sebaiknya. Interpretasi adalah sejauhnya jarak atau gap antara data profil dengan standar. Untuk data kinerja, yang harus dicermati adalah kecenderungan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perlu di prediksi kelanjutan kecenderungan tersebut dimasa mendatang. Setelah tahapan ini selesai dilaksanakan, baru melakukan SWOT Analysis.
57
Analisis SWOT merupakan metode yang bermanfaat untuk mengumpulkan data mengenai persepsi terhadap situasi sekolah: kekuatan dan kelemahan internal dan peluang dan ancaman dari faktor-faktor eksternal. SWOT Analysis terkategorisasi dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber sacara bersama-sama dalam rangka membangun gambaran komposisi yang koheren mengenai situasi sekolah. 5. Strategi Pengembangan Strategi Pengembangan adalah rencana pengembangan yang secara ringkas disampaikan pada akhir laporan evaluasi diri. Rencana pengembangan tersebut adalah berhasil gambaran di secara global, ringkas untuk dan jelas tentang rencana kompetitif pengembangan sekolah, baik untuk perbaikan masalah dan kelemahan yang identifikasi maupun mendapat keunggulan (competitive advantage). Strategi pengembangan pada evaluasi diri harus ada keterkaitan yang logis dan runut (benang merah) mulai dari masalah yang berhasil di identifikasi, solusi alternatif, garis besar program pengembangan yang diusulkan. Selain itu rencana pengembangan pada laporan evaluasi diri juga memiliki keterkaitan yang logis dan runut (benang merah) mulai dari proses identifikasi kekuatan yang dimiliki dan peluang yang dapat dimanfaatkan (analisa SWOT) sampai program unggulan yang diusulkan. Dari hasil analisa SWOT, dapat diketahui secara cepat kondisi institusi pada saat ini (current condition) dan arah pengembangan institusi dimasa mendatang. a. Pengertian Strategi Hasil dari tahapan evaluasi diri adalah serangkaian keputusan tentang prioritas pengembangan sekolah selama kurun waktu siklus perencanaan yang disusun. Prioritas-prioritas itu dapat dinyatakan sebagai strategi. Keputusan tidak akan berdampak apapun jika tidak diwujudkan dalam tindakan yang bersifat strategis. Strategi adalah suatu pertimbangan dan pemikiran yang logis, analitis serta konseptual mengenai hal-hal penting atau prioritas (baik dalam jangka panjang,
58
pendek maupun mendesak), yang dijadikan acuan untuk menetapkan langkahlangkah, tindakan, dan cara-cara (taktik) ataupun kiat (jurus-jurus) yang harus dilakukan secara terpadu untuk terlaksananya kegiatan operasional dan penunjang dalam menghadapi tantangan yang harus ditangani dengan sebaikbaiknya sesuai dengan tujuan ataupun sasaran-sasaran dan hasil (out put) yang harus dicapai serta kebijaksanaan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Strategi paling baik didefinisikan sebagai melakukan hal yang benar sementara taktik adalah melakukan segalanya dengan benar. Strategi yang baik datang dari cara berfikir yang benar. Dalam mengembangkan strategi, dua pertanyaan mendasar harus dijawab, yaitu: 1) Apa yang harus dilakukan? 2) Bagaimana melakukannya? Daft (1988) mendefinisikan strategi sebagai rencana implementasi program pengembanganan yang berupa penentuan alokasi sumber daya dan kegiatan untuk bergelut dengan lingkungan dan membantu organisasi mencapai tujuannya. Pada level tertinggi dalam sebuah struktur organisasi, tingkat sekolah misalnya, strategi yang digunakan disebut dengan grand strategy. Strategi ini diartikan sebagai rencana umum mengenai tindakan utama malalui mana sebuah organisasi berniat untuk mencapai tujuan jangka panjangnya. b. Macam-Macam Strategi Namun demikian, di bidang manajemen strategis dikenal berbagai opsi strategi yang dapat dipilih oleh sekolah dalam rangka mencapai tujuan strategisnya. Beberapa tipologi strategi tersebut dapat dikategorikan menurut (1) strategi berbasis SWOT analysis, (5) model Matriks MacMillan 1) Strategi Berbasis SWOT Analysis SWOT Analysis merupakan sebuah metode untuk menguji strategi-strategi yang potensial yang dikembangkan atas dasar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Melalui pengombinasian masing-masing unsur dan data yang luas yang (2) kategorisasi grant strategy, (3) Tipologi Strategi Adaptif dari Miles dan Snow, (4) Strategi Kompetitif dari Porterdan, dan
59
telah trekumpul sebagai hasil analisis dapat berfungsi sebagai pemicu diskusi dan perbaikan strategi yang selama ini telah digunakan atau mengembangkan strategi-strategi baru. Matrik SWOT dapat membantu pengembangan strategi dengan menggunakan alat SWOT Analysis ini. Strategi berbasis SWOT analysis merupakan strategi yang banyak digunakan dalam perencanaan pengembangan sekolah. Pada dasarnya, ada dua strategi pengembangan sekolah yang didasarkan atas hasil analisa SWOT, yaitu (1) arah pengembangan yang sifatnya ekspansi dan (2) arah pengembangan yang sifatnya konsolidasi. Arah pengembangan yang sifatnya ekspansi, baru dapat dilaksanakan apabila (1) Kekuatan (Strengths) yang di miliki institusi jauh lebih banyak (baik jumlah dan intensitasnya) jika dibandingkan dengan kelemahan (weaknesses) yang dimilikinya dan (2) Peluang (opportunities) yang berhasil di identifikasi jauh lebih banyak (baik jumlah dan intensitasnya) jika dibandingkan dengan ancaman (threats) yang dihadapinya. Matrik SWOT pada dasarnya merupakan daftar dari kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, serta kombinasi dari Strengths (S) dan Opportunities (O), Strengths (S) dan Threats (T), Weaknesses (W) dan Opportunities (O), Weaknesses (W) dan Threats (T). Terdapat empat pilihan strategi dalam matrik SWOT: competition, mobilization, investment/divestemen, dan damage control. Strategi competition diterapkan apabila sekolah berada dalam posisi yang kuat dan banyak peluang yang teridentifikasi (S-O). Strategi ini merupakan pemanfaatan peluang berdasarkan kekuatan yang dimiliki. Strategi mobilization dipilih apabila organisasi memiliki kekuatan yang cukup, tetapi diluar sana banyak ancaman yang harus dihadapi (S-T). Dengan kata lain, organisasi harus menanggulangi ancaman dengan memanfaatkan kekuatan yang ada. Strategi investment/divestment diambil apabila organisasi dalam kondisi yang lemah akan tetapi banyak peluang yang tersedia (W-O). Dengan strategi ini organisasi memanfaatkan peluang yang ada untuk meningkatkan kekuatannya.
60
Strategi damage control dipakai apabila organsasi berada pada kondisi lemah dan harus banyak menghadapi ancaman (W-T). Dengan strategi ini organisasi harus menekan kelemahan dan ancaman secara bersama-sama.
