Anda di halaman 1dari 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1.

Konsep Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang

bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Rumah tangga, menurut KBBI adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan dengan keluarga. Keluarga adalah bapak dan ibu beserta anak-anaknya dan merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah: a. Suami istri atau mantan suami istri. b. Orangtua dan anak-anak. c. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah.

Universitas Sumatera Utara

d. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga. e. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama (yang dimaksud dengan orang yang hidup bersama adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal bersama dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu). Pengertian dari istri atau suami atau mantan istri/ suami adalah meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de jure yakni seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de facto yaitu, seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak yang berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan di bawah undang-undang tertulis. Defenisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993). Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan: Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Pasal 2 dari Deklarasi menyatakan : Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasa yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan

Universitas Sumatera Utara

praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya.

Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta yang di wilayah negara. Landasan hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the Elimination of all Discrimination Againts Women) No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dalam usulan rancangan undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disusun oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, dengan mengacu pada Deklarasi di atas, pengertian kekerasan dalam rumah tangga dirumuskan sebagai: Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Menurut Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi didalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan seksual, atau perkosaan oleh anggota keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungan dengan seorang laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat pemposisisan perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya. Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk sekaligus dilembagakan secara sosial. Dalam hal ini, masyarakat menentukan batasbatas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad lamanya, dan dianggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut. Salah satu bukti adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender adalah banyaknya perempuan yang mengalami tindakan kekerasan. Kenyataan ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan dan adanya batas-batas kepantasan yang

Universitas Sumatera Utara

diperlakukan secara diskriminatif terhadap perempuan sehingga perempuan dipandang tidak lebih dari sekedar objek yang pantas diperlakukan sewenang-wenang. Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan dirumuskan sebagai berikut: 1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian. 2. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang. 3. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. 4. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang, dan atau membiarkan korban bekerja untuk dingeksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga. 5. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya (seperti diantaranya: larangan keluar rumah, larangan

berkomunikasi dengan orang lain).

Universitas Sumatera Utara

2. 2.

Pelaku dan Korban Kekerasan Perempuan sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal,

baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain (misal:anak, adik ipar). Meskipun demikian, kekerasan jenis ini merupakan satu kekerasan yang sangat sulit diungkap antara lain karena: 1. Cukup banyak pihak yang menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri). 2. Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain. Pandangan ini diyakini baik oleh orang-orang luar maupun orang-orang di dalam keluarga itu sendiri. 3. Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya dari orang lain dengan alasan-alasan yang berbeda. Pelaku menganggap apa yang terjadi dalam urusan keluarga dan hak pribadinya, orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan sementara korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi, akan kehilangan kehormatannya bila aib sampai terbuka. (Masa saya harus menceritakan kejadian suami saya memukuli saya?) karena itu, korban berusaha sekuat tenaga menutupi. Bahkan, terkesan membela orang yang telah melakukan kekerasan padanya. Bila kekerasan seksual atau perkosaan oleh orang yang telah dikenal atau berhubungan dekat dengan korban lebih mungkin terjadi berulang, demikian pula tindak kekerasan fisik dan psikologis dalam keluarga dan hubungan intim. Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari

Universitas Sumatera Utara

serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku si perempuan, atau untuk memunculkan rasa takut. Mendasari semua bentuk kekerasan adalah

ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan antara pelaku kekerasan dan korbannya (Luhulima, 2000 : 21).

