Anda di halaman 1dari 7

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SINDROM PUTUS ZAT (NAPZA)

pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya

A. Pendahuluan Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001). Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan. Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000). Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal. Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi

pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002). Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000). Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003). Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi. Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat: 1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi 2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA 3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan pendekatan kemampuan merawat yaitu klien dengan menggunakan klien

4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik 5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja 6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya C. Proses terjadinya masalah Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada zat yang sering disalahgunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.

proses

keperawatan

asuhan

keperawatan

penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat). Tujuan a) Perawat dapat mengetahui pengertian klien penyalahgunaan dan

1) Rentang Respons Kimiawi Perlu diingat bahwa pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat akan menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan (Stuart dan Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia, 1998). 2) Perilaku 3) Faktor penyebab. Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi: a. Faktor biologic

ketergantungan NAPZA. b) Perawat dapat mengetahui proses terjadinya masalah klien NAPZA. c) Perawat dapat melakukan asuhan keperawatan klien NAPZA. B. Pengertian Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan

ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995). Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar

Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman b. Faktor psikologik Tipe kepribadian ketergantungan Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan

Contoh: seseorang yang mengalami depresi berhubungan dengan withdrawal alkohol, diagnosis medik adalah gangguan mood karena penggunaan (withdarawal) zat. Katagori yang termasuk dalam diagnosis karena penggunaan zat adalah delirium, demensia, psikotik, mood, kecemasan, sex dan tidur (Stuart dan Laraia, 1998). D. Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan

penganiayaan waktu masa kanak kanak Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri, tidak mampu

Ketergantungan NAPZA 1. Pengkajian Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi : a. Perilaku b. Faktor penyebab dan faktor pencetus c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi: penyangkalan (denial) terhadap masalah rasionalisasi

memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi c. Faktor sosiokultural Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau, alkohol dan mariyuana Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan

memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya d. Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien 2. Diagnosa Keperawatan Perlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat. Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti: a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menahan sugesti b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah c. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dan seterusnya Sedangkan masalah keperawatan di ruang rehabilitasi bisa sama dengan di ruang detoksifikasi, maka fokus utama diagnosa

keterbatasan kesempatan 4) Diagnosis medis DSM-III-R (American Psychiatric Association, 1987) membagi menjadi dua katagori yaitu psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik dan gangguan psikoaktif pengguna zat. Psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik mengakibatkan intoksikasi, withdrawal, delirium, halusinasi dan gangguan delusi, dan lainnya. Gangguan psikoaktif pengguna zat mengakibatkan ketergantungan atau penyalahgunaan (Wilson dan Kneisl, 1992). Sedangkan DepKes (2001) menyatakan bahwa gejala psikiatri yang timbul adalah cemas, depresi dan halusinasi. Penelitian yang dilakukan di USA menunjukkan > 50% penyalahgunaan NAPZA non alkohol mengidap paling tidak satu gangguan psikiatri antara lain: 1) 26% mengalami gangguan alam perasaan seperti depresi, mania 2) 26% gangguan ansietas 3) 18% gangguan kepribadian antisocial 4) 7% skizofrenia Mereka dengan penyalahgunaan alkohol sebanyak 37% mengalami komorbiditas psikiatri. Diagnosis medis dan keperawatan yang berhubungan dengan

keperawatan NANDA di ruang rehabilitasi adalah: a. Koping keluarga tidak efektif: ketidakmampuan b. Kurang aktivitas hiburan, dan seterusnya Contoh pohon masalah: Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan Perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) secara jelas dapat dilihat pada lampiran. Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada perencanaan keperawatan (rencana tindakan

penyalahgunaan dan penggunaan zat. Kurang dari 27 diagnosa keperawatan yang umumnya digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan yang dibagi menjadi 4 katagori yaitu: biologik, kognitif, psikososial dan spiritual. (Stuart dan Laraia, 1998). Diagnosis NANDA(berhubungan dengan diagnosis keperawatan) yang utama adalah perubahan sensori persepsi, perubahan proses pikir, koping individu tidak efektif dan perubahan proses keluarga (Stuart dan Sundeen, 1995). Gangguan yang berhubungan penyalahgunaan zat yang termasuk DSM-III ada 2 cara. Pertama, diagnosis utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol atau obat dikatagorikan juga sebagai gangguan yang berhubungan dengan zat. Klien gangguan yang berhubungan dengan zat juga didiagnosis sebagai gangguan psikiatrik axis I yang disebut dual diagnosis. Kedua, intoksikasi atau withdrawal penggunaan zat sangat berhubungan dengan salah satu tipe gangguan mental, dimana diagnosis tergantung pada katagori yang menjadi lokasi penyalahgunaan zat.

