BP2TPDAS
23 34.5
12 2002
LAPORAN
Oleh :
Beny Harjadi, Agus Wuryanto, Nining Wahyuningrum
KATA KUNCI : Lahan Kritis, Kriteria Lahan Kritis, Penginderaan Jauh, SIG
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
Hal
RINGKASAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Hasil yang Telah Dicapai 1
C. Tujuan dan Sasaran Kegiatan 2
D. Keluaran dan Dampak Hasil 2
V. PELAKSANAAN KEGIATAN 20
A. Persiapan 20
B. Pelaksanaan 23
C. Pelaporan 27
iv
DAFTAR TABEL
Hal
10. Tabel 10. Jenis dan Kondisi Teras di Sub DAS Alang 37
13. Tabel 13. Kondisi Kenampakkan pada Citra Landsat TM dengan analisis Secara 41
Visual dari Cetak Kertas di Sub DAS Alnag, Wonogiri
14. Tabel 14. Karakteristik Sinyal Radiometri Masing-masing Jenis Penutupan Lahan 42
di Sub DAS Alang, Wonogiri
15. Tabel 15. Perbandingan Deteksi Lahan Kritis Secara Visual dan Dengan 43
Komputerisasi
v
DAFTAR GAMBAR
Hal
2. Gambar 2. Bagan Alur Kegiatan Analisa Klasifikasi Citra Satelit Lahan Kristis 17
3. Gambar 3. Batuan Kapur Oolitik Limestone yang Porous Penyebab Lahan Tidak 24
Dapat Menyimpan Air
4. Gambar 4. Kondisi Lahan Miring Merupakan Salah Satu Penyebab Lahan Cepat 24
Kritis
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS, kriteria dan indikator
kinerja DAS perlu ditentukan karena keberhasilan maupun kegagalan hasil kegiatan pengelolaan
DAS dapat dimonitor dan dievaluasi melalui kriteria yang telah ditetapkan. Untuk analisis
tingkat kekritisan lahan, Indikator kriteria penggunaan lahan salah satunya ditetapkan
berdasarkan indeks erosi dan kemampuan penggunaan lahan,. Adapun identifikasi dan
klasifikasi tingkat kekritisan lahan dalam penetapannya belum ada kriteria yang tetap, akibatnya
maka perhitungan luasan lahan kritis selalu berubah sepanjang tahun sesuai kebutuhan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian untuk mengidentifikasi lahan
kritis dan penetapan tingkat kekritisannya dengan formula yang tetap. Dalam kajian berikut akan
dicobakan formula untuk penetapan tingkat kekritisan lahan dengan berbagai kriteria antara lain :
kelas KPL (Kemampuan Penggunaan Lahan) dan selisih tanah yang tersisa (perbedaan nilai
toleransi erosi dengan besarnya erosi) dibandingkan dengan analisis tingkat kekritisan lahan
dengan peralatan penginderaan jauh.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan Kajian Deteksi
Tingkat Kekritisan Lahan dengan Menggunakan PJ dan SIG dengan target pencapaian yaitu
untuk melihat penyebaran luasan dan tingkat kekritisan lahan dengan bantuan PJ (Penginderaan
Jauh) dan SIG (Sistem Informasi Geografi).
1
C. Tujuan dan Sasaran Kegiatan
Tujuan kajian deteksi tingkat kekritisan lahan dengan menggunakan penginderaan
jauh dan sistem informasi geografis, adalah :
10. menetapkan kriteria lahan kritis
11. mengklasifikasi lahan kritis berdasarkan kriteria lahan kritis
12. metode klasifikasi lahan kritis dengan PJ
13. memetakan lahan kritis lokasi penelitian dengan SIG.
Dari tujuan tersebut diharapkan dapat diperoleh teknik PJ dan SIG dalam rangka
mengidentifikasi tingkat kekritisan lahan dan sebaran luas lahan kritis pada suatu DAS (Daerah
Aliran Sungai).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
e. Pengelolaan tidak terpadu, pengelolaan dalam DAS yang seharusnya melibatkan seluruh
departemen dan interdisiplin ilmu jika ada keterpaduan dan sinkronisasi antara unit lembaga
satu dengan lainnya akan terjadi pemborosan dana dan hasil tidak maksimal.
f. Koordinasi lemah, ketiadaan koordinasi antar satu lembaga dengan lembaga yang lain akan
menimbulkan masalah DAS yang serius karena baik buruknya DAS tergantung bagaimana
pelaku di dalam DAS mengelolanya.
g. Kesadaran masyarakat lemah, kesadaran masyarakat untuk mempertahankan lahannya agar
tetap produktif kadang ada kendala biaya disamping itu juga kesadaran yang belum tumbuh
optimal.
h. Dana pemerintah terbatas, keterbatasan dana dari pemerintah jika tidak diimbangi pendanaan
secara swadaya dari masyarakat dalam mengelola lahannya masing-masing maka akan
berakibat timbulnya masalah DAS.
i. Institusi belum mantap, ketidakmantapan institusi dengan visi misi yang tidak jelas tentang
pengelolaan DAS, seolah-olah tidak ada institusi yang bertanggungjawab terhadap baik
buruknya suatu DAS.
j. Peraturan tumpang tindih, peraturan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah karena
kepentingan yang berbeda akan terjadi benturan yang mengakibatkan masalah DAS semakin
serius dan tidak pernah tuntas.
k. Konflik antar sector, kepentingan antar sector atau kegiatan masing-masing institusi untuk
saling mengambil peran dalam pengelolaan DAS dengan mengabaikan aspek lainnya akan
terjadi tarik ulur kepentingan.
l. Hulu hilir belum serasi, daerah hilir yang banyak menerima manfaat baik dari hulu Karena
endapan Lumpur yang membawa unsur-unsur hara dan suplai air dari atas ke daerah bawah
perlu ada kontribusi dari daerah hilir untuk kompensasi pada daerah hulu yang telah banyak
berkorban.
m. Pengembangan SDM belum sinkron dengan konservasi, SDM yang tersedia maupun SDM
yang dihasilkan dari pelatihan belum dapat menjawab tantangan dan permasalahan DAS
karena tidak semuanya terlibat langsung dalam pengelolaan lahan.
4
Lahan kritis ditinjau dari kesuburan tanah, merupakan lahan pertanian dengan suatu
kondisi sistem siklus hara, dimana terjadi penurunan kesuburan dalam arti jumlah dan jenis unsur
hara yang terkandung didalamnya yang diperlukan tanaman (Hardjowigeno, 1987). Sedangkan
dari sudut erosi, maka lahan kritis diartikan sebagai lahan pertanian dengan suatu kondisi dimana
laju hilangnya tanah akibat air hujan besarnya melebihi laju pembentukan tanahnya itu sendiri.
Lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan
tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannnya sebagai media
produksi maupun sebagai media tata air (Departemen Kehutanan, 2000). Sedangkan menurut
Dulbahri (1986) lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang kekurangan air pada musim kering
dan sebaliknya terjadi erosi dan kelebihan air pada musim penghujan. Disamping itu lahan kritis
merupakan lahan yang tidak sesuai antara penggunaan dengan kemampuannya, sehingga terjadi :
(a) kerusakan fisik, kimia dan biologi, (b) bahaya terhadap fungsi hidrologi, orologi, produksi
pertanian, pemukiman dan kondisi sosiak ekonomi. Puspics (1998) mendefinisikan lahan kritis
sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya
sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan.
Dari batasan atau pengertian lahan kritis yang ada, maka dapat ditentukan ciri-ciri
lahan kritis sebagai berikut :
1. kritis fisik, yang meliputi unsur :
a. kedalaman solum tanah dan efektif perakaran tanaman sudah tipis (dangkal)
b. lapisan padas sudah tampak dipermukaan (batuan singkapan)
c. lahan berbatuan permukaan, berjurang, dan berparit akibat erosi berat.
d. Erosi tanah melebihi erosi yang diperbolehkan.
5
2. kritis kimia, yang meliputi unsur :
a. produktivitas tanah menurun sangat rendah
b. terjadi keracunan pada tanaman karena akumulasi garam-garaman
c. terjadi gejala defisiensi pada tanaman akan unsur hara
3. kritis sosial ekonomi, yang meliputi unsur :
a. tanah ditumbuhi alang-alang, semak belukar atau bentuk-bentuk lainnya sebagai akibat
sistem perladangan berpindah.
b. Tanah-tanah bekas galian tambang atau perkebunan yang sudah diusahakan
4. kritis hidroorologis, yang meliputi unsur :
a. tanah gundul yang tidak ada vegetasinya atau hanya sedikit sekali
b. jarang jenis vegetasi yang dapat tumbuh.
Sehingga kerusakan lahan yang mengakibatkan lahan menjadi kritis disebabkan oleh
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan tingkat kemampuan lahan dan tidak sesuai
dengan tingkat kesesuaian lahan, akan berakibat pada kerusakan fisik, kimia maupun biologi
(Gambar 1).
