Anda di halaman 1dari 21

RUMAH SAKIT Dr. H.

MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

STATUS PASIEN THT Tanggal I. Nama Umur Jenis Kelamin Agama Suku Bangsa II. IDENTIFIKASI : Ny. M : 54 tahun. : Perempuan : Islam : Sunda Pekerjaan Pendidikan Alamat : Ibu Rumah Tangga : SMP : Jl. Jabaru I RT 03/05 : 6 Agustus 2012 No. Registrasi : 202676

ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 6 agustus 2012 pada pukul 11.30 WIB A. Keluhan Utama SMRS. Keluhan Tambahan : Kepala sering terasa sakit, sensasi menetesnya lendir di belakang hidung secara terus menerus, merasa mencium bau yang khas, telinga kanan kiri terasa berdengung. B. Riwayat Penyakit Sekarang : Os mengeluh kedua hidung tersumbat tanpa dipengaruhi oleh posisi tubuh dan sering mngalami kesulitan bernafas akibat hidung yang tersumbat. Os menyangkal mengalami penurunan fungsi penghidu akibat dari penyakitnya. Os juga mengeluh sering merasa menelan cairan yang menetes di belakang hidung, cairan berwarna hijau kental dan berbau khas, os mengeluh gejala gejala ini menggaggu aktivitas os dan terkadang os mengalami kesulitan tidur. Os mengaku belum berobat kedokter dan belum mengkonsumsi obat apapun untuk menghilangkan gejalanya. Tiga minggu SMRS os mengeluh kedua telinga sering berdengung. Telinga berdengung dirasakan hilang timbul tanpa adanya faktor pencetus. Os menyangkal adanya riwayat keluar cairan dari telinga dan menyangkal adanya penurunan fungsi pendengaran. Os mengeluh sering bersin bersin pada saat udara dingin dan mencium makanan pedas serta debu, setiap kali bersin bisa lebih dari lima kali. Os juga mengeluh hidung dan mata sering terasa gatal. C. Riwayat Penyakit Dahulu : Enam bulan SMRS os mengeluh sering sakit kepala dan sering merasa nyeri pada daerah hidung, yang dirasakan semakin parah sejak satu bulan terakhir. Os belum berobat dan mengkonsumsi obat obatan untuk mengurangi gejala yang dia derita. Os belum pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya. Os menyangkal mempunyai riwayat astma, riwayat darah tinggi dan kencing manis. Os mengaku memiliki riwayat alergi terhadap udara dingin dan makanan yang pedas.
Tim DIKLAT RSMM Bogor

: Kedua hidung tersumbat dan sering sulit bernafas sejak satu bulan

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

D. Riwayat Penyakit Keluarga : Os mengatakan adanya anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa dengan os. Ayah os memiliki riwayat asma. Os juga mengungkapkan bahwa ibu os mempunyai riwayat tekanan darah tinggi dan kencing manis. E. Riwayat Lingkungan : Os mengaku tinggal di rumah sederhana dengan sirkulasi udara yang baik serta rajin membersihkan rumah. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan umum Kesadaran Kepala Mata Leher Thorax Abdomen Ekstremitas B. STATUS GENERALIS : Tampak sakit ringan : Compos mentis : Normocephali : CA -/-, SI -/: KGB tidak tampak adanya pembesaran : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak dilakukan pemerikaan STATUS THT 1. PEMERIKSAAN TELINGA Kanan Normotia, Nyeri tarik (-), Nyeri tekan tragus (-) Hiperemis (-), Fistula (-), Oedem (-), Nyeri tekan (-), Sikatrik (-) Hiperemis (-), Oedem (-), Nyeri tekan mastoid (-) Daun telinga Retroaurikuler Preaurikuler Kiri Normotia, Nyeri tarik (-), Nyeri tekan tragus (-) Hiperemis (-), Fistula (-), Oedem (-), Nyeri tekan (-), Sikatrik (-) Hiperemis (-), Oedem (-), Nyeri tekan mastoid (-)

Sempit............................................... . hiperemis (-)...................................... .................(-)...................................... .................(-)...................................... Tidak ditemukan................................

LIANG TELINGA a. Lapang/sempit b. Warna epidermis c. Sekret d. Serumen e. Kelainan lain

Lapang............................................... Hiperemis (-)..................................... ..................(-)..................................... ..................(-)..................................... Tidak ditemukan................................

Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Membran Timpani

Kanan : Sulit dinilai

Kiri : Intak, refleks cahaya (+), retraksi (-), Bulging (-)

Pemeriksaan fungsi pendengaran Tes Penala 512 Hz Kanan Positif........................................ Tidak ada lateralisasi................... Sama dengan pemeriksa................ 2. PEMERIKSAAN HIDUNG Kanan Tidak ada.................................. Dahi (-), pipi (-), depan telinga (-) (-) Kiri Tidak ada........................... Dahi(-), pipi(-), depan telinga(-) (-) Rinne Weber Schwabach Kiri Positif..................................... Tidak ada lateralisasi................. Sama dengan pemeriksa............

Deformitas Nyeri tekan Krepitasi

RINOSKOPI ANTERIOR
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Sekret (-), Krusta (-)............................ Hipertrofi............................................ Tidak terlihat...................................... Tidak terlihat..................................... Pus (-), Polip (-)................................... Luas..................................................... Hiperemis (-)....................................... .........................(-)............................... Deviasi (-)........................................... Normal.................................................

Vestibulum Konka inferior Konka media Konka superior meatus nasi Kavum nasi Mukosa Sekret Septum Dasar hidung

Sekret (-), Krusta (-)........................... Hipertrofi............................................ Tidak terlihat....................................... Tidak terlihat...................................... Pus (-), Polip (-).................................. Luas.................................................... Hiperemis (-)...................................... .......................... (-)............................ Deviasi (-).......................................... Normal...............................................

RINOSKOPI POSTERIOR

Tidak diperiksa................................... Tidak diperiksa................................... Tidak diperiksa................................... Tidak diperiksa................................... Tidak diperiksa................................... Tidak diperiksa................................... Tidak diperiksa...................................

Koana Mukosa konka Sekret Muara tuba eustachil Adenoid fossa Rusenmuler Atap nasofaring

Tidak diperiksa.................................. Tidak diperiksa.................................. Tidak diperiksa ................................. Tidak diperiksa.................................. Tidak diperiksa............................... Tidak diperiksa................................... Tidak diperiksa...................................

3. PEMERIKSAAN FARING
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Arkus Faring Pilar anterior Palatum molle Mukosa faring Dinding faring Uvula Tonsil palatina

: Simetris kiri kanan, tidak hiperemis : Tidak ada kelainan : Tidak ada kelainan : Tenang : Tidak hiperemis, permukaan rata : Simetris ditengah, tidak hiperemis : : : : : Besar Warna Kripta Detritus : T1/T1 : Tidak hiperemis : Tidak melebar : Tidak ada (-/-) (-/-) (-/-)

Perlekatan : Tidak ada

Pilar posterior Gigi geligi

: Tidak ada kelainan : Oral higiene kurang baik, terdapat caries dan gigi sudah tidak lengkap 6 5 3 2 1 1 2 3 4 5 6

5 4 3 2 1 1 2 3 4

4. HIPOFARING Basis lidah Valekula Plika glosospiglotika : Tidak diperiksa : Tidak diperiksa : Tidak diperiksa

5. PEMERIKSAAN LARING

Epiglotis Plika ariepiglotika Aritenoid Sinus piriformis Korda vokalis

: Tidak diperiksa : Tidak diperiksa : Tidak diperiksa : Tidak diperiksa : Tidak diperiksa : Pita suara asli Pita suara palsu : Tidak diperiksa : Tidak diperiksa
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Subglotik/trakea Rima Glotis 6. LEHER

: Tidak diperiksa : Tidak diperiksa

Pemeriksaan kelenjar getah bening regional : Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar 7. Maksilo Fasial telinga (-) III. RESUME : Seorang wanita bernama Ny. M datang kepoliklinik THT RSMM pada tanggal 6 agustus 2012 dengan keluhan kedua hidung tersumbat dan sering mengalami kesulitan bernapas akibat hidung tersumbat sejak satu bulan SMRS. Os mengatakan sering merasa mencium bau yang khas. Os juga mengeluh sering merasa menelan cairan yang menetes di belakang hidung, cairan berwarna hijau kental dan berbau khas. Os mengeluh gejala gejala ini menggaggu aktivitas os dan terkadang os mengalami kesulitan tidur. Tiga minggu SMRS os mengeluh kedua telinga sering berdengung. Telinga berdengung dirasakan hilang timbul tanpa adanya faktor pencetus. Os mengeluh sering bersin bersin pada saat udara dingin dan mencium makanan pedas serta debu, setiap kali bersin bisa lebih dari lima kali. Os juga mengeluh hidung dan mata sering terasa gatal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan chonca inferior hipertrofi (+/+) berwarna livide. IV. DIAGNOSA KERJA : Susp. rhinosinusitis kronis ec rhinitis alergi V. DIAGNOSA BANDING : Rhinitis kronis ec alergi VI. RENCANA PENGOBATAN : Azitromisin 500 mg 1 x 1 Ceterizine 1 x 1 Methylprednisolon 4 mg 1 x 1 Ambroxol 3 x 1 VII. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN : Rontgent SPN kembali dengan Pemeriksaan darah lengkap IgE spesifik
Tim DIKLAT RSMM Bogor

