Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No.

3, November 2008

PENENTUAN TERAS PANTAI PURBA BERDASARKAN POLA PENYEBARAN BIJIH TIMAH DI PULAU BANGKA
Herry Sulistiyo 1 & Heru Sigit Purwanto 2 : Senior Geologist, PT. Timah Investasi Mineral 2 : Program Pascasarjana Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta
1

ABSTRACT Exploration and exploitation of tin has been conducted in Bangka Island for over a century. Meanwhile the exploration technology of tin ore has remained stagnant. In the last 10 years there has not been any significant new finding in the filed of tin placer exploration technology. Implementation of valley hunting concept is no longer relevant in finding new resources inland as well as offshore. This is evident by the decreasing success ratio results in drilling explorations conducted. Tin ore is categorized as heavy mineral and is economically known as Cassiterite (SnO2) having a density between 6.7-7.1 and hardness of 7 on the Mohs scale. With its high resistance to abrasion and other physical properties, this mineral is often used as characteristic of a depositional phase of an area. The above characteristics have encouraged the writer to study the deposition pattern of tin ore by utilizing bore exploration results and attempt to establish a correlation using the Sea Level Changes theory in an effort to better understand how changes in sea level has influenced the deposition pattern of tin ore. By establishing a relation between changes in sea level and deposition of tin ore, the writer hopes to trace the historical shorelines that may provide indication of a secondary deposition of tin ore. PENDAHULUAN Sudah lebih dari satu abad lamanya eksplorasi dan eksploitasi timah dilakukan di pulau Bangka, hampir seluruh wilayah seluas 11.533,65 km2, telah dijajaki sehingga sudah sepantasnya ketersediaan sumberdaya bijih timah semakin berkurang dan semakin sulit untuk di temukan. Selama ini penambahan cadangan hanya mengandalkan pada lokasi-lokasi tailing (bekas tambang), ini berarti pendapatan cadangan tidak lagi bergantung pada keberadaan sumberdaya yang ada. Penerapan konsep valley hunting tidak lagi mampu untuk menemukan cadangan-cadangan baru, baik di darat maupun di laut, ini terbukti dari semakin mengecilnya tingkat keberhasilan (success ratio) pemboran eksplorasi yang dilakukan. Sementara itu teknologi eksplorasi yang diterapkan, seakan berjalan di tempat, karena sampai dengan 10 tahun terakhir ini, tidak ditemukan teknologi eksplorasi timah sekunder yang baru. Bijih timah digolongkan sebagai mineral berat, dikenal secara ekonomis sebagai mineral Cassiterite (SnO 2 ) terdiri dari 21,4 % oksigen, 78,6 % timah, mempunyai berat jenis antara 6,77,1 dan kekerasan 7 skala Mosh. Karena mempunyai daya tahan terhadap gerusan tinggi serta dengan bobot fisik yang 1

