Anda di halaman 1dari 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Keperawatan Perioperatif Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan membahayakan pasien. Maka tak heran jika seringkali pasien dan keluarganya menunjukkan sikap yang tak terkendali dengan kecemasan yang mereka alami. Kecemasan yang mereka alami terkait dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat berbagai prosedur pembedahan dan tingkat pembiusan. Perawat mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap tindakan pembedahan baik pada masa sebelum, selama maupun setelah operasi. Intervensi keperawatan yang tepat diperlukan untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis. Tingkat keberhasilan pembedahan sangat tergantung pada setiap tahapan yang dialami dan saling ketergantungan antara tim kesehatan yang terkait yaitu dokter bedah, dokter anestesi dan perawat, disamping peranan pasien yang kooperatif selama menjalani proses perioperatif (Efendi,2005). Ada 3 faktor penting yang terkait dalam pembedahan, yaitu penyakit pasien, jenis pembedahan yang dilakukan dan pasien sendiri. Dari ketiga faktor tersebut, faktor pasien merupakan hal yang paling penting, karena bagi penyakit tersebut tindakan pembedahan adalah hal yang baik/benar. Tetapi bagi pasien sendiri pembedahan mungkin merupakan hal yang paling mengerikan yang pernah mereka alami. Mengingat hal tersebut di atas, maka sangatlah penting untuk melibatkan pasien dalam setiap langkah-langkah perioperatif. Tindakan perioperatif berkesinambungan dan tepat akan sangat berpengaruh terhadap suksesnya pembedahan dan kesembuhan dari pasien itu sendiri (Efendi,2002). Tindakan operasi atau pembedahan, baik elektif maupun kedaruratan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan. Kebanyakan prosedur bedah dilakukan di kamar operasi rumah sakit, meskipun beberapa prosedur yang lebih sederhana tidak memerlukan hospitalisasi dan dilakukan di klinik-klinik bedah dan unit bedah ambulatory. Individu dengan

masalah kesehatan yang memerlukan intervensi pembedahan mencakup pula pemberian anastesi atau pembiusan yang meliputi anastesi local, regional atau umum. Menurut Brunner & Suddarth (2002) kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu : 1. Fase preoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai dari keputusan untuk dilakukan intervensi bedah dan diakhiri ketika pasien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas perawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik atau di rumah, wawancara pra operatif, dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. 2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien masuk atau pindah ke bagian atau departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi : memasang infus (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. 3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus termasuk mengkaji efek dari agens anastesia, dan memantau fungsi vital serta komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan. Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun actual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stress fisiologis maupun psikologis. Contoh dari perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan atau ketakutan antara lain pasien dengan riwayat hipertensi jika

mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan sulit tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan, pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi pembedahan dapat mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi terpaksa harus di tunda. Ada berbagai alasan yang menyebabkan ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain yaitu takut nyeri setelah pembedahan, takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal, gangguan body image, takut keganasan bila diagnose yang ditegakkan belum pasti, takut atau cemas mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai penyakit yang sama, takut atau nyeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas, takut mati saat dibius atau tidak sadar lagi, takut operasi akan gagal. Untuk mengurangi dan mengatasi kecemasan pasien, perawat dapat menanyakan hal-hal yang terkait dengan persiapan operasi antara lain pengalaman operasi sebelumnya, pengertian pasien tentang tujuan atau alasan dilakukan operasi, pengetahuan pasien tentang prosedur (pre, intra, post operasi), pengetahuan tentang latihan yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus dijalankan setelah operasi, seperti nafas dalam, batuk efektif, ROM, dll (Efendi,2002). Menurut Brunner &Suddarth (2002), persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya, sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke rumah sakit setelah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda operasi yang mestinya sudah dilakukakan beberapa hari/minggu yang lalu. Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh keluarga atau orang yang terdekat dengan pasien. Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan perawat. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan kata-kata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk menjalani operasi.

Perawat perlu memberikan dukungan mental pada pasien yang dilakukan operasi. Menurut Efendi (2002) dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu membantu pasien mengetahui tentang tindakan yang dialami pasien sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi, hal-hal yang dialami pasien selama proses operasi, menunjukkan kamar operasi, memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan persiapan operasi sesuai dengan tingkat perkembangan, dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas, memberi kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk berdoa bersama-sama sebelum pasien di antar ke kamar operasi, mengoreksi pengertian yang salah tentang tindakan pembedahan dan hal-hal lain karena pengertian yang salah akan menimbulkan kecemasan pada pasien. Dan juga bisa kolaborasi dengan dokter terkait dengan pemberian obat pre medikasi, seperti valium dan diazepam sebelum tidur untuk menurunkan kecemasan dan pasien terpenuhi kebutuhan istirahatnya (Smeltzer, Bare, 2002). Indikasi dilakukannya tindakan pembedahan diantaranya adalah : 1. Diagnostik: biopsy atau laparatomi eksplorasi; 2. Kuratif: eksisi tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi; 3. Reparatif: memperbaiki luka multiple; 4. Rekonstruksi atau kosmetik: mammoplasty atau bedah plastik; 5. Paliatif: seperti menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, contohnya pemasangan selang gastrostomi yang dipasang untuk mengkompensasi

ketidakmaampuan menelan makanan (Abror, 2004). Menurut urgensinya tindakan pembedahan dapat diklasifikasikan dalam 5 tingkatan yaitu: 1. Kedaruratan atau emergensi: indikasi pembedahan tanpa ditunda, gangguan mungkin mengancam jiwa; 2. Urgen: pembedahan dapat dilakukan dalam waktu 24-30 jam, 3. Diperlukan : pembedahan dapat direncanakan dalam beberapa minggi atau bulan;