: Paralisis nervus kranialis (-), Nyeri pada dahi (-), pipi (-), hidung (-), depan

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

CT Scan sinus paranasal VIII. PROGNOSIS : Ad vitam Ad functionam Ad sanationam DOKTER MUDA : : Bonam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam

DOKTER PENGAWAS :

TANDA TANGAN :

PENILAIAN :

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Sinus Paranasal

Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

I.I Anatomi Sinus Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Secara klinis, sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. I.I.A.Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml pada saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid, dinding anterior sinus ialah permukaan os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Infundibulum adalah bagian dari sunus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. I.I.B. Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm,. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgent menandakan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrenase melalui ostiuimnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

I.I.C. Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa berbentuk sinus etmoid
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

seperti piramida dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di media dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecilkecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis). Sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis. Di bagian terdepan dari sinus etmoidalis anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus dengan sinus frontal. Sel etmoid terbesar yang terbesar disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum yang menyebabkan sinusitis maksilaris. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. I.I.D. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 ml 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatann dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Gambar 1. Potongan sagital kepala Gambar 2. Sinus dilihat dari depan

I.I.E.Kompleks Osteomeatal Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoidalis anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

osteomeatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. Rhinosinusitis II.I. Definisi Rhinosinusitis Rhinosinusitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya terjadi setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam beberapa kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus. II.II. Epidemiologi Rhinosinusitis Rhinosinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalahs inusitis d e n g a n i n s i d e n y a n g t e r b e s a r . V i r u s a d a l a h p e n y e b a b s i n u s i t i s a k u t y a n g p a l i n g u m u m ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima miliar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medissinusitis, dan 60 miliar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat. Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering j u g a d i s e b u t d e n g a n r h i n o s i n u s i t i s . R h i n o s i n u s i t i s a d a l a h p e n y a k i t i n f l a m a s i y a n g s e r i n g ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat. II.III. Etiologi Rhinosinusitis dapat disebabkan oleh Alergi (musiman, perenial atau karena pekerjaan tertentu), Infeksi seperti beberapa bakteri patogen yang sering ditemukan pada kasus kronis adalah Stafilokokus 28%, Pseudomonas aerugenosa 17% dan S. aureus 30%. Ketiganya ini mempunyai resistensi yang tinggi terhadap antibiotik, misalnya Pseudomonas aerugenosa resisten terhadap jenis kuinolon. Jenis kuman gram negatif juga meningkat pada sinusitis kronis demikian juga bakteri aerobik termasuk pada sinusitis dentogenik. Bakteri rhinosinusitis kronis paling sering adalah Peptococci, Peptostreptococci, Bacteriodes dan Fusobacteria. Rhinosinusitis kronis juga dapat disebabkan oleh kelainan (Struktur anatomi, seperti variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau Penyebab lain (idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi). II.IV. Klasifikasi Rhinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang. Rhinosinusitis dapat dibagi menjadi empat subtipe dan penyebabnya bisa beragam, tergantung jenis kondisinya

1. Rhinosinusitis akut.
Rhinosinusitis akut adalah kondisi peradangan satu atau lebih dari para-rongga hidung yang biasanya berlangsung hingga empat minggu. Rhinosinusitis akut biasanya dimulai dengan pilek, yang
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

menghambat sinus dan menyebabkan pembengkakan mukosa yang biasanya diikuti oleh infeksi sinus bakteri. Kemudian kelenjar lendir mulai mengeluarkan sejumlah besar lendir yang mengisi rongga ini. Penghindaran Alergen, seperti asap rokok, tungau debu, atau serbuk sari masih merupakan cara terbaik untuk mengelola masalah alergi yang satu ini.