keperawatan) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masalah klien. Berikut ini beberapa bentuk implementasi yang dilakukan pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu (Wilson dan Kneisl, 1992): a. Program intervensi. Peran perawat adalah menentukan program yang cocok untuk klien sesuai dengan tingkat ketergantungan klien terhadap sakit dan gejala yang tampak. Untuk program di ruang rehabilitasi dibagi menjadi 2 yaitu: 1) rehabilitasi sewaktu-waktu dimana perawat

berperan sebagai fasilitator bukan melakukan penanganan masalah fisik maupun psikiatri tetapi pada perawatan diri klien. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan

2) Berikan

obat-obat

sesuai

petunjuk:

benzodiazepin,

oksazepam, fenobarbital, magnesium sulfat. Rasional: 1) Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan mempercepat kesembuhan. Selain itu perkembangan gejala mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian.

perawatan diri secara mandiri; 2) perawatan lanjutan, bertujuan untuk memberikan pemulihan kembali bagi klien yang mengalami ketergantungan alkohol dan zat atau penolakan keluarga terhadap klien. b. Individu Pendidikan untuk klien, misalnya menganjurkan klien untuk mengikuti sesi-sesi yang diadakan perawat secara individu sesuai kebutuhan klien, tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan klien dalam membantu memulihkan ketergantungan akan zat. Perubahan gaya hidup, yaitu mengajarkan klien dengan cara mendiskusikan koping yang biasa digunakan.

2) kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana kadar Mg, hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang. 3) Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi terutama pada pasien neuropati 4) mencegah jatuh dengan cedera 5) mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi tangan/mata.

Diharapkan klien dapat mengubah penggunaan koping dari destruktif menjadi koping yang konstruktif. Meningkatkan kesadaran diri klien, dengan cara

6) Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi. 4. Evaluasi Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada

mengidentifikasi hal-hal positif yang dimiliki klien dan bisa dikembangkan secara positif serta mengurangi halhal yang negatif dalam diri klien. c. Keluarga Pendidikan kesehatan bagi keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami penyalahgunaan dan ketergantungan zat. d. Kelompok Program twelve step : AA dan NA Terapi modalitas disesuaikan dengan kriteria dan kondisi klien yang akan diikutkan dalam terapi tersebut. 3. Intervensi Keperawatan a) Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan keseimbangan. Kriteria hasil: mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk tidak mengalami cedera fisik Intervensi: Mandiri 1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala hiperaktivitas (misalnya tremor, tidak dapat beristirahat, mual/muntah,diaforesis, takhikardi, hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia, demam. 2) Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur. 3) Periksa refleks tenton dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan 4) Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan Kolaborasi 1) Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk

penanganan yang dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya. Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas

penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien. Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps. Daftar Kepustakaan http://mentalnursingunpad.multiply.com/journal/item/7 http://mustikanurse.blogspot.com/2007/02/asuhan-keperawatan-kliendengan-sindrom.html Sub Literatur: 1. Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2. Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 3. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. 4. (2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan

Kesejahteraan Masyarakat.