Matrik SWOT
OPPORTUNITIES 1. 2. 3. 4. STRENGTH 1. 2. 3. 4. WEAKNESS 1. 2. 3. 4. SO Competition THREATS 1. 2. 3. 4. ST Mobilization
WO Investment/Divestmen
WT Damage control
2) Kategorisasi Grant Strategy Grant strategy dibedakan menjadi tiga kategori: pertumbuhan, stabilitas, dan penghematan atau retrenchment. Pertumbuhan. Pertumbuhan atau growth dapat didorong dari dalam dengan cara meningkatkan investasi dalam bentuk peningkatan kesempatan akses masyarakat atau meningkatkan difersifikasi layanan pendidikan atau meningkatkan standar kualitas layanan di atas standar yang berlaku umum. Stabilitas. Stabilitas, kadang-kadang disebut strategi berhenti sesaat ( pause strategy), berarti bahwa sekolah ingin tetap berada pada kondisinya sekarang atau tumbuh perlahan-lahan dan tetap terkendali. Ketika sebuah sekolah telah mengalami pertumbuhan yang pesat dan berhasil mencapai puncak visi yang diinginkan, sekolah itu biasanya memfokuskan diri pada strategi stabilitas untuk mengintegrasikan semua unit yang ada agar berada pada kondisi puncak itu dengan terus meningkatkan efisiensi.
61
Penghematan. Penghematan berarti bahwa sekolah melakukan pengurangan layanan pendidikan dengan mempersempit jenis program pendidikan yang diberikan. Cara ini dapat dilakukan dengan menutup sejumlah program keahlian yang tidak diminati masyarakat atau mengurangi jumlah siswa yang diterima. Hal ini tentu akan berdampak pada pengurangan sumber daya yang diinvestasikan, baik SDM maupun sumberdaya lainnya. 3) Matriks MacMillan Kisi-kisi strategi ini, yang dikembangkan oleh Dr. Ian Macmillan, dirancang khusus untuk membantu organisasi nir-laba, seperti sekolah, untuk merumuskan strategi organisasi. Terdapat tiga asumsi yang menjadi dasar pendekatan ini: (1) kebutuhan sumber daya pada dasarnya bersifat kompetitif dan semua organisasi yang ingin bertahan hidup harus menyadari dinamika itu; (2) oleh karena sumber daya yang tersedia itu sangat terbatas, maka tidak ada ruang untuk duplikasi layanan jasa kepada satu konstituen karena hal ini dipandang sebagai pemborosan dan tidak efisien; (3) layanan jasa yang berkualitas rendah atau biasa-biasa saja dan diberikan kepada kahlayak luas kurang disukai dibandingkan dengan jasa berkualitas tinggi dan diberikan kepada khalayak khusus. Asumsi-asumsi ini memberi implikasi yang sulit dan menyakitkan bagi kebanyakan sekolah. Hal ini dapat ditindak lanjuti dengan penghentian programprogram tertentu untuk meningkatkan jasa dan kompetensi utama, memberikan program-program dan khalayak sasaran yang lebih efisien dan efektif, atau berkompetisi secara agresif melalui program-program yang tingkat efesiensi dan efektifitasnya rendah. Matrik MacMillan menguji empat dimensi program yang dapat membantu penempatan dalam kisi-kisi strategi tersebut dan mengindikasikan strategi yang dapat dipilih.
Kesesuaian dengan visi, misi, dan tujuan
Program-program sekolah yang tidak sejalan dengan visi, misi, dan tujuan, tidak dapat sekolah mampu didukung oleh pengetahuan dan keterampilan organisasi, tidak memampukan sekolah untuk melakukan penggunaan sumber
62
daya bersama, dan/atau tidak memampukan sekolah untuk melakukan koordinasi kegiatan lintas program sebaiknya dikurangi.
Posisi Kompetitif
Posisi kompetitif mengacu pada sejauh mana sekolah memiliki kekuatan dan potensi yang lebih kuat untuk mendanai program dan memberikan layanan berbasis klien dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di sekitarnya.
Kemenarikan Program
Kemenarikan program dilihat dari kompleksitasnya terkait dengan pengelolaan porgram itu sendiri. Program-program dengan penolakan yang rendah dari klien, mengalami pertumbuhan layanan berbasis klien, mudah keluar dari hambatan yang dihadapi, dan didukung sumber daya keuangan yang stabil merupakan program yang sederhana dan mudah dikelola. Level kemenarikan program juga mencakup perespektif ekonomi atau telaah terhadap peluang investasi sekarang dan masa yang akan datang.
Cakupan Alternatif
Cakupan alternatif adalah banyaknya organisasi lain yang berusaha untuk memberikan atau ingin berhasil melaksanakan program yang sama di wilayah yang sama dan kepada konstituen yang sama pula. Matrik MacMillan (Tabel 4.1) terdiri dari sepuluh sel untuk menempatkan program-program yang telah ditelaah atas dasar empat dimensi tersebut. Masingmasing sel digunakan untuk menetapkan strategi yang mengarahkan langkah ke depan dari program-program yang tercantum dalam sel itu.
63
1. Kompetisi 2. 5. Meniru 6. "Soul of Agresif Pertumbuhan pesaing yang the (Aggressive Agresif terbaik Agency" competition) (Aggressive (Build up the growth) best competitor) 3. Divestasi 4. Membangun 7. Divestasi 8. "Bantuan Agresif Kekuatan atau dengan dari Luar" (aggressive berhenti (build Teratur (Foreign divestment) up strength or (orderly Aid) atau get out) disvestment) Kerja Sama 9. Divestasi Agresif (aggressive divestment) 10. Divestasi Dengan Teratur (orderly disvestment)
C. Rencana Implementasi Pengembangan (RIP) Komitmen sekolah untuk melaksanakan perencanaan strategis terkait dengan sejauh mana: (1) sekolah mewujudkannya dalam rencana implementasi pengembangan untuk mencapai strategi yang dirumuskan dan (2) melaksanakan berbagai metode untuk memverifikasi dan mengevaluasi implementasi nyata dari rencana implementasi program pengembangan itu. Masalah utama yang sering muncul saat proses perencanaan sampai pada tahap penyusunan RIP ini antara lain pihak perencana telah mengalami kelelahan setelah menyelesaikan tahap-tahap perencanaan sebelumnya. Penyusunan RIP terasa lebih njelimet dan membosankan dibandingkan tahap-tahap perencanaan strategis sebelumnya yang terkesan lebih besifat kreatif. Oleh karena itu, penyusunan RIP sering terabaikan, dan membiarkan hasil-hasil yang diperoleh pada tahap-tahap sebelumnya lebih sebagai lamunanpernyataan-pernyataan filosofis yang tidak bermanfaat dan tidak membumi pada realitas kegiatan sekolah
64
sehari-hari. Langkah-langkah penting yang telah dilakukan dalam perencanaan strategis itu menjadi sama sekali tidak berguna. RIP merupakan bagian dari proses perencanaan strategis. Pada saat penyusunan RIP, perencana harus telah menuntaskan tugas-tugas: perumusan atau telaah ulang visi, misi, dan tujuan serta analisis strategis yang meliputi evaluasi diri, analisis SWOT, identifikasi isu-isu strategis, dan penetapan strategi. RIP secara khusus mencakup pembuatan keputusan tentang siapa yang akan mengerjakan apa dan kapan dan dengan langkah-langkah bagaimana untuk mencapai tujuan-tujuan strategis. Rancangan dan implementasi perencanaan implementasi bergantung pada sifat dan kebutuhan masing-masing sekolah. a. Struktur RIP Penyusunan RIP merupakan proses yang memampukan sekolah: (1) mengidentifikasi secara tepat apa yang diinginkan atau apa yang dibutuhkan untuk mencapai hal-hal yang terkait dengan masing-masing prioritas, (2) merencanakan dan mendokumentasikan sejumlah tindakan untuk mencapainya, dan (3) melakukan monitoring dan evaluasi agar praktik-praktik tersebut dapat diperbaiki seiring dengan berkembangnya pengalaman. Sebuah RIP
a) Program Pengembangan b) Tujuan
c) Kegiatan d) Sumber Daya e) Pendelegasian f) Jadwal Kegiatan g) Kriteria Keberhasilan h) Prosedur Monitoring dan Evaluasi
jenis dan tahap-tahap pekerjaan yang akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran itu.
