Anda di halaman 1dari 5

37 Tahun Program KB Oleh HUSEIN FAUZAN PUTUAMAR PADA awalnya, keluarga berencana (KB) di Indonesia diprakarsai sekelompok kecil

masyarakat dari berbagai golongan yang peduli terhadap perencanaan keluarga. Kemudian, sekitar tahun 1953, mereka merintis aktivitas KB, hingga berdirilah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 1957. Waktu itu, Departemen Kesehatan merupakan penunjang pokok bagi kegiatan PKBI, dengan menyediakan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) berikut tenaga kesehatan sebagai sarana pelayanan KB. Untuk mengelola program KB, pada tahun 1968, pemerintah membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN). Lembaga ini tidak berlangsung lama, hingga pemerintah kemudian membentuk sebuah institusi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 1970, sebagai institusi pemerintah nondepartemen yang bertugas mengoordinasikan program KB secara nasional. Sejak itu, KB di Indonesia mulai dirancang sebagai salah satu program pemerintah. Dari sinilah pemerintah mulai mencurahkan perhatian pada persoalan kependudukan. Kira-kira 37 tahun yang lalu, tepatnya 29 Juni 1970, BKKBN mendapat legitimasi mengoordinasikan upaya mengubah sikap, prilaku, norma, dan budaya, dari keluarga besar menjadi keluarga kecil, sebagai salah satu prasyarat dalam membangun sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera. Waktu itu, KB termasuk kategori program yang masih dianggap aneh, tabu, sulit, dan belum diterima oleh sebagian besar masyarakat. Untuk lebih meningkatkan keberhasilan program, KB mulai diintegrasikan dengan kegiatan-kegiatan lain. Seperti, KB diintegrasikan dengan kesehatan melalui kelompok penimbangan (pokbang), KB dengan perkebunan melalui pemberian pohon kelapa hibrida bagi akseptor lestari, KB dengan ekonomi melalui usaha peningakatan pendapatan keluarga akseptor (UPPKA), dan lain-lain. Dengan harapan, upaya integratif yang semakin sinergis itu mendapatkan pengakuan dan komitmen dari semua lapisan masyarakat. Program KB, sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kependudukan, memiliki implikasi yang tinggi terhadap pembangunan kependudukan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, program KB memiliki posisi strategis dalam upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui pengendalian kelahiran dan pendewasaan usia perkawinan (secara kuantitatif), maupun pembinaan ketahanan dan peningkatan kesejahteraan keluarga (secara kualitatif) dalam mewujudkan keluarga yang kecil dan sejahtera. Sehingga tidak aneh, apabila KB diposisikan sebagai bagian penting dari strategi pembangunan

ekonomi. Sebab, apabila KB tidak berhasil, akan berimplikasi negatif terhadap sektor pembangunan lain seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sektor lainnya. Pada waktu itu, kondisi lingkungan strategis cukup kondusif, khususnya dinamika kehidupan ekonomi dan politik yang relatif stabil, serta kekuatan pemerintah yang memberikan peluang yang besar kepada BKKBN untuk mengembangkan manajemen strateginya yang optimal. Para aktor politik dan sosial digerakan untuk dapat memainkan peran secara aktif dan akomodatif sesuai dengan job masing-masing. Secara sistematis dan rasional, organisasi BKKBN telah berhasil meyakinkan pimpinan negara untuk memosisikan KB menjadi salah satu prioritas utama pembangunan nasional. Presiden secara konsisten telah memperlihatkan keberpihakannya untuk memobilisasi berbagai dukungan untuk keberhasilan program. Komitmen politis itu telah memperkuat pendekatan teknis administratif dan pendekatan kultural untuk membangun KB secara bertahap. Sebut saja, dukungan Mendagri yang memiliki kekuatan besar dalam sistem birokrasi di Indonesia, dengan kewenangan dan peranannya dalam mengendalikan garis komando kepada para gubernur, bupati/ wali kota sampai camat dan kepala desa (kuwu) atau lurah. Sehingga KB ditetapkan sebagai salah satu dari 10 sukses pembangunan daerah. Penghargaan dari setiap keberhasilan aktivitas program, pada acara-acara khusus langsung disampaikan dan dikomunikasikan oleh presiden sebagai pimpinan tertinggi negara, dengan tujuan untuk memosisikan peran pengelola program dengan bangga dan terhormat. Ternyata hal itu mampu mengungkit partisipasi masyarakat dalam program KB. Selain itu, dikembangkan pula berbagai inovasi kegiatan dengan mengemas program agar tetap dapat tampil dengan segar dan berjalan selaras dengan isu pembangunan nasional. Hampir tidak ada yang meragukan, program KB telah berjalan secara mangkus dan sangkil. Alhasil KB di Indonesia dinilai berhasil. Paling tidak, indikator keberhasilan itu antara lain; pertama, aspek demografis, yang ditandai dengan semakin menurunnya tingkat fertilitas (total fertility rate). Dari 5,6 pada tahun 1971 menjadi 4,6 pada tahun 1980 dan turun lagi menjadi 2,8 pada tahun 1997. Selain itu, melesetnya prakiraan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terhadap jumlah penduduk Indonesia pada Sensus Penduduk (SP) 1990 (jumlah penduduk hasil SP 1990 lebih kecil dari prakiraan PBB) merupakan keberhasilan yang tidak mudah diraih.

Kedua, aspek pengakuan atau penghargaan nasional dan dunia internasional. Sebut saja United Nation For Population Fund (UNFPA) sebuah Badan Kependudukan PBB telah menetapkan Indonesia sebagai pusat rujukan (centre of excellence) dalam bidang kependudukan, KB, dan kesehatan reproduksi. Hal itu membuat para tenaga ahli dalam bidang kependudukan, KB, dan kesehatan reproduksi diundang berbagai negara berkembang sebagai konsultan jangka pendek (short term consultants). Bukan hanya itu, pengakuan terhadap keberhasilan Indonesia juga ditunjukkan dengan diperolehnya berbagai penghargaan seperti United Nation Population Awards dari Badan Kependudukan Dunia tahun 1987, High Moore Memorial Awards dari John Hopkins University (Population Crisis Committee) Amerika Serikat tahun 1989. Bahkan, dalam bidang teknologi informasi, tahun 2002 BKKBN mendapat pengakuan sebagai pengelola e-Government terbaik kedua setelah Bank Indonesia, atas prestasinya dalam mengembangkan sistem jaringan komunikasi dan teknologi informasi bidang kependudukan dan keluarga yang dikenal dengan "siduga" (sistem informasi kependudukan dan keluarga). Memang, keberhasilan itu mungkin bukan melulu hasil BKKBN, tetapi merupakan keberhasilan pemerintah dari pusat sampai daerah yang mampu menggetarkan subsistem pemerintahan seperti dikatakan sebagian orang. Namun demikian, kenyataannya BKKBN sebagai lembaga yang diberi mandat untuk itu telah mampu mengoordinasikan untuk mengintegrasikan berbagai sektor pembangunan dengan program KB. Terbukti sebagai institusi yang cukup piawai menyinergikan kekuatan-kekuatan yang ada untuk membangun negeri ini dalam bidang kependudukan dan KB. Krisis ekonomi BKKBN telah berhasil menyinergikan berbagai kekuatan yang ada. Out put-nya adalah komitmen politis yang tinggi, seiring dengan penanganan teknis administratif dan pendekatan kultural yang dilaksanakan secara professional, proporsional, dan konsisten selama tidak kurang dari 25 tahun. Namun dengan adanya krisis moneter dan ekonomi yang berkepanjangan, mengakibatkan melemahnya daya beli masyarakat. Selain itu, berdampak pula pada bertambahnya keluarga miskin, meningkatnya tarif pelayanan KB, naiknya harga alat/ obat kontrasepsi dan obat-obat habis pakai sebagai pendamping pelayanan, membawa implikasi yang sangat besar terhadap program KB. Pada sisi lain terjadi pergeseran perimbangan konstelasi politik seiring dengan tumbuhnya multipartai, perubahan peran sospol ABRI (sekarang TNI), terjadinya ledakan partisipasi politik dengan suasana euforia keterbukaan dan

demokratisasi. Perubahan juga terjadi pada pola interaksi eksekutif dan legislatif, semakin terbukanya isu hak azasi manusia (HAM), meningkatnya dinamika sosial politik di masyarakat. Seiring dengan semakin memudarnya budaya paternalistik dan menyempitnya jembatan komunikasi politik, ini menyebabkan timbulnya krisis kepercayaan. Dinamika itu semakin meningkat dengan berkembangnya perubahan pola hubungan antara pusat dan daerah sejalan dengan perubahan peran dan stuktur pemerintah daerah, serta desentralisasi yang lebih besar dengan otonomi yang semakin luas di kabupaten/ kota. Berbagai perubahan kondisi lingkungan strategis di atas berdampak pada model manajemen strategi program. Dengan segala keterbatasan anggaran pemerintah, berdampak pada pasokan logistik alat dan obat kontrasepsi. Alternatif efektifitas dan efisiensi menjadi pertimbangan utama. Di satu pihak, secara proaktif mendorong kepedulian dan peran serta masyarakat dalam membangun dan mempertahankan kemandirian. Di pihak lain, perlindungan dan pelayanan fasilitas pemerintah difokuskan pada keluarga yang tergolong miskin yaitu keluarga prasejahtera dan sejahtera I alasan ekonomi. Terganggunya pasokan logistik dan melemahnya keterjangkauan pelayanan kontrasepsi, dikhawatirkan berakibat pada meningkatnya kembali tingkat fertilitas karena penggunaan kontrasepsi merupakan faktor terbesar/ dominan dalam pengendalian tingkat fertilitas. Kelangkaan alat dan obat kotrasepsi beserta obat habis pakai dapat mengakibatkan terjadinya ledakan bayi (baby boom). Karena itu, realisasi dukungan alat dan obat kontrasepsi menjadi prioritas utama yang tidak dapat ditawar lagi. Sejalan dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 yang isinya antara lain; sebagian kewenangan bidang Keluarga Berencana diserahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi logis terhadap pengadaan alat dan obat kontrasepsi sebagai prasyarat kesinambungan progaram KB di daerah. Kesehatan reproduksi Program KB merupakan program yang mendunia. Hal ini sejalan dengan hasil kesepakatan ICPD (International Conference on Population and Development) 1994 di Kairo Mesir, dan beberapa pertemuan internasional ikutannya seperti ICPD + 5 di Den Haag tahun 1999, yang menegaskan bahwa program KB disepakati untuk diperluas dan dikembangkan menjadi program kesehatan reproduksi.

ICPD tahun 1994, menyebutkan bahwa kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai keadaan fisik, mental, dan sosial yang baik secara menyeluruh dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi, dan prosesnya. Tujuan yang ingin dicapai, bukan lagi hanya bertumpu pada aspek demografis (kuantitatif), tetapi lebih ditekankan pada peningkatan kualitas hidup individu (kualitatif). Hak-hak reproduksi sebagai bagian integral dari HAM, pencegahan kekerasan seks, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan, peningkatan peran pria, kesehatan reproduksi remaja, pengentasan kemiskinan, dan keterjangkauan terhadap pelayanan yang berkualitas untuk mendapat porsi yang lebih besar. Masalah kesehatan reproduksi juga menyangkut masalah etika, yang berkaitan dengan aspek sosial, hukum, keadilan, ekonomi, otonomi, moral, agama, dan ada tidaknya unsur pemaksaan dalam keluarga dan masyarakat. Karena itu, pendidikan kesehatan reproduksi perlu diberikan bukan hanya pada kaum perempuan, tetapi juga pada pria, remaja, dan tokoh masyarakat. Kini, program KB dalam nuansa otonomi daerah sepatutnya menjadi sebuah program prioritas, mengingat program itu memiliki daya ungkit terhadap sektor pembangunan lain, bahkan merupakan dasar dari program-program pembangunan lainnya. Memang, hasil program KB tidak dapat dirasakan seketika seperti pedasnya makan cabe atau mudahnya membalikkan telapan tangan. Namun, yakinlah bahwa program KB memiliki daya investasi yang tinggi di masa depan. Dirgahayu program keluarga berencana Indonesia.*** Penulis, staf pengajar pada STIKes Cirebon, mantan pegawai BKKBN, peminat masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Cirebon

Anda mungkin juga menyukai