Anda di halaman 1dari 9

CIHLD LABOUR (EKSPLOITASI ANAK)

Di Indonesia sendiri sudah terdapat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (23/2002) Tentang perlindungan Anak. Namun Pada kenyataannya, negara masih belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang masih terjadi adalah keberadaan pekerja anak. Tidak hanya melanggar hak-hak anak, dengan bekerja juga membawa dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis. Bahkan dampak yang lebih jauh lagi, dengan bekerja dikhawatirkan akan mengganggu masa depan anak-anak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, terlebih anak-anak merupakan generasi penerus bangsa (Usman & Nachrowi, 2004). Eksploitasi anak dapat di lihat sebagai akibat dari keadaan keluarga yang memiliki kendala dalam hal kemiskinan. Ketidakstabilan perekonomian membuat eksploitasa anak atau memepekerjakan anak dibawah umur semakin meningkat, karena keluarga juga tidak dapat menjanjikan dana untuk masa depan anak dalam hal pendidikan. Dalam hal ini, eksploitasi anak di tentukan oleh perlunya dan adanya kesempatan untuk bekerja, keadaan keuangan keluarga, sekolah, serta profesi orang tua. Namun, hubungan erat dengan kemiskinan tetap tak dapat terbantahkan. Ketika anak mulai di ekploitasi artinya mulai dipekerjakan maka berbagai aspek dalam petumbuhan dan perkembangan anak akan mengalami gangguan. Menurut Baquale & Myers (dalam Usman & Nachrowi, 2004), Gangguan ini dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, kognitif, emosional dan Pertumbuhan sosial dan Moral termasuk rasa identitas kelompok, kemauan untuk bekerja sama dengan orang lain, dan kemauan untuk membedakan yang benar dan yang salah.

A. Pengertian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) eksploitasi adalah eksploitasi /ksploitasi yaitu pengusahaan; pendayagunaan, pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (tenaga orang). Sehingga dapat disimpulkan bahwa eksploitasi anak adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri melalui anak dibawah umur. Dengan kata lain anak-anak digunakan sebagai media untuk mencari uang. Eksploitasi adalah memanfaatkan seseorang secara tidak etis demi kebaikan atau keuntungan seseorang (Martaja, 2005). Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga ataupun masyarakat. Memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis & status sosialnya (Suharto, 2005). Pengertian lain dari eksploitasi anak adalah memanfaatkan anak secara tidak etis demi kebaikan ataupun keuntungan orang tua maupun orang lain (Karundeng, 2005). B. Beberapa Jenis Eksploitasi Anak Ditinjau dari segi bentuk dan jenis pekerjaan yang dilakukan anak serta ancaman risiko yang dihadapi anak, terdapat pekerjaan-pekerjaan yang dapat dimasukkan dalam keadaan yang dikualifikasikan sebagai eksploitasi anak berbahaya dan eksploitasi anak yang paling tidak bisa ditolerir lagi (the most intolerable form of child labour) yaitu: 1. Eksploitasi ekonomi (Pekerja Anak, Anak Jalanan, dll) Eksploitasi ekonomi, yaitu pemanfaatan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan berlebihan terhadap anak untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan terhadap anak. Perbuatan yang termasuk eksploitasi ekonomi terhadap anak misalnya buruh anak, artis cilik, pengemis anak. 2. Eksploitasi Seks Komersial Anak Eksploitasi Seksual Komersial Anak, yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1996, mendefinisikan ESKA sebagai: Pelecehan seksual oleh orang dewasa dengan

cara pemberian remunerasi tunai atau barang kepada anak dimana anak diperlakukan sebagai objek seksual ataupun sebagai objek komersial. ESKA meliputi prostitusi anak, pornografi anak, pariwisata seks anak dan bentuk lain dari seks transaksional di mana biasanya seorang anak terlibat dalam kegiatan ESKA untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti makanan, tempat tinggal atau akses ke pendidikan. ESKA termasuk juga pernikahan diatur yang melibatkan anak-anak di bawah usia 18 tahun, di mana anak dipaksa untuk menikah dan mengalami pelecehan seksual oleh orang dewasa. 3. Perdagangan Perempuan dan Anak (Trafiking) Trafiking adalah kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung atau menerima tenaga kerja baik anak-anak atau perempuan yang dilakukan dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara menipu, memperdaya korban, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan korban tanpa adanya perlindungan terhadap korban dengan memberikan imbalan kepada orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk memeras tenaga (mengeksploitasi) korban. C. Dampak Eksploitasi Terhadap Anak Menurut Baquale & Myers (dalam Usman & Nachrowi, 2004) yaitu : a. Pertumbuhan Fisik b. Pertumbuhan Kognitif c. Pertumbuhan Emosional d. Pertumbuhan sosial dan Moral termasuk rasa identitas kelompok, kemauan untuk bekerja sama dengan orang lain, dan kemauan untuk membedakan yang benar dan yang salah. D. Faktor Penyebab munculnya Tenaga Kerja anak (Buruh Anak) a. Kemiskinan b. Pendidikan c. Perubahan Proses Produksi