Faktor-faktor lahan yang mempengaruhi tingkat kekritisan lahan antara lain meliputi
parameter :
a. Penggunaan lahan, adalah segala macam campur tangan manusia baik secara
permanen ataupun secara siklis terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan, yang dibagi menjadi dua bagian yaitu : penggunaan lahan perkotaan (non
pertanian) dan lahan pedusunan (pertanian)
b. Kemampuan lahan adalah bentuk evaluasi terhadap lahan untuk penggunaan
tertentu yang didasarkan pada sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah untuk
menentukan pola pemanfaatan lahan yang optimal dan lesatari (Tabel 1). Faktor-
faktor kemampuan lahan meliputi : kemiringan lereng, erosi, penggenangan,
drainase, kedalaman tanah, dan pH tanah.
6
Tabel 1. Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan dan Bentuk
Penggunaan Lahan
BENTUK PENGGUNAAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN
LAHAN I II III IV V VI VII VIII
1. Hutan H 0 0 0 0 0 0 0 0
2. Kebun K 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Pekarangan, Sawah PS 0 0 0 0 B B D D
4. Sawah, Pekarangan SP 0 0 A A B B D D
5. Sawah,Tegal, Pekarangan STP 0 0 A B B B D D
6. Pekarangan TSP A A B B C C D D
7. Tegal, Pekarangan TP A A B B C C D D
8. Pekarangan, Tegal PT A A B B C C D D
9. Hutan, Tegal, Pekarangan HTP B B C C D D D D
10. Tambak B C C C C C C C C
Sumber : Tim Fakultas Geografi, 1990
Keterangan 0 : Tidak kritis
A : Tingkat kekritisan ringan
B : Tingkat kekritisan sedang
C : Tingkat kekritisan berat
D : Tingkat kekritisan sangat berat
7
ASPEK FISIK, KIMIA, BIOLOGI ASPEK SOSIAL EKONOMI
1. Hujan 1. Tekanan ekonomi
2. Hidroorologi tata air 2. Kesadaran pelestarian
3. Fisik tanah lingkungan rendah
4. Kimia tanah 3. Daya tarik semua aspek
5. Biologi tanah dan kesempatan ekonomi
6. Kemiringan lereng 4. Pengetahuan dan
7. Tingkat erosi pendidikan rendah
KERUSAKAN LAHAN
1. Kimiawi
2. Fisik
3. Biologi
4. Hidroorologi
LAHAN KRITIS
8
Dengan memperhatikan lahan kritis yang selalu berhubungan dengan kondisi
kemampuan dan penggunaan lahan, maka lahan kritis akan mempengaruhi kesuburan tanah,
yang ditandai dengan besar kecilnya tingkat erosi yang akan menyebabkan semakin menipis
ketebalan solum tanah. Disamping itu faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan tanah
antara lain : iklim, relief, vegetasi, tanah, manusia, dan erosi.
a. Iklim : merupakan salah satu unsur penting yang sangat mempengaruhi erosi sekaligus
mempengaruhi kemampuan lahan. Unsur iklim yang sangat berpengaruh terhadap iklim
yaitu curah hujan yang meliputi lamanya hujan, distribusi hujan, dan intensitas hujan.
b. Relief : termasuk didalamnya panjang lereng dan derajat kemiringan lereng, yang terkait
dengan erosi ditentukan oleh bentuk lereng (cekung, cembung, komplek, dan teratur).
Disamping itu erosi tanah juga dipengaruhi oleh adanya vegetasi dan kerapatannya.
c. Vegetasi : untuk mengurangi tenaga pukulan hujan yang jatuh ke tanah juga untuk
mengurangi aliran permukaan yang akan mengurangi tenaga erosi. Kecepatan aliran
permukaan dan material tanah yang terangkut akan berkurang dengan adanya pohon, akar
tanaman, dan sisa-sisa tanaman dan daun-daun yang membusuk di permukaan tanah akan
menyerap air, sehingga akan mengurangi debit aliran permukaan dan juga mengurangi
adanya erosi.
d. Tanah : sifat fisik tanah yang meliputi struktur, tekstur, kedalaman efektif tanah,
kerapatan tanah, kelembaban tanah, dan sifat kimiawi serta biologis tanah. Sifat-sifat
tanah juga terkait dengan kapasitas infiltrasi yang berpengaruhi terhadap besarnya aliran
permukaan. Semakin besar kapasitas infiltrasi maka akan menurunkan aliran permukaan
dan menyebabkan berkurangnya tenaga erosi.
e. Manusia : aktivitas manusia merupakan faktor yang tidak permanen yang setiap saat
dapat merubah sifat fisik secara cepat. Peranan manusia terhadap tanah dapat diketahui
dari pola penggunaan lahan dan usaha-usaha pengawetan tanah yang dilakukan.
f. Erosi : erosi dapat terjadi secara normal atau erosi geologi dan ada erosi tanah atau erosi
yang dpercepat. Erosi normal berlangsung secara sangat lambat dan erosi ini sangat
menguntungkan karena dapat menyuburkan tanah. Sedangkan erosi tanah atau erosi
dipercepat yang disebabkan oleh tenaga dari luar seperti angin dan air merupakan erosi
yang merugikan dan berlangsung secara cepat.
9
Penetapan lahan kritis berbeda untuk setiap fungsi kawasan, yaitu ada kawasan hutan
lindung, budidaya untuk usaha pertanian, lindung di luar kawasan hutan, dan hutan. Lahan kritis
dalam hal ini tidak hanya dilihat dari tebal tipisnya solum tanah, banyak sedikitnya tanah
tererosi, ada tidaknya tanaman, ada tidaknya teras, maupun besar kecilnya curah hujan. Namun
lahan kritis lebih ditentukan oleh beberapa parameter komplek yang mendukung dalam hal
kesuburan tanah dan selisih tanah yang tersisa (Walker and Reuter, 1996). Pendekatan
kesuburan tanah ditetapkan dari nilai KPL (Kemampuan Penggunaan Lahan) sedangkan selisih
tanah yang tersisa dihitung dari nilai T (Tolerable Soil Loss) dibandingkan dengan besarnya erosi
(A). Tingkat kekritisan suatu Sub DAS/DAS diperoleh dari nilai-nilai indeks erosivitas yang
dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu : topografi, lereng, bentuk percabangan sungai dan penggunaan
lahan (Departemen Kehutanan, 1997). Sehingga dengan demikian dapat ditetapkan tingkatan
lahan kritis sebagai berikut (Tabel 2) :
Tabel 2. Kriteria Lahan Kritis Berdasarkan Biofisik Tanah
No. KONDISI LAHAN TINGKAT KEKRITISAN
SISA TANAH KPL KRITIS KODE
1 A<T I, II Tidak kritis K0
2 T < A < 1,1*T III, IV Ringan K1
3 1,1*T < A < 1,3*T V, VI Sedang K2
4 A > 1,3*T VII, VIII Berat K3
10
Peranan penginderaan jauh dan SIG dalam identifikasi tingkat kekritisan lahan pada
saat interpretasi atau analisis maupun sebagai pedoman di lapangan dapat dilihat pada Lampiran
2.
Untuk menentukan lahan kritis dengan penginderaan jauh maka perlu dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. melakukan identifikasi obyek sebagai dasar klasifikasi penggunaan lahan
b. melakukan identifikasi obyek sebagai dasar klasifikasi kemampuan lahan
c. mengukur ketidaksesuaian antara pola penggunaan lahan dengan kemampuan
lahan.
Peranan penginderaan jauh pada penentuan lahan kritik ditentukan oleh komponen
yang tampak tergambar pada citra karena adanya :
a. karakteristik spektral (sinyal radiometri)
b. karakteristik spasial (sinyal geometri)
c. karakteristik temporal (pengambilan berbeda/multitemporal)
d. karakteristik band tunggal atau kombinasi band (multispektral).
Penilaian secara langsung terhadap lahan kritis menggunakan teknik penginderaan
jauh menurut Dulbahri (1986) sukar dilakukan karena konsep lahan kritis bertolak dari keadaan
lahan yang tidak menentu, yang ditentukan oleh beberapa faktor dan selalu berubah menjadi baik
(pengelolaan oleh manusia) atau semakin buruk (karena ditelantarkan).
11
mengenali masing-masing obyek dengan berpedoman pada 8 unsur : Rona, Warna, Bentuk,
Ukuran, Tekstur, Pola, Situs, Asosiasi (BTPDAS, 1986).