sumber daya manusia, finansial, organisasi, fasilitas fisik yang dibutuhkan dalam implementasi. siapa mengerjakan apa kapan pekerjaan sesungguhnya dilaksanakan; batas waktu tugas harus diselesaikan hasil yang akan menjadi indikator bahwa rencana tersebut sedang atau telah mencapai sasara yang diinginkan. Bagaimana monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan capaian tujuan program akan dievaluasi.
65
Administrator
Secara praktis merupakan sinonim manajer. Sedikit lebih luas dari sekedar fungsi organisasi untuk melaksanakan tugas-tugas rutin.
Konsentrasi pada dua wilayah: visi strategis pemimpin tentang arah yang harus dicapai organisasi dan keterampilan noncoursive dalam mengajak bawahan kedalam pengejaran aktif tarhadap pandangan strategis itu. Richard Nixon: leaders do the right thing
Konsep kepemimpinan dikembangkan oleh para ahli sesuai dengan pandangan yang dianut oleh tiga perspektif oraganisasi: teori klasik, teori sistem sosial, dan teori sistem terbuka. Perspektif teori klasik menjelaskan kepemimpinan menurun bersama bakat psikologi alami yang memberi keunggulan kepada si pemimpin yang melebihi orang lain. Pemimpin dilahirkan dan bukan dibuat. Perspektif sistem sosial memiliki pandangan situasional terhadap kepemimpinan. Kepemimpinan tidak dipandang terikat dengan bakat psikologi yang unggul akan tetapi dipandang sebagai kemampuan untuk merubah situsai dan merespon
66
berbagai kebutuhan baru dengan serangkaian prilaku yang tepat. Teori sistem terbuka menganjurkan bahwa pemimpin bekerja untuk menciptakan kesesuaian yang efektif (effective fit) antara organisasi dengan lingkungan di luarnya. Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, lembaga pendidikan kejuruan merupakan organisasi yang bersifat terbuka. Oleh karena itu pendekatan kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan pada lembaga ini juga harus dipilih dari pendekatan-pendekatan manajemen terbuka. Untuk itu pembahasan pada bab ini akan dibatasi pada kepemimpinan yang dimaksud terakhir ini, yaitu pendekatan kepemimpinan yang disebut dengan kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Namun sebagai pembanding, pembahasan diawali dengan teori kepemimpinan kontigensi yang dikembangkan atas asumsi-asumsi dari pandangan sistem sosial.
67
mempertahankan atribut-atribut kepribadian yang tetap dan tetap mendasari sistim motivasi si pemimpin; dan (2) tiga variabel situasional yang paling penting yang berinteraksi dengan gaya kepemimpinan meliputi hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan posisi kekuasaan formal. Pemimpin yang termotivasi hubungan berusaha untuk menjaga hubungan interpersonal dengan bawahannya. Sedangkan pemimpin yang termotivasi-tugas memperoleh kepuasan pribadi melalui pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Menurut Fiedler pemimpin bermotivasi tugas ini cenderung bersikap: business before pleassure, but business with pleasure whenever posiibel. Dua sistem motivasi tersebut diukur dengan menggunakan Esteem for Least Preferred Coworker atau LPC yang diberikan kepada manajer yang diminta untuk mempertimbangkan semua orang yang pernah bekerja dengannya. Situasi Kepemimpinan
Fiedler membatasi tiga variabel utama yang menentukan apa yang disebut situational favorableness: leader-member relations, task structure, dan power situation. Kinerja pemimpin motivasi-tugas dan motivasi hubungan ditinjau dari tiga keberagaman variabel itu sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.2.
68
Performance
Gambar 4.2 Keterkaitan antara Kinerja dengan Gaya Kepemimpinan dan Variabilitas Hubungan Teori Motivasi Ekspektansi Path-Goal Theory berakar pada teori motivasi ekspektansi yang menjelaskan bahwa orang akan memperoleh kepuasan terhadap peerjaannya dan akan bekerja keras jika mereka yakin pekerjaannya itu akan mengarah pada sesuatu yang dinilai tinggi. Implikasinya adalah bahwa peilaku bawahan termotivasi oleh prilaku pemimpin apabila pemimpin itu mempengaruhi harapan bawahan melalui cara yang positif dan membantu bawahan dalam mencapai tujuan. Teori ini bertentangan dengan orientasi kepemimpinan Fiedler karena memandang gaya kepemimpinan individu bervariasi ketika situasi dalam organisasi berubah. Empat tipe gaya kepemimpinan yang berbeda itu adalah: directive leadership, supportive leadership, achievement-oriented leadership, dan participative leadersip.
69
Karakteristik Bawahan dan Faktor Lingkungan Dua variabel itu merupakan fariabel moderator antara gaya kepemimpinan
dan kinerja dan sikap bawahan. Variabel kontingensi tantang karakteristik bawahan meliputi: locus of control, kemampuan, dan authoritarianism. Sedangkan faktor lingkungan meliputi: tugas, sistem otoritas formal, dan kelompok kerja utama. Kajian teori kepemimpinan yang dikemukakan di atas cenderung didasarkan pada perspektif sistem tertutup. Bidang pendidikan tampaknya kurang sesuai dengan sistem tertutup semacam itu dan telah berubah kepada pandangan kepemimpinan yang lebih ekspansif.