4. Elektif : indikasi pembedahan, bila tidak dilakukan pembedahan maka tidak terlalu membahayakan, 5. Pilihan : indikasi pembedahan merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkaiit dengan estetika. Tindakan pembedahan menurut faktor resikonya dibedakan menjadi 1. Minor : menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan minim. 2. Mayor : menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat serius.

2.2 Kecemasan 2.2.1 Pengertian Kecemasan Kecemasan adalah keadaan yang tidak mengenakan dan tidak merasa nyaman (Hamid, 2000). Kecemasan merupakan perasaan yang sering dialami manusia pada sepanjang hidupnya (Husodo, 1988). Kecemasan muncul sebagai gejala yang normal, dapat pula sebagai gejala yang menyertai gangguan jiwa, juga bisa muncul sebagai sindroma yang disebut sebagai proses atau cemas (Salan, 1997). Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, interval, samarsamar atau konfliktual. Kecemasan merupakan perasaan individu dan pegalama subjektif yang tidak dapat diamati secara langsung dan perasaan tanpa objek yang spesifik dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman baru (Stuart and Sundeen, 1995). Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa kecemasan adalah ketekutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam. Kejadian ini dimungkinkan dalam bentuk nyata dan kabur dan dapat bersifat realistic dan tidak realistik. 2.2.2 Penyebab Kecemasan Ketidakpastian dapat menimbulkan kecemasan yang berwujud pada ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan (Maramis, 2004). Beratnya

tanggungjawab yang di pikul menyebabkan timbulnya kecemasan akan kehidupan yang akan dilalui dimasa yang akan dating. Kecemasan dapat ditimbulkan oleh beberapa sebab seperti sering mengalami frustrasi, pengalaman yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan masa depan dan lain-lain. Perwujudan kecemasan sangat sulit diketahui, tetapi dapat diamati dari reaksi-reaksi yang ditimbukannya. Freud(dalam Stuart and Laraia (2002)) menjelaskan bahwa individu dalam kehidupannya sehari-hari selalu ingin mendapatkan kepuasan. Peranan lingkungan terhadap diri individu dan mereduksi ketegangan, tetapi sebaliknya lingkungan juga dapat mengecewakan individuu dan menimbulkan perasaan tidak aman sehingga individu akan merasa cemas, takut dan tegang. Jika ketegangan tersebut tidak bisa di control, terjadilah kecemasan pada diri individu. Keadaan cemas yang wajar merupakan respons terhadap adanya ancaman atau bahaya luar yang nyata jelas dan tidak bersumber pada adanya konflik. Sedangkan cemas yang sakit (anxietas) merupakan respon terhadap adanya bahaya yang lebih kompleks, tidak jelas sumber penyebabnya, dan leebih banyak melibatkan konflik jiwa yang ada dalam diri sendiri (Husodo, 1998). Cemas itu timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stress atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang dating dari luar maupun dalam diri sendiri, itu akan menimbulkan respons dari system saraf yang mengatur pelepasan hormone tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organorgan seperti lambung, jantung, pembuluh darah maupun alat-alat gerak. Karena bentuk respon yang demikian, penderita biasanya tidak menyeradari hal itu ssebagai hubungan sebab akibat (Stuart and Sundeen, 1995). Setiap kecemasan selalu melibatkan komponen kejiwaan maupun organ biologik walaupun pada tiap individu bentuknya tidak sama. Kebanyakan gejala tersebut merupakan penampakan dari terangsangnya system saraf otonom maupun visceral. Penderita ada yang mengeluh menjadi sering kencing atau malah sulit kencing, mulas, mencret, kembung, perih di lambung, keringat dingin, berdebar-