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

berat maka mineral ini dapat digunakan sebagai penciri suatu fase pengendapan di suatu wilayah Kenyataan tersebut di atas melatar belakangi penulisan makalah ini sehingga dengan mempelajari pola penyebaran bijih timah berdasarkan data pemboran eksplorasi dan mencoba menghubungkannya dengan teori Sea Level Changes diharapkan dapat diketahui pengaruh perubahan muka air laut terhadap pola pengendapan bijih timah. Dengan diketahuinya hubungan antara perubahan muka air laut dengan keterdapatan endapan bijih timah, maka akan diperoleh jejak terras pantai purba yang akan dapat memberi petunjuk ditemukannya deposit bijih timah sekunder. DAERAH PENELITIAN Di dalam penelitian ini penulis membatasi wilayah penelitian hanya mencakup Pulau Bangka dan sekitarnya, dengan pertimbangan bahwa Pulau Bangka terletak di Paparan Sunda yang kena pengaruh perubahan muka air laut serta berada pada pada jalur Sabuk Timah (Tin Belt) yang mengandung sumberdaya bijih timah. METODOLOGI PENELITIAN 1. Data Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder yaitu data pemboran eksplorasi timah antara tahun 1990 sampai dengan tahun 1999, yang diperoleh dari Divisi Eksplorasi PT Tambang Timah, yaitu berupa peta lokasi cadangan timah, skala 1/100.000, peta lokasi pemboran darat skala 1/10.000, peta lokasi pemboran laut skala 1/ 10.000 dan Drill Log (Daftar bor) untuk seluruh lokasi bor. Variabel data yang digunakan adalah koordinat posisi lobang bor (X dan Y), elevasi titik bor (Z), elevasi lapisan bawah endapan timah (Zb), elevasi batuan dasar (Zk) Sedang variabel penunjang lainnya adalah ketebalan lapisan timah, kadar Sn (Tdh_Lap), jenis lapisan, jenis kong (bedrock) dan dalam bor. 2. Tahapan Penelitian Agar penelitian ini dapat terfokus sesuai dengan sasaran yang dituju, disusun suatu tahapan penelitian sebagai berikut : a) Tahap seleksi data pemboran Dari data bor endapan plaser selain menghasilkan informasi sifat fisik endapan, antara lain juga menghasilkan informasi koordinat titik bor (X,Y) dan berbagai elevasi diantaranya adalah elevasi permukaan rupa bumi (Z), elevasi permukaan batuan dasar (permukaan rupa bumi purba) atau Zk dan elevasi lapisan bawah endapan timah (Zb). b) Tahap penggambaran peta Ke tiga informasi elevasi tersebut (Z; Zk; Zb) apabila di gabungkan dengan koordinat titik bor akan menghasilkan peta topografi, peta topografi purba dan peta sebaran endapan timah per kisaran elevasi 2

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

c) Tahap seleksi Zb Dengan asumsi bahwa satu lobang bor mewakili luas tertentu, maka dengan menggunakan analisis distribusi frekwensi, dilakukan seleksi terhadap Zb dengan cara membandingkan distribusi frekwensi Zb satu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga diperoleh kisaran Zb yang mempunyai sebaran terluas. d) Tahap Interpretasi Interpretasi dilaksanakan dengan cara melakukan tumpang susun (overlay) terhadap peta-peta yang dihasilkan 3. Metode Penelitian Pemilihan metode penelitian dilakukan berdasarkan pada tahapan dan sasaran penelitian. Berikut disampaikan metode penelitian yang dilakukan berdasarkan pada tahapan yang dilakukan sbb : a) Tahap seleksi data pemboran Pada tahap ini seleksi data dilakukan menggunakan software program Microsoft Excel untuk mendapatkan variabel koordinat posisi titik bor X dan Y, dan variabel elevasi Z, Zb dan Zk. b) Tahap penggambaran peta Penggambaran peta dilakukan dengan menggunakan program software Surfer versi 7. Penggambaran peta topografi dilakukan menggunakan fasilitas New Contour Map dengan variable X, Y dan Z, sedang untuk peta topografi purba dilakukan dengan menggunakan variable X, Y dan Zk. Untuk dapat menggambarkan peta pola sebaran endapan timah, terlebih dahulu dilakukan simulasi klasifikasi data elevasi lapisan bawah endapan timah (Zb). Klasifikasi dapat dilakukan berdasarkan dua metode yaitu :

Metode equal interval, adalah suatu

klasifikasi interval yang diperoleh dengan cara membagi selisih nilai elevasi maksimum dikurangi nilai elevasi minimum dengan nilai interval yang diinginkan, apabila dituliskan dalam rumus sbb : C = E max - Emin (I) C Emax I = Jumlah klas = Elevasi max = Interval elevasi

Metode user difined, adalah suatu klasifikasi dimana klas dan interval elevasi
ditentukan berdasarkan keinginan dari peneliti, biasanya peneliti mengacu pada ketentuan atau penelitian tertentu. Dengan menggunakan fasilitas New Classed Post Map pada software Surfer, penggambaran dilakukan pada beberapa kemungkinan kedudukan elevasi hingga ditemukan pola-pola yang dapat digunakan sebagai bahan sesuai prinsip pengendapan plaser. Adapun untuk menentukan pola pengendapan digunakan drainage basin model Batchelor, 1993. 3