2.2.1. Pelaku Kekerasan Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan rumah tangga (dalam berbagai bentuk kekerasannya) ternyata tidak terbatas pada usia, tingkat pendidikan, agama, status sosial-ekonomi, suku, kondisi psikopatologi, maupun hal-hal lain. Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sering memiliki persamaan dalam hal latar belakang kehidupan pelaku dan kepribadian yang berkaitan dengan tingkah laku agresif. Banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keluarga yang biasa terjadi kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya, karenanya pelaku belajar dari keluarganya itu menjadi menganggap bahwa kekerasan sebagai bentuk pengkambinghitaman, atau sekedar sebagai tumpahan frustasi, merupakan bentuk penyelesaian konflik yang biasa dan dapat diterima. Salah satu karakteristik penting pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah rendahnya harga diri. Seorang suami atau laki-laki sering memiliki anggapan bahwa laki-laki harus menjadi penguasa, pengambil keputusan, orang nomor satu, mungkin (diakui atau tidak) merasa ia tidak dapat mencapai tuntutan itu atau sulit menggapainya, sehingga merasa tidak kompeten, tidak cukup hebat, tidak cukup kuat, tidak cukup berhasil. Ia kemudian melakukan penganiayaan pada pihak yang lebih lemah sebagai bentuk mekanisme pertahanan dirinya, untuk mengatasi perasaan tidak berdayanya.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Perempuan (Istri) Sebagai Korban Kekerasan Korban adalah orang yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Perempuan korban kekerasan, seperti juga pelaku kekerasannya, dapat berasal dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, agama dan suku bangsa. Khusus untuk kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan yang dapat teridentifikasi adalah mereka yang mencari pertolongan dan datang ke lembagalembaga yang mereka anggap dapat membantu mereka. Perempuan demikian tidak jarang tampil sebagai perempuan yang sangat pasif, menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran berlebihan, terkesan sangat emosional (labil, banyak menangis, histeris) atau sebaliknya terkesan sulit diajak berkomunikasi dan terpaku pada pemikiranpemikirannya sendiri. Menanggapi hal ini, orang-orang yang tidak menekuni isu kekerasan terhadap perempuan akan cenderung mengambil sikap blaming the victim dengan menyatakan bahwa perempuan tersebut memang aneh, memiliki banyak masalah pribadi atau mungkin sedikit terganggu sehingga pasangan hidupnya kehilangan kesabaran menghadapinya. Sementara itu, konselor yang memahami isu kekerasan terhadap perempuan, atau berpandangan feministik akan mengajukan atau memandang gangguan atau patologi yang ditampilkan korban sebagai hal yang mungkin muncul sebagai akibat kekerasan yang dialami bukan sebagai penyebab. Studi terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan domestik memang menunjukkan bahwa perempuan dengan sejarah kekerasan yang panjang memang cenderung menjadi sangat membatasi diri dan terisolasi. Mereka sering menarik diri dari teman-teman dan keluarga karena merasa malu dan bersalah. Dapat dipahami bila perempuan demikian akan menunjukkan respon penyesuaian sosial yang canggung.

Universitas Sumatera Utara

Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya secara mendalam. Banyak sekali pertanyaan dan keheranan : mengapa banyak perempuan tetap tinggal dalam hubungan yang penuh kekerasan? Mengapa mereka tidak meninggalkan suaminya? Beberapa alasannya adalah: a. Ketiadaan dukungan sosial yang sungguh memahami kompleksitas situasi yang dihadapi perempuan. Orang luar sering enggan bahkan dipersalahkan bila mencampuri urusan keluarga orang lain, karena itu sulit menemukan dukungan yang dapat membantu. Dilain pihak, perempuan itu sendiri juga menganggap apa yang terjadi padanya adalah urusan keluarga atau pribadinya sendiri. Karena isunya sangat memalukan, perempuan akan menutupi kejadian yang sesungguhnya, dibutuhkannya. b. Citra diri yang negatif. Cukup banyak korban, karena pengalaman dimasa kecilnya, yang diperkuat dengan pengalaman kekerasan yang diterimanya, merasa kecil dan tidak berharga, tidak akan dapat memberikan manfaat apapun bagi orang lain. Citra dirinya akan terbantu bila ia dapat mengikat laki-laki karena kesendirian sebagai perempuan dirasakan sebagai situasi yang menunjukkan dirinya tidak berharga. c. Keyakinan bahwa suami akan berubah Cukup banyak perempuan yang terus mempercayai suaminya pada dasarnya baik, bahwa kekasarannya merupakan respon terhadap stress dan sehingga tidak dapat memperoleh akses yang

Universitas Sumatera Utara

tekanan hidup, dan bahwa waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih baik. d. Kesulitan ekonomi. Banyak perempuan yang sepenuhnya bergantung kepada orang lain (suami) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk menghidupi anakanak. e. Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi, keluarga dengan orangtua lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua tunggal. f. Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam, karena merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat terhadapnya, apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya. g. Akhirnya perempuan dapat terus bertahan dalam kondisi kekerasan, karena kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang akan diterimanya (dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya) bila ia berusaha meninggalkan pasangannya (Luhulima, 2000 : 33).