Unsur-unsur interpretasi citra foto udara maupun citra satelit yang telah dicetak hard
copy, meliputi :
a. Rona (tone/colour tone/grey tone) yaitu tingkat kegelapan obyek pada foto hitam putih yang
merupakan gradasi dari hitam ke putih atau sebaliknya. Rona dan warna merupakan
karakteristik spektral sinyal radiometri yang dipantulkan, yang merupakan unsur interpretasi
primer karena yang pertama kali tampak sebelum ciri yang lainnya.
b. Warna, merupakan wujud obyek yang hanya memantulkan sinar untuk warna putih dan
menyerap sinar untuk warna hitam. Sedangkan warna obyek lain merupakan perpaduan sinar
pantulan dari warna dasar biru, merah dan hijau.
c. Bentuk, merupakan obyek karakteristik spasial yang merupakan susunan umum atau struktur
yang bentuknya lebih terinci yang memudahkan pengenalan obyek pada citra. Meskipun
sering terjadi distorsi pada citra radar maupun citra satelit namun kunci pengenalan bentuk
tersebut sangat penting.
d. Ukuran, ialah ciri obyek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume suatu obyek
yang merupakan fungsi skala untuk mengukur obyek sebenarnya di lapangan di bandingkan
obyek dalam citra atau gambar..
e. Tekstur, frekwensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona gabungan obyek yang
berdekatan yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual, yang dinyatakan dengan
kasar, sedang dan halus.
f. Pola, atau susunan keruangan yang merupakan ciri untuk menandai bagi banyak obyek
bentukan manusia dan bagi beberpa obyek alamiah.
g. Site, adalah lokasi suatu obyek dalam hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, yang
diartikan juga lokasi maupun satuan terkecil dari suatu medan.
h. Asosiasi, beberapa obyek yang dikenal melalui hubungannya dengan adanya atau tanpa
adanya obyek lain.
Analisis citra satelit dengan cara komputerisasi langsung dilakukan dengan klasifikasi
berbantuan dengan berdasarkan data dari lapangan dan sinyal spesifik radiometri yang
ditunjukkan dengan nilai spektral, serta sinyal geometri yang menunjukkan tentang letak lokasi
dan kaitannya dengan keruangan.
12
13
III. METODOLOGI PENELITIAN
C. Rancangan Penelitian
Keperluan data dasar sebagai data sekunder untuk keperluan perencanaan sebelum
melakukan identifikasi di lapangan, antara lain berupa citra satelit, beberapa peta, foto udara, dan
berbagai sumber laporan. Penggunaan citra satelit SPOT atau Landsat dipakai untuk
menganalisa, mengidentifikasi dan mengklasifikasi tingkat kekritisan lahan.
Kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran kajian maka diperlukan tahapan-tahapan
rancangan penelitian sebagai berikut :
14
1. konsultasi dengan instansi yang terkait dan upaya mencari data pendukung berupa
peta topografi, peta administrasi, peta geologi, peta tanah, peta land use, dan citra
satelit yang tersedia.
2. pembuatan peta dasar sebagai pedoman pelaksanaan orientasi dan survei setiap
sampel unit lahan yang telah ditetapkan di lapangan.
3. pelaksanaan orientasi wilayah dengan menjelajahi seluruh areal yang akan diteliti
untuk menetapkan calon sampel unit lahan yang akan didatangi.
4. digitasi seluruh peta unit lahan untuk memasukan data grafis dan data angka serta
membantu analisis citra satelit pada saat koreksi geometri.
5. survei lapangan dengan mendatangi beberapa sampel unit lahan yang telah
ditetapkan dalam rangka pengumpulan data biofisik ISDL meliputi parameter
tetap dan parameter berubah.
6. komputerisasi data dasar dari lapangan dan hasil reinterpretasi citra satelit serta
editing data grafis.
7. analisis tingkat kekritisan lahan berdasarkan citra satelit dan data lapangan.
8. rechecking lapangan untuk memastikan data yang dipandang meragukan atau data
kurang lengkap serta tidak jelas kenampakkan pada citra satelit.
9. produksi peta dan pembuatan laporan.
15
16
Data Citra Satelit Peta Dijital Multitema
Tahun 2002 Sub DAS Alang
DTW Wonogiri Wonogiri
18
IV. RINCIAN BIAYA
Dalam rangka mendukung kegiatan kajian deteksi tingkat kekritisan lahan dengan
menggunakan PJ dan SIG maka diperlukan biaya penelitian untuk tahun dinas 2002 sebesar Rp
30.655.000,- (Tiga Puluh Juta Enam Ratus Lima Puluh Lima Ribu Rupiah), dengan rincian biaya
sebagai berikut (Tabel 3) :
Tabel 3. Biaya Penelitian yang Diperlukan untuk Menyelesaikan Kajian Deteksi Tingkat
Kekritisan Lahan dengan Menggunakan PJ dan SIG Tahun 2002
19
V. PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Persiapan
1. Konsultasi
a. Puspics – UGM/Pusat Perpetaan Ilmu Kebumian :
Sebelum survei lapangan diperlukan beberapa bahan antara lain berupa Citra satelit dan Peta
Digital Sub DAS Alang.
b. Kepala Desa :
Meminta informasi tentang kondisi penutup lahan dan kondisi tingkat kekritisan lahan serta
menanyakan upaya-upaya rehabilitasi lahan apa yang telah dilakukan untuk
mengelola lahan kritis, agar tidak semakin kritis.
c. Tokoh Masyarakat :
Wakil masyarakat yang tinggal di wilayah Sub DAS Alang diminta pendapatnya tentang
persepsi lahan kritis ditinjau dari kondisi lahan secara fisik, kimia dan ekonomi.
2. Orientasi :
a. Penjelajahan seluruh wilayah Sub DAS Alang yang dibatasi oleh :
- Sebelah utara Sub DAS Unggahan
- Sebelah barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Sebelah selatan wilayah pantai selatan.
- Sebelah timur Sub DAS Solo Hulu.
b. Jalan aspal utama hanya dari jurusan Solo ke pasar Pracimantoro, sedangkan jalan aspal
yang masuk ke desa-desa hanya yang berdekatan dengan jalan utama. Sebagian besar
jalan makadam dari batu kapur meliputi hampir seluruh Sub DAS Alang dan ada juga
yang masih jalan tanah pada daerah dataran yang jauh dari perbukitan kapur.
c. Saluran irigasi mengalir pada musim penghujan yang disuplai dari Waduk Song putri dan
waduk Nawangan, sedangkan pada musim kemarau hampir semua waduk maupun song
tidak ada airnya sama sekali.
d. Obyek wisata selain waduk juga ada gua yang baru ditemukan pada tahun 1991 yaitu Goa
Putri Kencana, perlu ditunjang dengan sarana yang memadai terutama ketersediaan air
sepanjang tahun, karena untuk telepon dan listrik sudah masuk disekitar lokasi.
20
3. Pelaksanaan Survei orientasi :
a. Survei orientasi dimaksudkan untuk mengenal medan dan penjelajahan seluruh jalan
aspal, makadam dan jalan tanah dengan mengidentifikasi sampel-sampel lahan yang
didatangi setiap unit lahan yang diinventarisasi kondisi biofisik.
b. Pengambilan sampel tanah untuk chek silang dari hasil sidik cepat analisis biofisik dan
kimia di lapangan, antara lain meliputi tekstur, pH tanah, konsistensi, bahan organik, dll.
c. Dari hasil survei orientasi selanjutnya dibuat :
- Kartu lapangan ISDL.
- Blanko lapangan
- Kunci identifikasi dan analisis citra satelit.
4. Pembantu Survei :
- Dalam pelaksanaan orientasi maupun survei diperlukan tenaga pembatu dengan upah
harian untuk membantu dalam hal :
a. Pengambilan sampel tanah dengan pisau lapangan maupun dengan bor tanah.
b. Membawa perbekalan lapangan dan penunjuk untuk menuju beberapa sampel unit
lahan yang sudah ditentukan.
c. Memasang meteran untuk mengukur kedalaman solum, efektif perakaran dan
kedalaman regolit.
d. Membantu keperluan lain dalam rangka mengumpulkan data biofisik untuk
melengkapi blanko ISDL (Inventarisasi Sumber Daya lahan).
5. Hasil Survei Orientasi :
b. Kunci interpretasi visual dan analisis deteksi /citra satelit dengan melihat kondisi
lapangan dibandingkan dengan kenampakan pada citra satelit.
c. Pengambilan sampel tanah setiap unit lahan yang dikunjungi untuk melengkapi data
biofisik dan kimia tanah untuk membantu penetapan KPL, KKL dan tingkat kekritisan.
d. Penetapan beberapa unit lahan yang akan dijadikan sampel untuk pelaksanaan survei
selanjutnya.
