Anda di halaman 1dari 40

Referat dan Presentasi Kasus

SKIZOFRENIA PARANOID
Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian / SMF Ilmu Kedokteran Keluarga (Family Medicine) Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Disusun Oleh :

Evi Syahrinawati 0707101010074

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KELUARGA ( FAMILY MEDICINE) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2013

KATA PENGANTAR

Puji Dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul SKIZOFRENIA PARANOID yang akan diajukan penulis untuk melengkapi tugas-tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian Kedokteran Keluarga (Family Medicine). Shalawat beserta salam marilah selalu kita sanjung sajikan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh dengan kegelapan kea lam yang terang benderang seperti saat ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pembimbing penulis yang telah memberikan waktu dan kesempatannya untuk membimbing dalam proses penulisan hingga mempresentasikan kasus ini, sehingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian presentasi kasus ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan itu, penulis mengaharapkan kritik dan saran demi perbaikan presentasi kasus ini. Semoga presentasi kasus ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, Januari 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG Kesehatan adalah suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari penyakit, cacat, kelemahan tapi benar-benar merupakan kondisi positif dan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang memungkinkan untuk hidup produtif. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, individu dituntut untuk lebih meningkatkan kinerjanya agar segala kebutuhannya dapat terpenuhi tingkat sosial di masyarakat lebih tinggi. Hal ini merupakan dambaan setiap manusia ( Dep Kes RI. 2000 ). Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efisien. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan indrustri keempat kesehatan utama tersbut adalah penyakait degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak di anggap sebagai gangguan jiwa yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efisien (Yosep, 2007). Skizofrenia merupakan psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas terbesar, pasien tidak mempunyai realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal di Rumkital Dr. Ramelan PAV VI A terdapat 16 klien (100%) dan ada 4 klien yang mengalami gangguan Skizofrenia Paranoid (25%) . Di Indonesia, sekitar 1% 2% dari total jumlah penduduk mengalami skizofrenia yaitu mencapai 3 per 1000 penduduk, prevalensi 1,44 per 1000
3

penduduk di perkotaan dan 4,6 per 1000 penduduk di pedesaan berarti jumlah penyandang skizofrenia 600.000 orang produktif. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia berasal dari dua kata Skizo yang artinya retak atau pecah (spilit), dan frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofernia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splittingof of personality). Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis, 2005). Kriteria waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah. Waham menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000) menyatakan bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis (1998) membagi waham dalam 2 kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis, tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk menerangkan gejalagejala skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah satunya adalah waham kebesaran Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Istilah skizofrenia sering disalahpahami berarti bahwa orang-orang yang terkena dampak memiliki "kepribadian ganda". Meskipun beberapa orang didiagnosis dengan skizofrenia mungkin mendengar suara-suara dan mungkin
4

mengalami suara sebagai kepribadian yang berbeda, skizofrenia tidak melibatkan orang berubah antara kepribadian ganda yang berbeda. Kebingungan muncul sebagian karena makna istilah skizofrenia Bleuler itu (secara harfiah "split" atau "pikiran hancur"). Penyalahgunaan dikenal pertama istilah berarti "kepribadian yang terbelah" adalah dalam sebuah artikel oleh penyair TS Eliot pada tahun 1933. Pada paruh pertama abad kedua puluh skizofrenia dianggap cacat keturunan, dan penderita tunduk pada eugenika di banyak negara. Ratusan ribu orang disterilkan, dengan atau tanpa persetujuan - mayoritas di Nazi Jerman, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia. Seiring dengan orang lain berlabel "mental layak", banyak didiagnosis dengan skizofrenia dibunuh dalam program "Aksi T4" Nazi. Pada awal 1970-an, kriteria diagnostik untuk skizofrenia adalah subyek dari sejumlah kontroversi yang akhirnya mengarah pada kriteria operasional digunakan saat ini. Ini menjadi jelas setelah studi AS-Inggris 1971 Diagnostik bahwa skizofrenia didiagnosis ke tingkat yang jauh lebih besar di Amerika daripada di Eropa. Hal ini sebagian karena kriteria diagnostik longgar di AS, yang menggunakan DSM-II manual, kontras dengan Eropa dan ICD-9 nya. 1972 studi david Rosenhan, yang dipublikasikan dalam jurnal Science di bawah judul yang waras Pada di tempat gila, menyimpulkan bahwa diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat sering subyektif dan tidak dapat diandalkan. Ini adalah beberapa faktor dalam memimpin ke revisi tidak hanya dari diagnosis skizofrenia, tapi revisi dari manual DSM keseluruhan, sehingga dalam publikasi DSM-III pada tahun 1980. Sejak 1970-an lebih dari 40 kriteria diagnostik untuk skizofrenia telah diusulkan dan dievaluasi. Di Uni Soviet diagnosis skizofrenia juga telah digunakan untuk tujuan politik. Soviet Andrei Snezhnevsky psikiater terkemuka dibuat dan dipromosikan klasifikasi sub-tambahan lamban berkembang skizofrenia. Diagnosis ini digunakan untuk mendiskreditkan dan cepat memenjarakan para pembangkang politik sementara pengeluaran dengan percobaan berpotensi memalukan. Praktek itu terkena Barat oleh sejumlah pembangkang Soviet, dan pada tahun 1977 World Psychiatric Association mengutuk praktek Soviet di Kongres Dunia Keenam
5