Sosial

RI

Direktorat

Jenderal

Kesehatan

5. Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 6. Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental health-psychiatric nursing a holistic life-cycle approach. Third edition. St. Louis: Mosby Year Book. 7. Stuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book. 8. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book. 9. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 10. Wilson, H.S., and Kneisl, C.R. (1992). Psychiatric nursing. California: Addison-Wesley.Wiguna, T. (2003). Konsultasi Napza Informasi dikumpulkan oleh relawan YAI DR. RINALDI NIZAR, SP.AN (K) Spesialis Anestesi RS THT Prof. Nizar, Jakarta Human Health Januari 2002 MEKANISME KETAGIHAN Bapak Dokter, saya berusia 18 tahun dan masih duduk di SMA kelas III. Saya ingin bertanya, mengapa pasien narkoba (narkotika dan obat-obat terlarang) sering merasakan ketagihan? Apa yang terjadi di dalam tubuhnya sehingga ketagihan? Denny, di Jakarta Utara Sdr. Denny di tempat, saya mencoba menjawab pertanyaan Anda dan semoga bermanfaat. Ketagihan atau ketergantungan terhadap NAPZA (norkotika, psikotropika, dan zat adiktif), terutama narkotika, seperti putauw, heroin, dan morfin, umumnya timbul karena terjadi reaksi yang menyakitkan tubuh bersama suasana hati yang tidak nyaman atau disfora bila pemakaiannya dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya (dikenal sebagai gejala putus zat atau sakaw). Bila seseorang menyalahgunakan narkotika (artinya di luar sepengetahuan dokter untuk keperluan pengobatan seperti pembiusan atau terapi nyeri) maka cepat atau lambat akan terjadi perubahan reaksi sel saraf khususnya di otak (reseptor opioid). Semakin tinggi dosis narkotika yang dipakai atau semakin lama ketergantungan dengan zat tersebut, maka semakin luas perubahan reseptor opioid yang akan bereaksi pada saat terjadi gejala putus zat. Oleh sebab itu, gangguan fisik pada saat putus zat akan berpengaruh secara langsung pada berat ringannya tingkat ketagihan narkotika. Sebenarnya ketergantungan fisik dengan narkotika merupakan suatu proses yang alami bila kita memakainya dalam dosis besar dan berjangka lama. Ini karena terjadi adaptasi dan tolerant terhadap perangsangan itu sendiri sehingga memberi konsekuensi tertentu saat tidak ada rangsangan. Umpamanya, kalau kita biasa makanan yang pedas, eh, tiba-tiba kita mengonsumsi makanan yang tidak pedas, maka makanan itu terasa hambar dan tidak enak, untuk itu kita cenderung mencari cabe atau lada. Proses ketergantungan atau ketagihan narkotika tidak terjadi sekejap namun umumnya melalui tahap-tahap setelah mencoba dan menikmatinya, yaitu pemakaian saat rekreasi atau akhir pekan dan pemakaian situasional (saat depresi atau stres). Kalau sudah dipakai tiap hari minimal selama satu bulan, berarti telah menyalahgunakan narkotika (abuser). Bila sudah menjadi kebutuhan sehari-hari, bahkan harus selalu memakainya maka individu tersebut sudah pada tingkat ketergantungan atau ketagihan. Di samping akibat gangguan fisik, ketagihan narkotika mudah dicetuskon oleh adanya godaan atau dorongan emosi berupa keinginan atau hasrat kuat untuk selalu memakainya walaupun disadari bahaya yang dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena norkotika bekerja pada pusat-pusat penghayatan kenikmatan di otak. Sehingga bagi yang sudah pernah menikmatinya cenderung akan mengulangi kembali, bahkan lebih sering, dalam upaya memperoleh suasana hati dan fisik yang nyaman atau euforia. Dorongan ini dikenal dengan istilah sugesti atau craving. Bagaimana mekanisme sugesti ini? Tidak mudah menentukan penyebabnya karena banyak faktar yang terlibat pada proses sugesti antara lain individu itu sendiri, keluarga, dan lingkungan. Karena itu, ketergantungan narkotika bersifat menahun dan kompleks, sering kambuh-kambuhan walaupun ada saat mampu berhenti dalam waktu yang cukup lama. Psikotropika | Narkotika

2. NARKOTIKA Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat , halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. Jenis jenis narkoba yang termasuk narkotika: A. OPIOID (OPIAD) Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium. Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin(diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan Dilaudid(hydromorphone). Bahan-bahan opioida yang sering disalahgunakan adalah : Candu Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap (menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai "Lates". Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Diperjualbelikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak,burung elang, bola dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Pemakaiannya dengan cara dihisap. Morfin Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. Heroin (putaw) Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang kecanduan karna efeknya sangat kuat. Obat ini bisa di temukan dalam bentuk pil, bubuk, dan juga dalam cairan. Seseorang yang sudah ketergantungan heroin bisa di sebut juga "chasing the dragon." Heroin memberikan efek yang sangat cepat terhadap si pengguna, dan itu bisa secara fisik maupun mental. Dan jika orang itu berhenti mengkonsumsi obat bius itu, dia akan mengalami rasa sakit yang berkesinambungan. Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini . Efek pemakaian heroin: kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakau: mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan adalah : kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan cairan tubuh. Heroin disebut juga dengan nama : putauw, putih, bedak, PT, etep, dll. Codein Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. Demerol Nama lain Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna. Methadone Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas obat tersebut