2.2.3. Anak Sebagai Korban Kekerasan. Dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Seorang anak haruslah dipandang sebagai mahluk yang harus dilindungi, dikembangkan dan dijamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya memandang anak sebagai sasaran empuk tindak kekerasan. Perlindungan yang dapat dilakukan

Universitas Sumatera Utara

yaitu kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sehingga dapat melakukan cita-cita bangsa. Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa.menyatakan bahwa anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama bertanggungjawab adalah orangtua sendiri. Orangtualah yang bertanggungjawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak. (Gunarsa, 1995:28) Menurut Convention on the right of the child (konvensi hak anak) pada tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak adalah semua orang yang dibawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal. Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak yang rentan, yang dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut: 1. Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anaknya. 2. Istri atau perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidupnya dapat mengarahkan kemarahan dan frustasinya pada anak-anaknya. 3. Anak-anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan melindungi ibunya. 4. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, dibolehkan. Anak laki-laki dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan anak, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak menjadi korban kekerasan.

Universitas Sumatera Utara

Anak-anak dari keluarga yang diwarnai kekerasan dapat mengembangkan pemikiran bahwa: a. Seorang suami boleh memukul istrinya. b. Kekerasan merupakan cara untuk menenangkan perbedaan pendapat. c. Perempuan adalah lemah, memiliki posisi lebih rendah, tidak mampu menjaga dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga anak-anaknya. d. Laki-laki dewasa adalah pengganggu dan berbahaya. Anak-anak dari keluarga demikian akan cenderung kurang mampu menyatakan perasaan-perasaannya secara verbal, dan lebih terbiasa menunjukkan kegelisahan, ketakutan dan kemarahan melalui perilakunya. Bila sikap diam karena takut adalah hal lumrah pada keluarga yang diwarnai kekerasan dapat dimengerti bahwa cara adaptasi seperti ini juga dipelajari oleh anak. Anak akan menekan perasaan-perasaannya sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dapat diberinya nama dirasakan campur aduk; takut, marah, bingung, merasa bersalah, sedih, khawatir, kecewa, ambivalen (bercampur aduk antara perasaan ingin mendekat, memerlukan orangtua, sayang dan menggantungkan diri pada orangtua, tetapi juga marah, tidak mengerti, kecewa takut dll.).

2. 3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Tangga 2.3.1. Secara Teoritis.

dalam Rumah

Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.

Universitas Sumatera Utara

Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dkk. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.

2.3.2. Secara Empiris Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu

mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah tangga di negara kita.

Universitas Sumatera Utara

2. 4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga 2. 4.1. Dampak Pada Perempuan/ istri. Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan obat penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya. Bahkan akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut, atau bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu. Dengan dasar dominasi perasaan takut, respon dan pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan domestik maka muncul sikap seperti: 1. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan: Ketakutannya bahwa membicarakan kekerasan tersebut akan

membuatnya berada dalam situasi lebih buruk. Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi padanya, siapa yang sesungguhnya bermasalah dan menjadi korban. Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang dibayangkan adalah cara beradaptasi terhadap kekerasan yang dialami, sampai ia siap menghadapi realitas dan mampu mengambil tindakan-tindakan pengamanan. Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan. Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

2. Terisolasi Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan dukungan personal. Ketakutannya bahwa orang-orang yang disayanginya akan

Universitas Sumatera Utara

menjadi sasaran dan berada dalam bahaya, membuatnya menutup mulutnya. Rasa malu dan kebingungannya menghadapi pemukulan-pemukulan

membuatnya menjaga jarak dari orang lain. Sedikit kenalan dan teman yang mengenalnya jarang tahu teror yang dihadapinya di rumahnya sendiri. Jika ia berupaya berhubungan dengan orang lain, pasangannya akan mematahkan usahanya dengan mengendalikan aktivitasnya dan membatasi kontaknya dengan orang-orang di luar perkawinan. Ia mungkin secara sengaja bersikap kasar pada keluarga dan teman-teman perempuan tersebut. Perempuan korban jarang punya hubungan positif dengan tempat-tempat yang dapat menyediakan pekerjaan yang baik, tempat penitipan anak, ataupun aktivitas-aktivitas terapetik, rekreasi dan pendidikan yang dapat meningkatkan harga dirinya. Isolasi sosialnya juga menyebabkan sangat sedikit memperoleh umpan balik mengenai kondisinya, suatu hal yang sesungguhnya dapat mengubah persepsinya. 3. Perasaan tidak berdaya. Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979). Yang dimaksud adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak berhasil. Akhirnya, yang muncul adalah perasaan tidak berdaya