Psikiatri. Daripada mempertahankan teorinya bahwa bentuk laten skizofrenia disebabkan pembangkang untuk menentang rezim, Snezhnevsky memutuskan semua kontak dengan Barat pada tahun 1980 dengan mengundurkan diri posisi kehormatan di luar negeri. Stigma sosial telah diidentifikasi sebagai suatu hambatan yang besar dalam pemulihan pasien dengan skizofrenia. Dalam sampel, besar wakil dari sebuah studi tahun 1999, 12,8% orang Amerika percaya bahwa individu dengan skizofrenia adalah "sangat mungkin" untuk melakukan sesuatu kekerasan terhadap orang lain, dan 48,1% mengatakan bahwa mereka "agak mungkin". Lebih dari 74% mengatakan bahwa orang dengan skizofrenia yang baik "tidak sangat mampu" atau "tidak mampu sama sekali" untuk membuat keputusan tentang pengobatan mereka, dan 70,2% mengatakan hal yang sama dari keputusan manajemen uang. Persepsi individu dengan psikosis sebagai kekerasan memiliki lebih dari dua kali lipat dalam prevalensi sejak tahun 1950, menurut salah satu meta-analisis. Skizofrenia didiagnosis berdasarkan gejala profil. Berkorelasi Syaraf tidak memberikan kriteria cukup berguna. Diagnosa didasarkan pada yang dilaporkan sendiri pengalaman orang tersebut, dan kelainan pada perilaku yang dilaporkan oleh anggota keluarga, teman atau rekan kerja, diikuti dengan penilaian klinis oleh seorang psikiater, pekerja sosial, psikolog klinis atau profesional kesehatan mental lainnya. Penilaian kejiwaan mencakup riwayat psikiatri dan beberapa bentuk pemeriksaan status mental. Tapi review lain tidak menyarankan koneksi apapun. Sebuah tinjauan literatur Yunani dan Romawi kuno menunjukkan bahwa meskipun psikosis digambarkan, ada tidak memperhitungkan kondisi memenuhi kriteria untuk skizofrenia. Psikotik keyakinan aneh dan perilaku yang mirip dengan beberapa gejala skizofrenia dilaporkan dalam literatur medis dan psikologis Arab selama Abad Pertengahan. Dalam The Canon of Medicine, misalnya, Ibnu Sina menggambarkan sebuah kondisi yang agak menyerupai gejala-gejala skizofrenia yang disebut Junun Mufrit (kegilaan yang parah), yang dibedakan dari bentukbentuk lain dari kegilaan (Junun) seperti mania, rabies dan psikosis manic depressive. Namun, tidak ada kondisi yang menyerupai skizofrenia dilaporkan
6