21
- Secara umum kondisi Sub DAS Alang dalam keadaan kritis, yang disebabkan
oleh :
a. Dominasi batuan kapur (Limestone Oolistik) yang sangat keras dan sulit ditembus
perakaran pada daerah Karst perbukitan dan pegunungan.
b. Solum tanah dangkal pada daerah yang berlereng miring, curam sampai terjal
sehingga tanaman keras jarang dan banyak semak belukar.
c. Ketersediaan air tanah bagi tanaman rendah karena batuan kapur cepat sekali
meloloskan air hujan yang jatuh, sehingga musim kemarau sulit mendapatkan air
untuk dikonsumsi maupun untuk irigasi.
d. Batuan sedimen liat hitam pada daerah bawah yang bertopografi dataran sampai
berombak, dimana tanah Vertisol tersebut sulit untuk budidaya pertanian, apalagi pada
musim kemarau maka tanah pecah-pecah dan menyebabkan terputusnya perakaran
tanaman.
e. Beberapa lahan kritis sudah dikelola dengan baik oleh masyarakat dengan membuat
teras dari batu kapur sekitar lokasi.
7. Kondisi lahan kritis :
- Kondisi lahan kritis di Sub DAS Alang bisa secara fisik, karena :
a. Solum dangkal
b. Lereng curam sampai terjal
c. Batu kapur di permukaan atau batuan singkapan yang keras dan porous.
d. Ketersedian air rendah.
e. Tekstur liat berat pada Vertisol.
- Kondisi lahan kritis secara kimia di Sub DAS Alang :
a. Kandungan bahan organik rendah
b. Ketersedian hara rendah bagi tanaman
c. Kemasaman tanah yang ekstrim (asam/alkalis)
- Lahan Kristis secara ekonomis ;
a. Produktivitas lahan rendah
b. Biaya produksi dan konservasi tanah sangat tinggi
c. Lahan tidak mampu berproduksi sepanjang tahun
22
8. Kriteria lahan Kristis :
Dari hasil survei dan orientasi Sub DAS Alang dapat diambil kesimpulan untuk analisis
lahan kritis dari data lapangan dan citra satelit :
a. Data Lapangan
Lahan kritis jika memenuhi satu atau beberapa kriteria lahan kritis secara fisik, kimia
dan ekonomis.
b. Analisis Citra Satelit :
Diketahui lahan kritis dengan citra satelit dapat diperoleh dengan pendekatan kritis
secara fisik dari kombinasi kanal maupun dari sinyal radiometrik tentang :
9 Kondisi penutupan alahn
9 Kemiringan lereng
9 Deteksi jenis tanah dan formasi geologi
9 Tingkat kelembaban tanah atau ketersediaan air.
B. Pelaksanaan
Kekritisan lahan di Sub DAS Alang lebih banyak ditentukan oleh kondisi fisik
lapangan, antara lain meliputi permasalahan :
- Kekurangan air, karena batuan kapur porous (Oolistik limeston) tidak dapat
menyimpan air dan lebih sering melewatkan air secara cepat dan menjadi aliran
bawah permukaan (Gambar 3).
- Solum dangkal, karena banyaknya batuan singkapan dan batuan permukaan sehingga
mengganggu pertumbuhan akar tanaman.
- Kemiringan lereng, pada daerah perbukitan dan pegunungan memiliki kemiringan
curam sampai terjal (Gambar 4).
Upaya yang telah dilakukan masyarakat untuk rehabilitasi lahan dalam rangka
mencegah berkembangnya lahan kritis:
- Menggali batu singkapan untuk bahan tambang kapur kalsit dan dolomit untuk kapur
pertanian atau bangunan
- Menguatkan tampingan teras dengan pecahan batu kapur dari batu permukaan dan
singkapan.
23
-
-
-
Gambar 3. Batuan Kapur Oolitik Limestone yang Porous Penyebab Lahan Tidak Dapat Menyimpan Air
Gambar 4. Kondisi Lahan Miring Merupakan Salah Satu Penyebab Lahan Cepat Kritis
24
- Memperdalam solum tanah dengan menggali batu singkapan (batuan induk) atau
mendatangkan tanah dari bawah (dataran banjir)
- Menyediakan air dari sumber mata air di pegunungan dengan memasang selang-
selang yang panjang dari pegunungan ke pemukiman dan ke lahan tegalan.
Secara garis besar lahan kritis di Sub DAS Alang dapat ditemui di derah:
- Pegunungan, karena solum dangkal, lahan curam banyak batuan singkapan dan
kekurangan air, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.
- Perbukitan, karena solum dangkal, lahan miring, batuan singkapan dan permukaan
yang porous sehingga air tidak dapat disimpan dalam tanah.
- Alluvial-colluvial, karena solum dangkal erosi berat (erosi jurang dan tebing sungai)
serta sedimentasi.
- Dataran, karena liat berat (black clay) sehingga tanah retak dan perakaran putus jika
terjadi kekeringan panjang.
Kriteria Penetapan Lahan Kritis, pada setiap kawasan berbeda :
a. Kawasan Hutan Lindung : Penutupan lahan, Kemiringan lereng, Erosi,
dan Manajemen
b. Kawasan Budidaya untuk Usaha Petanian: Produktivitas lahan,
Kemiringan lereng, Erosi, dan Manajemen.
c. Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan: Vegetasi permanen,
Kemiringan lereng, Erosi, dan Manajemen.
d. Kawasan Hutan : Tidak ditentukan karena lahan kritis hanya untuk waktu
yang pendek.
Faktor-faktor lahan kritis :
a. Penggunaan lahan :
- Penggunaan lahan kota (non pertanian/ pemukiman)
- Penggunaan lahan pedusunan (pertanian)
- Penggunaan lahan pegunungan(kehutanan)
25
b. Kemampuan lahan :
- Kemiringan lereng
- Erosi
- Penggenangan
- Drainase
- Kedalaman efektif tanah
- Tekstur tanah
- pH tanah
Penentuan komponen yang tampak, tergambar pada citra sebagai akibat adanya sifat
karakteristik spektral dan komponen yang dapat ditarik berdasarkan analisis baik keruangan,
ekologi dan temporal.
Penentuan lahan kritis melalui teknik penginderaan jauh:
- Mendapatkan besaran dan identifikasi obyek sebagai dasar klasifikasi
penggunaan lahan
- Mendapatkan besaran dan identifikasi obyek sebagai dasar klasifikasi
kemampuan lahan
- Mengukur ketidaksesuaian antara pola penggunaan lahan dan kemampuan
lahan.
26
C. Pelaporan
27
(VIII) maka lahan akan semakin kritis, sebaliknya dengan semakin rendahnya KPL maka lahan
akan semakin subur.
28
a. Kedalaman tanah dan regolit
Kondisi kedalaman tanah dan regolit di Sub DAS Alang dapat dilihat pada Tabel 4
berikut ini.
Lahan agak dangkal sampai dengan dangkal merupakan kondisi lahan yang kritis
yaitu seluas 7.191,41 ha (37,53%), kondisi tersebut perlu segera ditangani dengan cara sering
dilakukan pengolahan lahan dan pengelolaan lahan. Pengelolaan lahan untuk di daerah berbatu
kapur atau vulkanik dilakukan dengan mengambil batu-batuan kapur tersebut untuk bahan
bangunan rumah atau untuk pengerasan jalan dan dapat juga untuk penguat teras pada tampingan
yang biasanya dengan menggunakan rumput. Disamping itu untuk mempercepat proses
desintegrasi batu-batuan tersebut dilakukan penanaman tanaman keras khususnya tanaman yang
mengandung bahan masam seperti Pinus, agar lebih cepat membantu proses dekomposisi
maupun desintegrasi batu-batuan. Dekomposisi tanah dapat dipercepat dengan penambahan
29
pupuk organik baik pupuk kandang maupun pupuk kompos. Tanah dangkal pada daerah kapur
relatif subur karena pada kemasaman tanah yang netral atau agak basa hampir semua hara
tersedia bagi tanaman. Penghambatnya hanya pada perkembangan perakaran tanaman
khususnya untuk tanaman yang memiliki perakaran dalam.
Kedalaman regolit merupakan kedalaman tanah sampai bahan induk dimana
perakaran masih dapat menembus sampai batas akhir pada batuan induk, karena regolit sampai
pada bahan induk yang telah mengalami pelapukan lanjut atau belum mengalami pelapukan.
Tanah dengan regolit dalam di Sub DAS Alang terletak pada daerah dataran dekat waduk
sehingga kondisinya selalu jenuh dengan air (instrusi air dari waduk) dan sebagian tanah
Vertisols memerlukan persyaratan kedalaman vertik/rekahan lebih dari 50 cm. Regolit yang
dalam terdapat juga pada tanah Inceptisols terletak di daerah perakaran dengan bentuk lahan
Alluvial-Colluvial (5.863,91 ha = 30,60%). Sedangkan regolit ekstrim dangkal pada tanah-tanah
Entisols di daerah perbukitan atau pegunungan kapur (Karst) yang hanya memiliki lapisan olah
yang sangat tipis dan langsung dibawahnya batuan induk (R) atau bahan induk (C).