adalah nalaxone (Narcan), naltrxone(Trexan), nalorphine, levalorphane, danapomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine,butorphanol (Stadol), dan buprenorphine(Buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid. Efek yang ditimbulkan dari Opoid ini adalah: Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara Kerusakan penglihatan pada malam hari Mengalami kerusakan pada liver dan ginjal Peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya . Penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis. Gejala Putus Obat dari ketergantungan opioid adalah: Kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi takikardia disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia. Seseorang yang ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid, kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit jantung. Gejala residual seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan kecanduan opiat mungkin menetap selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap waktu selama sindroma abstinensi, suatu suntikan tunggal morfin atau heroin menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah kegelisahan, iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah. B. KOKAIN (SHABU-SHABU) Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan. Saat ini Kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal, khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksifnya juga membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik, bersama dengan morfin dan heroin karena efek adiktif dan efek merugikannya telah dikenali. Efek yang ditimbulkan : Menjadi bersemangat, gelisah dan tidak bisa diam, tidak bisa makan, paranoid, lever terganggu. Shabu-shabu mengakibatkan efek yang sangat kuat pada system syaraf .Pemakai shabu-shabu secara mental akan bergantung pada zat ini dan penggunaan yang terus menerus dapat merusakan otot jantung dan bahkan menyebabkan kematian. Shabu-shabu sangat berbahaya karena prilaku yang menjurus pada kekerasan merupakan efek langsung dari penggunannya. Bahkan sering menyebabkan impoten. Berat badan menyusut, kejang-kejang, halusinasi, paranoid, kerusakan usus ginjal. Gejala pecandu yang putus obat: Kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang mengalami putus Kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif, hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam ( Valium ). Nama lain dari kokain adalah snow, coke, girl, lady dan crack ( kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih kuat). C. CANNABIS

Ganja dianggap narkoba yang aman dibandingkan dengan putaw atau shabu. Kenyataannya sebagian besar pecandu narkoba memulai dengan mencoba ganja. Jika menggunakan ganja, maka pikiran akan menjadi lamban dan akan nampak bodoh dan membosankan. Ganja dapat mempengaruhi konsentrasi dan ingatanmu. Dan seringkali, para pengguna ganja akan mencari obat-obatan yang lebih keras dan lebih mematikan. Akibat-akibat lain pemakaian ganja adalah: kehilangan konsentrasi,meningkatnya denyut nadi, keseimbangan dan koordinasi tubuh yang buruk, ketakutan dan rasa panik, depresi, kebingungan dan halusinasi. Ganja dikenal juga dengan sebutan : marijuana, grass, pot, weed, tea,Mary Jane. Nama lain untuk menggambarkan tipe Kanabis dalam berbagai kekuatan adalah hemp, chasra, bhang, dagga, dinsemilla, ganja,cimenk.

Semua bagian dari tanaman mengandung kanabioid psikoaktif. Tanaman kanabis biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong kecil - kecil dan digulung menjadi rokok disebut joints. Akan mengikat pikiran dan dapat membuatmu menjadi ketagihan.

Bentuk yang paling poten berasal dari tanaman yang berbunga atau dari eksudat resin yang dikeringkan dan berwarna coklat-hitam yang berasal dari daun yang disebut hashish atau hash. Ganja mengandung sejenis bahan kimia yang disebut delta-9tetrahydrocannabinol (THC) yang dapat mempengaruhi suasana hati manusia dan mempengaruhi cara orang tersebut melihat dan mendengar hal-hal disekitarnya. Orang bilang memakai sekalisekali tidak akan bikin katagihan.