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

c) Tahap seleksi Zb Seleksi dilakukan dengan cara membuat distribusi frekwensi menggunakan program Microsoft Excel. Distribusi frekwensi tersebut dibuat berdasarkan interval klas variable Zb yang diperoleh dari hasil klasifikasi yang dilakukan pada tahap penggambaran peta pola sebaran endapan timah. Interval klas Zb yang mempunyai frekwensi di atas rata-rata, kemudian dibandingan antara satu wilayah sampling dengan wilayah sampling lainnya, sehingga diperoleh interval klas Zb yang dimiliki disemua wilayah. Interval Zb inilah kemudian digunakan untuk menentukan pola sebaran teras pantai. d) Tahap interpretasi Garis Pantai Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa data penelitian diperoleh dari data pemboran eksplorasi timah alluvial, informasi data bor yang diperoleh tidak sempurna karena contoh yang terambil merupakan disturb sample artinya contoh tidak mencermin keadaan fisik sebenarnya karena struktur sedimen yang ada terubah ketika diangkat kepermukaan selain itu tidak data fosil untuk mengetahui umur relatif. Atas pertimbangan hal tersebut digunakan beberapa asumsi yang akan dijadikan acuan untuk melakukan interpretasi. Asumsi yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Permukaan air laut rata-rata saat ini merupakan bidang referensi yang
dijadikan pedoman sebagai datum penghubung kesamaan waktu. Bahwa endapan Kuarter relatif belum terganggu oleh proses orogenesa Bahwa pulau Bangka terletak di lingkungan tektonik stabil, sehingga basement-nya belum mengalami deformasi. Bahwa pada dasarnya dalam keadaan normal sedimen akan mengendap secara horizontal Bahwa endapan yang mempunyai cakupan sebaran yang luas dan dapat mencirikan adanya garis pantai adalah endapan pantai (beach deposit)

Selanjutnya metode interpretasi yang dilakukan menggunakan dua cara, yaitu : Metode tumpang susun (overlay) antara peta topografi dengan peta topografi purba, dan peta topografi purba dengan peta sebaran endapan timah. Dalam melakukan interpretasi dengan cara ini digunakan metode analisis morfologi garis pantai, oleh karena itu beberapa elemen morfologi dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan posisi garis pantai, adalah : a) Teras abrasi dan teras pengendapan b) Kemiringan pantai yang mendadak c) Puncak pungungan barier, d) Puncak punggungan pantai dan e) Muara sungai Metode statistik dengan menggunakan histogram , adapun sebagai dasar interpretasi digunakan pedoman sebagai berikut : satu sample elevasi mewakili satuan luas tertentu tergantung pada spasi bor, sehingga semakin besar frekwensi sample, semakin luas sebaran bijih dengan kata lain semakin besar nilai Y, semakin luas sebarannya. Kelas interval di gambarkan pada sumbu X, sehingga semakin kecil Kelas, menunjukan elevasi semakin rendah, dengan kata lain semakin besar nilai X, semakin tinggi elevasinya.