E. Faktor Penyebab Munculnya Pekerja Anak (Buruh Anak) oleh Orang Tua a. Ketidaktauan Oang tua Tentang Konvensi Hak-hak Anak dan Undang-Undang Tentang Anak. Sesuai dengan Konvensi Hak Anak b. Faktor Nilai Budaya Masyarakat c. Faktor Kemiskinan

ANALISA MASALAH Dari studi kasus dapat dianalisa bahwa ekspliotasi anak masih sering terjadi walaupun telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (23/2002) Tentang perlindungan Anak. Hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan antara lain: a. Ketidaktahuan Oang tua Tentang Konvensi Hak-hak Anak dan Undang-Undang Tentang Anak. Sesuai dengan Konvensi Hak Anak b. Faktor Nilai Budaya Masyarakat dimana adanya nilai yang dianut oleh masyarakat bahwa anak harus membantu meringankan pekerjaan orang tua seperti bertani, berdagang, dll c. Faktor Kemiskinan dikarenakan tuntutan hidup semakin meningkat sementara orang tua tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan alasan tersebut diatas eksploitasi pada anak banyak terjadi. Anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah dan menikmati masa kanak-kanak, mereka terpaksa bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya dengan menjadi pengamen jalanan, pedagang asongan, pengemis, pedangan Koran, anak koin, tukang semir sepatu, kuli panggul, pencuri, tukang parkir, dll. Padhal bila dilihat dari segi pendidikan, anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah lantaran bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja (Bagong, 1999). sebagian orang tua menyadari bahwa memang pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk kelangsungan masa depan anak-anak mereka. Hanya saja dikarenakan faktor biaya, akhirnya anak-anak mereka harus berhenti bersekolah, lalu bekerja mencari penghasilan tambahan. Sebagian orang tua yang lain menganggap bahwa pendidikan bukan merupakan hal yang penting lagi, terlebih orang tua tersebut berpikir bagaimana cara agar keluarganya tetap bertahan, yaitu dengan menyuruh anaknya bekerja serta mengorbankan sekolah anak. Salah satu alasannya, sebagaimana pernah diteliti yaitu karena bagi para orang tua, anak memiliki nilai ekonomis tertentu. Meski orang tua kadang tidak menyuruh anaknya untuk bekerja secara sengaja, namun ketika anaknya tersebut bersedia membantu orang tua meringankan beban perekonomian keluarga maka orang tua tersebut akan merasa senang. Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, Misalnya nilai bahwa anak merupakan tempat bergantung satu-satunya dihari tua juga merupakan salah satu penyebab eksploitasi