2. Rhinosinusitis kronis. Rhinosinusitis kronis adalah infeksi inflamasi dan secara bersamaan mempengaruhi hidung dan sinus paranasal. Rhinosinusitis kronis adalah bentuk melemahkan sinusitis yang dapat mengakibatkan gejala fisik signifikan serta gangguan fungsional dan emosional substansial. Rhinosinusitis kronis bisa menjadi luas, menyakitkan dan jaringan hidung dapat membengkak sejak kondisi ini berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Pada Rhinosinusitis kronis, durasi yang panjang dari gejala berikut ini khas dan dapat hadir, sebut saja polip hidung, cystic fibrosis, dan nasal obstruksi.Rhinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh berbagai kondisi yang mendasarinya seperti, pertumbuhan bakteri (bakteri rhinosinusitis, ketika proses inflamasi memungkinkan untuk peningkatan produksi bakteri, yang pada gilirannya menyebabkan peradangan lebih), dan pertumbuhan jamur. 3. Rhinosinusitis akut berulang Rhinosinusitis akut berulang didefinisikan bila Anda memiliki empat atau lebih penyakit akut yang kambuh dalam jangka waktu 12 bulan. Dalam kebanyakan kasus, setiap episode kekambuhan berlangsung selama minimal tujuh hari. 4. Rhinosinusitis subakut Rhinosinusitis subakut pada dasarnya adalah kondisi tingkat rendah dari infeksi akut yang berlangsung selama lebih dari empat minggu, tetapi kurang dari 12 minggu. Rhinosinusitis subakut biasanya melibatkan satu atau dua pasang rongga paranasal. Meskipun rhinosinusitis subakut dianggap sebagai kondisi kelas rendah, namun hal ini juga dapat menyebabkan produktivitas rendah dan ketidaknyamanan pada orang yang mengalaminya.

II.V. Patofisiologi Rhinosinusitis Pada umumnya penyebab rhinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan perluasan infeksi dari hidung. Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung.
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya. Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen Menurut Sakakura (1997), Patogenesis dari rhinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune compleks, lipolisaccharide dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukus dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi. Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista. Kuman di dalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus . Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik. Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka, rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: Infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. Faktor yang lebih penting untuk diketahui dan merupakan dasar patofisiologi terjadinya infeksi sinus adalah: adanya gangguan dari mukosa sinus, mukosa osteum sinus dan sekitarnya (komplek ostiomeatal). Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium. Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses transudasi. Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus. Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan kuman. Rhinosinusitis kronis berbeda dari rhinosinusitis akut dalam berbagai aspek. Rhinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna.
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan seterusnya. Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi: (1) melalui tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) dengan terjadinya defek; dan (4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik. II.VI. Gejala dan Tanda Klinis II.VI.A. Gejala Subjektif Nyeri Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini. Sakit kepala Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tibatiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap. Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena. Nyeri pada penekanan Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah. Gangguan penghidu Indra penghidu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang. II.VI.B Gejala Objektif Pembengkakan dan udem Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru. Sekret nasal Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini. Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

II.VII.Pemeriksaan II.VII.A. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior. II.VII.B. Transiluminasi Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. II.VIII. Pemeriksaan radiologi II.VIII.A. Foto rontgen sinus paranasal Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain:Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus. Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak II.VIII.B. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah. CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas. CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging Systemditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid. Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit. II.VIII.C. Nasoendoskopi Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.

II.IX. Diagnosis Kriteria diagnosis sinusitis: Gejala Mayor Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Gejala Minor Sakit kepala
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Sekret nasal purulen Demam Kongesti nasal Obstruksi nasal Hiposmia atau anosmia

Batuk Rasa lelah Halitosis Nyeri gigi

Diagnosis rhinosinusitis dapat ditegakkan bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor dengan gejala lebih dari tujuh hari. II.X. Penatalaksanaan Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya. II.X.A Medikamentosa Antibiotika Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillinklavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan. Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol. Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan. II.X.B Terapi Medik Tambahan Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenylpropanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati. Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa. Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi. Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine. Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis. Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang. Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata

Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

II.XI. Penatalaksanaan Operatif Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah. Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan. Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus. Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri. II.XII. Komplikasi Kompikasi rhinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah: Osteomielitis dan abses subperiostal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral. Kelainan Orbita Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan Intrakranial Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Kelainan Paru Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial.

Rhinitis Alergi III.I. Definisi

Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki riwayat atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan alergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen yang serupa. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang mekanisme ini diperantai oleh IgE. III.II. Epidemiologi Rhinitis alergi merupakan alergi kronik yang paling umum dijumpai. Sebanyak 10% orang dewasa dan 40% anak-anak di Amerika Serikat terserang penyakit ini. Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang belum pasti belum diketahui karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. III.III. Etiologi Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Apabila kedua orang tua memiliki riwayat atopi, maka resiko atopi menjadi 4x lebih besara atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam rhinitis alergi adalah sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi III.IV. Patofisiologi Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inaflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu: 1. Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rhinorea, sumbatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin. 2. Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepas sitokin IL1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4,IL5, IL13. IL4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan limfosit sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mast atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi dan meenghasilkan mediator yang tersensitisasi.