Tanah dangkal yang langsung dilapisi horison R dapat dilakukan pengelolaan lahan
untuk mengurangi tingkat kekritisan lahan dengan cara sebagai berikut :
- menambah pupuk organik untuk membantu percepatan proses dekomposisi dan
desintegrasi.
- Menanam tanaman keras yang perakarannya dapat menembus batuan padu seperti
batu kapur (kalsit, dolomit, Oolitik, dll).
- Menambang batu kapur keras dan padu untuk keperluan lain diluar pertanian,
seperti : menguatkan teras, mengeraskan jalan dan merenovasi bangunan.
b. Batuan singkapan dan batuan permukaan
Luas dan prosentase penyebaran batuan singkapan dan batuan permukaan dapat
dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 5.
30
4 Berlebih 40 – 60 1.548,2 8,01 199,6 1,04
5 Melimpah 60 – 80 220,7 1,15 - -
6 Extrim melimpah > 80 9,1 0,04 49,1 0,26
19.162,8 100,00 19.162,8 100,00
31
Gambar 5. Peta Prosentase Batuan Permukaan dan Batuan Singkapan, di Sub DAS Alang,
Wonogiri
32
Semakin banyak prosentase batuan singkapan dan batuan permukaan pada suatu
lahan maka diindikasikan bahwa lahan tersebut dalam keadaan kritis. Hal tersebut karena lahan
dengan batuan singkapan biasanya memiliki solum yang dangkal seperti pada tanah Entisols
yang memiliki lapisan tanah olah tipis sekali yaitu dibawahnya langsung batuan induk (.R) atau
bahan induk (C). Di Sub DAS Alang batuan singkapan terdapat pada perbukitan karst dengan
bahan induk batu kapur yang terletak sekitar batas Sub DAS bagian atas seluas 8.181,7 ha
(42,7%) untuk kategori sedang. Sedangkan untuk batuan singkapan untuk kategori ekstrim
melimpah hanya sedikit sekali yaitu seluas 9,1 ha (),04%) disekitar perbukitan karst yang
memiliki lereng curam sampai terjal. Kalau batuan singkapan merupakan batuan yang muncul
ke permukaan karena adanya erosi besar-besaran yang disebabkan lahan miring atau tanah
porous, sehingga batuan tersebut sulit dipindahkan dari tempatnya karena merupakan batuan
induk yang sangat besar dan menyatu dengan bumi. Sedangkan batuan permukaan yaitu batuan
yang terletak diatas permukaan tanah yang memiliki ukuran dari kerikil sampai batu besar
sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Batuan permukaan berukuran besar
dan dalam jumlah banyak sangat berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan, sebaliknya
batuan permukaan yang memiliki ukuran kecil dan jumlahnya hanya sedikit tidak terlalu
mengganggu pada saat pengolahan tanah dan juga tidak mengganggu pada saat pertumbuhan
maupun saat produksi tanaman.
c. Kemiringan lereng
Kelas kemiringan lereng yang merupakan faktor utama untuk menilai lahan dalam
kondisi kritis atau tidak disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 6.
33
9 Terjal I > 85 85,5 0,45
19.162,8 100,00
34
Gambar 6. Peta Kelas Kemiringan Lereng Sub DAS Alang, Wonogiri.
35
Semakin terjal kemiringan lereng maka lahan akan semakin kritis karena solum tanah
akan semakin dangkal, batuan singkapan lebih banyak dan produktivitas lahan menurun. Di Sub
DAS Alang yang didominasi bentuk lahan perbukitan karst memiliki lereng curam dan hanya
sedikit yang terjal seperti pada daerah yang memiliki bentuk lahan pegunungan karst. Di daerah
bawah atau hilir yang berdekatan dengan outlet sebagian besar datar dan agak miring pada tanah
Inceptisols dan Vertisols seluas 7.656,3 ha. Lahan kritis terdapat pada lahan yang berkemiringan
sangat curam sampai terjal yang memiliki solum tanah dangkal. Disamping itu lahan kritis juga
terdapat pada lahan datar yaitu untuk tanah Vertisols yang bertekstur liat berat. Tekstur liat berat
dengan kandungan liat montmorilonit tipe 2:1 memiliki sifat kembang kerut yaitu tanah akan
mengembang pada saat jenuh air dan mengkerut saat kering panjang. Kondisi ekstrim tersebut
sama merugikan bagi tanaman khususnya tanaman semusim yaitu pada saat mengkerut banyak
perakaran yang putus karena rekahan tanah, sebaliknya pada saat mengembang banyak unsur
hara yang terjerap oleh lapisan liat, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada daerah yang
memiliki kemiringan lereng yang terjal cenderung menjadi kritis karena beberapa sebab antara
lain :
- solum tanah lebih dangkal
- lebih banyak batuan singkapan dan batuan permukaan
- produktivitas lahan rendah
- jenis dan tingkat erosi berat.
Untuk mencegah lahan menjadi kritis maka perlu diusahakan rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah dengan cara mencegah agar kondisi yang menyebabkan lahan menjadi kritis
tersebut tidak terjadi.
Lahan termasuk kritis jika kemiringan lereng telah melebihi dari 45 %, yaitu seluas
3.011,3 ha di Sub DAS Alang (11,46%). Apalagi lahan yang memiliki kemiringan > 45% tidak
sesuai dengan peruntukkannnya, antara lain Untuk :
- tanaman hutan atau permanen
- tidak dilakukan terasering
- ditelantarkan tanpa ada tanaman
- masih diusahakan tanaman semusim
36
d. Tekstur tanah
Kondisi tekstur tanah dapat ditunjukkan dari jenis tanah yang ada di Sub DAS Alang
yaitu ada 3 ordo yaitu : Entisols, Inceptisols, dan Vertisols yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Luasan Ordo Tanah di Sub DAS Alang
NO ORDO TANAH KELAS TEKSTUR LUAS (HA) PROSEN (%)
1 Entisols Kasar (Loam) 7.636,9 39,85
2 Inceptisols Sedang (Clay Loam) 5.990,4 31,26
3 Vertisols Sangat halus (Clay) 5.535,5 28,89
19.162,8 100,00
Kondisi tanah Entisols yang dicirikan oleh solum yang dangkal, tekstur kasar dan
bahan organik rendah merupakan indikator lahan kritis yaitu seluas 7.636,9 ha (39,85 %).
Disamping itu juga kekritisan lahan pada tanah pertanian ditentukan oleh kandungan liat yang
tinggi yang menimbulkan retakan tanah saat musim kering dan panas pada ordo tanah Vertisols
seluas 5.535,5 ha (28,89%). Dari dua jenis tersebut penanggulangan pencegahan lahan kritis
berbeda yaitu untuk tanah Entisols dengan batu kapur Oolitik Limestone dilakukan dengan
berbagai cara antara lain :
- mengambil batuan singkapan dan batuan permukaan dari bidang olah agar lapisan
olah tanah semakin dalam dan tidak ada gangguan batuan induk.
- Membuat teras sejajar kontur dengan penguat teras dari pecahan batu kapur yang
diambil dari bidang olah.
- Menyediakan air dengan pembuatan sumur artesis, karena pada lahan berkapur
maka drainase sangat cepat sehingga tidak ada air yang diserap tanah sebagai
cadangan air tanah untuk tanaman pada musim kemarau.
- Menambah bahan organik dengan pemberian pupuk kandang atau pupuk kompos
untuk mempercepat proses penghancuran batu kapur yang keras.
Sedangkan untuk tanah dengan solum dalam seperti Vertisols dalam rangka
mencegah agar lahan tidak cepat kritis maka dilakukan dengan cara :
- menambah bahan pasir sehingga tekstur dapat berubah dari liat berat menjadi agak
kasar.
37
- Menggenangi tanah dengan air sehingga tidak ada kesempatan tanah untuk
merekah dan memudahkan dalam pengolahan tanah.
- Penanaman tanaman lamtoro untuk penyediaan unsur nitrogen, karena tanah vertik
dengan kandungan liat tipe 2 : 1 Montmorilonit sering menyerap unsur hara
terutama hara makro NPK besar-besaran.
Drainase jelek terjadi pada tanah-tanah dangkal dengan batuan vulkanik dan bukan
batu kapur, atau pada tanah dalam dengan kandungan liat yang tinggi, atau juga pada daerah
bawah yang mengalami genangan air sepanjang tahun. Drainase sangat jelek si Sub DAS Alang
(4.252,5 ha =22,2%) sebagian besar pada tanah Vertisols terutama pada daerah Alluvial-
Colluvial yang berdekatan dengan dataran banjir atau tepi sungai. Sedangkan drainase cepat
pada daerah atas yang relatif kering dan didominasi oleh batu kapur yang mempunyai daya serap
tinggi terhadap air dan mudah sekali meloloskan air karena banyak rongga diantara batu kapur.
