Anda di halaman 1dari 3

IMPIAN ARI Oleh: Suhratul Ubabah Sudah 1 jam lebih aku berdiri di halte.

Menunggu bis kota yang tak juga datang. Padahal hari sudah siang. Benar-benar melelahkan!! Tiba-tiba seorang anak lelaki, berpenampilan lusuh, kotor, menghampiriku. Tangan kirinya memegang tumpukan koran. Dia berdiri di hadapanku seperti orang yang sedang kebingungan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya yang aku rasa memang tidak gatal. Aku menatapnya keheranan. Sesekali dia menoleh ke belakang. Entah apa yang dilihatnya. Dan tiba-tiba saja, dia mengulurkan tangannya padaku dengan ragu-ragu. maaf, Mbak.... sedekah, Mbak... Adik saya belum makan dari tadi pagi.... Anak itu menundukkan kepala. Aku masih termangu menatapnya. Kecil-kecil sudah pandai ngemis... Mau jadi apa negeri ini kalau penerus bangsanya seperti dia? kataku dalam hati. Ku alihkan pandanganku darinya. Mbak... tolonglah.....!! hiks... hiks.... saya tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk bisa mendapatkan sebungkus nasi goreng yang di inginkan adik saya. Saya akan melakukan apa saja untuk menggantinya, Mbak.... jika Mbak bersedia membantu saya... hiks... yang penting adik saya tidak mati kelaparan.... hiks, hiks..... Aku kaget melihat anak itu menangis sesenggukan. Tangisnya malah semakin menjadi-jadi. Namamu siapa? tanyaku acuh tak acuh. Danu, Mbak..... jawab anak lelaki itu. Adikmu mana? tanyaku sambil mencari-cari sesosok anak kecil yang dimaksud olehnya. Sambil menyeka air matanya, Danu menunjuk seorang anak kecil di seberang jalan yang sedang meringkuk di mulut gang sempit. Anak kecil itu sama dekilnya dengan Danu hanya saja dia terlihat lebih pucat. Sudah seminggu ini Ari mengeluh sakit, Mbak.... badannya panas.... setiap malam dia selalu mengigau makan nasi goreng. Dia selalu bilang ingin makan nasi goreng sekali saja..... Awalnya saya kira itu hanya rengekan biasa. Tapi hari ini.... dia tidak mau makan, Mbak. Yang disebut hanya nasi goreng terus... mau beli, tapi saya belum dapat

setoran.... Danu bercerita dengan menggebu-gebu. Terlihat sekali dia menahan tangisnya. Saya berjanji padanya akan membeli nasi goreng hari ini juga, Mbak.... imbuhnya. Ku tatap Danu dan adiknya bergantian. Mencoba mencari kebenaran dari apa yang dikatakannya barusan. Saya siap mbak mengerjakan apa saja yang mbak suruh.... Danu mengerti tatapanku. Ku tatap lekat-lekat mata anak lelaki dihadapanku. Hingga ku putuskan untuk membantunya. Yuk! ajakku. Dahi Danu mengerut. Dia tak mengerti maksud ajakanku. Ku tersenyum melihat ketidakmengertiannya,Katanya mau beli nasi goreng...... Danu sumringah mendengar ucapanku. Hah!! Serius, mbak?? Mbak benar-benar mau membantu saya?? Ku mengangguk. Secara spontan Danu menengadahkan tangannya ke langit. Alhamdulillah, ya Allah.... ternyata masih ada orang yang benar-benar baik di bumi-Mu ini. dia menoleh padaku. Senyum khas anak-anak terpampang jelas dibibirnya. Ku genggam tangannya. Berulang kali Danu mengoceh padaku akan mengerjakan apa saja yang ku minta untuk mengganti sebungkus nasi goreng yang akan ku belikan untuk adiknya, Ari. Aku pergi ke kedai penjual nasi goreng yang tak jauh dari halte. Aku berjanji pada dirriku sendiri, aku akan membawa mereka pulang ke kontrakan. Entah bagaimana reaksi dua teman sekontrakanku jika melihat Danu dan adiknya nanti. Akh, aku tak peduli!! Dua bungkus nasi dengan porsi besar aku rasa cukup untuk mereka. Ari girang bukan main menerima sebungkus nasi dariku. Woahha.... ini bener naci goyeng kan, kak?? Bener kan?? ujarnya cadal. Danu tersenyum dan mengangguk menjawab ketidakpercayaan adiknya. Dengan cepat Ari membuka bungkusan nasi itu. Ahiyna.... Ari senang usahanya membuahkan hasil. Dihirupnya aroma sedap yang mengepul dari sebungkus nasi goreng yang dipegangnya. Tapi, baru saja Ari menyantapnya, tiba-tiba dia terbatuk-batuk tanpa henti. Walau aku sudah memberinya minum, tapi tetap saja batuknya tidak berhenti juga. Danu menangis melihat adiknya seperti itu Ahiyna.... uhuk...uhuk.... Impian Ayi bica.... uhuk...uhuk... makan naci

goyeng kecampean... uhuk! Telnyata naci goyeng itu...uhuk... memang enak, kak ya.... uhuk....uhuk.... batuk Ari semakin menjadi-jadi. Danu memeluknya erat-erat. Aku tak tega melihatnya. Ari.... Ari harus sembuh... nanti kita bisa makan nasi goreng bersama-sama. Mbak janji! Kita ke rumah sakit ya sekarang? kataku. huk...uhuk... Ayi nggak mau ke yumah cakit, mbak.... Ayi mau lihat yumah becar itu... uhuk.... Kami terdiam memandangi sebuah rumah sederhana yang ditunjuk oleh Ari, tak jauh dari kedai penjual nasi goreng yang ku datangi tadi. Ari tersenyum. tapi cayang.... uhuk... impian kedua Ayi.... uhuk... uhuk.... bellum Ayi yasain... huk.... Ayi belom nyobain belteduh dayi ujan... uhuk...uhuk....di yumah bajus sepelti itu cambil maen cama kakak.... uhuk..uhuk... pasti.... uhuk....uhk...cellu deh! Hehe.... uhuk...uhuk.... lanjut Ari. Aku menangis mendengar impian sederhana dari mulut anak kecil berusia 5 tahun seperti Ari. seperti itukah impian anak-anak tak terawat di negeri-Mu ini, ya Rabb? Begitu sederhana dan mudah untuk dicapai bagi orang sepertiku.... Namun bagi mereka.... teramatlah sulit untuk di raih... aku merintih dalam hati. Ari... impian kedua ari pasti tercapai. Mbak janji!! Asal Ari mau sembuh.... kataku. Sekali lagi Ari hanya tersenyum. Mbak... makacih ya... mbak cudah bancu Ari ngeyacain impian petama Ayi...... Aku mengangguk. Tangisku tak tertahan mendengar ucapannya. Matanya kembali lekat menatap rumah sederhana itu seakan-akan itu adalah tatapan terakhirnya memandangi impian sederhana keduanya. Aku tersenyum memandang wajah binar keduanya yang terus menrus memandangi rumah sederhana yang tak jauh dari kedai penjual nasi goreng yang ku datangi tadi hingga aku pun ikut memandangi rumah emas impian mereka.

Anda mungkin juga menyukai