debar, darah tinggi, sakit kepala dan sesak napas. Pada system alat gerak dapat timbul kejang-kejang, nyeri otot, keluhan seperti rematik dan lainnya (Salan, 1997). 2.2.3 Tingkat kecemasan Menurut Stuart and Sundeen (1991), klasifikasi dari tingkat kecemasan dibedakan menjadi empat tingkatan kecemasan yaitu : a. Ringan, yang mempunyai makna orang lebih waspada terhadap lingkungan, lahan persepsinya meningkat, kecemasan dapat memotivasi belajar. b. Sedang, yang mempunyai makna orang akan lebih memfokuskan hal yang mencemaskan, lahan persepsinya mulai menyempit. c. Berat, yang mempunyai makna lahan persepsinya semakin sempit, perilaku ditujukan untuk mengurangi kecemasan, selalu mengalihkan hal-hal lain dan memerlukan banyak pengarahan d. Panik, merupakan kecemasan yang sudah mengancam, pengendalian dirinya tidak mampu untuk melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan, terjadi disorganisasi kepribadian. Instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur skala kecemasan adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Yaitu mengukur aspek kognitif dan efektif yang meliputi (Hawari, 2001): 1. Perasaan cemas, ditandai dengan : cemasan, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, dan mudah tersenggung. 2. Ketegangan yang di tandai oleh : merasa tegang, lesu, tidak dapat istirahat tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah, gelisah dan mudah terkejut, 3. Ketakutan ditandai oleh : Ketakutan pada gelap, Ketakutan ditinggal sendiri, Ketakutan pada orang asing, ketakutan pada binatang besar, ketakutan pada keramaian lalu lintas, ketakutan pada kerumunan orang banyak.

4. Gangguan tidur ditandai oleh : sukar untuk tidur, terbangun malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi-mimpi, mimpi buruk, mimpi yan menakutkan. 5. Gangguan kecerdasan ditandai oleh: sukar konsentrasi, daya ingat buruk, daya ingat menurun. 6. Perasaan depresi di tandai oleh : kehilangan minat, sedih, bangun dini hari, kurangnya kesenangan pada hoby, perasaan berubah sepanjang hari. 7. Gejala somatik ditandai oleh : nyeri pada otot, kaku, kedutan otot, gigi gemeretak, suara tidak stabil. 8. Gejala sensorik ditandai oleh : tintus, penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa lemah, perasaan di tusuk-tusuk. 9. Gejala kardiovaskuler ditandai oleh : takikardia, berdebar-debar, nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa lemah seperti mau pingsan, detak jantung hilang sekejap. 10. Gejala pernafasan di tandai oleh : Rasa tertekan atau sempit didada, perasaan tercekik, merasa nafas pendek/sesak, sering menarik nafas panjang. 11. Gejala Gastrointestinal ditandai oleh : sulit menelan, mual, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri lambung sebelum atau sesudah makan, rasa panas di perut, perut terasa kembung atau penuh, muntah, defekasi lembek, berat badan menurun, dan kontipasi (sukar buang air besar) 12. Gejala Urogenital ditandai oleh : sering kencing, tidak dapat menahan kencing, amenorrhoe, amenorrhagia, masa haid berkepanjangan, masa haid amat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, frigiditas, ejakuasi prekok, ereksi melemah, ereksi hilang dan impoten. 13. Gejala Otonom ditandai oleh : mulut kering, muka merah kering, mudah berkeringat, pusing, sakit kepala, kepala terasa berat, bulu-bulu berdiri. 14. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka tegang tonus otot meningkat, nafas pendek dan cepat dan muka memerah.

2.2.4

Karakteristik Kecemasan Menurut Capernito (2000), kecemasan berasal dari sumber internal maupun

eksternal, stressor pencetus dapat dikelompokkan dalam kategori yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan dating atau menuurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, ancaman terhadap system diri sendiri dapat membahayakan identitas harga diri, dari fungsi sosial yang terintegrasi seseorang. Menurut Capernito (2000), sindrom kecemasan bervariasi tergantung dengan tingkat kecemasan yang dialami seseorang dimana menifestasi gejalanya terdiri atas kategori : a. Gejala fisiologis Peningkatan frekuensi nadi, tekanan darah, nafas, diaphoresis (berkeringat), gemetar, mual, kadang sampai muntah, sering BAK atau BAB, kadang sampai diare, insomnia, kelelahan dan kelemahan, kemerahan dan pucat pada wajah, mulut kering, nyeri khususnya dada, pinggang, leher, gelisah, pingsan, pusing, rasa panas dingin. b. Gejala emosional Individu mengataan merasa ketakutan dan ketidakberdayaan, gugup, kehilangan proyeksi diri, tegang, tidak dapat rileks, individu juga memperlihatkan peka terhadap rangsangan, tidak sabar, mudah marah, mudah menangis, cenderung menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang lain, menarik diri, kurang inisiatif dan mengutuk diri sendiri. c. Gejala kognitif Tidak mampu berkonsentrasi, kurangnya orientasi lingkungan, pelupa,

termenung, orientasi pada masa lalu dari saat ini dan yang akan dating, memblok pikiran atau ketidakmampuan untuk mengingat, dan perhatian yang berlebihan.

2.2.5

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain ;

1) Tingkat pengetahuan Kecemasan adalah respon manusia yang dapat dipelajari, sehingga ketidaktahuan menjadi faktor penunjang terjadinya kecemasan. Pengalaman terhadap sesuatu yang pernah dialami seseorang juga akan mengubah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat non formal dan sering dibawa dalam situasi yang sama atau mendekati situasi yang pernah terjadi pada dirinya (Notoatmojo, 2003). 2) Tingkat pendidikan Husodo (1998) menyatakan bahwa status pendidikan yang rendah akan meyebabkan seseorang mengalami stress, dimana stress dan kecemasan yang terjadi pada pendidikan yang rendah disebakan kurangnya informasi yang didapatkan orang tersebut. 3) Umur Soewardi (1997) mengungkapkan bahwa umur yang lebih muda akan mengalami tingkat stress dan kecemasan lebih tinggi daripada yang beusia tua.