38
Pembuangan air atau drainase selain ditentukan oleh jenis tanah dan kandungan
batuan, juga ditentukan oleh tingkat kemiringan lereng dan kerapatan tanaman bawah. Pada
lahan yang semakin miring dan tanah terbuka maka drainase akan semakin baik, sebaliknya
lahan yang relatif datar dan tanaman rapat maka drainase jelek. Pada daerah datar drainase dapat
dipercepat dengan pembuatan saluran drainase dan pada daerah yang berkapur dan tidak ada
batuan yang padu.
Tipe batuan juga merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam mengelola lahan,
kalau tidak maka lahan akan cepat menjadi kritis (Tabel 9).
Dari jenis batuan tersebut yang termasuk kategori kritis yaitu tanah dengan
kandungan liat hitam (Sb) seluas 4.935,4 ha (25,7 %) dan batuan kapur padu dan Oolitik (Sl)
seluas 6.990,8 ha (36,5 %). Tekstur liat berat pada batuan sedimen liat hitam sangat sulit untuk
diolah terutama pada musim kering yang panjang, karena tanah akan menjadi sangat keras dan
pecah-pecah, maka sering dilakukan pengolahan tanah dengan linggis untuk membalikan
bongkahan tanah. Disamping itu liat berat juga menyerap beberapa unsur hara sehingga tidak
tersedia bagi tanaman, begitu juga tanaman semusim juga sering mati karena perakaran putus
oleh terjadinya rekahan tanah. Pada daerah perbukitan Karst di Sub DAS Alang didominasi
batuan kapur yang keras dan mudah berlubang oleh gerusan air hujan, sehingga tidak dapat
menyimpan air dan tanah dangkal atau sulit ditembus oleh perakaran tanaman.
39
Jenis dan kondisi teras merupakan salah satu upaya dalam pengelolaan lahan untuk
melakukan konservasi tanah dan air (Tabel 10).
40
Tabel 10. Jenis dan Kondisi Teras di Sub DAS Alang
NO BENTUK TERAS SIMBOL LUAS (HA) PROSEN (%)
1 Teras bangku datar Bl 13.018,3 67,24
2 Teras miring kedalam Br 213,1 1,40
3 Teras miring keluar Bo 112,3 0,59
4 Teras campuran Bm 80,4 0,42
5 Tidak berteras Nt 1.936,4 10,10
6 Teras lain - 3.802.3 19,84
19.162,8 100,00
Kondisi lahan yang sebagian sudah berteras maka dapat mempertahankan atau
menaikkan tingkat produktivitas lahan, sehingga dapat mengurangi tingkat kekritisan lahan.
Pada lahan persawahan dibuat bangunan teras bangku datar (BL), untuk tanah tegalan dibuat
teras bangku miring kedalam (Br) dan pada lahan yang masih relatif miring dilakukan
pembuatan teras secara bertahap yaitu dengan bentuk teras yang masih berkembang pada teras
miring keluar (Bo). Teras bangku pada daerah yang tidak berkapur biasanya pada tampingan
diperkuat dengan rumput-rumputan, sedangkan pada daerah berkapur dilakukan penguatan teras
dengan tumpukan batu kapur. Keunggulan penguat tampingan dari batu kapur dibandingkan
dengan rumput-rumputan, antara lain :
- relatif kuat dan resapan air masih dapat menembus di sela-sela batu-batuan,
sehingga tidak mudah rusak bangunan terasnya.
- Tidak terjadi perebutan unsur-unsur hara yang dapat mengganngu tanaman pokok,
sehingga pada tampingan teras yang ada rumputnya sering dibersihkan dengan
memangkas rumput sampai habis.
- Tidak perlu ada perawatan intensif seperti pada tampingan dengan penguat
rumput yang selalu harus disiangi, disulam dan dipotong pada saat rumput sudah
tinggi-tinggi.
41
Upaya-upaya yang dilakukan masyarakat Sub DAS Alang sudah cukup baik yaitu
dengan membuat teras-teras dan bangunan konservasi tanah lainnya dengan penguat dari batu
kapur. Sedang sisanya yang belum dilakukan konservasi tanah dengan sempurna tinggal 3.802,3
ha (19,84%). Sehingga dengan upaya masyarakat telah merehabilitasi lahan dalam rangka
konservasi tanah tersebut akan dapat mengurangi tingkat kekritisan lahan dan dapat mencegah
berkembangnya lahan kritis.
Erosi di Sub DAS Alang sebagian besar erosi permukaan (15.309,81 ha) dengan
tingkat erosi ringan dan diabaikan. Kondisi tersebut diakibatkan pada lahan berkapur air hujan
yang jatuh meresap langsung kedalam tanah hal tersebut mengingat sifat batuan kapur yang
menyerap air dan berlubang-lubang. Sehingga dari jenis dan tingkat erosi di Sub DAS Alang
tidak termasuk yang membahayakan. Erosi permukaan di Sub DAS Alang dijumpai pada daerah
tegalan atau hutan rakyat yang belum rapat dan pekarangan, namun hampir semua lahan sudah
42
berteras dengan tampingan penguat teras dari batu kapur, sehingga erosi permukaan dalam
tingkat ringan atau diabaikan.
Lahan yang tidak ada erosi seluas 3.802,34 ha (19,84 %) terdapat pada daerah yang
terbuka dengan batuan singkapan yang banyak atau pada daerah semak-semak belukar, dan pada
daerah hutan yang telah rapat dengan tanaman.
43
h. Tingkat produktivitas lahan (KPL)
Tingkat produktivitas lahan adalah merupakan potensi suatu lahan yang ditentukan
dari nilai KPL (Kemampuan Penggunaan Lahan) yang mencerminkan pola penggunaan lahan
untuk budidaya pertanian (kelas I – IV) dan untuk tanaman kehutanan (kelas V – VI). Tabel 12
berikut menyajikan data KPL di Sub DAS Alang yang terdiri dari kelas IV sampai dengan kelas
VII.
Kelas KPL yang termasuk lahan kritis yaitu lahan dengan kelas IV untuk lahan
pertanian dan kelas VII dan VIII untuk lahan hutan. Sehingga untuk merubah status lahan dari
kritis menjadi tidak kritis harus ada upaya untuk menaikkan kelas KPL lahan tersebut menjadi
yang lebih tinggi lagi. Misalnya untuk lahan pertanian dari kelas IV yang memliki kendala
kekurangan air dan hanya mengandalkan pada musim dan ketersediaan hara yang rendah maka
harus dilakukan penyediaan air lewat irigasi atau air sumur atau artesis, sedangkan ketersediaan
hara dan perbaikan kondisi lahan dapat dilakukan dengan menambah pupuk organik. Sedangkan
untuk tanaman kehutanan dari kelas VII atau VIII yang memiliki solum dangkal dengan jenis
tanah Entisols, maka upaya yang harus dilakukan untuk menaikkan kelas KPL adalah pembuatan
44
terasering untuk mengurangi kemiringan lereng, pendalaman tanah dengan mengambil batu
singkapan untuk penguat teras, dll. (Gambar 7).
45
Gambar 7. Peta KPL (Kemampuan Penggunaan Lahan ) Sub DAS Alang, Wonogiri.
46
Adapun lahan dengan kelas KPL yang masuk dalam kategori baik (kelas I dan V)
maka harus tetap dipertahankan dengan cara selalu menjaga rehabilitasi lahan dengan
membangun bangunan konservasi tanah, agar tanah tidak cepat merosot dan turun kelas KPL nya
menjadi jauh lebih rendah dari sebelumnya. Hal tersebut dapat terjadi jika lahan ditelantarkan
dan terjadi erosi besar-besaran maka solum tanah akan menjadi dangkal, batuan singkapan
banyak yang muncul, ketersediaan hara rendah, sehingga lama-kelamaan kelas kemampuan
lahan akan bergeser menjadi lebih jelek.
47
Tabel 13. Kondisi Kenampakkan pada Citra Landsat TM dengan Analisis Secara Visual dari Cetak Kertas sub DAS Alang,
Wonogiri
1
e. Batuan singkapan/permukaan : yaitu semakin banyak batuan singkapan maka rona akan
semakin terang, sebaliknya pada daerah yang sedikit batuan singkapan akan memiliki rona
yang lebih gelap. Dari pola dapat dilihat pada daerah karst yang memiliki tekstur kasar relatif
banyak batuan singkapan, sebaliknya pada daerah liat hitam dengan tekstur halus akan
memiliki batuan singkapan lebih sedikit.
f. Tingkat erosi : berat ringannya erosi akan lebih mudah dilihat dari kanampakkan rona dan
warna yaitu untuk erosi berat memiliki rona warna hitam gelap sedangkan erosi ringan akan
memiliki rona warna kuning terang. Unsur pola dalam interpretasi juga merupakan faktor
yang mudah diamati kenampakkannya di gambar citra satelit, yaitu untuk erosi berat pada
daerah terjal dan erosi ringan pada daerah datar.