dalam Bedah Imperial erafeddin Sabuncuolu, sebuah buku medis utama Islam abad ke-15. Mengingat bukti-bukti historis yang terbatas, skizofrenia (lazim seperti sekarang ini) mungkin merupakan fenomena modern, atau alternatif itu mungkin telah dikaburkan dalam tulisan-tulisan sejarah oleh konsep-konsep terkait seperti melankolis atau mania. Sebuah laporan kasus rinci pada 1797 tentang James Tilly Matthews, dan rekening oleh Phillipe Pinel diterbitkan pada 1809, sering dianggap sebagai kasus awal skizofrenia dalam literatur medis dan psikiatris. Skizofrenia pertama kali digambarkan sebagai sindrom yang berbeda yang mempengaruhi remaja dan dewasa muda oleh Benedict Morel pada tahun 1853, disebut dmence prcoce (harfiah 'demensia dini'). Istilah demensia digunakan praecox pada tahun 1891 oleh Arnold Pilih dalam sebuah laporan kasus gangguan psikotik. Pada tahun 1893 Emil Kraepelin memperkenalkan perbedaan baru yang luas dalam klasifikasi gangguan mental antara dementia praecox dan gangguan suasana hati (disebut depresi manik dan termasuk unipolar dan bipolar depresi). Kraepelin percaya bahwa dementia praecox merupakan penyakit otak, dan khususnya suatu bentuk demensia, dibedakan dari bentuk-bentuk lain dari demensia, seperti penyakit Alzheimer, yang biasanya terjadi di kemudian hari. Klasifikasi Kraepelin perlahan-lahan mendapatkan penerimaan. Ada keberatan dengan penggunaan dari "demensia" istilah meskipun kasus pemulihan, dan beberapa pembelaan diagnosa diganti seperti kegilaan remaja. Skizofrenia kata - yang diterjemahkan secara kasar sebagai "membelah pikiran" dan berasal dari akar Yunani schizein (, "untuk split") dan phrn, phren-(, -, "pikiran") - diciptakan oleh Eugen Bleuler pada tahun 1908 dan dimaksudkan untuk menggambarkan pemisahan fungsi antara kepribadian, berpikir, memori, dan persepsi. Bleuler menggambarkan gejala utama sebagai 4 A: rata Mempengaruhi, Autisme, gangguan Asosiasi ide dan Ambivalensi. Bleuler menyadari bahwa penyakit itu bukan demensia karena beberapa pasien membaik daripada memburuk dan karenanya mengusulkan istilah skizofrenia sebagai gantinya.

BAB II ILUSTRASI KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Alamat Pekerjaan Status Perkawinan Agama Suku Pendidikan Tanggal Pemeriksaan : Tn. M : 40 tahun : Laki-laki : Jl.Teratai Daun Malahayati Lampulo : Tidak Bekerja : Sudah Menikah : Islam : Aceh : SD : 6 Februari 2013

II.

RIWAYAT PSIKIATRI Riwayat penyakit pasien diperoleh secara alloanamnesis dan

autoanamnesis. Alloanamnesis dilakukan: Pada tanggal 7 Februari 2013 dengan Ny. A (Kakak pasien), 52 tahun, bertempat tinggal di Lampulo, tingkat pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, dan tinggal serumah dengan pasien Autoanamnesis pada tanggal 6 Februari 2013 A. Keluhan Utama Pasien marah-marah tanpa sebab yang jelas

B. Riwayat Penyakit Sekarang 1. Alloanamnesa Menurut keluarga, pasien marah-marah tanpa sebab yang jelas 2 minggu yang lalu. Pasien marah dengan berteriak-teriak tanpa didahului pemicu masalah. Pasien merupakan anak kedua dari
8

orangtua tunggal karena ayah pasien telas meninggal dunia 7 tahun yang lalu. Sekitar 2 hari sebelum ke puskesmas pasien membuat keributan di warung kopi. Pasien ditemukan oleh keluarga sedang berjalan di tepi jalan sambil mengamuk. Menurut keluarga, pasien seperti orang kerasukan, bicara tidak jelas dan sangat tidak suka melihat tetangganya yang berjenis kelamin laki-laki, pasien mengaku setiap lelaki didunia ini seperti akan memukulnya. Kurang lebih 3 bulan sebelum ke puskesmas, pasien telah menunjukkan perubahan perilaku. Pasien sering marah-marah, bicara sendiri, dan mengatakan hal-hal aneh. Hal ini dialami pasien sejak pulang melaut. Kemudian pasien dibawa ke rumah seorang dukun untuk diobati secara alternatif. Selama pasien di obati didukun tersebut pasien mengalami perbaikan, pasien sudah semangat bekerja dan mau melaut lagi. Namun sejak ditinggalkan istrinya pulang kampong pasien mulai berubah. 2. Autoanamnesa Sewaktu pasien diwawancarai di puskesmas pasien bersikap nonkooperatif dan gelisah saat duduk, namun pasien tidak difiksasi. Pasien berbicara bahasa Indonesia, kadang bahasa Aceh dan bahasa yang tidak jelas. Pasien menjawab dengan volume suara yang cukup, intonasi jelas, dan artikulasi jelas, pasien dapat menyebutkan identitas sesuai identitas yang tercantum di status pasien. Ketika ditanya bagaimana perasaan pasien hari itu, pasien mengeluhkan bahwa dia merasa pusing. Pasien mengatakan bahwa dirinya merasa aman saat berada di puskesmas, karena tidak ada yang mengejar. Pasien mengatakan bahwa selama ini sering dikejar oleh tentara Israel dan Palestina. Pasien juga mengatakan bahwa orang-orang di puskesmas baik-baik dan tidak ada yang mengejar dirinya.
9