2.2.6

Teori tentang kecemasan Menurut Stuart and Laraia (2001) ada berbagai teori dikembangkan untuk

menjelaskan tentang kecemasan, antara lain : 1) Teori psikoanilitik Freud memandang bahwa pada kecemasan tubuh akan secara otomatis apabila kita menerima stimul yang berlebihan melampaui kemampuan untuk menanganinya. Stimulus tersebut dapat berasal dari dalam atau dari luar diriinya. Selanjutnya digambarkan dua tajuk kecemasan yaitu primary anxiety, dimana keadaan menegangkan yang disebabkan oleh factor luar, sedangkan sub sequent anxiety di pandang sebagai konflik emosi diantara elemen kepribadian-kepribadian yaitu id, ego, superego.

2) Teori interpersonal Menurut Sulliva (Hendarno, 1997) bahwa kecemasan ttimbul akibat ketakutan atau ketidakmampuan untuk berhubungan secara interpersonal, serta sebagai akibat penolakan. Hal ini sikaitkan dengan trauma perkembangan, perpisahan, kehilangan dan lain sebagainya. Sullivan mengidentifikasi 2 aspek kecemasan dari hubungan perawat-klien, pertama kecemasan ringan-sedang di

ekspresikan dari kecemasan individu, kedua area dalam kepribadian yang disaat kecemasan sering menjadi area penting dalam pertumbuhan, dimana dalam hubungan terapeutik individu bbelajar untuk mengatasi kecemasan secara konstruktif. Will (Hendarno, 1997) berpendapat bahwa harga diri seseorang merupakan factor penting yang berhubungan dengan kecemasan seorang yang mempunyai predisposisi mengalami kecemasan adalah orang yang mudah terancam, mempunyai harga diri rendah, mempunyai opini negative terhadap dirinya, ragu-ragu akan kemampuannya untuk mencapai sukses. 3) Teori biologik Dalam otak terdapat reseptor spesifik terhadap benzodiazepine, reseptor ini dapat mengatur timbulnya kecemasan. GABA (Gama Amino Batiric Acid) merupakan neurotransmitter penting dalam mengatur inhibisi presipnatik dalam susunan saraf pusat. Efektifitas benzodiazepines dalam pengobatan klien cemas antaraa lain melalui keterlibatan GABA dalam patofisiologi dari kecemasan disertai dengan gangguan fisik yang menurunkan kapasitas seseorang dalam menghadapi stresor seperti adanya perubahan dalam sistem kardiovaskuler, pernapasan, gastrointestinal dan otot (Salan,1997).

2.2.7

Stressor presipitasi kecemasan Menurut Stuart and Sundeen (1995), stressor presipitasi dari kecemasan ini

dapat disebabkan oleh berbagai sumber yaitu sumber internal maupun eksternal, hal tersebut dibedakan menjadi :

1) Ancaman terhadap integritas fisik merupakan ketidakmampuan fisiologis atau penurunan kapasitas seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari meliputi : sumber eksternal : bisa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, polusi, lingkungan, ancaman keselamatan, injury ; sedangkan sumber internal : merupakan kegagalan mekanisme fisik seorang seperti jantung, system imun, termoregulator menurun, perubahan biologis normal seperti

kehamilan. 2) Ancaman terhadap self esteem merupakan sesuatu yang terjadi yang dapat merusak identitas harapan diri dan integritas fungsi sosial meliputi sumber eksternal : berbagai kehilangan seperti kehilangan orang tua, teman dekat, perceraian, perubahan status pekerjaan, pindah rumah, tekanan sosial : sedangkan sumber internal : kesulitan dalam hubungan interpersonal dalam rumah, tempat kerja, di masyarakat.

2.2.8

Mekanisme koping kecemasan Jika mengalami kecemasan individu akan menggunakan koping untuk

mencoba mengurangi kecemasan (Stuart and Sundeen, 1995). Ketidakmampuan individu untuk mengatas kecemasan secara konstruktif adalah penyebab utama terbentuknya perilaku mal adaptif. Koping yang bisa digunakan oleh seseorang pada respon kecemasan adalah menangis, tidur, makan, tertawa, olahraga, berkhayal, minum-minuman. Dalam hubungan interpersonal seseorang akan menghindari kontak mata, menggunakan kata-kata klise atau menarik diri. Pada kecemasan tingkat sedang, berat, dan panik merupakan ancaman berat pada ego, sehingga memerlukan energi untuk mengatasi ancaman yaitu dengan menggunakan mekanisme koping. Menurut Potter and Perry, (2005) ada 2 macam mekanisme koping : 1) Reaksi berorientasi pada tugas (Task oriented reaktion) Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan. Ada 3 macam reaksi berorientasi pada tugas yaitu perilaku menyerang : dapat konstruktif (akan bertindak asertif) dan dapat juga destuktif (akan bertindak agresif dan bermusuhan); perilaku menarik diri (with drawl