Rehabilitasi Sebagai Solusi Para Pecandu Narkoba Yuli menulis: Semakin hari, angka korban penyalahgunaan narkoba menunjukan adanya peningkatan. berdasarkan data dari BNN jumlah pecandu narkoba pada tahun 2010 mencapai 3,6 juta orang dan diperkirakan akan meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 4,5 juta. Mereka pun berasal dari berbagai kalangan mulai dari kelas bawah sampai dengan kelas atas, dan mereka pun berasal dari berbagai usia, dari anak-anak sampai yang sudah tua sekalipun. Apabila hal ini dibiarkan berlanjut terus menerus, bukan tidak mungkin akan menghancurkan generasi penerus bangsa di kemudian hari. Seiring dengan perkembangannya, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa setiap pengguna narkoba yang setelah vonis pengadilan terbukti tidak mengedarkan atau memproduksi narkotika, dalam hal ini mereka hanya sebatas pengguna saja, maka mereka berhak mengajukan untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi. Melihat hal tersebut, Undang-Undang ini memberikan kesempatan bagi para pecandu yang sudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika agar dapat terbebas dari kondisi tersebut dan dapat kembali melanjutkan hidupnya secara sehat dan normal. Dan kenyataannya dalam beberapa kasus penangkapan pecandu narkoba, mereka terbukti tidak terlibat dalam pengedaran narkoba, dengan kata lain mereka hanya sebagai pengguna saja. Untuk kasus seperti ini, setelah vonis pengadilan diputuskan maka para pengguna tersebut dapat diajukan untuk menjalani rehabilitasi baik secara medis maupun sosial. Yang masih menjadi kendala sekarang adalah kadang para pengguna narkoba baru memikirkan tentang rehabilitasi setelah mereka terjerat hukum, padahal seharusnya mau itu terjerat hukum atau tidak, setiap pengguna narkoba harus segera mendapatkan pertologan melalui suatu rehabilitasi. Oleh karena itu perlu adanya perhatian dari lingkungan sekitar terutama keluarga sebagai lingkungan terdekat agar peka terhadap anggota keluarga mereka , bila ada yang terkena kasus penyalahgunaan narkoba, segera bertindak dengan mulai mencari suatu lembaga rehabilitasi bagi para pecandu NAPZA. PSPP :Galih Pakuan merupakan salah satu panti rehabilitasi penyalahgunaan NAPZA yang berada di bawah Kementerian Sosial RI yang berada di Kota Bogor. Panti ini menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA dalam sistem panti dengan menggunakan pendekatan multidisipliner, bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar, pendidikan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi eks korban narkotika dan pengguna psikotropika sindroma ketergantungan agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui keberadaan panti rehabilitasi ini diharapkan dapat membawa para pengguna dan eks pengguna narkoba kepada fungsi sosialnya agar dapat melanjutkan hidupnya secara sehat dan normal (Yulia Herlina, S.Sos) Rehab lido bogor Berdasarkan data tahun 2008 prevalensi penyalahguna Narkoba di Indonesia telah mencapai 1,99 % dari total populasi penduduk atau sekitar 3,6 juta jiwa. Delapan puluh enam persen penyalahguna Narkoba berada pada usia

produktif. Upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba bersifat komprehensif. Bagi pecandu atau penyalahguna, Undang-Undang telah memberikan hak-hak bagi mereka untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial. Badan Narkotika Nasional memiliki sebuah panti rehabilitasi berkapasitas 500 residen atau pecandu yang terletak di Lido Bogor. Metode yang digunakan untuk memulihkan pecandu adalah medis, sosial, therapeutic community (terapi berbasiskan komunitas), religi, akupuntur, dan hipnoterapi. Panti rehabilitasi ini tidak memungut biaya bagi para penyalahguna Narkoba yang akan berobat atau gratis. Untuk informasi lebih lanjut, masyarakat dapat menghubungi CALL CENTER BNN di nomor 021-80880011, SMS CENTER BNN 081 221 675 675 atau UPT T&R BNN di nomor 0251 822 0928 (//www.antaranews.com/berita/246525/bersatu-selamatkan-saudarakita). Kriteria residen (pecandu) yang dapat menjalani rehabilitasi di UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN : 1. Calon residen merupakan pengguna Narkoba aktif dengan pemakaian terakhir kurang dari 12 bulan. Jika terakhir mengkonsumsi Narkoba lebih dari 3 bulan, wajib melampirkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa yang bersangkutan adalah pengguna Narkoba. 2. Berusia 15 - 40 tahun. Jika berusia kurang dari 15 tahun hanya menjalani detoksifikasi dan entry unit. 3. Tidak sedang hamil (pada calon residen wanita 4. Tidak menderita penyakit fisik (diabetes, stroke, jantung) maupun psikis yang kronis (yang dapat mengganggu pelaksanaan program) 5. Calon residen datang dengan didampingi orang tua/wali 6. Bagi residen yang menjalani rehabilitasi karena putusan pengadilan, wajib melampirkan salinan putusan. 7. Calon residen yang menjalani rehabilitasi karena berdasar pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010, harus didampingi oleh pihak pengadilan. Ketentuan Rehabilitasi : 1. Masa pembinaan residen selama 6 (enam) bulan meliputi detoksifikasi, entry unit, primary, dan re-entry. 2. Selama masa detoksifikasi dan entry unit, residen tidak dapat dikunjungi oleh pihak keluarga. 3. Residen baru dapat dikunjungi setelah memasuki fase primary dan re-entry 4. Apabila residen melarikan diri dari tempat rehabilitasi dan kembali ke keluarga, maka keluarga wajib menginformasikan kepada UPT T&R BNN dan mengantar kembali untuk melanjutkan proses rehabilitasi. Persyaratan Masuk Residen datang dengan didampingi anggota keluarga dan membawa :