Pasien mengaku sering mendengar bisikan-bisikan yang mengatakan jihad..jihad..jihad... Menurut pasien yang menyuruh berjihad adalah seorang tengku. ketika ditanyai dimana orang yang menyuruhnya jihad tersebut, pasien menjawab bahwa yang menyuruhnya sedang tidak berada disini. Selama ini pasien dan orang yang menyuruhnya jihad berkomunikasi lewat batin. Pasien menganggap bahwa tengku tersebut adalah guru pasien. Pasien mengatakan lambang jihad adalah segitiga hijau, sedang lambang setan adalah angka 666. Pasien mengatakan bahwa dirinya adalah peramal, dia bisa meramal apa saja, dan juga bisa berkomunikasi dengan jin. Saat ditanya bagaimana cara pasien berkomunikasi dengan jin, pasien berbicara bahasa yang tidak dapat dimengerti. Saat ditanya apa artinnya, pasien tidak dapat menjawabnya. Pasien mengaku ingin menikah lagi dan punya anak. Menurut pasien wanita yang cantik adalah wanita yang putih. Wanita yang cantik pasti memiliki hati yang baik. Pasien ingat yang membawanya ke puskesmas adalah keluarganya. Menurut pasien ia dibawa ke puskesmas karena kepalanya pusing. Selama pemeriksaan pasien menanggapi dengan ekspresi tumpul, banyak bicara, dan kadang tidak sesuai realita. Pasien selalu menjawab ketika diberi pertanyaan.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya 1. Gangguan psikiatri 2. Gangguan medis Riwayat asma Riwayat jatuh Riwayat hipertensi Riwayat diabetes melitus Riwayat kejang : disangkal. : disangkal : disangkal. : disangkal. : disangkal. : disangkal

3. Kondisi medik
10

Riwayat penyalahgunaan zat Riwayat merokok Riwayat alkohol

: (-) : (+) : (-)

D. Riwayat Kehidupan Pribadi 1. Riwayat Prenatal dan Perinatal Pasien dilahirkan saat usia ibunya 29 tahun. Selama kehamilan tidak ada kelainan, lahir cukup bulan, secara normal, langsung menangis saat lahir dan ditolong oleh bidan. 2. Riwayat Masa Anak Awal (0-3 tahun) Pasien mendapat ASI sampai usia 3 bulan. Pasien diasuh oleh ibu dan ayahnya. Pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia. 3. Riwayat Masa Anak Pertengahan (4-11 tahun) Pasien tumbuh seperti anak-anak lain. pasien memiliki atak dan perilaku yang baik. 4. Riwayat Masa Anak Akhir (pubertas sampai remaja) Pada masa ini pasien tidak sekolah lagi. Pasien sering pergi kelaut ikut kapal mencari ikan. Pasien kadang-kadang marah namun masih dapat mengendalikan diri. Pasien banyak bergaul dengan teman-temannya. 5. Riwayat Masa Dewasa a. Riwayat pekerjaan Anak buah kapal ikan b. Riwayat perkawinan Menikah. c. Riwayat agama Pasien adalah seorang pemeluk agama Islam namun tidak rajin beribadah. d. Riwayat aktivitas sosial Aktivitas pasien bersifat normal selama di rumah dan dilingkungan
11

e. Situasi hidup sekarang Pasien tinggal dengan ibu dan kakaknya, istrinya sudah pulang ke daerah asalnya dan tidak ingin kembali lagi. f. Riwayat psikoseksual Pasien tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang seks dari kedua orangtuanya. Pasien sudah berpisah dengan istrinya.