behavior) : bisa secara fisik berupa melarikan diri atau menarik diri dari sumber stress (menjauhi polusi, menjauhi sumber infeksi), bisa juga secara psikologis yaitu apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai perasaan takut dan bermusuhan; kompromi (compromise), ini merupakan cara yang konstruktif yaitu terjadi pendekatan dan penyelesaian masalah dengan negosiasi. 2) Reaksi berorientasi pada ego (ego oriented reaction) Sering disebut mekanisme pertahanan mental. Reaksi ini berguna untuk melindungi diri yang merupakan garis pertahanan jiwa pertama. Setiap orang menggunakan mekanisme pertahanan dan sering berubah untuk mengatasi kecemasan ringan dan sedang karena dapat melindungi individu dari perasaan tidak adekuat, tidak berguna, tidak berharga, dan mencegah kesadaran terhadap cemas. Jika berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan orientasi realistis, hubungan interpersonal dan menurunnya produktivitas. Koping ini berorientasi secara tidak sadar sehingga penyelesaian sering tidak realistis. Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan untuk mengatasi kecemasan (Stuart, and Sundeen, 1995), antara lain : a. Rasionalisasi : suatu usaha untuk menghindari konflik jiwa dengan memberi alasan yang rasional. b. Diplacement : pemindahan tingkah laku kepada tingkah laku yang bentuknya atau obyeknya lain. c. Identifikasi : cara yang digunakan individu untuk menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian kepribadiannya, ia ingin serupa orang lain dan bersifat seperti orang itu. d. Over kompensasi / reaction fermation : tingkah laku yang gagal mencapai tujuan, dan tidak mengakui tujuan pertama tersebut dengan melupakan dan melebih-lebihkan tujuan kedua yang biasanya berlawanan dengan tujuan yang pertama. e. Introspeksi : memasukan dalam pribadi sifat-sifat dari pribadi orang lain. f. Represi : konflik pikiran, impul-impuls yang tidak dapat diterima dengan paksaan, ditekan ke dalam alam tidak sadar dan sengaja dilupakan.

g. Supresi : menekan konflik, impul-impuls yang tidak dapat diterima dengan secara sadar. Individu tidak mau memikirkan hal-hal yang kurang menyaenangkan dirinya. h. Denial : mekanisme perilaku penolakan terhadap sesuatu yang tidak meyenangkan dirinya. i. Fantasi : apabila seseorang ,menghadapi konflik-frustasi, ia menarik diri dengan berkhayal atau fantasi, melamun. j. Negativisme : perilaku seseorang yang selalu bertentangan atau menentang otoritas orang lain dengan tingkah laku tidak terpuji. 2.3 Terapi kognitif 2.3.1 Pengertian terapi kognitif Ada beberapa definisi terapi kognitif : 1. Terapi kognitif ialah suatu sistem psikoterapi yang didasarkan pada teori gangguan emosi (Beck, 1967). 2. Terapi kognitif ialah serangkaian percobaan dan penyelidikan klinis (Kovacs & Beck, 1978; Blackburn, 1988) 3. Terapi kognitif ialah teknik-teknik terapi yang dirumuskan dengan baik (Beck et al., 1979) 4. Terapi kognitif adalah metode perawatan psikoterapi yang membantu seseorang mengatasi masalah yang terkait dengan emosi, perilaku dan kognisi melalui metodis dan berorientasi pada tujuan rute. 2.3.2 Ciri umum terapi kognitif Terapi kognitif adalah suatu bentuk terapi jangka pendek yang teratur, yang memberikan dasar berpikir kepada pasien untuk mengerti masalahnya, memiliki katakata untuk menyatakan dirinya dan teknik-teknik untuk mengatasi keadaan perasaan yang sulit, serta teknik pemecahan masalah. Terapi kognitif didasarkan pada model perantara (mediasional), sedangkan terapi perilaku didasarkan pada model stimulusrespon. Kedua terapi tersebut bersifat ahistorikal (tidak bersejarah), tidak mengacu pada mekanisme bawa sadar, dibatasi oleh waktu, berpusat pada masalah dan terapis bersifat aktif dan membimbing. Bagaimanapun juga, perbedaan terletak tidak hanya