3. Metode Klasifikasi Lahan Kritis dengan Komputerisasi
Analisis komputerisasi lahan kritis dengan memeperhatikan sinyal radiometri
masing-masing jenis penutupan lahan yang dapat dipakai untuk deteksi obyek lainnya. Masing-
masing kanal 1, 2 dan 3 untuk setiap tampilan band warna asli dari citra satelit komposisi 5, 4
dan 2 akan menunjukkan obyek yang spesifik tergantung masing-masing jenis penutupan lahan
(Tabel !4).
Tabel 14. Karakteristik Sinyal Radiometri Masing-masing Jenis Penutupan Lahan di Sub DAS
Alang, Wonogiri.
1
Dari hasil analisis klasifikasi berbantuan dapat dideteksi bahwa lahan kritis pada
daerah dengan semak belukar dan pada kawasan hutan serta lahan kering. Sedangkan hitungan
pasti luas lahan kritis dari penginderaan jauh sulit ditetapkan secara pasti dari hasil analisis
langsung dengan komputer.
Tabel 15. Perbandingan Deteksi Lahan Kritis Secara Visual dan Dengan Komputerisasi
NO PARAMETER SECARA VISUAL KOMPUTERISASI
PEMBEDA
1. Kenampakkan rona Harus dideteksi dan Lebih tepat karena ada sinyal
dan warna diinterpretasi masing- radiometri yang memantulkan
masing obyek sinar spesifik setiap obyek
pada setiap kanal
2. Penghitungan Dihitung satu per satu Dapat dijumlah secara cepat
luasan divedakan obyek yang sama dengan bantuan soft ware yang
dengan obyek yang berbeda ada untuk setiap obyek
3. Kondisi interpreter Sangat menentukan Diperlukan pengalaman dan
pengalaman dan kenormalan kemampuan menganalisis
mata interpreter dan tidka dalam mengklasifikasikan jenis
boleh buta warna penutupan lahan
4. Kebutuhan alat Diperlukan alat yang Debutuhkan alat yang canggih,
sederhana, murah dan mahal dan agak rumit perlu
mudah pendidikan khusus
5. Analisis lahan Mudah dengan cara ini Hanya mampu mengklasifikasi
kritis karena dapat memperhatikan penutupan lahan saja, tanpa
factor lain yang tidak dapat memperhatikan faktor penentu
dianalisis dengan komputer lahan kritis
2
Kesimpulan bahwa untuk analisis lahan kritis maka akan lebih tepat dilakukan
dengan analisis secara visual, karena tidak seperti pada analisis dengan komputer yang hanya
membedakan penutupan lahan, tapi juga unsru-unsur interpretasi lainnya dapat dilakukan seperti
bentuk, ukuran, tekstur, pola, site dan asosiasi (Gambar 8).
3
5. Kriteria Lahan Kritis
Kriteria yang dipakai untuk menetapkan lahan kritis dengan memperhatikan beberapa
hal yang terkait tentang pengelolaan lahan meliputi :
1. kelas kemampuan lahan pada setiap jenis penggunaan lahan
2. perubahan kondisi lahan
3. perbandingan nilai A dan T
Masing-masing dibuat skor nilai dari 1 sampai 5 yang menunjukkan nilai baik diberi
skor 1 dan nilai yang jelek diberi skor 5. Dalam setiap faktor pengelolaan lahan tersebut
ditetapkan masing-masing nalai kekritisan lahan dari 1 (baik) sampai 5 (jelek), kecuali untuk
perubahan kondisi fisik lahan yang memiliki nilai dari 5 (baik) sampai 25 (jelek). Hal tersebut
karena merupakan hasil penjumlahan dari 5 faktor fisik lahan yang berpengaruh pada tingkat
kekritisan lahan. Dari ketiga faktor tersebut lalu dilakukan pengalian skor dan hasilnya berkisar
dari 1 (terbaik) sampai 64 (terjelek) yang akan menetapkan lahan dalam kondisi sebagai berikut :
K0 : tidak kritis (< 15)
K1 : kritis ringan (15 – 30)
K2 : kritis sedang (30 – 45)
K3 : kritis berat (> 45).
a. KPL pada Setiap Jenis Penggunaan Lahan
Setiap lahan memiliki potensi kemampuan penggunaan lahan (KPL) yang berbeda
dan kadang penggunaan lahan dapat serasi dengan kelas KPL, tapi ada juga yang tidak serasi
yaitu tidak sesuai dengan kelas KPL atau tidak optimal dengan kelas KPL. Sehingga dari Tabel
16 dapat ditunjukkan bahwa dimungkinkan setiap unit penggunaan lahan memiliki kategori
tingkat kekritisan lahan, yaitu :
1 : lahan tidak kritis
2 : lahan kritis ringan
3 : lahan kritis sedang
4 : lahan kritis berat
4
Tabel 16. Kriteria Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan KPL
NO PENGGUNAAN KD KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN (KPL)
LAHAN I II III IV V VI VII VIII
1. HUTAN :
- H. Lindung HL 1 1 1 1 1 1 1 1
- H.Prod terbatas HT 1 1 1 1 1 1 1 2
- H.Produksi HP 1 1 1 1 1 1 2 2
2. PERTANIAN :
-Persawahan SW 1 1 2 2 3 3 4 4
-Tegal tertutup TT 1 1 1 1 2 3 3 4
-Tegal terbuka TB 1 1 1 2 2 3 3 4
3. LAIN-LAIN :
-Pekarangan PK 1 1 1 2 3 3 4 4
-Badan Air/Tambak BA 3 3 3 3 3 3 3 3
-Bero (terbuka) BT 2 2 2 1 3 4 4 4
-Semak/Rumput SR 1 1 1 1 1 2 3 4
Sehingga tidak setiap KPL yang tinggi (VIII) selalu kritis begitu sebaliknya setiap
KPL yang rendah (I) selalu tidak kritis karena tergantung dari jenis penggunaan lahannya.
Misalnya pada kelas KPL VIII kalau diperuntukkan untuk tanaman hutan lindung maka termasuk
tidak kritis sebaliknya jika dipakai untuk tanaman pertanian maka masuk dalam kategori kritis.
Begitu juga untuk lahan denga kela KPL I maka dapat dimungkinkan menjadi kritis jika
ditelantarkan atau tidak dilakukan penanaman sama sekali (bero), sebaliknya lahan tidak kritis
jika dilakukan pengelolaan lahan dengan baik untuk pertanian maupun tanaman kehutanan.
5
akan diberi nilai 5 jika kondisi buruk seperti pada lereng yang terjal, erosi berat, ditelantarkan
dan tidak ada penutupan lahan. Dari kelima parameter tersebut masing-masing memiliki skor
dari 1 sampai 5 sehingga jika dijumlahkan semua parameter maka akan memiliki nilai dari 5
sampai 25. Sehingga kriteria lahan kritis menggunakan skor dari :
1 : lahan tidak kritis (< 10)
2 : lahan kritis ringan (10 – 15)
3 : lahan kritis sedang (15 – 20)
3 : lahan kritis berat ( > 20)
Parameter fisik lahan yang dijadikan penentu dalam menetapkan kriteria lahan kritis
antara lain :
a. Penutupan lahan :
1 : > 80 %
2 : 60 –80 %
3 : 40 – 60 %
4 : 20 – 40 %
5 : < 20 %
b. Kemiringan lereng :
1 : < 8%
2 : 8 – 15 %
3 : 15 – 25%
4 : 25 – 45%
5 : > 45%
c. Tingkat erosi tanah :
1 : erosi diabaiakan
2 : erosi ringan
3 : erosi sedang
4 : erosi berat
d. Manejemen (Pengelolaan lahan) :
1 : baik
2 : sedang
3 : jelek
6
e. Tekstur tanah :
1 : tekstur loam (lempung)
2 : tekstur halus atau kasar
3 : tekstur ekstrim halus atau kasar
7
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kondisi lahan kritis di Sub DAS Alang disebabkan oleh beberapa factor, antara lain :
f. Dominasi batuan kapur (Limestone Oolistik) yang sangat keras dan sulit ditembus
perakaran pada daerah Karst perbukitan dan pegunungan.
g. Solum tanah dangkal pada daerah yang berlereng miring, curam sampai terjal sehingga
tanaman keras jarang dan banyak semak belukar.
h. Ketersediaan air tanah bagi tanaman rendah karena batuan kapur cepat sekali meloloskan
air hujan yang jatuh, sehingga musim kemarau sulit mendapatkan air untuk dikonsumsi
maupun untuk irigasi.
i. Batuan sedimen liat hitam pada daerah bawah yang bertopografi dataran sampai
berombak, dimana tanah Vertisol tersebut sulit untuk budidaya pertanian, apalagi pada
musim kemarau maka tanah pecah-pecah dan menyebabkan terputusnya perakaran
tanaman.