(powerlessness) dan keyakinan bahwa tiada suatupun dapat dilakukannya untuk mengubah keadaannya. 4. Menyalahkan diri (internalizes blame) Perempuan korban kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang lain, sering mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan dalam hubungan intim dan dalam

Universitas Sumatera Utara

rumah tangga. Ia berpikir dialah yang menyebabkan kekerasan terjadi karena pasangannya tidak jarang bertanya: Mengapa kamu membuat saya terpaksa memukuli kamu? Kalau kamu melakukan apa yang saya inginkan, yang seperti ini tidak akan terjadi. Sementara itu orang luar juga mungkin bertanya: Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu lakukan sampai ia memukul kamu?. Ia berusaha untuk menjadi makin sempurna, tidak menyadari bahwa kekerasan tersebut sesungguhnya lekat dan menjadi tanggung jawab pelaku. 5. Ambivalensi Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan. Kadang kala ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki yang baik dan mencintainya. Inilah yang menjadi ambivalensi dan kebingungan korban. Ia ingin kekerasan itu berakhir, tetapi tidak perkawinannya. Ia sangat berharap pasangannya akan berubah, ia ingin mempercayai janji-janji pasangannya. Ia berpikir bahwa ia mencintai laki-laki itu. Ia juga sangat takut membayangkan hidup sendiri. Perpisahan dengan pasangan mungkin akan menyebabkan banyak sekali perubahan hidup. Bila sebelumnya tinggal di rumah sepanjang hari mengurus anak, mungkin ia harus bekerja, menitip anak, atau malahan harus meminta bantuan. Untuk perempuan dari kelas menengah atas, menurun drastisnya tingkat kehidupan memerlukan banyak sekali penyesuaian. 6. Harga diri rendah. Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri. Perasaan berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri dirusakkan. Yang sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari orang yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi,

Universitas Sumatera Utara

menghormati

dan

menyenangkannya.

Perempuan

korban

kekerasan

merasakannya sebagai pukulan yang paling parah, pengkhianatan paling besar. Semakin parah kekerasan yang dialami, dan semakin lama berlangsung, semakin buruklah citra diri yang dimiliki korban. Ia mempercayai panggilanpanggilan yang ditujukan pasangannya padanya: buruk, tidak mampu, bodoh, tidak menarik, dst. 7. Harapan. Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah, akan menjadi pasangan seperti yang diimpikannya. Adalah penting bahwa konselor menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Mimpinya tidak aneh, mimpi tersebut umum diimpikan orang. Sering kita menyalahkan perempuan dengan pertanyaan: Kenapa sih dia masih terus bertahan dalam situasi demikian?, kembali mempersalahkannya. Kita perlu melihatnya secara lebih positif, lebih bermanfaat untuk menganggapnya sebagai perempuan pemberani, yang dapat bertahan meskipun adanya banyak permasalahan. Dengan kata lain, seharusnya kita bertanya: Bagaimana ia dapat memperoleh kekuatan untuk terus bertahan dalam hubungan penuh kekerasan demikian? (Luhulima, 2000 : 37) Berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat, dari berbagai lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama, maupun tentang usia telah tertimpa musibah kekerasan.

Universitas Sumatera Utara

Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan seperti: a. Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dll. b. Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut. c. Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku. d. Kemampuan menyelesaikan masalah rendah. e. Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil. f. Bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa. g. Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak, karena tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar (Ciciek, 1999)

2.4.2. Dampak Pada Anak-anak. Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat

Universitas Sumatera Utara

sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia, ada anak-anak yang sudah besar yang akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan kejam. Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah: 1. Sering gugup 2. Suka menyendiri 3. Cemas 4. Sering ngompol 5. Gelisah 6. Gagap 7. Sering menderita gangguan perut 8. Sakit kepala dan asma 9. Kejam pada binatang 10. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam 11. Suka memukul teman Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan (Ciciek, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Mengingat

bahwa

orangtua

lebih

sibuk

dengan

permasalahan

dan

ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak memberikan perhatian pada kebutuhan anak, khususnya kebutuhan psikologisnya untuk merasa aman, dicintai, didengarkan. Karena itu, banyak hal dapat muncul, seperti: 1. Usia pra sekolah a. Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut. b. Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, ngompol. c. Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua. 2. Usia sekolah a. Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan: keluhan-keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak dapat mandiri, sangat bergantung kepada ingin diterima orang lain, toleransi frustasi rendah, atau justru kesabaran berlebihan, sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat membantu ibu. b. Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki: toleransi frustasi rendah, perilaku agresif, mengganggu, menggertak, berlagak jagoan, tempertantrums (mudah sekali marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan, seperti

menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling, dsb.) c. Sebagian anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar, sering membolos, kikuk, sering celaka, dianggap lambat, atau mengalami masalah belajar.