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

HASIL PENELITIAN 1. Kisaran Elevasi Dan Pola Pengendapan Bijih Timah Menurut Tjia HD , 1989 berdasarkan peta bathimetri dapat diketahui umumnya teras pantai di perairan Bangka ditemukan pada kedalaman - 8 m ; - 10; - 13 m ; -18 m ; -22 m dan 26 m, sedang di semenanjung Malaysia, Karimun, dan Kundur ditemukan jejak teras serta permukaan laut pada elevasi + 10 m ; + 12 m ; + 18 m; + 25 m. Disisi lain pada umumnya puncak punggungan pantai-pantai di Asia Tenggara berkisar antara 3 sampai 5 meter. Berdasarkan kenyataan tersebut, penulis menetapkan beda tinggi 5 meter sebagai interval kelas dalam analisis data frekwensi. 2. Endapan Bijih Bijih Timah sebagai Indikator Korelasi Untuk mengetahui ada atau tidak korelasi elevasi lapisan bawah endapan bijih timah antara satu wilayah dengan wilayah pengendapan lainnya, terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan untuk melakukan korelasi. Korelasi menurut Sandi Stratigrafi Indonesia, 1973 adalah menghubungkan titik-titik kesamaan waktu. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa data penelitian diperoleh dari data pemboran eksplorasi timah alluvial, sehingga informasi data bor yang diperoleh tidak sempurna karena contoh yang terambil tidak berupa contoh inti (coring), dan selain itu dalam pelaksanaannya tidak diperlukan data fosil untuk mengetahui umur relatif. Atas pertimbangan hal tersebut penulis membuat beberapa asumsi yang akan dijadikan acuan untuk melakukan korelasi. Asumsi yang dimaksud adalah sebagai berikut : a) Permukaan air laut rata-rata saat ini merupakan bidang referensi yang dijadikan pedoman sebagai datum penghubung kesamaan waktu. b) Bahwa endapan Kuarter relatif belum terganggu oleh proses orogenesa c) Bahwa pulau Bangka terletak di lingkungan tektonik stabil, sehingga basementnya belum mengalami deformasi. d) Bahwa pada dasarnya dalam keadaan normal sedimen akan mengendap secara horizontal e) Bahwa endapan yang mempunyai cakupan sebaran yang luas dan dapat mencirikan adanya garis pantai adalah endapan pantai (beach deposit) Langkah selanjutnya adalah dengan membadingkan hasil distribusi frekwensi elevasi lapisan bawah endapan bijih timah antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal tersebut dilakukan mengingat suatu elevasi endapan bijih timah mewakili suatu daerah pengaruh (area influence) sehingga diharapkan elevasi yang memiliki frekwensi tinggi mewakili endapan bijih timah dengan penyebaran yang luas. Berdasarkan hasil perbadingan distribusi frekwensi dari ke empat wilayah penelitian menunjukan bahwa bijih timah terendapkan pada setiap elevasi kedalaman namun yang membedakannya adalah intensitas dan luas sebarannya. Dalam perbandingan ini, ternyata tidak semua elevasi dapat diwakili oleh masing-masing wilayah, hal ini disebabkan hasil pemboran sebelumnya memang tidak diarahkan untuk penelitian ini. Sebagai obyek yang dibandingkan adalah nilai distribusi frekwensi yang berada diatas rata-rata (basis). Hasil perbandingan menunjukan bahwa kisaran elevasi yang terdapat di empat wilayah penelitian dengan nilai diatas 9,6 % adalah interval (-5 m s/d -9,9 m) 5

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

dan interval (-10 m s/d 14,9 m). Kedua kisaran tersebut apabila di plot-kan pada diagram Urutan relatif dan kedudukan garis pantai hasil penelitian Amar Rachmat, 1978, ternyata pada kisaran elevasi tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga kemungkinan jenis endapan yaitu ; endapan alluvial tua, sedimen marin dari Ranggam bed dan endapan alluvial muda (abrasi pantai). Namun berdasarkan Peta pola penyebaran tipe endapan timah sejenis di Bangka, daerah penelitian tidak berada di lokasi tipe sedimen marin (young alluvial) dan endapan alluvial tua (old alluvial), sehingga dapat dipastikan bahwa kisaran elevasi terpilih merupakan endapan alluvial muda (endapan abrasi pantai). 3. Pengaruh Sea Level Changes terhadap Pola Pengendapan Bijih Timah Sea Level Changes adalah peristiwa transgresi dan regresi global yang terjadi pada zaman Miosen Atas sampai dengan Holosen, peristiwa tersebut menyebabkan pemukaan laut mengalami flutuasi berkisar antara + 30 m hingga 90 m dan salah satu bukti adanya peristiwa tersebut adalah Paparan Sunda. Berdasarkan hasil interpretasi pola pengendapan bijih timah pada empat daerah penelitian, diperoleh informasi bahwa terdapat berbagai jenis endapan bijih timah yang apabila di korelasikan dengan penelitian Amar Rachmat (1978) ataupun Batchelor MS (1983), mempunyai kesamaan bukti bahwa pengendapan bijih timah dipengaruhi oleh adanya fenomena sea level changes 4. Penentuan Teras Pantai Purba Untuk menentukan teras pantai purba dilakukan pendekatan melalui dua cara yaitu :

a) Berdasarkan interpretasi kontur topografi


Hasil tumpang susun antara peta topografi dengan peta topografi purba diperoleh perkiraan pantai purba. Interpretasi yang dilakukan menggunakan metode analisis morfologi garis pantai dengan memperhatikan beberapa elemen morfologi yang digunakan sebagai indikator untuk menentukan posisi garis pantai. indikator morfologi tersebut adalah :

Teras abrasi dan teras pengendapan Jejak permukaan laut Kemiringan pantai yang mendadak Puncak pungungan barier Puncak punggungan pantai Muara sungai

Dari ke enam indikator tersebut di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan semua indikator kecuali indikator jejak permukaan laut. Penggunaan indikator-indikator tersebut di atas tidak selalu digunakan pada semua tempat namun tergantung pada kondisi data dan alam sekitarnya. Sebagai contoh untuk wilayah Bubus, elemen morfologi yang digunakan adalah dataran teras pengendapan, sedang untuk daerah Penganak ditunjukan kontur kemiringan mendadak sepanjang pantai dan adanya kontur barier.

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

Untuk daerah Air Kantung, ditunjukan adanya kontur teras abrasi sedang untuk daerah Sampur adanya kontur yang menjorok ke wilayah darat.

b) Berdasarkan interpretasi pola sebaran endapan pantai


Dengan asumsi bahwa proses terbentuknya endapan teras pantai dipengaruhi oleh permukaan air laut global, maka berangkat dari hasil perbandingan distribusi frekwesi elevasi lapisan bawah timah diketahui bahwa kisaran elevasi yang terdapat di semua daerah penelitian adalah interval (-5 m s/d -9,9 m) dan interval (-10 m s/d 14,9 m). Kedua kisaran elevasi tersebut kemudian digunakan untuk menyeleksi hasil interpretasi pola pengendapan bijih timah sebelumnya. Selanjutnya berdasarkan sebaran endapan pantai tersebut dapat ditarik garis pantai relatife yang dimaksud. Untuk mengetahui umur pengendapan digunakan diagram permukaan air laut pada Zaman Kuarter Akhir berdasarkan radiocarbon dating di wilayah Paparan Sunda hasil penelitian Batchelor MS, hasilnya diperoleh umur sebagai berikut :

Elevasi (-5 s/d -10) meter berumur + 7.300 tahun yang lalu ( 7300 t.y.l) Elevasi (-10 s/d -15) meter berumur + 7.700 tahun yang lalu (7700 t.y.l)
KESIMPULAN Berdasarkan data dan metode penentuan batas relative teras purba di daerah Penganak, Bubus, Air Kantung dan Sampur, wilayah pulau Bangka serta pembahasan hasil penelitian dapat ditarik simpulkan sebagai berikut : 1. Hasil distribusi frekwensi di empat lokasi penelitian menunjukan bahwa kisaran elevasi endapan timah yang mempunyai penyebaran luas untuk daerah a. Air Kantung ; (-34,9 s/d -30) ; (-29,9 s/d -25) ; (-24,9 s/d -20) ; (-19,9 s/d -15) ; (-14,9 s/d -10) dan (-9,9 s/d -5) b. Penganak; (-24,9 s/d -20); (-19,9 s/d -15); (-14,9 s/d -10) dan (-9,9 s/d -5) c. Sampur ; (-24,9 s/d -20) ; (-19,9 s/d -15) ; (-14,9 s/d -10) ; (-9,9 s/d -5) ; (-4,9 s/d 0) ; (0,1 s/d 5) dan (5,1 s/d 10) d. Bubus ; (-14,9 s/d -10) ; (-9,9 s/d -5) ; (-4,9 s/d 0) ; (0,1 s/d 5) dan (5,1 s/d 10) 2. Berdasarkan hasil perbandingan distribusi frekwensi klas interval elevasi lapisan bawah endapan timah dari empat lokasi penelitian, diketahui bahwa kisaran elevasi endapan bijih timah yang mempunyai penyebaran luas ternyata dari interval elevasi (-5 m s/d -9,9 m) yang berumur 7300 (t.y.l) dan interval (-10 m s/d 14,9 m) yang berumur 7700 (t.y.l). 3. Batas relative tersebut ternyata tidak konstan terhadap posisi garis pantai saat ini, di suatu lokasi dapat terletak di darat sedang di lokasi lain dapat berada di lepas pantai. 4. Penentuan teras pantai purba dengan menggunakan pola penyebaran bijih timah hanya bersifat lokal (setempat) karena terbatas pada sebaran sampel data bor. 5. Penelitian ini dapat dilajutkan dengan jumlah sampel lokasi dan data yang lebih lengkap agar dapat di deteksi garis purba di seluruh wilayah pulau Bangka 7

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

DAFTAR PUSTAKA Bintarto R. & Hadisumarno, Surastopo, 1979, Metode Analisa Geografi, LP3ES, Jakarta Batchelor, D, 1973, Economic Geology And Exploration Potential of The Indonesian Tin Province, Mining Geology Division Dept. of Geology, Royal School of Mine, Imperial College of Science and Technology, London Batchelor, D and Thanawut Sirinawin, 1985, Development of Exploration Methodology for Tin Placer Deposit, SEATRAD Central, Ipoh, Malaysia Batchelor, D et all, 1988, Workshop On Conceptual Exploration for Quartenary Tin Placer Deposits, SEATRAD Central, Ipoh, Malaysia Heady, Earl O & Wilfred Chandler, 1969, Linier programming methods, The Iowa State University Press. Katilli JA, 1980, Geotectonics of Indonesia. Direktorat Pertambangan Umum, Jakarta Komar, Paul D, 1998, Beach Processes and Sedimentation, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey Mac Donald, EH, 1983, Detrital Heavy Mineral Deposits in Eastern Asia , CCOP Tech, Bull., pp. 192-207 Pabundu Tika, Mohamad, 1997, Metode Penelitian Geografi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Presidium Pembentukan Propinsi Bangka Belitung, 1996, Propinsi Bangka Belitung Jembatan Menuju Kesejahteraan Rakyat, Earickson Robert and Harlin John et. all, 1994, Geographic Measurement And Quantitative Analysis, Macmillan College Publishing Company, New York Amar Rachmat, 1978, Tipe-tipe Endapan Timah Plaser Bangka dan Lepas Pantai, Dinas Eksplorasi/ Geologi Unit Penambangan Timah Bangka, Pangkalpinang Bangka, Indonesia Sutedjo Sujitno, 1973, Some Problems in the offshore drilling campaign for tin around Bangka, Indonesia, in CCOP Report of the Ninth Session, 1972, pp. 143-149 Sutedjo Sujitno, 1996, Sejarah Timah Indonesia, PT Gramedia, Jakarta Short, John, and Michael Witherick, 1986, A Modern Dictionary of Geography, Rdward Arnold, Baltimore Tjia HD, 1989, Workshop On Quarternary Sea-Level Changes and Related Geological Processes In Relation to Secondary Tin Deposits , PT Tambang Timah (Persero) Unit Penambangan Timah Bangka, Indonesia Widoyo Alfandi, 2001, Epistemologi Geografi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta Williams, MAJ, et. all, 1993 ; Quartenary Environments, Routledge, Chapman and Hall, Inc, 29 West 35th Street, New York

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1 No. 3, November 2008

Anda mungkin juga menyukai