pada model belajar tetapi juga pada sasaran utama yang akan di capai dalam terapi. Terapi kognitif lebih menekankan sasarannya pada pengertian, sedangkan terapi prilaku pada perilaku yang tampak. Perbedaan utama adalah terapi kognitif memakai baik teknik kognitif maupun teknik perilaku, sedangkan perilaku hanya memakai teknik perilaku (Blackburn, 1998). 2.3.3 Terapi kognitif untuk kecemasan Terapi kognitif merupakan suatu bentuk psikoterapi yang terstruktur, yang bertujuan meredakan simtoma-simtoma penyakit dan membantu pasien-pasien agar dapat mempelajari cara-cara yang efektif unutk mengatasi kesulitan-kesulitan yang menyebabkan kecemasan. Bagian penting yang bersifat terapetis dalam terapi kognitif berorientasi pada masalah dan diarahkan untuk memperbaiki masalahmasalah yang bersifat psikologis sekaligus situasional yang mungkin ikut menambah penderitaan pasien. Terapi ini dinamakan terapi kognitif karena teknik-teknik yang dipakai dalam terapi ini bertujuan merubah kesalahan atau penyimpangan dalam pikiran pasien. Teknik itu juga mencakup cara-cara untuk menilai situasi-situasi dan stress, anggapan tentang diri sendiri, lingkungan dan masa depan serta keyakinan dan sikap, yang semuanya diperkirakan memperberat gangguan emosi pasien. Pendekatan dalam penyembuhan ini didasarkan atas latar belakang historis, teoritis dan eksperimen. Menurut Blackburn (1998) gangguan kecemasan berasal dari suatu mekanisme pertahanan diri yang dipilih secara alamiah oleh makhluk hidup bila ia menghadapi sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Kecemasan yang dialami dalam situasi semacam itu member isyarat kepada makhluk hidup agar melakukan tindakan pertahanan diri dan menghindar atau mengurangi bahaya. Kesiagaan otomatis, keraguan bertindak dan pengamatan yang teliti tentang keadaan sekitar yang berbahaya merupakan cara yang alamia, yang meberi kesempatan lebih besar pada suatu makhluk untuk mempertahankan hidupnya. Namun dalam gangguan kecemasan kesiagaan otomatis, proses pikiran dan tingkah laku tidak ada kaitannya dengan penilaian objektif terhadap derajat ancaman yang ada dalam suatu situasi.

Biasanya pasien yang mengalami kecemasan membuat penilaian berlebihan terhadap kemungkinan terjadinya dan parahnya suatu kejadian yang menakutkan. Sebaliknya, pasien tersebut membuat penilaian yang kurang terhadap kemampuannya menghadapi situasi dan terhadap factor-faktor penolong yang tersedia. Pasien-pasien yang menderita kecemasan melaporkan pikiran-pikiran dan kesan-kesan mereka yang berkaitan dengan masalah-masalah pribadi yang berbahaya. Mereka bereaksi terhadap situasi-situasi yang menurut mereka berbahaya atau mengancam, padahal sebenarnya situasi itu tidak begitu berbahaya atau bahkan tidak berbahaya sama sekali. Menurut Beck, dkk (1988) hal-hal yang termasuk dalam pikiran dan kesan negative ini ialah kerentanan, ketidakmampuan, kurang pengendalian diri, menolak lingkungan sosial dan perasaan gagal, penyakit, bahaya fisik dan kematian. Pada saat mengalami gangguan kecemasan tingkat tinggi, pasienpasien mungkin mempunyai pikiran-pikiran seolah-olah akan mengalami bahaya atau gangguan fisik. Pasien yang menderita kecemasan lebih besar kemungkinan menafsirkan situasi yang rancu sebagai hal yang mengancam dibandingkan dengan orang yang tidak menderita kecemasan. Artinya, mereka memandang dirinya rentan (mudah terkena hal-hal yang menyakitkan). Mereka juga melebih-lebihkan resiko yang mereka pperoleh dalam suatu situasi. Namun demikian pandangan mereka terhadap dunia sekitarnya yang mengancam bukanlah karena dimana-mana ada ancamandan tempat yang tidak menyenangkan, tetapi mereka cenderung menganggap diri mereka mempunyai resiko tinggi terhadap kecelakaan. Mereka juga memandang masa depan sebagai hal yang tidak dapat diramalkan, curang dan penuh bahaya. Proses kognitif mengacu pada aturan-aturan yang berlaku bagi stimulus dalam proses informasi. Persepsi, pikiran, kesan, dan ingatan merupakan hasil akhir atau hasil kognitif setelah stimulus ditransformasikan melalui proses kognitif.

Penyimpangan-penyimpangan dalam proses kognitif menunjukkan kesalahan logis yang sistematis yang dengan mudah dapat siidentifikasi dari pikiran pasien yang