Universitas Sumatera Utara

d. Sebagian anak lain sebagai kompensasi justru menampilkan prestasi menonjol, perfeksionis dan rasa tanggungjawab berlebihan. 3. Remaja Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri dan merusak diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan adalah: lari dari kenyataan dengan mengkonsumsi obat-obat adiktif dan alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual bebas, agresivitas dan aktivitas kriminal. 4. Dewasa Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di rumahnya, dan menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat mengembangkan pola hubungan yang sama dimasa dewasanya. Cukup banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan berasal dari keluarga abusive dimasa kanaknya, biasa menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi korban kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya berada dalam suasana keluarga demikian juga akan melihat dan belajar untuk meyakini bahwa laki-laki adalah makhluk yang memang harus menang, keras kepala dan egois, harus serba dilayani, sementara perempuan adalah makhluk yang harus melayani, menyesuaikan diri, mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara. Dimasa dewasa ia akan lebih mudah terjebak dalam pola hubungan yang sama, karena pengalaman hidupnya tidak memberinya paparan mengenai peran-peran orang dewasa dan hubungan laki-laki dan perempuan yang

Universitas Sumatera Utara

lebih sehat, lebih setara, dan lebih membahagiakan (Luhulima, 2000 : 40)

2.5. Kerangka Pemikiran Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah kekerasan dalam keluarga yang banyak terjadi menimpa rumah tangga-rumah tangga di Indonesia saat ini. Kekerasan dalam rumah tangga kadang dikaitkan dengan istilah kekerasan terhadap pasangan (spouse abuse). Adapun kekerasan pasangan didefenisikan sebagai penggunaan kekerasan fisik oleh pasangannya yang terjadi pada hubungan yang telah intim pada pasangannya. Kekerasan pasangan ini mencakup kekerasan secara psikologis seperti intimidasi, ancaman, penghinaan dimuka umum, kata-kata kasar yang dilakukan secara berulang-ulang. Perkembangan ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga selanjutnya ialah bentuk kekerasan terhadap anak, yang sering ikut menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh berbagai faktor yang memicu terjadinya kekerasan tersebut. Faktor-faktor pemicu ini menjadi alasan pelaku untuk melakukan kekerasan terhadap istri atau anak yang menjadi korban kekerasan. Korban menjadi tempat pelampiasan si pelaku dalam menyalurkan emosinya yang dikeluarkan dalam bentuk kekerasan, sehingga menyebabkan korban merasa tersakiti. Faktor pemicu KDRT dalam penelitian ini dapat dilihat dari 2 cara yaitu secara teoritis dan secara empiris. Secara teoritis yaitu menyimpulkan faktor pemicu terjadinya KDRT berdasarkan pendapat ahli sedangkan secara empiris yaitu menyimpulkan faktor pemicu KDRT berdasarkan bagaimana kenyataan KDRT saat ini di masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

KDRT menimbulkan berbagai dampak pada korban. Dampak yang paling mendominasi korban adalah rasa takut. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Juga masih banyak dampak pada korban yang menyebabkan kondisi fisik dan kejiwaan korban terganggu. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan kerangka pemikiran berikut:

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir.

Masalah KDRT

Korban KDRT Istri Anak

Faktor-faktor pemicu Teoritis Empiris

Dampak KDRT

Universitas Sumatera Utara

2.6. Defenisi Konsep Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut konsep, yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak: kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995 : 33). Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga fokus masalah dan timbulnya kesalahpahaman yang dapat mengaburkan penelitian. Oleh karena itu dalam menjelaskan penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa defenisi konsep antara lain: 1. Faktor-faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah serangkaian indikator-indikator yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. 2. Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban adalah keseluruhan akibat yang ditimbulkan oleh suatu kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang yang mengalami penderitaan karena kekerasan dalam rumah tangga tersebut, baik secara fisik maupun psikis. 3. Pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat

Universitas Sumatera Utara

penderitaan (baik fisik maupun psikis) pada seseorang atau sekelompok orang dalam lingkup rumah tangga. 4. Istri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang sudah bersuami. 5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai