Anda di halaman 1dari 24

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2011) 37(3): 455-478

ISSN 0125 9830

KERAGAMAN JENIS, JUMLAH INDIVIDU DAN POLA SEBARAN SPASIAL BINTANG LAUT (ASTEROIDEA, ECHINODERMATA) DI PULAU TIKUS, KEPULAUAN SERIBU oleh
1) PRADINA PURWATI , INDRA BAYU VIMONO dan MUHAMMAD FAJRI 2) 1) Pusat Penelitian Oseanografi LIPI 2) Alumnus Fakultas MIPA, IPB, Bogor 1)

Received 31 January 2011, Accepted 10 October 2011

ABSTRAK
Bintang laut (Asteroidea) merupakan salah satu kelompok Echinodermata yang membentuk komunitas makrobentos di Pulau Tikus, Kepulauan Seribu. Dua teknik pengambilan sampel yaitu transek sabuk ( belt transect) dan pemetaan diterapkan pada bulan Juni 2007 untuk memperkirakan jumlah individu dan pola distribusi spasialnya. Hanya 4 (empat) jenis bintang 2 laut yang ditemukan dengan estimasi densitas 15 individu/45 m (teknik 2 pemetaan) dan 1 individu/45 m (teknik transek). Pola sebaran yang direkam dari teknik pemetaan memperlihatkan bahwa Archaster typicus (93 individu) tinggal mengelompok di area kecil dekat dengan batas daratan, Culcita novaeguineae (13 individu) dan Linckia laevigata (22 individu) menyebar hingga ke tubir. Sementara Nardoa tuberculata yang hanya berjumlah satu individu, belum bisa disimpulkan, kecuali jika memang terbukti spesies ini merupakan spesies soliter. Khusus untuk A.typicus, spesies ini membenamkan diri di dalam pasir yang sebagian besar partikelnya berukuran 0,063-0,5 mm, dan tutupan lamunnya rendah (< 30%). Area yang dipilih ini menggambarkan kemampuan populasi tersebut bertahan terhadap berbagai fluktuasi termasuk kekeringan saat air surut, sementara tipe sedimennya memberi kemudahan populasi ini membenamkan diri berlindung dari sinar matahari. Sampai saat ini, 9 (sembilan) spesies bintang laut diketahui pernah dan masih ada di Pulau Tikus, yang merupakan sepertiga dari spesies yang dikenal di Kepulauan Seribu. Kata kunci: bintang laut, keragaman, distribusi lokal, densitas, pemetaan, Pulau Tikus.

PURWATI, VIMONO & FAJRI

ABSTRACT
SPECIES DIVERSITY, DENSITY AND SPATIAL DISTRIBUTION OF SEA STARS (ASTEROIDEA, ECHINODRMATA) AT TIKUS ISLAND, SERIBU ISLANDS. Sea stars constitute macrobenthic community in Tikus Island, Seribu Islands. Two techniques, belt transect and mapping, had been employed in June 2007 to estimate the density and describe the spatial distribution of sea stars in the area. Four species existed with density 2 of 15 ind./45 m 2 (mapping) and 1 ind./45 m (belt transect). Distribution pattern recorded through mapping demonstrated that Archaster typicus (93 ind.) agregated at small area close to the shoreline, Culcita novaeguineae (13 ind.) and Linckia laevigata (22 ind.) distributed up to the reef slope. In the case of Nardoa tuberculata which was only one individual found, conclusion might not be drawn unless this species was solitary. The individuals of dominant species A. typicus, burrowed on sandy area in which most particle of the sediment was measured 0.063 to 0.5 mm, with low coverage area of seagrass (< 30%). The characteristics of prefered habitat illustrated that this species had been adapted to such fluctuation including desiccation during ebb tide. In addition, the sediment type facilitated the individuals to burrow, protecting their bodies from sun radiation. So far, 9 (nine) sea star species have been known from Tikus Island, which comprised one third of those from the Seribu Islands. Key words: Sea stars, species diversity, distribution pattern, density, Tikus Island.

PENDAHULUAN
Keberadaan suatu populasi di suatu area, selain efek dari sebaran biogeografi, berhubungan antara lain dengan ketersediaan makanan dan perlindungan. Ketergantungan terhadap kedua faktor tersebut diekspresikan oleh setiap populasi sebagai pemilihan mikrohabitat (niche) dan menjadi strategi alamiah untuk hidup berdampingan dengan populasi lain dan mengurangi kompetisi (Purwati & Syahailatua, 2008). Jangkauan penyebaran suatu spesies bentik juga dipengaruhi oleh tipe larvae dan panjangnya fase larva. Spesies yang memiliki masa larva planktonik relatif panjang akan memiliki penyebaran lebih luas dan supaya dapat beradaptasi pada habitat yang baru, maka variasi genetik antar individu di dalam populasinya harus cukup besar. Spesies yang demikian memiliki persamaan genetik yang

456

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

besar antar populasinya yang tersebar di area yang cukup luas. Contoh yang jelas adalah sebaran Linckia laevigata yang memiliki fase larva selama 28 hari, populasinya menyebar sejauh ribuan kilometer (William & Benzie, 1993). Walaupun demikian, species ini tidak mudah blooming karena angka rekruitmennya rendah dan pertumbuhannya relatif lambat (Yamaguchi, 1977). Suatu spesies bukan sekedar sebagai pelengkap bagi ekosistemnya. Keragaman spesies di suatu habitat sebenarnya menggambarkan keragaman fungsi dan peran ekosistemnya, karena setiap populasi memiliki peran tertentu dalam proses yang berlangsung di dalam ekosistem tersebut. Dua atau lebih spesies yang melakukan fungsi dan peran yang sama di dalam ekosistem, dapat saling menggantikan. Proses alamiah seperti ini yang membuat suatu ekosistem memiliki tingkat resiliensi dan resistensi tertentu terhadap perubahan. Dengan kata lain, biodiversitas beriringan dengan diversitas fungsional ekosistem, sehingga ekosistem mampu menyediakan berbagai kebutuhan yang diperlukan (Harley et al., 2006; Jones & Frid, 2009). Banyak jenis bintang laut menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan tingkat rekruitmen yang rendah. Linckia laevigata dan Protoreaster nodosus adalah contohnya. Keduanya termasuk jenis bintang laut berukuran besar dan merupakan jenis umum di perairan Indo-Pasifik Barat, termasuk Indonesia. Linckia laevigata dapat tumbuh mencapai panjang lengan 12 cm setelah 14 bulan dan P. nodosus yang panjang lengannya 14 cm membutuhkan waktu tumbuh sampai 17 tahun (Yamaguchi, 1977; Bos et al., 2008). Kedua jenis ini sering dijadikan ornamen baik untuk mengisi aquarium, maupun dijual kering. Fenomena alamiah yang dimilikinya dan kemudahan untuk dikumpulkan dari laut membuat jenis-jenis seperti ini rentan terhadap kelangkaan. Besarnya suatu populasi dapat terhitung berbeda bila diukur melalui teknik yang berbeda. Teknik transek dengan konsep dasar yang antara lain diajukan oleh Krebs (1989) sangat umum dipakai untuk mempelajari antara lain struktur komunitas bentos laut. Teknik ini mewakilkan kondisi populasi/komunitas dalam suatu area pada beberapa garis transek. Berbeda dengan teknik transek, teknik pemetaan dilakukan dengan cara menandai lokasi setiap hewan yang ditemukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Teknik ini telah diterapkan pada timun laut (Holothuroidea) di daerah pasang surut Lombok Barat (Purwati et al., 2008a,b). Selain memperoleh data jumlah individu, teknik ini memberi gambaran pola sebaran spasial individu, dan memberi batas mikrobahitat tiap populasi di lokasi penelitian. Informasi kelompok bintang laut atau Asteroidea di Indonesia biasanya merupakan hasil penelitian keragaman dan densitas dan dipublikasikan sebagai bagian dari filum Echinodermata (Aziz et al., 1980a; Aziz, 1981; Robert & Darsono, 1984; Jangoux et al., 1989; Lumingas, 1996; Yusron & Susetiono, 2006). Hampir semua publikasi yang ada terpaku pada transek kuadran 2 (quadrant transect) seluas 1 m . Sedangkan transek sabuk ( belt transect) yang lebih sesuai untuk menghitung hewan yang jumlah individunya sedikit dan

457

PURWATI, VIMONO & FAJRI

cenderung menyebar, jarang digunakan, padahal teknik ini cukup populer. Scheibling (1980) menggunakan teknik sabuk ini untuk menghitung dan melihat sebaran spasial bintang laut Oreaster reticulatus di perairan Karibia. Morgan & Cowles (1996) menerapkan teknik ini untuk meneliti distribusi bintang laut Phataria unifascialis di Teluk California, Meksiko sehubungan dengan respon terhadap suhu air. Ross et al. (2008) juga menggunakan teknik ini untuk melihat dinamika populasi bintang laut Protoreaster nodosus di Teluk Davao, Filipina. Pulau Tikus yang terletak di sebelah barat laut Teluk Jakarta, cukup rentan terhadap perubahan lingkungan Teluk Jakarta, baik yang bersumber dari aktivitas di pesisir maupun sepanjang sungai yang bermuara ke dalam teluk. Di dalam teluk itu sendiri, diversitas moluska dan karang banyak berkurang dan beberapa spesies seperti moluska yang berasosiasi dengan substrat karbonat menghilang (van der Meij et al., 2009, 2010). Penelitian yang dilakukan bertujuan menyingkap: 1) daftar spesies bintang laut yang masih dan pernah ada di Pulau Tikus; 2) perkiraan densitas bintang laut, dan membedakan hasil dari dua teknik sampling yang diterapkan yaitu transek sabuk (belt transect) dan teknik pemetaan; 3) daftar pola sebaran tiap populasi bintang laut, dan 4) karakter mikrohabitat populasi bintang laut yang dominan, Archaster typicus.

METODE
Lokasi penelitian o o Pengambilan sampel dilakukan di Pulau Tikus (5,862 -5,865 LS; o o 106,578 -106,583 BT) yang terletak paling barat dalam gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu (Gambar 1). Pada pengamatan awal diketahui bahwa bintang laut hanya ada di sisi sebelah selatan pulau, maka pengamatan in situ difokuskan di sisi ini. Kegiatan dilakukan pada bulan Juni 2007, saat kondisi laut surut jauh (koefesien pada tabel pasang surut Hidro-Oseanografi TNI AL 2007 berkisar 0,0-0,1). Ketinggian air saat pengamatan 0 - 10 cm di sekitar pantai dan 120 cm di dekat tubir. Habitat di sisi selatan Pulau Tikus bersifat heterogen. Jika diurut dari daratan ke arah laut, dasar perairannya berupa area pasir, diikuti area yang banyak patahan karang mati dan cangkang moluska, dan area paparan karang. Daerah tubir dibatasi oleh karang yang sudah agak rusak. Kondisi ini relatif tidak berubah selama tenggang waktu tiga tahun terakhir Pratiwi (2010).

458

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA
-5.83 S

Java Sea
-5.84 S

-5.85 S

-5.86 S Tikus Island -5.87 S

-5.6 S

Jaav Sea Seribu Islands

Pari Islands
-5.88 S

-5.8 S

-6 S

JAVA
106.5 E

Jakarta Bay 106.9 E

106.7 E

-5.89 S

-5.9 S 106.56 E

106.58 E

106.6 E

106.62 E

106.64 E

106.66 E

Gambar 1. Posisi Pulau Tikus (tanda panah). Figure.1. Position of Tikus Island (pointed arrow). Konfirmasi spesies Untuk keperluan identifikasi, setiap jenis yang berbeda diambil, difoto dan kemudian diawetkan dalam alkohol 70%. Semua spesimen kemudian disimpan di ruang koleksi Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Penentuan nama spesies bintang laut dilakukan dengan merujuk pada Clark (1946), Clark & Rowe (1971), Doderlein (1917, 1936) dan Purwati & Lane (2004). Ukuran individu ditentukan melalui rasio R/r (perbandingan antara panjang lengan dan jari-jari cakram, keduanya di ukur dari pusat bagian cakram) yang merujuk pada publikasi yang sama. Data spesies dari spesimen koleksi P2O LIPI dan publikasipublikasi terdahulu dipakai untuk menentukan jumlah spesies bintang laut yang pernah atau masih ada di Pulau Tikus.

459

PURWATI, VIMONO & FAJRI

Densitas dan pola sebaran Densitas ditentukan dengan menerapkan dua metode di lokasi yang sama, yaitu transek sabuk (belt transect) dan teknik pemetaan (mapping). Pemetaan posisi bintang laut dilakukan lebih dahulu, karena penerapannya memakan waktu lebih pendek. Sambil melakukan pemetaan, setiap individu bintang laut yang dijumpai diidentifikasi dan lokasinya direkam dengan GPS (Global Positioning System). Data posisi tiap individu ini kemudian diplotkan di atas peta untuk menghasilkan tematik. Teknik ini pernah digunakan untuk timun laut oleh Purwati et al., (2008a) dan Purwati et al. (2008b). Teknik transek yang digunakan adalah transek sabuk (belt transect) yang pernah diterapkan oleh Scheibling (1980), Morgan & Cowles (1996) dan Ross et al. (2008). Teknik transek sabuk ini dipilih karena distribusi bintang lautnya tidak merata dan jumlah individunya relatif sedikit. Enam transek dipasang, dengan lebar setiap sabuk 2 meter, diawali dari garis pantai sampai tubir. Jarak antar sabuk 10 meter. Setiap spesimen yang ditemukan dalam transek dicatat jenis dan jumlahnya. Karena panjang transek sampai tubir 22,5 m maka akan diperoleh densitas jumlah individu per 45 m. Salah satu aplikasi hasil penggunaan teknik pemetaan adalah batasan area yang disukai (prefered habitat) suatu populasi bintang laut. Archaster typicus merupakan jenis yang terbanyak jumlah individunya. Untuk melihat apakah ada hubungan antara ukuran individu dengan posisi kelompoknya dalam mikrohabitatnya dilakukan analisa ANOVA. Karakteristik habitat mikro yang dipilih oleh A. typicus dilihat melalui dua parameter, yaitu komposisi ukuran partikel sedimen dan luas tutupan dan jenis lamun. Sampel sedimen dikumpulkan dari tapak mikrohabitat yang ditentukan melalui teknik pemetaan di atas. Sedimen diambil dengan corer sedalam 1-1,5 cm di 3 (tiga) tempat di setiap area kelompokan. Komposisi ukuran butiran ditentukan dengan cara mengeringkannya dalam oven dengan suhu 80 o C selama 48 jam. Setelah kering, sedimen diayak dengan saringan bertingkat (untuk delapan fraksi). Teknik ini dipakai oleh Moreira et al. (2006). Sedimen hasil penyaringan kemudian ditimbang per tingkatan saringan dengan menggunakan timbangan triple balance (akurasi 0,01 g). Luas tutupan lamun ditentukan dengan mengadopsi petunjuk lapangan yang dikemukakan oleh McKenzie (2003).

460

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keragaman species Dari hasil identifikasi terhadap 140 spesimen bintang laut dari Pulau Tikus, ternyata hanya ada 4 (empat) spesies (Gambar 2). Spesies ini merupakan jenis yang umum dijumpai di perairan tropis Indo Pasifik. Berikut adalah ciri morfologi ke empat jenis bintang laut tersebut. a. Archaster typicus Muller & Troschel, 1840 (Famili Archasteridae). Jenis ini memiliki tubuh pipih dengan lima lengan. Ujung lengan meruncing, berwarna kecoklatan sampai putih keabu-abuan. Biasanya terdapat belang coklat tua melintang di lengan-lengannya. Lempeng marginalnya terdiri dari dua deret. Duri-duri berwarna putih, tumpul, pipih jelas terlihat berderet membatasi tubuhnya, muncul dari deretan lempeng marginal inferior (di sisi ventral), satu duri ditiap lempeng. Hewan ini membenamkan diri di pasir dan hidup mengelompok. b. Culcita novaeguineae Muller & Troschel, 1842 (Famili Goniasteridae). Bentuk tubuh Culcita novaeguineae pentagonal, terkesan gemuk seperti bantal karena kelima lengannya sangat pendek. Warnanya hijau kecoklatan, dipenuhi oleh bintil-bintil (granules) oranye yang bentuk dan susunannya tidak teratur. Ada gambaran seperti jaring-jaring, dan ada area yang tanpa pori-pori di sisi dorsal. Bintil-bintil tersebut beragam ukurannya. c. Linckia laevigata (Linnaeus, 1758) (Famili Ophidiasteridae). Linckia laevigata memiliki warna yang menyolok, yakni biru cerah. Biasanya memiliki dua madreporit. Tangan-tangannya lima, ramping, cenderung silindris dengan ujung yang tumpul. Lobang papillanya membentuk kelompok. Bintang laut ini dijumpai di sekitar daerah berkarang dan kadang-kadang menjangkau area lamun. Jenis ini merupakan salah satu yang memiliki masa larva panjang, memungkinkan recruitmennya terjadi jauh dari sumber telurnya. d. Nordoa tuberculata Gray, 1840 (Famili Ophidiasteridae). Nordoa tuberculata berwarna kekuning-kuningan dengan belang-belang kecoklatan di tiap lengannya. Cakramnya cembung, lima lengan-lengannya cenderung silindris, meruncing. Lempeng-lempeng dinding tubuhnya berbutirbutir (granular). Pada beberapa lempeng dorsal ada butiran membesar dan menonjol. Pada bagian ventral, celah ambulakralnya dibatasi oleh duri-duri yang melebar dan pipih.

461

PURWATI, VIMONO & FAJRI

Gambar 2. Bintang laut di daerah penelitian di Pulau Tikus. 1: Archaster typicus, 2: Culcita novaeguineae, 3: Linckia laevigata; 4: Nardoa.tuberculata (Gambar di deretan kiri merupakan foto spesimen dalam alkohol, deretan kanan merupakan foto ciri spesifik yang diambil di bawah mikroskop perbesaran lemah). Figure 2. Sea stars found on the reefs of Tikus island. 1: Archaster typicus, 2: Culcita novaeguineae, 3: Linckia laevigata; 4: Nardoa.tuberculata (Figures in left raw presents overall picture of each preserved species, right raw shows specific characters of given species under disecting microscope).

462

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

Selain spesies di atas, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI - Jakarta menyimpan empat spesies lain dari PulauTikus, yaitu Asteropsis carinifera, Ophidiaster granifer dan Fromia milleporella yang dikumpulkan pada tahun 1970 an dan Astropecten polyacanthus yang diperoleh tahun 2010. Dari sumber ini, delapan spesies bintang laut pernah ditemukan di PulauTikus dan merupakan separuh dari koleksi spesimen Kepulauan Seribu (Tabel 1). Namun demikian, publikasi-publikasi biodiversitas dan ekologi yang pernah diterbitkan memberi indikasi jumlah spesies yang lebih banyak (Tabel 2). C. novaeguineae, L. laevigata dan N. tuberculata masih bertahan sampai 2010 (Pratiwi, 2010), sejak terdeteksi tahun 1984 oleh Roberts & Darsono (1984). A. typicus yang mengelompok dan menempati mikrohabitat yang relatif kecil di sisi tenggara Pulau Tikus tidak terdeteksi dengan teknik transek yang diterapkan Roberts & Darsono, tetapi disebutkan bahwa spesies ini ada. Di sisi selatan Pulau Tikus ini, keragaman landak laut atau Echinoidea (Echinodermata) juga lebih tinggi dari sisi yang lain. Lima spesies echinoidea yaitu Laganum laganum, Diadema setosum, Echinotrix diadema, Briyopsis sp. dan Echinotrix calamaris), ada di sisi selatan. Tiga spesies pertama juga menempati sisi utara pulau dan tiga spesies yang disebutkan di tengah menempati juga sisi timur, bersama-sama dengan A. typicus (Pratiwi, 2010). Pratiwi (2010) mendata lima spesies lamun (dari tujuh spesies yang ada di sekeliling pulau) tumbuh di area ini. Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata tumbuh paling lebat dengan kerapatan 675 dan 925 tegakan/m. Lamun tersebut berbagi habitat dengan 17 spesies algae yang biomassanya hampir 300 gr/ m. Masih dari hasil laporan Pratiwi (2010), secara umum, lebih dari 75% partikel sedimen sisi selatan Pulau Tikus berupa pasir halus sampai sedang (berukuran 0,125-0,5 mm), dan relatif lebih halus dari pada sisi pulau yang lain. Estimasi materi organik totalnya antara 3,6 sampai 4,2% / gram (rata-rataSD = 3,93 0,2 % ), lebih rendah dari sisi yang lain. Dari informasi yang masih berupa data mentah ini, tampaknya ada faktor-faktor lain selain materi organik yang mendorong bintang laut memilih sisi selatan Pulau Tikus. Sehubungan dengan lokasi Pulau Tikus yang terletak di utara Teluk Jakarta yang terkontaminasi dengan berbagai polutan (Ruyitno, 2008), melalui berbagai cara, cepat atau lambat akan mempengaruhi komunitas bentik Pulau Tikus dan menghambat berbagai proses alamiah termasuk dispersi spesies. Hilangnya 4 (empat) spesies dari perairan Pulau Tikus membawa banyak pertanyaan, sejauh mana perairan di sekitarnya mempengaruhi perairan pulau ini, apakah ada suksesi alamiah yang menyebabkan komposisi kelompok biota ini berubah. Terlepas dari persoalan di atas, spesies sebenarnya mencerminkan fungsi danperannya di dalam ekosistem Pulau Tikus. Jika satu atau lebih spesies menghilang, sementara ada spesies yang dapat menggantikannya dalam hal peran dan fungsinya, maka ekosistem akan tetap stabil. Penelitian biologi yang

463

PURWATI, VIMONO & FAJRI

menyangkut peran suatu populasi dalam proses-proses biogeokimia di dalam ekosistem laut masih sangat sedikit di Indonesia. Densitas dan pola sebaran bintang laut Pulau Tikus Bintang laut menyebar pada area yang tidak terlalu luas (300 m). Bintang laut di bagian selatan Pulau Tikus menunjukkan kepadatan 1 ind./45 m 2 dengan teknik transek dan 15 ind./45 m 2 dengan teknik pemetaan (Tabel 3, Gambar 3). Perbedaan estimasi densitas ini cukup besar dan salah satunya berasal dari kondisi dasar perairan dan lamun yang heterogen, yang menyebabkan penerapan teknik transek tidak optimal. Robert & Darsono (1984) yang menarik garis transek sepanjang 20 m dan mengamati sejauh 1 m di tiap sisi garis transek 2 menghasilkan 9 individu/40 m (masing-masing terdiri dari 3 (tiga) individu untuk C. novaeguineae, L. laevigata dan N. tuberculata). Dengan dasar bahwa efek antropogenik sangat rendah di pulau ini, maka dapat dikatakan bahwa perbedaan hasil lebih disebabkan perbedaan teknik penghitungan yang diterapkan. Selain itu, pemilihan waktu observasi juga mempengaruhi hasil estimasi densitas karena adanya migrasi musiman. Populasi Oreaster reticulus di Karibia menggambarkannya dengan jelas. Pada periode ombak (stormy winter months), individu-individunya bergerak lebih ke laut atau di pinggiran daerah yang ditumbuhi Thalassia testudinum. Kedua tipe mikrohabitat ini memberi perlindungan terhadap arus ombak. Saat air tenang kembali, populasi migrasi kembali ke daerah dangkal (Scheibling, 1980). Pada penelitian ini, aspek seperti ini belum sempat digarap dan masih memerlukan pengamatan lanjutan. Di antara keempat jenis bintang laut yang ditemukan, hanya L. laevigata yang sebarannya menjangkau di sekitar tubir yang merupakan daerah berkarang dengan kedalaman waktu surut sampai 120 cm. Jenis ini juga menjadi komponen biota terumbu karang. Kisaran pemilihan tipe habitat yang cukup luas, ditambah dengan masa larva yang panjang menunjang spesies ini dalam mengkompensasi laju peremajaan yang rendah dan pertumbuhan yang lambat. Gambaran seperti ini diperoleh di rataan Asan, Guam oleh Yamaguchi (1977) dari populasi L. laevigata dan Linkia sp. yang memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat (sibling species). Ada kemungkinan Indonesia memiliki Linckia sp. yang berwarna coklat dan tinggal di perairan lebih dalam (10-20 m), karena seperti di Guam, Linckia ini memiliki toleransi batas atas suhu yang lebih rendah dari Linckia laevigata (Strong, 1975). Posisi C. novaeguinea lebih menyebar, dimulai dari pertengahan rataan sampai daerah tubir. Habitat ini terdiri dari sedimen dengan pasir halus sampai daerah berkarang di daerah tubir. Bagi L. laevigata dan C. novaeguinea, lamun yang tumbuh lebat tampaknya menjadi salah satu pembatas penyebaran. Individu-individu kedua spesies ini tidak memerlukan tempat persembunyian dan selalu berada di atas permukaan dasar yang tergenang air sepanjang hari.

464

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

-5.8625

-5.86255

-5.8626

-5.86265

-5.8626 8 -5.8628

1 2 3 45 76 9 10 11 12 13

-5.8627

Tikus I.
-5.86275

-5.8628

-5.863
-5.86285

-5.8632
-5.8629

-5.8634 C -5.8636 C C C N

106.58175 106.5818 106.58185 106.5819 106.58195 106.582 106.58205

-5.8638

-5.864 C -5.8642 C C C

-5.8644 L LLL L L L L L

L L L

L L CC N L L C

-5.8646 L L 106.5812

106.5816

106.582

106.5824

106.5828

Gambar 3. Kiri: Distribusi individu bintang laut dan area preference nya di bagian selatan Pulau Tikus (A: A. typicus; C: C. novaegueneae ; L: L. laevigata; N: N. tuberculata). Kanan: posisi empat kelompok Archaster. Figure. 3. Left: Distribution of sea star individuals and their preferred habitat on southern reef of Tikus Island (A: A. typicus; C: C. novaeguneae; L: L. laevigata; N: N. tuberculata). Right: position of four Archaster aggregations.

465

PURWATI, VIMONO & FAJRI

Tabel 1. Bintang laut Pulau Tikus dan sekitarnya Koleksi Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta. Table 1. Sea stars of Tikus Island and its surrounding, collection of Research Centre of Oceanography, LIPI, Jakarta.
Family Luidiidae 1 2 Species Craspidaster hesperus (Muller Troschel 1840) Luidia hardwicki (Gray 1840) Location & Jakarta Bay Jakarta Bay Jakarta Bay Coll. date 1976 1976 1988 1975

Astropectinidae 3 4 5 Archasteridae 6 7 Goniasteridae 8

Astropecten 1910

carcharicus

Doderlain Rawasaban

Astropecten polyacanthus Muller Troschel 1842 Astropecten sp. Archaster angulatus Troschel 1840 Muller

& South of Tikus I. 2010 Tanjung Pasir & South of Pari I. 1975 2003

Archaster typicus Muller & Troschel 1840

South of Pari I. 2003 South of Tikus I 2007

Ophidiasteridae 9 10 11 12 13

14 15 Asterinidae 16

Culcita novaeguineae Muller & South of Tikus I. 2006 Troschel 1842 Nardoa tuberculata Gray 1940 Lagoon of Pari I. 1964 South of Tikus I. 2007 Nardoa frianti Koehler, 1910 Lagoon of Pari I. 1964 Ophidiaster granifer Lutken 1872 South of Tikus I. 1975 Tamaria megaloplax (Bell 1884) South of Pari I. 1975 Fromia milliforella (Lamarck 1816) South of Pari I. 1975 Ayer I. 1984 South of Tikus I. 1975 Linckia guildingi Gray 1840 Panaitan I. 1981 Linckia laevigata (Linnaeus 1758) Lagoon of Pari I. 1975 South of Tikus I. 2007 Asterina burtoni Gray 1840 South of Pari I. 2003

466

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

Tabel 2. Bintang laut Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Table 2. Sea stars of Jakarta Bay and Seribu Islands.
Source Location No. Observation date a b c South of Tikus I. 1984 d 1978 to1979 e 1978 to1979 f Pari I. 1964 to1976 g Pari I. 1984 Jakarta Bay Jakarta Bay 1977 to1979 1990 to1993 South of Pari I. South of Pari I.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Luidiidae Luidia maculata L.hardwicki Astropectinidae Astropecten andersoni A. polyacanthus A.velitaris A.indicus A. javanicus A. fasciatus A.phragmarus Astropecten sp. Craspidaster herperus Stellaster equitris Archasteridae Archaster typicus Oreasteridae Protoreaster nodosus

467
17 18 Asterina sarasini Asteropsis carinifera (de (Lamarck Loriol 1897) 1816) Tikus NorthI. South Lagoon ofof Pari Kongsi Pari I. I.I.1974 1975 ? 1972

PURWATI, VIMONO & FAJRI

Source Location No. Observation date

a 1977 -1979

b 1990 -1993

c South of Tikus I. 1984

d 1978 -1979

e 1978 -1979

f Pari I. 1964 -1976

g Pari I. 1984

Jakarta Bay Jakarta Bay

South of Pari I. South of Pari I.

15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

P. lincki Pentaceraster sp. Goniasteridae Culcita novaeguineae Metrodiriidae Metrodira subulata Ophidiasteridae Nordoa tuberculata Tamaria megaloplax Fromia milleporella Linckia laevigata Asterinidae Aquilonastra burtoni A. sarasini Patiriella exigua Asteropsis carinifera Nepanthia sp.

468

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

Source Location No. Observation date

c South of Tikus I. 1984

d 1978 to1979

e 1978 to1979

f Pari I. 1964 to1976

g Pari I. 1984

Jakarta Bay Jakarta Bay 1977 to1979 1990 to1993

South of Pari I. South of Pari I.

Echinasteridae 28 29 30 Echinaster luzonicus E.vericolor Acanthasteridae Acanthaster planci -

469

f: Aziz (1981): coral reef up to 6 m depth


PURWATI, VIMONO & FAJRI

Jenis bintang laut yang hanya berjumlah sedikit seperti N. tuberculata di PulauTikus, cenderung lolos dalam perhitungan dengan teknik transek. Ada dua kemungkinan penjelasan tentang sedikitnya jumlah individu N. tuberculata di daerah penelitian. Pertama, jenis ini merupakan jenis yang soliter, sehingga untuk mendapatkan informasi densitas harus mencakup area yang sangat luas, atau merupakan spesies oportunistik. Kedua, dua individu tersebut merupakan sisa dari suatu populasi yang hilang karena berbagai sebab misalnya penurunan kualitas habitat. Penelitian awal tahun 1980an menemukan 3 (tiga) individu jenis ini pada satu-satunya transek yang dipasang (20 x 2 m) di lokasi yang sama. Salah satu yang juga menarik untuk penelitian berikutnya adalah memahami peran spesies ini di dalam ekosistemnya, apakah spesies ini memegang peran kunci dalam stabilitas ekosistemnya. Note: Kondisi sebaliknya ditunjukkan oleh A. typicus yang jumlah individunya -: banyak. absent; Populasi : pUeVenW paling ini tidak disebut dalam publikasi Robert & Darsono a: yang Aziz menerapkan (1980) : practicing trawl inPopulasinya 10-20 m depth (1984) teknik transek. memilih ruang yang sempit b: Aziz (1997): from lamun Muara Angke to Anyer practicing sledge & dredge di bagian tepi dari padang yang dekat denganBesar garis I, pantai atau daerah c and g: Roberts & Darsono (1984): single observation, in intertidal zone pasir yang tanpa akar pohon lamun supaya dapat membenamkan diri. Agregasi d: Aziz et al. (1980b): in intertidal zone Archaster typicus pernah tercatat jauh sebelum penelitian ini. Lebih dari 5 (lima) e: Aziz al 1980a dekade yang et lalu, agregasi populasi ini didokumentasikan dari perairan Pulau Ishigaki, Jepang (Ohshima & Ikeda, 1934a,b), kemudian dilaporkan lagi berturutturut dari Mindoro, Filipina (Clemente & Anicete, 1949, Yamaguchi, 1977), Pulau Pari (Aziz, 1981), dan di Penghu, Taiwan (Run et al., 1988). Baru-baru ini agregasi populasi ini terdapat juga di pesisir desa Pasekmaranu dan Pulau Batanglampe, Teluk Bone, Sulawesi Selatan (observasi pribadi, Desember 2010). Dengan alasan kepraktisan, heterogenitas habitat laut sering tidak dianggap sebagai faktor penting. Padahal kenyataannya, kebutuhan suatu populasi disediakan oleh habitat yang spesifik. Dalam penerapannya, estimasi potensi biota suatu habitat sering dibawah perkiraan karena faktor heterogenitas ini. Sebaran Echinodermata di Kepulauan Cabo Verde (sekitar 500 km dari pantai Sinegal, Atlantik timur) sangat berkaitan dengan variasi tipe daerah dan vegetasi habitatnya. Biodiversitas tertinggi berada pada habitat yang lebih beragam dan kompleks (Entrambasaguas et al., 2008). Beberapa jenis timun laut (kelompok dalam filum yang sama dengan bintang laut) termasuk Holothuria albiventer, H. arenicola dan H. atra di Teluk Medana, Lombok Barat merupakan salah satu contoh sebaran spesifik populasi di lokasi yang heterogen. Mikrohabitat ketiganya tidak tumpang tindih (overlap). Berbeda dengan Stichopus vastus dan Bohadschia yang memilih area yang sama dengan H.albiventer, di area lamun yang cukup tebal dengan substrat mengandung sedikit lumpur (Purwati et al., 2008a; Purwati & Syahailatua, 2009).

470

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

Tabel 3. Status Asteroidea hasil dari teknik transek dan pemetaan. Table 3. Status of Asteroidea, results of transect and mapping techniques.
Population Status Archaster typicus Transect 1 2 3 4 5 6 LQG P
2

Linckia laevigata 0 7 2 3 2 2 0,42 22 3,4 113/13 147/22 -

Nardoa tuberculata 0 0 1 0 0 0 0,03 2 0,3 71/15 72/16 -

Culcita novaeguineae 0 0 1 0 0 0 0,03 13 2,0 64/51 73/82 -

11 14 13 0 0 0 1,0 93 15,0 57/9 116/21 T. hemprichii 0-30% 0,5-2,0

Mapping Total individual LQG P


2

range R/r (mm) Microhabitat characteristics Dominant sea grass Covering area Dominant particle size (mm)

Note: - : not observed Distribusi suatu populasi dapat dipengaruhi oleh salinitas, suhu dan kondisi vegetasi. Argumen ini salah satunya disampaikan oleh Morgan & Cowles (1996), setelah mempelajari bintang laut perairan dangkal Phataria unifascialis di Teluk California, Mexico. Berdasarkan penelitian tersebut terungkap bahwa walaupun dari aspek kapasitas reproduksi dua populasi di bagian selatan dan utara teluk ini sama, namun sebaran populasinya lebih luas di bagian selatan yang memiliki suhu perairan terutama waktu musim dingin lebih tinggi 3 C. Di bagian utara, fluktuasi suhu tahunannya lebih besar, yaitu 10 sampai 31 C dan dapat mencapai suhu lebih rendah hingga 8 C. Sementara di selatan, kisaran suhunya 17 sampai 31 C. Rendahnya suhu di sisi utara teluk ini menghambat settlement dan rekruitmen juvenilnya rendah, logis bila ukuran rata-rata tubuhnya lebih besar dibandingkan dengan yang di sisi selatan. Aspek pengaruh suhu dan salinitas memang belum digali dari Pulau Tikus, namun fenomena ini perlu dicatat untuk kemudian menentukan faktor yang mana yang lebih berpengaruh dalam sebaran biota/bintang laut di Pulau Tikus.

471

PURWATI, VIMONO & FAJRI

Penurunan salinitas bisa menyebabkan aktivitas makan berkurang dan akan mempengaruhi pertumbuhan, seperti yang dilaporkan oleh Forcucci & Lawrence (1986) pada Luidia clathrata. Dalam kasus PulauTikus, jika nantinya terbukti bahwa keempat sisi pulau berbeda dalam hal mempertahankan salinitas perairannya, maka faktor ini bisa menjadi salah satu informasi yang menjelaskan mengapa bintang laut hanya terdapat di sisi selatan Pulau. Lamun memang menarik banyak biota untuk tinggal bersama-sama. Selain kesempatan untuk berkembang di area tersebut, tiap populasi juga berhadapan dengan kompetitor dan predator. Ketergantungan suatu populasi bintang laut terhadap lamun biasanya berupa kombinasi beberapa aspek kebutuhan. Di Teluk Grenada yang dasar perairannya heterogen, Oreaster reticulatus yang tubuhnya masif dan banyak tonjolan-tonjolan besar mengumpul di area tertentu saja. Dalam kasus ini, sebaran zona lamun Halodule wrightii lah yang menjadi penyokong kebutuhannya, sementara zona yang ditumbuhi Thalassia testudinum atau zona terbuka tidak menyediakan kebutuhan yang cukup untuk populasi bintang laut ini. Lamun H. wrightii tidak hanya menyediakan tempat bagi partikel organik, materi organik terlarut dan tempat tumbuhnya algae filamen makanan populasi bintang laut tersebut, tetapi juga karena densitas dan struktur daun lamun tersebut (pendek, ramping dan lemas) tidak menghambat saat tubuh masif bintang laut perlu bergerak atau berpindah tempat. Sebaliknya, walaupun T. testudinum menyediakan makanan, tetapi daundaunnya yang panjang dan keras membuat bintang laut ini tidak dapat bergerak leluasa. Sementara itu, zona terbuka kurang menyediakan makanan (Scheibling, 1980). Di Pulau Tikus, bintang laut hanya memilih sisi selatan pulau saja, yang kandungan materi organik total dan kepadatan lamunnya lebih rendah dari area lain di sekeliling pulau (Robert & Darsono, 1984; Pratiwi, 2010). Untuk menggambarkan hubungan antara biodiversitas dan karakter habitat Pulau Tikus, masih diperlukan informasi biologi, termasuk menentukan peran tiap spesies dalam proses-proses yang berlangsung di dalam ekosistem tersebut. Karakter habitat Archaster typicus Berdasarkan sebaran atau posisi tiap individu A. typicus, diketahui sisi spesifik dari daerah penelitian yang menjadi tempat favorit populasi ini. Spesies ini ternyata tidak terlalu menyukai lamun lebat (penutupan lamun 0%-30%), dan memilih substrat yang sebagian partikelnya berukuran antara 0,063-0,5 mm, tanpa lumpur. Pilihan ini berlaku dengan lebih jelas pada individu berukuran R 102-117 mm. A. typicus membenamkan diri di dalam pasir, dan sering kali individuLQGLYLGXQ\D PHQLQJJDONDQ MHMDN GL SHUPXNDDQQ\D EHUXSD WDSDN \DQJ VHVXDL dengan bentuk tubuhnya. Strategi membenamkan diri A. typicus diambil terutama untuk berlindung dari sinar matahari, sama halnya dengan strategi spesies Asteropecten yang lain. Penelitian Ferlin-Lubini & Ribi (1978) di

472

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

perairan Sardinia dan sepanjang pantai Mediterania Perancis, menunjukkan bahwa lamanya kemunculan individu-individu A. aranciacus dari dalam pasir dipengaruhi oleh musim (makin panjang periode siang, makin pendek periode kemunculan individu-individu nya) dan kedalaman air (makin dangkal, makin pendek periode kemunculannya). Keberadaan sinar matahari menjadi faktor yang menentukan aktivitas ini, sementara faktor fisiko kimia dan ketersediaan makan merupakan faktor minor. Walaupun perairan Indonesia hanya memiliki musim panas dan musim hujan, namun di lapangan terdapat kemungkinan bahwa aktivitas harian A. typicus dipengaruhi oleh sinar matahari. Saat observasi, populasi A. typicus membentuk empat agregasi. Agregasi terbesar terletak lebih mendekati daratan (Gambar 2). Jumlah individu dari kelompok ini hampir tiga kali jumlah individu kelompok yang lain. Ada tendensi bahwa ukuran tubuh A. typicus di daerah dekat pantai lebih besar dari kelompok yang lain. Individu berukuran R 102 11.7 mm mendominansi. Jika memakai data Ohshima & Ikeda (1934b) tentang ukuran minimum individu dewasa (R 44 mm untuk jantan dan 48 mm untuk betina), maka kelompokan tersebut merupakan kelompokan individu dewasa. Dari penelitian ini belum dapat dijelaskan apakah pengelompokan dan posisi kelompokan di mikrohabitatnya merupakan akibat dari settlement saat larva atau anakan (juvenile), sehingga yang berukuran lebih kecil berada lebih ke laut. Kemungkinan lain adalah karena strategi mengurangi hantaman ombak, dengan asumsi bahwa semakin besar ukuran tubuhnya, individunya akan menerima hantaman ombak yang semakin keras. Tetapi mengingat jarak antar kelompokan pendek, sangat kecil kemungkinannya bahwa fenomena tersebut dikarena oleh efek ombak. Banyak anggota Echinodermata yang melakukan agregasi pada musim reproduksi untuk memperbesar keberhasilan fertilisasi. A. typicus merupakan salah satu spesies asteroidea yang melakukan pairing (berpasangan) saat musim reproduksi (Run et al., 2008; Clemente & Anicete, 1949; Ohshima & Ikeda, 1934a &b). Spesies A.typicus dikategorikan sebagai jenis yang menunjukkan seksual dimorfisme berdasarkan ukuran (Ohshima & Ikeda, 1934b; Clemente & Anicete, 1949). Saat berpasangan di musim reproduksi, individu jantan selalu di posisi atas, berukuran lebih kecil dari yang betina. Berhubung kesimpulan ini dibuat berdasarkan hasil penelitian 60-70 tahun yang lalu, dari perairan yang relatif bersih dari pencemaran, maka akan sangat menarik jika dilakukan penelitian untuk melihat apakah ada perubahan tingkah laku reproduksi spesies ini, termasuk musim dan ukuran individu dewasa pada perairan yang telah tercemar.

473

PURWATI, VIMONO & FAJRI

KESIMPULAN
Setiap spesies berfungsi dan berperan dalam proses-proses yang terjadi didalam ekosistem yang ditempatinya. Hilangnya suatu spesies tidak lebih penting dari berkurangnya fungsi ekosistem, karena dua atau lebih spesies yang memiliki peran sama bisa saling menggantikan. Dengan demikian, penentuan keragaman spesies baru merupakan langkah awal untuk memahami proses-proses yang berlangsung di dalam suatu ekosistem. Teknik pemetaan sebenarnya merupakan teknik penghitungan jumlah individu secara langsung, sedangkan teknik transek merupakan cara penghitungan dengan representasi. Di area yang luas, efisiensi dalam melakukan teknik pemetaan dilakukan dengan menambah jumlah pengamat, sehingga data yang diperoleh diambil dalam waktu bersamaan, dan pengulangan penghitungan (karena hewan cenderung berpindah tempat) dapat dihindari (Purwati et al., 2008). Karakter mikrohabitat lebih menentukan sebaran populasi bintang laut di suatu ekosistem. Zonasi di daerah intertidal, dari darat ke arah laut yang biasa dilaporkan pada studi ekologi tidak selalu berlaku bila habitatnya heterogen atau patchy. Sebaliknya, teknik pemetaan memberi gambaran pola sebaran yang lebih detail.

UCAPAN TERIMAKASIH
Sebagian data dalam tulisan ini merupakan hasil penelitian S1 penulis ketiga, dan sebagian yang lain merupakan hasil dari serangkaian penelitian di Puslit Oseanografi, LIPI. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr.A.Syahailatua atas saran dan kritik kristisnya pada manuskrip ini.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz, A. A. Djamali & P. Darsono. 1980a. Beberapa catatan tentang ekhinodermata yang tertangkap dengan pukat dasar di perairan sekitar Teluk Jakarta. Dalam Teluk Jakarta, LON LIPI: 227-247.

474

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

Aziz, A., P. Darsono & W. Kastoro. 1980b. Penelaahan epifauna di daerah rataan terumbu bagian selatan pulau Pari, Pulau-pulau Seribu. Sumberdaya Hayati Bahari, Rangkuman II. LON-LIPI: 43-56. Aziz, A. 1981. Fauna Ekhinodermata dari terumbu karang pulau Pari, Pulaupulau Seribu. Oseanologi di Indonesia (ODI), 14:41-50 . Bos, A. R., G. S. Gumanao, J. C. E. Alipoyo & L. T. Cardona. 2008. Population dynamics, reproduction and growth of the Indo-Pacific horned sea star, Protoreaster nodosus (Echinodermata; Asteroidea). Mar.Biol. (Elect.Suppl.Mat., doi:10.1007/s0027-008-1064-2, Oct. 2008). Clark, H. L. 1946. The echinoderm fauna of Australia, its composition and its origin. Asteroidea. Carnegie Inst. Washington D.C.: 64-161. Clark, A. M. & F. E. W. Rowe. 1971. Asteroidea. Monograph of Shallow Water Indo-West Pasific Echinoderms. London: Trustees of the British Museum (Nat. Hist.): 30-74. Clemente, L. S. & B. Z. Anicete. 1949. Studied on sex ratio, sexual dimorphism and early development of the common starfish, Archaster typicus Muller and Troschel (Family Archasteridae). Nat. App. Sci.Bull. IX, 3: 297-318. Doderlein, L. 1917. Die Gattung Astropecten und ihre stammesgeschichte. Siboga Expeditie, XLVIa . Leiden:187 pp. Doderlein, L.. 1936. Die unterfamilie Oreasterinae. Siboga Expeditie, XLVIc. Leiden: 368 pp. Entrambasaguas, L., A. Perez-Ruzafa, J. A. Garcia-Carton, B. Stobart & J. J. Bacallado. 2008. Abundance, spatial distribution and habitat relationships of echinoderms in the Cabo Verde Archipelago (Eastern Atlantic). Mar.Freshw. Res., 59: 477-488. Ferlin-Lubini, V. & G. Ribi. 1978. Daily activity patters of Astropecten aranciacus (Echinodermata: Asteroidea) and two related species under natural conditions. Helgolander wiss. Meeresunters, 31: 117-127. Forcucci, D. & J. M. Lawrence. 1986. Effect of low salinity on the activity, feeding, growth and absorption efficiency of Luidia clathrata (Echinodermata: Asteroidea). Mar. Biol., 92: 315-321.

475

PURWATI, VIMONO & FAJRI

Harley, C. D. G., A. R Hughes, K. M. Hultgren, B. G. Miner, C. J. B. Sorte, C. S. Thorneber, L. F. Rodriguez, L. Tomanek, & S. L. Williams. 2006. The impact of climate change in coastal marine systems. Ecol.Letters, 9: 228241. Jangoux, M., C. D. Ridder, C. Massin & P. Darsono. 1989. The Holothuroids, Echinoids and Asteroids (Echinodermata) Collected By The Snellius II Expedition. Netherland Journal of Sea Research, 23(2): 161-170. Jones, D. & C. L. J. Frid. 2009. Altering intertidal sediment topography: effects on biodiversity and ecosystem functioning. Mar. Ecol., 30 m(suppl1): 8396. Krebs, C. J. 1989. Ecological methodology. New York: Harper and Row Publishers. 654 pp. Lumingas, L.J.L. 1996. Asteroidea, Echinoidea, dan Holothuroidea (Filum Echinodermata) di rataan terumbu karang Pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen (Sulawesi Utara): Kelimpahan relatif dan pola sebaran spasial. Berita Fakultas Perikanan UNSRAT, 4 (2): 1-8. Mckenzie, L .J. 2003. Guidelines for the rapid assessment of seagrass habitats in the western Pacific. Queensland: Department of Primary Industries. Moreira. J., P. Quintas & J. S. Troncoso. 2006. Spatial distribution of soft Polychaete Annelids in the Ensenada de Baiona (Rio de Vigo, Glicia, North-west Spain). J. Scientia Marina, : 217-224. Morgan, M. B. & D. L. Cowles. 1996. The effects of temperature on the behaviour and phylogeny of Phataria unifascialis (Gray) Echinodermata, $VWHURLGHD) LPSOLFDWLRQV IRU WKH VSHFLHV GLVWULEXWLRQ LQ WKH JXOI RI California, Mexico. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 208: 13-27. Ohshima, H. & H. Ikeda. 1934a. Male-Female superposition of the sea star Archaster typicus Mull et Trosch. Proc. Imp. Acad., 10(2): 125-128. Ohshima, H. & H. Ikeda. 1934b. Sexual size-dimorphism in the sea star Archaster typicus Mull et Trosch. Proc.Imp.Acad., 10(3): 180-183. Pratiwi, R. 2010. Potensi ekonomi dan kemantapan ekosistem pesisir: Hutan bakau dan padang lamun. Program Insentif Peneliti Dan Perekayasa LIPI 2010. Laporan tidak dipublikasikan. 61 hal.

476

ASTEROIDEA, ECHINODERMATA

Purwati, P. & A. Syahailatua. 2008. Timun laut Lombok Barat. ISOI, Jakarta. 71 hal. Purwati, P. & D.J.W. Lane. 2004. Asteroidea of the Anambas Expedition 2002. Raffles Bulletin of Zoology, 11: 89-102. Purwati, P., P. Widianwary & S.A.P. Dwiono. 2008a. Timun laut Teluk Medana, Lombok Barat: pola sebaran dan kelimpahan. J. Ilmu Kelautan UNDIP, 13(4): 219-226. Purwati, P., P. Widianwary, S.A.P. Dwiono & O. Samir. 2008b. Aggregation of Holothuria (Metriatyla) albiventer Semper 1868 (Echinodermata: Aspidochirotida) on seagrass area of Medana Bay, West Lombok. Ind. Fish. Res. J., 14(1): 42-47 Robert, D. & P. Darsono. 1984. Zonation of reef flat echinoderm at Pari Island, Seribu Island, Indonesia. Oseanologi di Indonesia (ODI), 17: 33-41. Ross, A. R., G. S. Gumanao, J.C. E. Alipoyo & L. T. Cardona. 2008. Population dynamics, reproduction and growth of the Indo-Pacific horned sea star, Protoreaster nodosus (Echinodermata: Astroidea). Mar. Biol., published on line 8 October 2008: 1-15. Run, J.Q, C.P. Chen, K.H. Chang & F.S. Chia. 1988. Mating behaviour and reproductive cycle of Archaster typicus (Echinodermata: Asteroidea). Mar. Biol., 99: 247-253. Ruyitno. 2008. Kajian perubahan ekologis perairan Teluk Jakarta. LIPI Press, Jakarta: 228 hal. Scheibling, R. E. 1980. Abundance, spatial distribution, and size of populations of Oreaster reticulatus (Echibnodermata: Asteroidea) on sand bottoms. Marine Biolog,y 57: 95-105. Strong, R. D. 1975. Distribution, morphometry, and thermal stress studies on two forms of Linckia (Asteroidea) on Guam. Micronesia, 11: 167-183. Van Der Meij, S. E. T, R. G. Moolenbeek & B. W. Hoeksma. 2009. Decline of the Jakarta Bay molluscan fauna linked to human impact. Mar. Poll. Bull., 59: 101-107.

477

Pai Padaido, Biak Numfor, Papua. J. Perik., VIII (2): 282-289


PURWATI, VIMONO & FAJRI

Van Der Meij, S. E. T, R. G. Moolenbeek & B. W. Hoeksma. 2010. Long term changes in coral assemblages under natural and anthropogenic stress in Jakarta Bay (1920-2005). Mar. Poll. Bull., 60: 1442-1454. Williams, S. T. & J. A. H. Benzie. 1993. Genetic consequences of long larval life in the starfish Linckia laevigata (Echinodermata: Asteroidea) on Great Barrier Reef. Mar. Biol., 117: 71-77. Yamaguchi, M. 1977. Population structure, spawning and growth of the Coral reef Asteroid Linckia laevigata (Linnaeus). Pacific Science, 31(1):13-30. Yusron, E. & Susetiono. 2006. Komposisi jenis ekhinodermata di pesisir Tanjung

478

Anda mungkin juga menyukai