terhadap anak ini semakin gencar dilakukan. Anak di haruskan bekerja sedini mungkin dengan alasan untuk membantu pekerjaan orang tua dan melatih kemandirian pada anak. Padahal pemerintah sudah menetapkan hal-hal tersebut dalam Undang-Undang Tentang perlindungan Anak. Juga ada beberapa konvensi anak yang melarang adanya eksploitasi anak dalam hal apapun. Dalam kasus eksploitasi anak ini, sebagaimana telah di teliti, semua orang tua mengatakan mereka tidak mengetahui bahwa ada konvensi anak yang didalamnya berisi tentang hak-hak anak, seperti: hak kelangsungan hidup (survival right), hak berkembang (development right), hak memperoleh perlindungan (protection right), serta hak-hak untuk berpartisipasi dalam berbagai kepentingan hidupnya. Dalam hal ini subjek hanya menjalankan peran sebagai orang tua pada umumnya yaitu memberi makan dan memberikan anak-anak mereka rumah untuk berteduh. Berdasarkan beberapa artikel, Fenomena artis cilik dapat di sebut juga sebagai eksploitasi anak. Kadang orang tua sangat terobsesi agar anaknya menjadi mesin pencetak uang, dengan berdalih agar dapat mengekplorasi bakat terpendam anak dengan menjadiakn anak pemain film, sinetron, model, penyanyi dan lain-lain. Ketika anak sudah menjadi artis, jadwal panggung yang padat akhirnya anak sibuk mencari kerja padahal jadwal bermain dan sekolah anak itu adalah waktu yang berharga. eksploitasi anak juga kadang dilakuakn kepada lingkungan keluarga yang berkecukupan. Ada beberpa orang tua yang mengiginkan anak mereka memiliki banyak keterampilan, sehingga selain mengikuti kegiatan sekolah formal, orang tua juga mencoba mengikut sertakan anak pada beberapa les atau kursus tertentu secara bersamaan. Sehingga bukan hanya tidak memiliki waktu bermain, kehilangan waktu bersosialisasi dengan teman sebaya bahkan anak juga kekurangan waktu untuk beristirahat. Keotoritasan orang tua yang seperti ini juga akan menghambat perkembangan anak misalnya dalam hal kreatifitas. Karena orang tua memaksakan keterampilan yang belum tentu anak memiliki ketertarikan dalam hal tersebut. Kadang orang tua juga terlalu menyetir anak. Adakalanya orang tua terlalu sibuk dengan impian mereka sendiri sehingga tanpa disadari mereka menyetir kehidupan anak mereka seakanakan hidupnya hanyalah perpanjangan dari hidup orang tua sendiri. Orangtua bepikiran bahwa keterampilan anak sama dengan keterampilan yang mereka miliki, sehingga orang tua wajibkan anak untuk melakukannya pula. Bila memang anak memiliki bakat dan kemampuan seperti

orang tuanya, anak akan dapat melakukan seperti yang orang tua harapkan. Namun, jika bakal dan kemampuannya berbeda dari kemampuan orang tua, maka memaksanya melakukan apa yang di inginkan tetapkan hanyalah akan melemahkan jiwa anak. Memang Tidak ada yang salah dengan semua itu, tapi apakah para orang tua tidak menyadari bahwa mereka terlalu egois dengan mengorbankan keriangan masa bermain anakanaknya, mereka juga tidak sadar bahwa dengan kegiatan anaknya yang sepadat itu akan membuat mereka stres di usia dini. sungguh ironi anak-anak itu tidak memahami arti tawa riang,makna sahabat,nikmatnya kebersamaan menyaksikan alam, dan sebagainya. Anak-anak itu di matikan rasa sosialnya, sehingga setelah dewasa mereka sukses secara ekonomi tapi jadi sosok individualis,eksklusif,dan oportunis. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di bawah umur tertentu melanggar hak manusia. Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Oleh sebab itu eksploitasi terhadap anak harus segera di hilangkan. Tentu saja hal ini memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Pemerintah sebagai badan tertingggi sebagai pelindung anak harus dapat menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi factor penyebab dari maraknya eksploitasi terhadap anak ini. Hal-hal yang mungkin dapat pemerintah lakukan adalah Pemerintah harus melakukan perbaikan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, sehingga diharapkan angka kemiskinan berkurang yang kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan di masyarakat yang diharapkan bisa mengurangi pekerja anak. Pemerintah juga diharapkan lebih mengefektifkan aturan-aturan yang telah ada, termasuk pemberdayaan aparatur Negara dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang konsisten terhadap perlindungan hak-hak anak untuk bisa lebih mengawasi dan mendampingi anak yang dipekerjakan agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh yang mempekerjakannya.

3. Dalam kaitannya dengan upaya penghapusan anak sebagai pekerja, Pemerintah haruslah mempunyai target untuk menghapus pekerja anak secara tuntas. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang bersifat nasional dengan upaya penghapusan kemiskinan yang telah terstruktur. Berdasarkan tahap perkembangan anak seharusnya: Anak usia dibawah 12 tahun masih sangat tergantung dengan orang tua mereka, dapat membagi waktu untuk menyelesaikan tugas dari sekolah dan membentu pekerjaan rumah selain bersekolah. Antara usia 12 13 tahun, anak mulai mencoba untuk lebih mandiri baik secara psikologi maupun fisik dari dukungan orang tua, selain itu mereka berusaha untuk berbaur dengan teman sebayanya. Antara usia 14- 15 tahun, anak pada usia ini lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain bersama teman

Lembaga

Swadaya

Masyarakat

Gerakan

Anti

Trafficking

(LSMGAT).

http://gerakanantitrafficking.com/index.php? option=com_content&view=article&id=67:uu-perlindungan-anak&catid=42:undangundang . di acsses pada tanggal 26 feb 2013 http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/wawancara/160-eksploitasi-anaksudah-jadi-budaya.html

Anda mungkin juga menyukai