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik tersebut dan akan timbul degranulasi sel mast dan basofil dengan akibat lepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase, kinase, kinin, dan heparin. Sel mast dengan cepat mensintesis mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

yang pada akhirnya menyebabkan gejala rhinorea, hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal pada hidung, post nasal drip, dan lainnya. Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskular meningkat menyebabkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut terjadi dalam hitungan menit dan karenanya dikatakan sebagai fase awal reaksi atau reaksi segera. Setelah 4-8 jam , mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil ,eosinofil, limfosit, dan makrofag. Hasil dari peradangan lanjut disebut respon fase lambat. Gejala-gejala respon fase lambat mirip dengan gejala respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan sampai beberapa hari. III.V. Manifestasi Klinis Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin yang berulang. Bersin dianggap patologik bila serangannya lebih dari lima kali setiap serangan. Gejala lainnya ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang banyak air nata yang keluar (lakrimasi). Gejala lain yang tidak khas berupa sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. III.VI. Pemeriksaan Fisik Wajah Allergic sallute Allergic crease Allergic shiner Mata Pada mata tampak edem kelopak mata, lakrimasi, dan kongesti konjungtiva Hidung Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai dengan sekret encer dan banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pembengkakan pada lubang hidung. Telinga Terdapat retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai akibat dari sumbatan tuba eustachii. Mulut Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (fasies adenoid). Lidah tampak gambaran geograpic tongue Faring Dinding faring posterior tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring menebal. Laring Tanda laringeal kemungkinan penyakit atopi menyertai, yaitu asma bronkiale.

III.VII. Pemeriksaan Penunjang Hitung jenis leukosit pada darah tepi Tes kulit/skin test
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

IgE total dan spesifik Pemeriksaan sitologi hidung Tes provokasi hidung

III.VIII. Diagnosis Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain yang menyerang hidung seperti asma, eksema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Selanjutnya tanyakan mengenai gejala-gejala saat terjadinya serangan. Pemeriksaan fisik Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa udem, basah, berwarna pucat atau livid disertai dengan sekret encer dan banyak. Bila gejala persisten akan didapatkan chonca inferior hipertrofi. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan darah lengkap, didapatkan hitung jenis eosinofil yang meningkat. Selain itu, peningkatan IgE total dalam darah digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi. Pada skin test dapat diketahui alergen penyebab. III.IX. Penatalaksanaan Pedoman terapi rhinitis alergi yang selama ini dipakai adalah yang direkomendasikan oleh The Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Penangan yang direkomendasikan termasuk menghindari alergen, terapi farmakologi, imunoterapi spesifik, edukasi, dan pembedahan. 1. Menghindari alergen 2. Medikamentosa Antihistamin-H1 oral Dekongestan oral Dekongestan intranasal Kortikosteroid topikal Ipatropium bromida Antileukotrien

3. Imunoterapi (hiposensitisasi) Dilakukan dengan menginjeksikan alergen secara bertahap yang diketahui dapat memicu reaksi alergi yang diawali dengan dosis rendah dan selanjutnya dosis semakin ditingkatkan. Imunoterapi menekan pembentukan IgE dan meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Terapi ini butuh waktu yang lama dan komitmen dari pasien 4. Pembedahan Diperlukan bila ada komplikasi seperti sinusitis, hipertrofi konka atau polip nasi. Tindakan konkotomi perlu dipikirkan bila terdapat hipertrofi berat dari konka inferior yang tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

III.X. Komplikasi Komlplikasi dari rhinitis alergi antara lain: 1. Polip hidung 2. Sinusitis paranasal 3. Otitis media yang sering residif

Tim DIKLAT RSMM Bogor

RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SMF ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111, Telp/Fax. 0251-324025 / 320467 Pes. 102

Daftar Pustaka

1. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H.. Adam Malik Medan. Tesis. Medan : FK USU. 2007. 2. Netter FH. Atlas of Human Anatomy 4th edition. Philadelphia : Saunders Elsevier. 2006 : 37

3. Nizar NW. Rinitis Alergi. Available at : http://www.pdpersi.co.id/?


show=detailnews&kode=905&tbl=kesling. Accessed on September 24, 2011. 4. Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Ed 6. Jakarta : EGC. 2006 : 805. 5. Suprihati. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian Journal of Otorhinolaryngology , Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1, Jakarta ; 2005 : 64-70. 6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggrok Kepala dan Leher Ed 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 7. University of Maryland Medical Center . Pengobatan cara Medis, Herbal, Alternatif, untuk Alergi Rhinitis. Maryland. 2010.

Tim DIKLAT RSMM Bogor

Anda mungkin juga menyukai