C. Kepemimpinan Transformasional
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan keefektifan sekolah (Hord, 1984; Terry, 1988). Kepemipinan yang efektif memerlukan pemberdayaan pimpinan dan pengikutnya (Bennis & Nanus, 1985). Bennis dan Nanus (1985:91) selanjutnya menjelaskan:
When individuals feel that they can make a difference and that they can improve the society in which they are living through their participation in an organization, then it is much more likely that they will bring vigor and enthusiasm to their tasks and that the results of their work will be mutually reinforcing.
Dalam
hal
ini
administrator
yang
efektif
menggunakan
strategi
transformasional untuk memotivasi stafnya melalui kebanggaan rasa memiliki dengan cara melibatkan mereka dalam proses partisipatori (Burns, 1978). Para peneliti lain juga menguatkan bahwa kepala sekolah yang efektif memiliki staf pendukung yang memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan (Shanahan, 1988). Selain itu, Tibaldo (1994) mengamati bahwa kepala-kepala sekolah yang diakui di sekolah-sekolah Blue Ribbon lebih sering mempraktikan demokrasi dan gaya kepemimpinan partisipatori dibandingkan dengan kepala sekolah yang tidak diakui. Peneliti ini mencatat bahwa kepemimpinan transformasional harus dimanfaatkan jika prestasi dan iklim yang positif di kalangan staf sekolah diharapkan untuk meningkatkan. Mestinek (2000) mengamati bahwa perbedaan terjadi antara kepala sekolah pada sekolah charter dan sekolah tradisional karena reformasi pendidikan
70
memerlukan gaya kepemimpinan transformasional. Usaha kepala sekolah untuk menjadi model dan menguatkan tingkah laku merefleksikan visi sekolah dan berbagi nilai, dan sekolah yang efektif menuntut semua siswa, guru, orang tua dan kepala sekolah mengambil peran kepemimpinan. Selanjutnya Mestinek (2000) menyimpulkan bahwa pemimpin transformasional mendukung lingkungan kerja yang mendorong kreativitas, berfikir mandiri, dan mengambil resiko merupakan komponen esensial yang harus ditumbuh-kembangkan di sekolah. Dalam kaitannya dengan kolaborasi dan keterlibatan pihak-pihak terkait (stakeholders), sejumlah peneliti juga menemukan perlunya diterapkan kepemimpinan transformasional. Day, Harris, and Hadfield (2001) meneliti sejumlah kepala sekolah pada sekolah efektif yang berbagi nilai-nilai umum dengan pihak-pihak terkait (stakeholders) dan mendorong iklim kolaborasi dalam rangka pengembangan strategi baru. Penelitian ini menemukan bahwa dalam memecahkan masalah, para kepala sekolah itu menerapkan berbagai pendekatan termasuk negosiasi pribadi. Para kepala sekolah itu menjaga agar terjadi kesetaraan antara komitmen terhadap belajar dan terhadap pengembangan pribadi dan profesional siswa maupun guru. Selain itu penelitian itu juga melaporkan bahwa kepala-kepala sekolah tersebut juga menjadi model penerapan nilai-nilai dasar seperti rasa hormat, keadilan, integritas, dan kejururan. Penelitian itu menyimpulkan bahwa moral, keterikatan emosi, dan pertalian sosial diantara staf merupakan stimulan yang kuat terhadap motivasi dan komitmen. Selain itu, Raywid (1983) dan Wehlage (1983) juga menemukan bahwa pemberdayaan memberikan perasaan memiliki dan kebanggan atas keberhasilan yang dicapai di kalangan pihak terkait tersebut. Dalam penelitian kependidikan yang dilakukan oleh Pellicer, Anderson, Keefe, Kelley, dan MacCleary (1990) ditunjukkan bahwa kepala sekolah yang efektif, terutama pada sekolah menengah, mengembangkan kelompok-kelompok kolaborasi yang kuat dan memberdayakan kelompok-kelompok itu. Konsep kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dikategorikan sebagai teori prilaku organisasi dan administrasi yang bersifat terbuka (Hanson, 1991). Pada perempat terakhir abad ke-20, kepemimpinan transformasional, yang berbasis pada kerja tim dan pengambilan keputusan
71
bersama, telah mengemuka sebagai model baru di bidang kepemimpinan (Spears, 1996). Keunggulan teori ini terletak pada komitmennya terhadap etika dan peningkatan si pemimpin dan para pengikutnya kepada taraf kebutuhan, motivasi, dan nilai-nilai yang lebih tinggi (Burns,1978; Colvin, 2002). Teori ini berawal dari usaha Greenleaf yang mengawali perubahan sikap terhadap kepemimpinan pada tahun 1977 yang kemudian pada tahun diikuti oleh Burns. Sejak itu penulis-penulis lain seperti Bass, Bennis, Nanus, Kouzes, dan Posner selanjutnya mengembangkan teori kepemimpinan transformasional (Michael, 2003). Menurut Burns (1978) dan Bass & Avolio (1989) teori-teori kepemimpinan yang berkembang mendahului teori kepemimpinan transformasional dipandang sebagai bersifat transaksional atau transactional leadership (Nicholson, 2003; Maddock, 2002; King, 1994 dan Hanson, 1991). Teori-teori kepemimpinan transaksional bergantung pada pertukaran item-item atau tindakan yang bernilai selama proses tawar-menawar. Masing-masing pihak tertarik untuk terlibat dalam proses itu karena motivasi mereka dapat tertingkatkan melalui transaksi tersebut (Nicholson, 2003). Dalam istilah Hanson (1991:205): Earlier situational versions of leadership are viewed as transactional, or establishing negotiated arranegment that satisfy participants who then agree to a cource of action. Masih dalam kaitannya dengan kepemimpinan transaksional, Maddock (2002) mengutip pendapatnya Bass dan Avolio (1989) menyatakan bahwa di masa lalu manajemen merupakan administrasi dari serangkaian aturan dan prosedur, staf mengetahui tempat dan pekerjaannya dan kecil kemungkinannya terjadi pertukaran antar tingkat, agen, atau dengan klien atau pengguna jasa. Administrasi publik sama dengan orkhestrasi transaksi yang diketahui dan taat terhadap serangkaian prosedur. Manajemen transaksional melibatkan kegiatan pengawasan bawahan dan manajer yang bernegosiasi dari posisi yang diketahui. Tidak seperti halnya kepemimpinan transaksional, kata Nicholson (2003:9596), kepemimpinan transformasional merubah motivasi (motive) dan sumber daya yang terlibat dan meningkatkan keduanya ke tingakatan yang lebih tinggi. Motivasi diangnkat dari yang bersifat materi kepada ranah moral, dengan demikian tingkat kepedulian antara pimpinan dan pengikutnya dipertinggi. Sumberdaya diperluas
72