menderita depresi dan kecemasan. Ada lima tipe kesalah umum yang telah diketahui sebagai ciri khas proses informasi pada depresi dan kecemasan (Blackburn, 1998). 1. Abstraksi pilihan : pasien memilih satu aspek dari suatu situasi, kemudian ia menafsirkan seluruh situasi atas dasar satu hal rinci. 2. Kesimpulan arbitrer : pasien memperoleh kesimpulan tanpa bukti yang cukup atau bahkan dengan bukti yang bertentangan. 3. Generalisasi berlebihan : pasien menarik kesimpulan umum berdasarkan satu aspek dari situasi yang telah dipilih secara sembarangan dari seluruh keadaan. 4. Melebih-lebihkan dan meremehkan : pasien membesar-besarkan aspek negative suatu situasi dan memperkecil aspek positifnya. 5. Personalisasi : pasien menghubungkan diri orang lain dengan peristiwa-peristiwa eksternal, padahal tidak ada alasan untuk membuat hubungan seperti itu. Terapi kognitif bukanlah terapi baru. Terapi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1860-an, sebagai pengobatan alternatif untuk mengatasi depresi. Menurut Judith (1998) terapi ini berdasar pada satu prinsip bahwa pikiran-pikiran mempengaruhi suasana hati. Para terapis meyakini, kecemasan terjadi akibat pikiran negatif yang muncul secara konstan. Pikiran-pikiran ini muncul secara otomatis. Artinya, pikiran ini muncul tanpa didasari usaha yang dilakukan secara sadar. Banyak teknik yang digunakan dalam terapi kognitif dasar yang sama seperti teori belajar perilaku dan kognitif psikologi. Banyak masalah non-klinis seperti gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan psikotik, gangguan makan dan gangguan penyalahgunaan zat dapat diobati secara efektif dengan menggunakan terapi kognitif. Manfaat terapi ini adalah bahwa dapat ditawarkan pada perorangan atau dalam kelompok. Seseorang juga dapat mengubah teknik yang digunakan dalam terapi sebagai cara self-help (Blackburn, 1998). Beberapa terapi berkonsentrasi pada kognitif membantu sementara yang lain berkonsentrasi pada masalah-masalah perilaku.

Terapi kognitif sedang digunakan untuk membantu pelaku kriminal dalam upaya untuk mengurangi perilaku kriminal. Banyak penjara-penjara di banyak negara memiliki program terapi kognitif sebagai bagian dari rehabilitasi penjara. Terapi yang berorientasi kognitif berkonsentrasi pada identifikasi dan pemantauan pikiran, keyakinan, asumsi dan perilaku yang mengarah ke emosi negatif. Selain itu, pasien diajarkan untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran, keyakinan, asumsi dan perilaku yang disfungsi dan tidak menolong dan kemudian menggantinya dengan yang lebih bermanfaat 2.3.4 Keterampilan umum yang diperlukan dalam terapi kognitif

1. Pengetahuan tentang sindroma klinis Untuk melaksanakan terapi kognitif yang efektif bagi pasien depresi dan kecemasan, terapis harus mempunyai pengetahuan yang rinci mengenai gangguan kecemasan. Terapis tidak hanya harus mampu mengenal dan mendiagnosis gangguan itu, tetapi juga menguasai secara mendalam ilmu tentang gejala-gejala gangguan tersebut. 2. Keterampilan wawancara Keterampilan dalam wawancara klinis merupakan hal pokok dalam rangka mengungkap tanda-tanda ataupun simtoma-simtoma penyakit yang penting dan relevan. 3. Keterampilan terapeutis umum Yang dimaksud dengan keterampilan terapeutis umum ialah keterampilan yang berhubungan dengan sifat-sifat pribadi yang diharapkan yang menunjang tercapainya hasil yang memuaskan, dan berlaku bagi semua terapis, walaupun ia menggunakan cabang terapi tertentu (Trux & Carkuff, 1967). Penelitian telah menunjukkan bahwa psikoterapis yang tidak terlatih bisa berhasil melakukan terapi asal ia memiliki sifat-sifat seperti empati, hangat, iklas, dan penuh pengertian. Sifat-sifat ini dianggap sebagai syarat-syarat penting berdasarkan penelitian yang dikembangkan dalam terapi yang berpusat pada klien.

2.3.5

Keterampilan khusus yang diperlukan dalam terapi kognitif Lepas dari beberapa keterampilan umum yang telah dikemukakan, masih ada

gaya terapi yang khusus untuk terapi kognitif. Ciri utama dalam gaya terapi kognitif adalah sebagai berikut : 1. Kerjasama. Sejak awal terapi dilakukan, terapis menciptakan suatu hubungan kerjasama dengan pasien. 2. Kelemah-lembutan. Oleh karena alat utama dalam terapi kognitif

adalahbertanya, maka terapis harus betul-betul bersifat lemah lembut dalam bertanya. 3. Kemampuan mendengar. Terapis harus mampu mendengar dengan penuh perhatian apa yang dikatakan oleh pasien. 4. Sikap profesional. Terapis harus selalu bersikap professional dan cekatan dalam melakukan terapi. 5. Fleksibilitas (keluwesan). Satu tantangan yang dihadapi oleh terapis ialah kemampuan bersikap luwes dalam memilih cara penyembuhan untuk tiap-tiap kasus. 6. Humor. Tidak kalah pentingnya adalah humor. Kita telah mengetahui bahwa memanfaatkan humor secara bijaksana sangat berguna dan efektif dengan beberapa alas an.

2.3.6

Teknik terapi kognitif untuk kecemasan

1. Teknik Perilaku Teknik perilaku seringkali tepat digunakan pada permulaan penyembuhan karena masalah-masalah yang paling baik ditangani dengan teknik-teknik ini dapat sangat menyulitkan pasien dan dapat menghambat kemajuan terapi. Contohnya relaksasi, selingan, pengonttrolan stimulus, control pernapasan. 2. Teknik kognitif Memunculkan pikiran otomatis

Pikiran- pikiran otomatis merupakan materi dasar terapi kognitif. Pertanyaan langsung merupakan cara yang paling mudah untuk mengarahkan perhatian pasien kepada proses informasi yang otomatis. Cara memodifikasi pikiran otomatis Memodifikasi pikiran negative atau pikiran-pikiran otomatis yang menimbulkan kecemasan dalam terapi kognitif menghabiskan sebagian besar waktu terapi kognitif. Terapi kognitif berpendapat bahwa interpretasi negative atau yang membuat cemas merupakan salah satu dari interpretasi-interpretasi yang berbeda dan bahwa beberapa interpretasi yang lain mungkin lebih sesuai dan lebih realistik.

Skemata dasar dan anggapan tak disadari Menjelang akhir pelaksanaan terapi, mungkin tiga perempat dari seluruh prosesnya, terapis akan mencoba mengkhususkan sikap-sikap dasar yang dianggap menjadi penyebab kecemasan yang menjadi sangat menonjol selama sakit serta menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran otomatis spesifik yang disfungsional. Skema-skema dasar akan di identifikasi dan di modifikasi.

2.3.6

Pelaksanaan terapi kognitif

1. Membina hubungan saling percaya Terapis memperkenalkan diri dan mulai membina hubungan saling percaya antara terapis dan pasien serta membuat kontrak dengan pasien. 2. Menjelaskan terapi kognitif kepada pasien Terapis menjelaskan apa yang di maksud dengan terapi kognitif, tujuan terapi kognitif serta manfaat terapi kognitif. 3. Mengidentifikasi masalah pasien Terapis mulai mengidentifikasi riwayat penyakit pasien, keadaan mental pasien. Terapis secara langsung menanyakan apa masalah utama yang dialami pasien.

4. Diskusikan sumber masalah Terapis dan pasien mendiskusikan sumber masalah yang dialami pasien. 5. Diskusikan pikiran dan perasaan pasien Dorong pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara terbuka. Biasanya pasien mengutarakan pikiran-pikiran otomatis atau pikiran negative. 6. Diskusikan pikiran otomatis yang di ungkapkan pasien Terapis menanyakan penyebab pasien berpikiran negatif serta memberikan respon setiap pernyataan pasien, menanyakan pendapat pasien mengenai respon dari terapis, berikan umpan balik, mendorong pasien untuk mengungkapkan keinginannya, berikan reinforcement positif, kemudian membantu pasien untuk menggunakan tanggapan rasional pada saat mengahadapi masalah. 7. Diskusikan perasaan pasien setelah menggunakan tanggapan rasional. Diskusikan apa manfaat tanggapan rasional, tanyakan apakah dapat membantu menyelesaikan masalah serta hambatan-hambatan yang di alami dan cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dorong pasien untuk melakukan sesuai kemampuan. 8. Diskusikan perasaan pasien setelah menggunakan terapi kognitif Diskusikan manfaat yang dirasakan, tanyakan apakah dapat menyelesaikan masalah. Jika ada hambatan yang dialami, diskusikan hambatan yang di alami dan cara mengatasinya. 9. Mengajarkan latihan pernapasan untuk membuat otot-otot relaksasi.

2.4

Penelitian terkait Setiawan (2009) dengan judul Efek komunikasi terapeutik terhadap tingkat

kecemasan pasien pre operasi di Rumah Sakit Adam Malik Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 84,6%% responden mengalami kecemasan ringan dan 15,4% mengalami kecemasan sedang dan tidak ada pasien dengan tingkat kecemasan berat maupun panik sebelum pelaksanaan treatment (komunikasi terapeutik). Setelah pelaksanaan komunikasi terapeutik 92,3% pasien preoperasi tingkat kecemasannya

menjadi ringan dan hanya 7,7% tingkat kecemasannya menjadi sedang. Penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecemasan klien (p = 0,001; = 0,05).

Penelitian Makmuri et.al (2007) tentang hubungan antara tingkat pendidikan pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operatif fraktur femur diRumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan studi korelasi (Correlation study). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien fraktur femur yang dirawat di ruang orthopaedi rumah sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Jenis data pada penelitian ini adalah data ordinal, sedangkan instrumen penelitian sebagai alat pengumpulan data yang digunakan adalah daftar pertanyaan dalam bentuk kuesioner tentang tingkat kecemasan, menggunakan skala HRS-A (Hamilton Rate Scale for Anxiety). Data hasil penelitian diolah menggunakan uji statistik Korelasi Spearman Rank. Jihan Rabial (2009) tentang efektivitas terapi perilaku kognitif relaksasi dan distraksi pada pasien kanker dengan nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen, pre test, post test dengan sampel sebanyak 16 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner skala pengukuran intensitas nyeri menggunakan verbal numerical rating scale. Hasil uji independen t-test pada penelitian ini dengan membandingkan intensitas nyeri antara kelompok responden yang mendapatkan terapi relaksasi dengan yang mendapat terapi distraksi menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna/signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p>0,05 yaitu 0.868. Dari hasil ini dapat dibuat analisa bahwa terapi

perilaku kognitif efektif dalam menurunkan intensitas nyeri.

Anda mungkin juga menyukai