E. Riwayat Keluarga Pasien merupakan anak kedua.

F. Pohon Keluarga

Keterangan Gambar: : tanda gambar untuk jenis kelamin perempuan : tanda gambar untuk jenis kelamin laki-laki. : tanda gambar untuk jenis kelamin laki-laki yang meninggal Dunia : blok hitam menunjukkan memiliki gangguan jiwa : tinggal dalam satu rumah

III. STATUS MENTAL A. Gambaran Umum 1. Penampilan

12

Seorang laki-laki, 40 tahun tampak sesuai umurnya, rambut pendek warna hitam, kulit warna cokelat sawo matang, memakai baju kaos billabong, perawatan diri cukup. 2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor Pasien dapat duduk dengan tenang dan menjawab pertanyaan saat diwawancarai 3. Sikap Terhadap Pemeriksa Kooperatif. Saat ditanya, pasien bersedia untuk menjawab

pertanyaan yang diajukan.

B. Kesadaran 1. Kuantitatif 2. Kualitatif : compos mentis, GCS E4V5M6 : berubah

C. Pembicaraan Jawaban spontan, intonasi jelas, artikulasi jelas, volume cukup. Menjawab denga bahasa Indonesia, kadang bahasa Jawa, dan kadang disertai neologisme.

D. Alam Perasaan 1. Mood 2. Afek 3. Keserasian : disforik : tumpul : tidak serasi (inappropriate)

E. Gangguan Persepsi 1. Halusinasi :.auditorik (pasien sering mendengar bisikan dari seorang laki-laki) visual (pasien sering melihat sosok tentara) 2. Ilusi : (-)

3. Depersonalisasi : Tidak didapatkan 4. Derealisasi F. Proses Pikir


13

: Tidak didapatkan

1. Arus Pikir a. Kontinuitas b. Produktivitas

: : tidak relevan : normal

c. Hendaya berbahasa : logorrhea, neologisme 2. Isi Pikir : waham kejar (+) waham bizarre (+) 3. Bentuk : nonrealistik

G. Kesadaran dan Kognisi 1. Orientasi a. Orang b. Tempat c. Waktu : baik, pasien dapat mengenali keluarganya : baik, pasien merasa di rumah sakit : baik, pasien mengetahui waktu saat dilakukan

pemeriksaan d. Situasi : baik, pasien dapat mengenali kondisi sekitar saat ... pemeriksaan. 2. Daya Ingat : a. Jangka panjang : buruk, pasien tidak dapat mengingat dimana dia sekolah dulu. b. Jangka sedang : menurun, pasien tidak ingat apa yang dilakukan sebelum masuk RSJ c. Jangka pendek : baik, pasien dapat mengingat apa yang dimakan untuk sarapan 3. Daya Konsentrasi dan Perhatian a. Konsentrasi : berkurang

b. Perhatian

: menurun

4. Kemampuan Abstrak Pasien dapat membedakan dan menggambarkan perbedaan antara apel dan jeruk. 5. Kemampuan Menolong Diri Sendiri Baik. Pasien dapat makan, mandi, dan minum tanpa bantuan orang lain.
14

H. Tilikan Derajat I, pasien menyangkal bahwa dirinya sakit jiwa.

I. Taraf Dapat Dipercaya Secara keseluruhan informasi di atas dapat dipercaya.

J. Pengendalian Impuls Pasien dapat mengendalikan impuls dengan baik dan tidak menunjukkan agresivitas.

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT Pemeriksaan fisik A. Status interna : 1. Keadaan Umum: baik, kesan status gizi normoweight. 2. Tanda vital : Tekanan Darah Frekuensi Nadi Frekuensi Pernapasan Suhu 3. Kepala 4. Mata 5. Thoraks Pulmo : 120/80 mmHg : 86 x/menit : 20 x/menit : 36,5 oC : mesochepal, rambut hitam : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : :.suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), suara ..tambahan (-/-) Cor 6. Abdomen lien tidak teraba membesar Kesan B. Status Neurologi 1. Fungsi kesadaran : GCS E4V5M6
15

: .bunyi jantung I, II normal, reguler, bising (-) : supel, bising usus (+) normal, timpani, hepar dan

: Pemeriksaan status interna dalam batas normal

2. Fungsi luhur 3. Fungsi kognitif 4. Fungsi sensorik N N 5. Fungsi motorik Kontraksi otot +5 +5 +5 +5 Reflek fisiologis +2 +2 +2 +2 6. Nervus cranialis Kesan N N

: baik : baik : baik

: baik Tonus otot N N N N

Reflek patologis - - : N III, VII, XII dalam batas normal.