untuk mencapai tujuan yang meningkat itu. Sifat pertukaran transaksional adalah mempertahankan status motivasi dan sumber daya yang ada, sedangkan semangat dinamika transformasional adalah mengangkat tingkah laku, sumber daya, dan motivasi secara bersama-sama. Para pemimpin transformasional bertindak sebagai fasilitator perubahan dan pendorong kolaborasi daripada kompetisi. Kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan untuk memberi inspirasi, berkomunikasi, dan memimpin melalui nilai-nilai yang jelas (Maddock, 2002). Di samping itu, tidak seperti pandangan transaksional, kepemimpinan transformasional berusaha ke arah perubahan tingkat tinggi (higher order of change) yang membangun sebuah paduan integratif antara proses dan produk dari lingkungan mikro (internal) dengan makro (eksternal) (Hanson, 1991). Pemimpin transformasional menaruh perhatian dan peka terhadap kebutuhan bawahannya dan juga kebutuhannya sendiri. Pemimpin transformasional berusaha agar misi kelompok diterima oleh anak buahnya melalui stimulasi intelektual dan pertimbangan individual. Pemimpin semacam itu berusaha menyatukan bawahan ketika berusaha mencapai tujuan bersama. Dampaknya, bawahan dari pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, penghargaan, loyalitas dan rasa hormat terhadap pemimpinnya, dan mereka termotivasi untuk berbuat melebihi apa yang sebenarnya diharapkan. Pemimpin transformasional mampu memberi semangat kepada bawahan sehingga bawahan bersedia memberi kontribusi melebihi apa yang diharapkan (Lim & Cromartie, 2001). Bass dan Avolio (1994) menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses yang digunakan pemimpin untuk (1) merangsang minat sejawat dan pengikutnya untuk memandang pekerjaan mereka dari sudut pandang baru, (2) membangkitkan kesadaran terhadap visi dan misi kelompok dan organisasi, dan (3) mendorong sejawat dan pengikutnya untuk melihat hal-hal di luar kepentingan sendiri kepada hal-hal yang akan bermanfaat bagi kelompok (dalam Brown, 2001). Sebagaimana dirangkum oleh Livingstone, Nadjiwon-Foster, dan Smithers (2002) keunggulan model kepemimpinan transformasional telah dibuktikan melalui berbagai temuan, antara lain: (1)
73
meningkatkan kepuasan kerja, produktifitas organisasi, dan penurunan tingkat, (2) efektif pada sektor pemerintah maupun swasta, (3) lebih efektif dibanding dengan gaya kepemimpinan transaksional, dan (4) dapat diterapkan pada semua jenjang organisasi. Dalam tataran operasional, Bass and Avolio's (1993) menyatakan bahwa kepemimpinan tranformasional dicirikan oleh empat dimensi yang dikenal dengan Four Is: idealized influence, inspirational motivation, intelectual inspiration, dan individual consideration. I pertama, idealized influence atau pengaruh yang ideal, menjabarkan tingkah laku dan pengaruh yang dapat mengembangkan kepercaayaan dari kepercayaan pengikut (Nicholson, 2003). Dalam hal ini pemimpin bertindak sebagai model peran dan memperoleh kehormatan dan pengikutnya dengan cara mengkomunikasikan visi (Bass & Avolio, 1993). Menurut Bass (1996 dalam Nicholson, 2003), partisipan menerima perubahan dalam hal bagaimana dan pekerjaan apa yang dapat dilakukan sebagaimana si pemimpin mendemonstrasikan pengaruh yang diidealkan, atau kharisma. Tanka kepercayaan, perubahan harus dimotivasi melalui nilainya sendiribarangkali akan menjadi dorongan yang jauh lebih sulit. Agar pemimpin dapat menunjukkan integritasnya ia harus konsisten antara kata dan perbuatan. Pemimpin itu harus menunjukkan bahwa ia mengidupkan apa yang ia katakan. Pemimpin transformasional menunjukkan kesesuaian antara pemikiran yang dikatakan dengan tingkah laku. Bass (1996) melaporkan bahwa pemimpin transformasional lebih banyak bertindak konsisten daripada bertingkah laku secara acak. Simon (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional menumbuhkembangkan kepercayaan dan kesetiaan bawahan melalui integritas tingkah laku. Dalam hal ini, integritas nerupakan manifestasi dari model peran. Avolio (1999 dalam Nicholson, 2004:98) melaporkan bahwa Federal Express menentukan kualitas para pemimpin terbaiknya bagi mereka yang menunjukkan integritas melalui bertindak sebagai model peran bagi yang lain. Hoy dan Miskel (2001) menjelaskan bahwa akibat pengaruh yang diidealkan dengan cara bertindak sebagai model peran bagi para pengikut. Secara ringkas, Avolio (1999) mengutip integritas sebagai salah satu ciri dari dimensi kepemimpinan transformasional ini. Prilaku kepemimpinan berikut ini merupakan manifestasi dari pengaruh yang
74
I kedua, inspirational motivation atau motivasi inspiratif, menjelaskan ajakan dan angan-angan yang penuh semangat untuk meningkatkan pemusatan partisipan kepada visi. Dalam hal ini pemimpin mengkomunikasikan visi dengan semangat yang tinggi dan karena itu menumbuhkan semangat dan optimisme di kalangan anggota. Bass dan Steidlmeier (1999 dalam Nicholson, 2003) menyatakan bahwa ajakan dan angan-angan itu mendorong komitmen terhadap tujuan dan tanggungjawab yang saling menguntungkan. Visi masa depan yang dibangun bersama akan berfungsi sebagai prasyarat bagi semua ajakan inspirasional semacam itu. Prilaku motivasi inspirasional menggunakan bahasa verbal, simbolis, maupun tubuh untuk memberi inspirasi pengikut agar berkeja mengarah kepada visi bersama. Komponen balikan dari proses komunikasi terbuka ini menggunakan saran-saran pengikut, jika ada, yang sangat berbeda maupun metode atau tujuan-tujuan alternatif yang diinginkan. Barnett, McCornick, dan Connors (dalam Nicholson, 2003:99) menggambarkan motivasi inspirasional sebagai tingkah laku pemimpin yang memotivasi dan menstimulasi anggota organisasi melalui pemberian makna dan tantangan terhadap kerja para pengikutnya. I ketiga, intelectual stimulation (stimulasi intelektual), mendorong pengikut untuk melihat masalah dengan cara-cara yang inovatif atau mendorong pemikiran kreatif tarhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Semua proses evaluasi, formulasi, dan implementasi pemecahan masalah terbuka terhadap saran dan masukan partisipan. Pemimpin mendorong partisipan agar membuang pemikiran tradisional. Stimulasi munculnya gagasan-gagasan baru dikembangkan dengan mempertanyakan strategi yang sedang berjalan, menyajikan masalah dari perspektif yang berbeda, dan mendukung prosedur baru dalam bekerja (Hoy & Miskel, 2001 dalam Nicholson, 2003: 99). Leithwood (1994) melaporkan bahwa keahlian tingkat tinggi dalam pemecahan masalah mendukung praktik kepemimpinan transformasional. Proses berfikir yang berada dibalik keahlian
75
memecahkan masalah mencakup penggunaan secara sengaja proses-proses pemecahan masalah, menganekaragamkan informsai yang relevan dengan masalah, dan nilai-nilai yang terfokuskan. Stimulasi intelektual mendorong kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara cermat (Bass, 1996 dalam Nicholson, 2003). Pemimpin transformasional juga beranggapan bahwa para pengikutnya merupakan sumber gagasan yang berharga, tetap terbuka terhadap berbagai gagasan baru, dan menumbuhkan percaya diri yang tercipta dari pengalaman. Dengan memecahkan masalah-masalah yang kompleks, tugastugas yang sulit, si pemimpin menjadi model dari keterampilan yang cerdas dan mendorong kepercayaan pengikutnya. Bass (1996 dalam Nicholson, 2003:100) mendefinisikan stimulasi intelektual sebagai dorongan terhadap kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan masalah yang cermat. I terakhir, individualized consideration (pertimbangan individual), berarti memberikan perhatian pribadi kepada masing-masing anggota (Bass & Steidlmeier, 1999:189). Selanjutnya kedua ahli ini menyatakan bahwa pemimpin memusatkan perhatiann pada kebutuhan akan prestasi dan pertumbuhan dari masing-masing guru dan staf. Bass dan Steidlmeier (1999:189) juga berpendapat pertimbangan individual sebagai pemberian layanan terhadap orang lain, menekankan pada the necessity of altruism if leadership is to be anything more than authoritarian control. Pemimpin transformasional meluangkan waktu untuk mengenali anak buahnya secara individual dan membantu mereka mengembangkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang sebagai pendidik. Kepedulian pimpinan terhadap pengikutnya akan mempersempit apa yang sering dikenal sebagai kesenjangan antara bawahan dan atasan. Sebagaimana dicatat pada bagian terdahulu, pemimpin transformasional memusatkan pada kebutuhan akan kemajuan dan pengembangan individual dengan cara bertindak sebagai penasihat dan mentor (Bass, 1996). Avolio (1999 dalam Nicholson, 2003) menyatakan bahwa pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang menjawab kepedulian pertanyaan terhadap bawahannya keinginan dengan baik segera, mengekspresikan anggotanya,
menghubungkan pengikutnya kepada peluang-peluang pelatihan yang biasa berlangsung, selalu siap ketika dibutuhkan, dan berulang-ulang memberi
76
dorongan melalui mentoring, coaching, dan konseling. Penjelasan ini hampir mirip dengan pengertian pertimbangan individual yang dikemukakan di atas. Meskipun pengaruh yang diidealkan dan motivasi inspirasional merupakan dimensi kepemimpinan yang paling efektif untuk menstimulasi kinerja organisasi (Avolio, 1999 dalam Nicholson, 2003), peran pertimbangan individu hendaknya tidak diabaikan. Pertimbangan individual tidak saja memiliki efek yang signifikan terhadap tingkah laku pengikut, ketiadaannya akan memberi implikasi yang besar terhadap moral bawahan. Leithwood, Menzeis, Jantzi, dan Leithwood (1999), sebagaimana dikutip Nicholson (2003), menemukan bahwa kurangnya pertimbangan individual berhubungan kuat dengan kemalasan guru.
77
78
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002 menyebutkan bahwa akreditasi sekolah bertujuan untuk : (1) memperoleh gambaran kinerja sekolah yang dapat digunakan sebagai alat pembinaan, pengembangan, dan peningkatan mutu; dan (2) menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan. Selanjutnya akreditasi tersebut memiliki fungsi sebagai: 1) Penjamin mutu (quality assurance) artinya bahwa akreditasi digunakan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat tentang kualitas madrasah atau sekolah yang dipilihnya 2) Pengendali mutu (quality control) artinya bahwa akreditasi akan memberikan informasi kepada sekolah atau madrasah tentang berbagai kelemahan dan kekuatan yang dilakukannya dalam penyelenggaraan proses pendidikan. Sehingga sekolah dapat menyusun perencanaan ulang terhadap proses problem soving atau proses percepatan dalam pengembangan. 3) Pengembangan mutu (quality improvement) artinya bahwa hasil akreditasi dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan pengembangan secara terus menerus, sehingga sekolah selalu dalam keadaan up to date dengan perkembangan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. Hasil akreditasi diharapkan memberi manfaat bagi sekolah/madrasah dan seluruh stakeholders-nya. Berikut diuraikan manfaat yang diharapkan itu. 1) Memberikan umpan balik bagi sekolah yang bersangkutan sehingga dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan, pengembangan, dan peningkatan kinerja sekolah; 2) Membantu masyarakat dalam menentukan pilihan sekolah melalui informasi tentang peringkat akreditasi sekolah; 3) Membantu pemetaan kelayakan dan kinerja sekolah secara mikro, meso, dan makro; dan 4) Membantu pengembangan sekolah melalui pemberian informasi tentang posisi sekolah tertentu terhadap sekolah lainnya, posisi dinas pendidikan tertentu terhadap dinas pendidikan lainnya, dan sebagai informasi secara nasional tentang tingkat kinerja pendidikan di Indonesia yang dapat digunakan untuk
79
pembinaan, pengembangan, dan peningkatan kinerja pendidikan secara mikro, meso, dan makro. Secara lebih spesifik hasil akreditasi bermanfaat bagi kelompok-kelompok kepentingan sebagai berikut : 1) Sekolah, bagi sekolah hasil akreditasi memiliki makna yang penting, karena ia dapat digunakan sebagai :
Acuan dalam Upaya peningkatan kualitas pendidikan dan rencana pengembangan sekolah; Bahan masukan/ umpan balik untuk usaha pemberdayaan dan
pengembangan kinerja warga sekolah dalam rangka menerapkan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi dan peningkatan status jenjang akreditasi sekolah;
Pendorong motivasi untuk terus meningkatkan kualitas sekolah secara gadual di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi, nasional bahkan dimungkinkan di tingkat regional dan internasional; Selain pengakuan sebagai sekolah yang berkualitas, hasil akreditasi juga memberikan manfaat bagi sekolah sebagai masyarakat belajar untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta dalam hal profesionalisme, moral, tenaga, dan dana.
2) Kepala Sekolah, hasil akreditasi diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk pemetaan indicator keberhasilan kinerja warga sekolah, termasuk kinerja Kepala Sekolah selama periode kepemimpinannya (satu periode adalah 4 tahun). Disamping itu hasil akreditasi juga diperlukan Kepala Sekolah sebagai bahan masukan untuk penyusunan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (misalnya Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah/ RAPBS) 3) Guru, hasil akreditasi merupakan dorongan bagi guru untuk selalu meningkatkan diri dan bekerja keras untuk memberi layanan yang terbaik bagi siswanya. Karena secara moral, guru senang bekerja di sekolah yang diakui sebagai sekolah baik, maka guru selalu berusaha untuk peningkatan diri (profesionalisme) dan bekerja keras untuk memperoleh, mempertahankan dan meningkatkan hasil akreditasi. 4) Masyarakat (Orangtua Siswa), hasil akreditasi diharapkan menjadi informasi yang akurat untuk menyatakan kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh
80
setiap sekolah sehingga secara sadar dan bertanggung jawab masyarakat/ orang tua dapat membuat keputusan dan pilihan yang tepat kaitannya dengan pendidikan bagi anak didik sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masing-masing. Sementara itu bagi siswa sendiri akreditasi juga menumbuhkan rasa percaya diri bahwa mereka memperoleh pendidikan yang baik, dan harapannya, sertifikat dari sekolah yang terakreditasi merupakan bukti bahwa mereka menerima pendidikan yang berkualitas tinggi. 5) Dinas Pendidikan, hasil akreditasi diharapkan dapat menjadi acuan dalam rangka pembinaan dan pengembangan/peningkatan kualitas pendidikan di daerah masing-masing. Disamping itu hasil akreditasi bagi Dinas Pendidikan juga dapat menjadi bahan informasi penting untuk penyusunan anggaran pendidikan secara umum, dan khususnya anggaran pendidikan yang terkait dengan rencana biaya operasional Badan Akreditasi Sekolah di tingkat Dinas. 6) Pemerintah, bagi pemerintah hasil akreditasi juga sangat bermanfaat, karena diharapkan menjadi:
Bahan masukan untuk pengembangan sistem akreditasi sekolah di masa mendatang dan alat pengendalian kualitas pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang bersifat nasional; Sumber informasi tentang tingkat kualitas layanan pendidikan yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk pembinaan, pengembangan, dan peningkatan kinerja pendidikan secara makro; Bahan informasi penting untuk penyusunan anggaran pendidikan secara umum di tingkat nasional, dan khususnya program dan penganggaran pendidikan yang terkait dengan peningkatan mutu pendidikan nasional.
B. Proses Akreditasi
Sebelum membahas proses akreditasi di sekolah atau madrasah pembahasan ini diawali dengan komponen-komponen yang menjadi pokok-pokok dalam proses akreditasi. Jika dilihat dari pedoman akreditasi di madrasah (MAK) yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan sekolah oleh Departemen Pendidikan Nasional, maka komponen-komponen akreditasi meliputi adalah sebagai berikut. Komponen Akreditasi Madrasah
81
1)
Proses Belajar Mengajar o Perencanaan o Pelaksanaan program kurikuler o Pelaksanaan program ekstra kurikuler o Hasil o Dampak
2)
Sumber Daya o Sarana dan prasarana pendidikan o Sumber daya manusia o Sumber daya keuangan
3)
Manajemen Madrasah o Manajemen sarana prasarana o Manajemen sumber daya manusia o Manajemen keuangan
4)
Kurikulum dan Pembelajaran Administrasi dan Manajemen Sekolah Organisasi dan Kelembagaan Sarana dan Prasarana Ketenagaan Pembiayaan dan Pendanaan Peserta Didik Peran Serta Masyarakat Lingkungan dan Budaya Sekolah
Jika melihat komponen-komponen akreditasi yang dikeluarkan dari dua departemen tersebut nampak terdapat perbedaan dalam beberapa hal, misalnya kurikulum merupakan poin akreditasi dalam sekolah-sekolah dibawah Diknas, namun dalam Depag akreditasi hanya meliputi Proses Belajar Menagajar saja.
82
Demikian juga Peran Serta Masyarakat juga bukan merupakan satu poin dalam komponen akreditasi yang dilakukan oleh Depag. Namun demikian secara umum pada beberapa hal terdapat berbagai kesamaan. Dalam proses pelaksanaannya pun terdapat beberapa perbedaan antara Departemen Agama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Secara umum proses akreditasi di madsarah meliputi; 1) Tahap persiapan; 2) Tahap pelaksanaan; dan 3) Tahap Penetapan. Pada tahap persiapan ini madrasah yang akan mengajukan proses akreditasi harus mengajukan terlebih dahulu kepada Kantor Depag Kabupaten/ Kota untuk Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah dan kepada Kantor Wilayah Depag propinsi untuk Madrasah Aliyah dengan menyertakan profil madrasah sesuai dengan komponen-komponen yang ada dalam akreditasi. Setelah permohonan tersebut diterima maka Dewan Akreditasi Madrasah Kabupaten/ Kota atau Dewan Akreditasi Madrasah Propinsi menetapkan tim penilai untuk melakukan akreditasi madrasah, menyusun jadwal kegiatan akreditasi, serta menyiapkan perangkat dan instrumen akreditasi/ penilaian madrasah. Pada tahap pelaksanaan akan dilakukan visitasi oleh tim penilai dalam rangka pengumpulan data. Dalam pengumpulan data tersebut Kepala Madrasah bersama tim penilai akan menentukan responden yang akan menjadi sumber data dalam proses akreditasi. Responden yang ditentukan minimal sebanyak 7 orang yang meliputi; 1) Pengurus yayasan/ badan wakaf; 2) Kepala Madrasah; 3) Perwakilan guru; 4) Tenaga Administrasi; 5) Anggota komite madarasah; 6) Pengurus OSIS; dan 7) Perwakilan orang tua/ wali murid dan masyarakat. Khusus untuk madrasah negeri maka pengurus yayasan/ badan wakaf tidak diperlukan. Setelah responden telah ditentukan, kemudian tim penilai baru membagikan instrumen pengumpul data kepada responden untuk diisi sesuai dengan pengamatannya. Sambil menunggu hasil pengisian instrumen, tim penilai juga melakukan wawancara, observasi atau penggalian dokumen guna keperluan verifikasi. Setelah data terkumpul tim penilai bersama Kepala Madrasah/Wakil Kepala Madrasah melakukan pengolahan data yang meliputi kegiatan; 1) memindahkan skor/ nilai jawaban setiap responden ke dalam tabel pengolahan data; 2) Menjumlahkan skor/ nilai per item kuesioner dan merata-ratakan jumlah
83
tersebut; dan 3) Menjumlahkan nilai rata-rata per komponen. Setelah kegiatan tersebut diikuti dengan kegiatan verifikasi dan pelaporan Tahap terakhir dari tahapan proses akreditasi di lingkungan Depag adalah dengan melakukan rekapitulasi hasil akhir atas penilaian yang telah dilakukan oleh Dewan Akreditasi Madrasah (DAM). DAM, baik ditingkat kabupaten/ Kota atau tingkat propinsi kemudian membuat laporan kepada Kepala Depag Kabupaten/ Kota atau Kepala Kanwil Depag Propinsi. Berdasarkan laporan tersebut maka Kepala Kantor Depag Kabupaten/ Kota mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag propinsi untuk menetapkan dalam bentuk SK peringkat madrasah yang telah diakreditasinya sesuai dengan hasil akreditasi yang telah dilakukannya. SK tersebut kemudian dipublikasikan kepada masyarakat oleh Kandepag Kabupaten/ Kota maupun oleh Kepala Kantor Wilayah Depag propinsi. Sedangkan proses akreditasi pada sekolah (di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional) Akreditasi dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah melalui penilaian kinerja sekolah. BAS menunjuk tim asesor untuk melakukan penilaian terhadap sekolah, yaitu membandingkan kondisi nyata di sekolah dengan standar akreditasi yang telah ditetapkan. Penilaian dilakukan terhadap data, informasi, dan kenyataan di lapangan yang dimiliki oleh sekolah. Data dan informasi yang sifatnya kualitatif dan kuantitatif diperoleh dari sekolah melalui respon yang disusun berdasarkan instrumen akreditasi yang diturunkan dari standar akreditasi, berupa pedoman penyusunan evaluasi diri sekolah. Sekolah berkewajiban menyampaikan data dan informasi secara benar dan jujur sesuai kenyataan di lapangan. Akreditasi dilakukan terhadap permohonan oleh sekolah kepada BAS dengan melampirkan dokumen hasil evaluasi diri sekolah. Jadi hasil evaluasi diri sekolah merupakan persyaratan wajib yang harus dikirim ke BAS sebelum dilakukan akreditasi sekolah oleh tim asesor. Secara umum, evaluasi diri adalah penilaian terhadap sekolah sendiri yang dilakukan sendiri oleh sekolah yang bersangkutan yang pelaksanaannya dapat menggunakan para ahli sejawat dari luar sekolah. Komponen, format, prosedur, dan cara-cara melakukan evaluasi diri dapat diminta dari BAS yang bersangkutan.