Kriteria yang dipakai untuk analisis lahan kritis dari interpretasi citra satelit maupun
dari hasil survai lapangan dengan memperhatikan beberapa hal yang terkait tentang pengelolaan
lahan meliputi :
a.kelas kemampuan lahan pada setiap jenis penggunaan lahan
b.perubahan kondisi lahan
c.perbandingan nilai A dan T
Mengingat analisis klasifikasi lahan kritis akan lebih tepat dilakukan dengan secara
visual, karena tidak seperti pada analisis dengan komputer yang hanya membedakan penutupan
lahan, tapi juga unsur-unsur interpretasi lainnya dapat dilakukan seperti bentuk, ukuran, tekstur,
pola, site dan asosiasi. Analisis dengan komputer tidak dapat memperhatikan obyek yang
spesifik yang berdekatan dengan daerah tertentu, begitu juga analisis komputer juga sering
menjeneralisasi dalam satu pixel 30 m x 30 m di lapangan dianggap homogen atau satu obyek
yang sama
8
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T.S., 1996. Survei Tanah dan Evaluasi Lahan. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
BTPDAS, 1986. Pedoman Identifikasi Lahan Kritis Menggunakan Foto Udara (Sementara).
Proyek P2DAS, Surakarta.
Dulbahri, 1986. Penggunaan Teknik PJ dalam Identifikasi dan Inventarisasi Lahan Kritis.
Fakultas Geografi, UGM. Jogyakarta.
Kucera, K.P., 2000. Interpretasi Citra Satelit : Buku Pegangan Praktis untuk Identifikasi Lahan
Kritis Aktual pada Citra Satelit. Proyek Pengendalian Banjir Jawa Bagian Selatan,
Jakarta.
Penning de Vries F.W.T., Agus, F. and Kerr J., 1998. Soil Erosion at Multiple Scales :
Principles and Methods for Assessing Causes and Impact, CABI Publ. IBSRAM,
Bangkok-Thailand.
Purbowaseso, B., 1996. Penginderaan Jauh terapan. Terjemahan “Applied Remote Sensing”.
Penerbit Universitas Indonesia, UI-PRESS, Jakarta.
Puspics, 1998. Kajian Kondisi Lahan Kritis di Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo.
Laporan Akhir. Fakultas Geografi, UGM. Jogyakarta.
Walker, J., and D.J. Reuter, 1996. Indictors of catchment Health : technical perspective, CSIRO
Publ. Collingwood Victoria, Australia.
9
LAMPIRAN
10
Lampiran 2. Peranan PJ (Penginderaan Jauh) dan SIG (Sistem Informasi Geografis) dalam
Identifikasi Tingkat Kekritisan Lahan.
PERANAN KEGUNAAN/MANFAAT/KEGIATAN
PJ dan SIG KANTOR LAPANGAN
A. PENGINDERAAN JAUH
1. Foto Udara a. delineasi batas DAS dan a. melihat punggung batas
unit lahan. DAS dan kesamaan
b. interpretasi bentuk lahan, b. melihat bentang alam
relief relatif, dan lereng. dengan binokuler dan
c. analisis erosi dan abney level
bangunan konservasi c. pengamatan erosi dan
tanah bengunan teras
2. Citra Satelit a. analisis penutupan lahan a. pengukuran di
berdasarkan sinyal lapangan dengan
radiometri menggunakan
b. analisis letak sampel dan radiometer
karakteristik obyek secara b. penetapan titik
geometri koordinat lapangan
dengan GPS
B. SIG
1. Data angka (numerik) a. memasukkan data ISDL a. pengumpulan data fisik
(Inventarisasi Sumber lapangan pada setiap
Daya Lahan) unit lahan
b. rekapitulasi data fisik b. pengamatan lapangan
untuk analisis tingkat dan analisis data
kekritisan lahan biofisik
2. Data Grafis (gambar) a. dijitasi, transformasi dan a. dilaksanakan di kantor
editing serta ploting setelah ada kegiatan
b. produksi peta penyebaran cheking lapangan
tingkat kekritisan lahan b. setelahg ada revisi dan
perbaikan lainnya
C. PETA
1. Navigasi a. peta administrasi, yang a. sebagai petunjuk di
menginformasikan batas lapangan dalam
wilayah (dusun, desa, melakukan survei dan
kecamatan dan lain-lain) koordinasi
b. peta topografi, yang b. peta dasar dengan
menginformasikan letak melihat sungai, jalan
ketinggian, kontur, dan dan tanda lainnya untuk
kemiringan lereng pedoman penjelajahan
2. Data Sekunder a. peta geologi a. batuan & geomorfologi
b. peta tanah b. nama dan sifat biofisik
c. peta penggunaan lahan c. sebaran jenis dan kelas
11
12
13
Lampiran 1.
Kerangka Logis Kegiatan Proyek : Proyek Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS Kawasan Barat Indonesia
Sumber Dana : DIK-S. DR
Kegiatan/Topik Penelitian : Kajian Deteksi Tingkat Kekritisan Lahan dengan Menggunakan PJ dan SIG
2. Output (Fisik)
2.1. Dokumentasi - Kegiatan lapangan terdokumentasi - 2 roll
3. Outcome
3.1. Informasi Teknis - Tersedianya informasi teknis tentang : - 1 judul
Kajian Deteksi Tingkat Kekritisan
Lahan dengan PJ dan SIG
1
I S D L (Inventarisasi Sumber Daya Lahan)
Lembar 1
LAHAN BATUAN EROSI KONSERVASI KEDALAMAN
BL : Bentuk Lahan TG : Tegangan PE : Prosentase Erosi PT : Prosentase Teras SO : Solum
KL : Kemiringan KK : Kekerasan JE : Jenis Erosi JT : Jenis Teras EF : Efektif
Lereng PL : Pelapukan ID : Indeks Deplesi PR : Prosentase Riser RG : Regolit
RR : Relief Relatif KA : Kandungan Asam Tanah QT : Qualitas Teras
BS : Batuan Singkapan TB : Tekstur Batuan TE : Tingkat Erosi
BP : Batuan Permukaan WB : Warna Batuan
JB : Jenis Batuan
2
I S D L (Inventarisasi Sumber Daya Lahan)
Lembar 2
KELEBIHAN AIR PORI TANAH KARATAN STRUKTUR FISIK TANAH KIMIA TANAH
IF : Infiltrasi UP : Ukuran pori JK : Jumlah BS : Bentuk TX : Tekstur pH : Kemasaman
PB : Permeabilitas JP : Jumlah pori karatan struktur WT : Warna tanah BO : Bahan organik
DN : Drainase UK : Ukuran US : Ukuran
BJ : Banjir karatan struktur
BK : Bentuk PS : Perkembangan
karatan strk
BT : Batas karatan
KONSISTENSI W. DASAR (Hue) CEMERLANG KEMURNIAN
BS : Basah AKAR H. Hitam (Value) (Chroma)
LB : Lembab UA : Ukuran akar C. Coklat 0. Hitam mutlak 0. Keputihan
KR : Kering JA : Jumlah akar M. Merah 1. Hitam gelap 1. Kekuningan
K. Kuning ---------------- ---------------
B.Biru 8. Putih terang 8. Kecoklatan
9. Putih mutlak 9. Kehitaman
3
REKAPITULASI DATA TINGKAT KEKRITISAN LAHAN
K (ERODIBILITAS T (TOLERANSI A (PREDIKSI KPL (Kelas, Sub TK (TINGKAT
TANAH) EROSI) EROSI) Kelas) KEKRITISAN)
Si : Silty (% debu) D : Kedalaman tanah R : Erosivitas hujan KPL : Kemampuan
S.sh : Sand sangat halus (m) K : Erodibilitas tanah Penggunaan Lahan TK. I : nilai A dan T
(% pasir) 0,2 m < D < 1 m LS : Panjang dan KELAS : Selisih A – T
C : Clay (% liat) K : erodibilitas tanah Kemiringan I – IV : Pertanian A > T : kritis (K1, K2,
‘a : bahan organik (%) (ton/joule) C : Faktor tanaman V – VIII : Kehutanan K3)
‘b : Kode struktur T : Toleransi erosi (vegetatif) SUB KELAS : A < T : tidak kritis (K0)
‘c : Kelas permeabilitas (ton/ha/th) P : Faktor teras (Sipil) e. : Erosi
K : Nilai K (ton/joule) A : Prediksi erosi w. : Kelembaban TK. II : KPL
Km : K metrik = 1,292 x T = 4 + 1,266 (10D – K (ton/ha/th) s. : Tanah I, II : tidak kritis (K0)
K – 2) c. : Iklim III, IV : kritis ringan (K1)
g. : Kemiringan V, VI : kritis sedang (K2)
VII, VIII : kritis berat
(K3)
100 K = 2,1 M 1,14 (10-4)(12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-
3)