: Pemeriksaan status neurologi dalam batas normal

V.

FORMULASI DIAGNOSTIK Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan pola perilaku dan psikologis yang secara klinis bermakna dan menimbulkan suatu penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan fungsi pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasien ini menderita gangguan jiwa. Diagnosis Axis I Pada status mental didapatkan bentuk pikir non realistik sehingga pasien tergolong psikotik. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada pasien ini. Pada pasien juga tidak didapatkan adanya kejang ataupun trauma kepala yang berat sehingga sehingga diagnosis gangguan mental organik dapat disingkirkan. Dari anamnesis tidak didapatkan riwayat penggunaan zat-zat adiktif dan psikoaktif sebelumnya sehingga diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif (F10-F19) juga dapat disingkirkan. Pada status mentalis didapatkan gangguan persepsi yaitu halusinasi auditorik, gangguan proses pikir berupa waham kejar dan waham bizarre
16

yang menetap sehingga pasien masuk golongan psikotik. Dengan mempertimbangkan onset pasien lebih dari 1 bulan, penurunan realita yang terganggu dan gejala tersebut menimbulkan perubahan perilaku pribadi secara keseluruhan maka pasien memenuhi kriteria skizofrenia. Perubahan perilaku saat remaja dimana pasien sering marah dan pernah dirawat di RSJ Surakarta maka diagnosis banding bisa skizofrenia hebefrenik. Berdasarkan data-data yang telah disebutkan diatas, maka sesuai dengan kriteria PPGDJ III diusulkan diagnosis axis 1 pasien ini dengan: F.20.0 yaitu skizofrenia paranoid

Diagnosis axis II Pada pemeriksaan tidak didapatkan adanya suatu gangguan

perkembangan mental yang terhenti an tidak lengkap, pasien memiliki intelegensia yang baik sehingga Retradasi mental (F.70-79) dapat disingkirkan. Pasien masih mudah marah jika keinginan tidak dipenuhi. Kepribadian pasien membutuh kan wawancara tingkat lanjut, sehingga pasien ini masih belum ada diagnosis

Diagnosis axis III Berdasarkan hasil pemeriksaan status interna, neurologis, dan

pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan kelainan.

Diagnosis axis IV Masalah ekonomi dan keluarga. Pasien pengangguran hanya bergantung pada ibunya. Masalah kurangnya kasih sayang dari istri pasien.

Diagnosis axis V Skala GAF saat ini adalah 50-41 karena pasien memiliki gejala berat dan disabilitas berat.

V.

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
17

Axis I

: F.20.0 Skizofrenia Paranoid DD F.20.1 Skizofrenia Hebefrenik

Axis II

: Belum ada diagnosis

Axis III : Tidak ada diagnosa Axis IV : Masalah ekonomi dan keluarga Axis V : GAF saat ini 50-41

VI. DAFTAR MASALAH 1. Organobiologik 2. Psikologik a. Gangguan Pembicaraan b. Gangguan Alam Perasaan (mood dan afek ) c. Gangguan Persepsi (halusinasi auditorik, visual, ilusi) d. Gangguan Proses Pikir (bentuk pikir, arus pikir, isi pikir) e. Gangguan tilikan diri : tidak ada kelainan

VII.

RENCANA PENGOBATAN LENGKAP

A. Psikofarmaka Halloperidol 3 x 5mg Clorpromazine (CPZ) 1x100 mg Trihexilphenidine (THP) 3x2 mg B. Psikoterapi 1. Pengenalan terhadap penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan, efek samping pengobatan. 2. Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin kontrol setelah pulang dari perawatan. 3. Membantu pasien untuk menerima realita dan menghadapinya. 4. Membantu pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara bertahap. 5. Menambah kegiatan dengan ketrampilan yang dimiliki.

C. Psikoedukasi
18

Kepada keluarga : 1. Memberikan pengertian kepada keluarga pasien tentang gangguan yang dialami pasien. 2. Menyarankan kepada keluarga pasien agar memberikan

suasana/lingkungan yang kondusif bagi penyembuhan dan pemeliharaan pasien. 3. Menyarankan kepada keluarga agar lebih berpartisipasi dalam pengobatan pasien yaitu membawa pasien kontrol secara teratur

VIII.PROGNOSIS
Prognosis : ad vitam ad sanam : ad bonam : dubia ad malam

ad fungsionam : dubia ad malam

19

BAB III PEMBAHASAN

3.1 KONSEP SKIZOFRENIA 3.1.1 Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003). Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, miskin kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif

3.1.2 Epidemiologi Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 1525 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003). Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang
20

terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008). Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa

ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

3.1.3 Etiologi Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain : 3.1.3.1 Faktor Genetik Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%. Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).