84
Akreditasi sekolah untuk SLB, SMA, dan SMK dilakukan oleh BAS Propinsi. Akreditasi sekolah untuk TK, SD, dan SMP dilakukan oleh BAS Kabupaten/ Kota. Baik akreditasi sekolah yang dilakukan oleh BAS Propinsi maupun oleh BAS Kabupaten/Kota, prosedur dan mekanisme kerjanya dapat dikemukakan sebagai berikut : Kagiatan akreditasi diawali dengan pengisian instrumen evaluasi diri oleh sekolah. Untuk memberikan kekuatan hukum pada hasil pengisian dokumen evaluasi diri tersebut maka dalam dokumen tersebut juga disertakan surat pernyataan tentang kesungguhan tentang pengisian dokumen evaluasi diri tersebut yang harus ditandatangani Kepala Sekolah diatas kertas bermaterai. Hasil pengisian dokumen evaluasi diri sekolah tersebut kemudian dikirimkan kepada Diknas kabupaten/kota atau propinsi untuk dilakukan verifikasi di lapangan. Tingkat kesesuai isian evaluasi diri dengan kondisi di lapangan akan sangat menentukan hasil akreditasi terhadap sekolah yang bersangkutan. Secara rinci tahapan-tahapan akreditasi di lingkungan Departemen Penidikan Nasional adalah sebagai berikut. Pertama, sekolah mengajukan permohonan untuk diakreditasi kepala BAS yang bersangkutan. Menindaklanjuti permohonan tersebut, BAS Propinsi mengirim instrumen evaluasi diri. Kedua, sekolah melakukan evaluasi diri. Petunjuk Teknis Evaluasi Diri diperoleh dari BAS Propvinsi (untuk TKLB, SDLB, SMPLB, SMLB, dan SMK) dan BAS Kabupaten/Kota (untuk TK, SD, dan SMP). Evaluasi diri dilakukan oleh sekolah untuk mengetahui profil sekolah yang sebenarnya dengan menggunakan rambu-rambu atau petunjuk teknis Evaluasi Diri yang disusun oleh BAS Nasional. Evaluasi diri dilakukan oleh sekolah sendiri. Mengingat hasil evaluasi diri harus menggambarkan profil sekolah yang sebenarnya, proses evaluasi diri harus dilakukan menurut prinsip-prinsip dasar seperti yang berlaku pada prinsip-prinsip dasar akreditasi sekolah. Hasil evaluasi diri juga harus menggambarkan kenyataan yang ada di sekolah. Ketiga, berdasarkan hasil evaluasi diri, sekolah melakukan perbaikan sendiri secara internal. Perbaikan dilakukan atas dasar hasil evaluasi yang dilakukan
85
terhadap keseluruhan komponen sekolah. Tegasnya, berdasarkan hasil evaluasi diri, komponen-komponen yang rendah skornya perlu segera dilakukan perbaikan. Keempat, sekolah mengajukan akreditasi kepada BAS Propinsi (untuk SLB, SMA, dan SMK) dan BAS Kabupaten/Kota (untuk TK, SD, dan SMP) dilampiri hasil evaluasi diri yang telah diupayakan perbaikannya. Setelah dilakukan evaluasi diri dan berbagai kekurangan, kelemahan, dan ancaman telah diupayakan pemecahannya, sekolah dapat mengajukan akreditasi. Dalam pengajuan akreditasi, seyogyanya sekolah merasa yakin bahwa sekolahnya memang layak diusulkan untuk diakreditasi. Kelima, BAS Propinsi/Kabupaten/Kota mempelajari usulan akreditasi sekolah untuk menentukan apakah perlu dilakukan visitasi atau tidak. Jika hasil evaluasi diri layak, maka BAS Propinsi/Kabupaten/Kota melakukan visitasi kesekolah untuk memferifikasi hasil evaluasi diri. Sebaliknya, jika hasilnya tidak layak, BAS Propinsi/Kabupaten/Kota dapat memutuskan untuk tidak melakukan visitasi dan berkas usulan akreditasi dikembalikan ke sekolah untuk diperbaiki. Hasil perbaikan dapat digunakan untuk mengajukan kembali usulan akresditasi. Keenam, jika visitasi dilakukan, hasil visitasi digunakan untuk membuat keputusan tentang peringkat akreditasi sekolah yang bersangkutan, disertai hasil temuan, dan disertai pula saran-saran perbaikan dan pengembangan/ pembinaan.
C. Penutup
Proses akreditas yang bertujuan untuk memberikan jaminan akuntabilitas suatu sekolah kepada masyarakat dan juga memberikan motivasi kepada sekolah untuk selalu meningkatkan mutu ini tentunya harus selalu melaksanakan pekerjaannya secara bertanggungjawab dengan memenuhi prosedur pelaksanaan dengan benar dan dilakukan oleh tim penilai yang kompeten. Sehingga proses akreditasi tersebut mampu menggambarkan secara benar tentang kondisi yang sesungguhnya berkembang di sekolah. Kesalahan/ ketidakmampuan tim penilai dalam melakukan akreditasi di sekolah tentu akan sangat berpengaruh terhadap akuntabilitas lembaga akreditasi itu sendiri, baik itu Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional, sehingga yang membutuhkan akuntabilitas bukan hanya sekolah tetapi Departemen penyelenggara persekolahan pun juga membutuhkan akuntabilitas publik terhadap proses akreditasi yang dilaksanakannya di sekolah.
86