4. Kebutuhan pribadi : (1). Snack berupa susu sachet dan makanan ringan (tidak dalam bentuk kaleng), (2). Rokok 19 bungkus (bagi yang merokok). C. Perlengkapan (Wanita) 1. Pakaian : (1). Celana pendek 3/4 (di bawah lutut) sebanyak tiga buah, (2). Pakaian dalam sebanyak enam buah. 2. Perlengkapan ibadah. 3. Peralatan mandi dan cuci : (1). Handuk 1 buah, (2). Sabun mandi (batang) 2 buah, (3). Sikat gigi 1 buah, (4). Pasta gigi 1 buah, (5). Shampo (sachet) 10 buah, (6). Rinso (sachet) 2 buah. 4. Kebutuhan pribadi : (1). Snack berupa susu sachet dan makanan ringan (tidak dalam bentuk kaleng), (2). Rokok 10 bungkus (bagi yang merokok) Pengertian rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang dilakukan bagi pencandu narkoba. Tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika. Bagi pecandu narkoba yang memperoleh keputusan dari hakim untuk menjalani hukuman penjara atau kurungan akan mendapatkan pembinaan maupun pengobatan dalam Lembaga Permasyarakatan. Dengan semakin meningkatnya bahaya narkotika yang meluas keseluruh pelosok dunia, maka timbul bermacam-macam cara pembinaan untuk penyembuhan terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Dalam hal ini adalah rehabilitasi. Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, rehabilitasi dibedakan dua macam, yaitu meliputi: Rehabilitasi Medis Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi Medis pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Rehabitasi Sosial Rehabitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara

A. Perlengkapan administrasi 1. Foto copy kartu keluarga. 2. Foto copy KTP calon residen (pasien) dan orang tua. 3. Pas foto 4 x 6 sebanyak 2 lembar. 4. Materai Rp. 6.000,- sebanyak 2 lembar. 5. Bagi residen yang menjalani rehabilitasi karena putusan pengadilan, wajib melampirkan salinan putusan. B. Perlengkapan (Pria) 1. Pakaian : (1). Celana pendek 3/4 (di bawah lutut) sebanyak tiga buah, (2). Pakaian dalam sebanyak enam buah. 2. Perlengkapan ibadah. 3. Peralatan mandi dan cuci : (1). Handuk 1 buah, (2). Sabun mandi (batang) 2 buah, (3). Sikat gigi 1 buah, (4). Pasta gigi 1 buah, (5). Shampo (sachet) 10 buah, (6). Rinso (sachet) 2 buah.

terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis. Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dapat dilakukan di lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial, Yaitu lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Tindakan rehabilitasi ini merupakan penanggulangan yang bersifat represif yaitu penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, dalam hal ini narkotika, yang berupa pembinaan atau pengobatan terhadap para pengguna narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan dan

pengobatan tersebut diharapkan nantinya korban penyalahgunaan narkotika dapat kembali normal dan berperilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Anda mungkin juga menyukai