21

3.1.3.2 Faktor Biokimia Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagianbagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007). 3.1.3.3 Faktor Psikologis dan Sosial Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tuaanak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005). Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007). Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.

3.1.4 Perjalanan Penyakit Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).
22

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003). Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).

3.1.5 Tipe-tipe Skizofrenia Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) : 3.1.5.1 Tipe Paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif. 3.1.5.2 Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
23

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari. 3.1.5.3 Tipe Katatonik Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia). 3.1.5.4 Tipe Undifferentiated Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan. 3.1.5.5 Tipe Residual Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinankeyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.

3.1.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi psikososial. 3.1.6.1 Terapi Biologis

24

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejalagejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan (Durand, 2007). Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007). Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara membuang stone of madness atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 195025

an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal. 3.1.6.2 Terapi Psikososial Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007). Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan

berkomunikasi. Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapanungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk

menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

26

3.2 KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS) Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006). Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien skizofrenia adalah hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien karena adanya kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007). Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk subtipe penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia. Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan. Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan kembali/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan.

27

3.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN MINUM OBAT Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada skizofrenia adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien skizofrenia adalah pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai dengan benar tetapi banyak dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat mereka secara rutin. Kira-kira 7% orang-orang yang diberi resep obat-obat antipsikotik menolak memakainya (Hoge, 1990). Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah studi follow-up sebagai contoh menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun, tiga diantara empat pasien yang diteliti menolak memakai obat antipsikotiknya selama paling tidak seminggu (Durand, 2007). Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya. Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan

mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan

mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain : 3.3.1 Penyakit Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada pasien lain. Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia
28

telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan kesembuhan kondisi. Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi dihentikan sebelum waktunya, ia akan lebih memperhatikan menggunakan obatnya dengan benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi kepatuhan pada kebanyakan pasien. Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan. Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika

memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif. 3.3.2. Regimen Terapi 3.3.2.1. Terapi Multi Obat Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.

29

3.3.2.2. Frekuensi Pemberian Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian. Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar

mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan. 3.3.2.3. Durasi dan Terapi Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok. 3.3.2.4. Efek Merugikan Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko. Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu
30

peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi. 3.3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik. 3.3.2.6. Harga Obat Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang dalam kasus lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga. 3.3.2.7. Pemberian/Konsumsi Obat Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL sampai 9mL. Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur dengan sendok teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi pasien, sempril oral atau alat penetes yang telah dikalibrasi untuk penggunaan cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi
31

serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah obat yang dimaksudkan. 3.3.2.8. Rasa Obat Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi untuk daya tarik serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah pemberian obat kepada pasien.

3.3.3 Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker, serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang merka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka. Berbagai faktor berikut adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada lingkup dan mutu interaksi dengan pasien. 3.3.3.1. Menunggu Dokter atau Apoteker Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya, kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit, 67% dari pasien tersebut benar-benar patuh. 3.3.3.2. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku pelayan kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah
32

sakit mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter. Walaupun uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan. Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan. Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat mempengaruhi bagaimana itu diterima, dimengerti, dan diingat. Pasien mengingat dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan; instruksi yang perlu penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi diberikan, semakin besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi secara sempurna. 3.3.3.3. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan akibat yang mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak mengesankan pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi pengharapan, mereka lebih cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian yang lebih besar diperlukan untuk memberi edukasi pada pasien tentang kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari terapi obat, akan berkontribusi pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan. 3.3.3.4. Pengertian yang Buruk Pada Instruksi

33

Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari jenis ini. Dari suatu studi pada sekitar 6000 resep, 4% dari resep itu terdapat instruksi pasien ditulis Sesuai Petunjuk. Akibat yang mungkin dari salah pengertian dapat serius. Misalnya, seorang pasien menggunakan tiga kali dua kapsul fenitoin (100mg) sehari, daripada seharusnya tiga kali satu kapsul sehari seperti instruksi dokter. Pada pasien skizofrenia yang menggunakan obat antipsikotik haloperidol 2,5 mg/hari dan fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari. Alasan untuk penggunaan instruksi oleh beberapa dokter Gunakan sesuai petunjuk telah diteliti. Walaupun penggunaan penandaan ini diadakan dalam situasi yang terseleksi dipertahankan, kemungkinan untuk membingungkan dan mengakibatkan kesulitan, dibuktikan dalam penelitian serta menyimpulkan bahwa perlu membuat instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin. Bahkan, apabila petunjuk kepada pasien sudah lebih spesifik dari sesuai petunjuk kebingungan masih dapat terjadi. 3.3.3.5. Pasien takut bertanya Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk menjelaskan kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan. Keraguraguan ini dapat dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status sosial, dan bahasa atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut. Interaksi pasien dengan pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat didorong dengan meningkatkan kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan. 3.3.3.6. Ketidakcukupan waktu konsultasi Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi dengan pasien karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit, waktu atau praktik sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi sautu masalah. Jika seorang pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu konsultasi, dapat terjadi hal yang lebih buruk. Biaya yang dikeluarkan pasien tinggi, berkenaan dengan waktu, transport dan pengeluaran untuk obat. Hal ini dapat meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap instruksi karena mereka merasa bahwa profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian pada penyembuhan penyakit mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar mempertimbangkan untuk memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien.
34

Profesional pelayan kesehatan harus didorong untuk mengerti bahwa komunikasi yang efektif dengan pasien bukanlah suatu ideal yang tidak realistik, tetapi merupakan suatu aspek inti dari keberhasilan praktik klinik. 3.3.3.7. Kesediaan Informasi Tercetak Ketaatan pada pengobatan mungkin meningkat, dengan tersedianya informasi tercetak dalam bahasa yang sederhana. Di beberapa negara maju, semua IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi untuk pasien, tersedia untuk setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang paling banyak digunakan dan obat yang paling banyak disalahgunakan dapat dicetak pada kertas murah.

35

BAB IV PENJELASAN

Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik,fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karekteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunt). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasa tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Pedoman Diagnostik Harus ada sedikitnya satu atau dua gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) a. Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitas berbeda ; atau Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil kelua oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal) ; atau Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. b. Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan dai luar; atau Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya atau pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar Delusion of percepsion = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasa bersifat mistik atau mukjizat. c. Halusinasi auditorik :
36

d.

e.

f.

g.

h.

Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau - Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau - Jenis suara halusinasi yang berasal dari salah satu bagian tubuh Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya bisa mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas : Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide belebihan (overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus; Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme, dan stupor; Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, respon emosional yang menumpul dan tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika; Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku peribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

Skizofrenia Paranoid : Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Sebagai tambahan : halusinasi dan/ waham harus menonjol

37

a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing); b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol; c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas; d. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relative tidak nyata, tidak menonjol.

38

BAB V KESIMPULAN

Skizofrenia merupakan psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas terbesar, pasien tidak mempunyai realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Skizofrenia berasal dari dua kata Skizo yang artinya retak atau pecah (spilit), dan frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofernia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splittingof of personality). Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis, 2005). Kriteria waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karekteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunt). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasa tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

39

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Jakarta : Refika Aditya Chandra,LS. 2008. Kenali Gejala Dini Skizofrenia demi Penyembuhannya. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/31/humaniora/1230010.htm. diakses pada tanggal 8 Februari 2013. Danardi Sosrosumiharjo. 2007. Kesehatan Jiwa Masyarakat, Kesehatan Jiwa Bangsa. http://masdanang.co.cc/?p=27 diakses pada tanggal 8 Februari 2013 Dorland. 2007. Ilustrated Medical Dictionary Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC

Indarini D. 2009. Hubungan antara Bentuk Dukungan Keluarga dengan Periode Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Prof.Soeroyo Magelang. Skripsi. Program Sarjana. Jakarta. FKM UI Gunadi, Paul. 2008. Gangguan Skizofrenia.

http://www.telaga.org/audio/gangguan_skizofrenia. diakses pada tanggal 8 Februari 2013 Iyus Yosep. 2008. Penyuluhan Kesehatan Jiwa dan Bahaya Napza di Desa Legok Kidul Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang.

http://www.google.co.id/search?q=gangguan+jiwa&hl=id&start=10&sa=N. diakses pada tanggal 8 Februari 2013 Kaplan and Shaddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara

Maramis, WF. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press. Maslim Rusdi. 2001. Diagnosa Gangguan Jiwa; Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.

40

Anda mungkin juga menyukai