Anda di halaman 1dari 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar 1. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen yang prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan uretra pars

fibromuskuler

menyebabkan

penyumbatan

prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ). Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan dan pembatasan berbagai derajat obstruksi uretral

aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).

Dari kedua pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 50 tahun. a. Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra ini prostatika dapat dan akan menghambat aliran urin. Keadaan tekanan intravesikal. Sebagai

meningkatkan

kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka

otot

detrusor dari buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus menerus

menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa : hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli - buli. Perubahan struktur pada buli - buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom / LUTS (Basuki, 2000 : 76). Puncak dari kegagalan kompensasi adalah

ketidakmampuan otot detrusor memompa urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal ( Sunaryo, H, 1999 : 11 ).

b. Etiologi Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai

sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan

beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain : 1). Dihydrotestosteron

10

Peningkatan menyebabkan

alfa epitel

reduktase dan stroma

dan dari

reseptor kelenjar

androgen prostat

mengalami hiperplasi . 2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hiperplasi stroma. 3). Interaksi stroma - epitel Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel. 4). Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama testosteron yang mengakibatkan

hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat. 5). Teori sel stem Sel stem yang meningkat mengakibatkan transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ). proliferasi sel

c. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain : 1. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra

11

dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu : a). Derajat I = beratnya 20 gram. b). Derajat II = beratnya antara 20 40 gram. c). Derajat III = beratnya > 40 gram.

2). Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting

diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan. 3). Pemeriksaan Uroflowmetri Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian : a). Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.

b). Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line. c). Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.

4). Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik a). BOF (Buik Overzich Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang. b). USG (Ultrasonografi)

12

Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik. c). IVP (Pyelografi Intravena) Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli buli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel. Sementara (voiding cystografi), untuk melihat adanya reflux urin. Sesudah (post evacuation), untuk melihat residual urin. 5). Pemeriksaan Panendoskop Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli buli

(Sunaryo, H, 1999 : 11-21). d. Penatalaksanaan Modalitas terapi BPH adalah : 1). Watchful (observasi) Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 6 kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien 2). Medikamentosa Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi terapi bulan

13

pembedahan tetapi masih terdapat kontraindikasi atau belum well motivated phitoterapi Obat yang digunakan berasal dari:

(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),

gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen. 3). Pembedahan Indikasi pembedahan pada BPH adalah : a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut. b). c). d). e). Klien dengan residual urin > 100 ml. Klien dengan penyulit. Terapi medikamentosa tidak berhasil. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan : a). b). Pembedahan biasa / open prostatektomi. TURP. TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit,

tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan akuades atau cairan isotonik tanpa elektrolit.

14

Prosedur ini

dilakukan

dengan

anastesi

regional

( Blok Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa hari.

Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan mengisi sebanyak darah. Balon garam dikembangkan fisiologis yang atau dengan akuades sebagai

cairan

30 50 ml

digunakan

tamponade daerah prostat dengan cara traksi selama 6 24 jam.Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga mengakibatkan stenosis buli buli karena ischemi. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan

pada paha bagian proximal atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau 24 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas .Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 5. Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu

15

atau dua hari setelah kateter dilepas 2000 : 6 ). 4). Alternatif Hipertermia, TULIP. B. Asuhan Keperawatan lain (misalnya: TUIP, TUBD,

(Doddy, M.S,

Kriyoterapi, dan

Termoterapi, TUNA, Terapi

Ultrasonik

Tahapan dari proses keperawatan meliputi : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Nasrul, E, 1995 : 3, 4 ). 1. Pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan

keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ). a. Pengumpulan data Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi : 1). 2). Identitas klien Keluhan utama Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau nyeri meringankan yang nyeri

( provokative / paliative ), rasa

dirasakan

16

(quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time). 3). Riwayat penyakit sekarang Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain :

hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13). 4). Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan

dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko

terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu. 5). Riwayat penyakit keluarga Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya

menurun seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali . 6). 7). 8). Riwayat psikososial Pola pola fungsi kesehatan Pemeriksaan fisik

17

Pemeriksaan lain :

didasarkan pada sistem sistem tubuh

antara

a). Keadaan umum b). Sistem pernafasan c). Sistem sirkulasi d). Sistem neurologi e). Sistem gastrointestinal f). Sistem urogenital Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing

(Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6). g). Sistem muskuloskaletal 9). Pemeriksaan penunjang a). Laboratorik b. Diagnosa keperawatan Berdasarkan analisa data yang diperoleh maka dapat dirumuskan diagnosa berikut : keperawatan pada klien BPH pasca TURP sebagai

18

1).

Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli : reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi. ( Marilynn, E.D, 2000 : 683 )

2).

Resiko

tinggi

kekurangan

cairan

berhubungan

dengan

kehilangan darah berlebihan . 3). Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy,

inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat. ( 5,8 ). 4). Nyeri sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran prostat. ( 5,9 )

2. Perencanaan a. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan anastesi. 1). Tujuan Pola napas tetap efektif 2). Kriteria hasil Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan. 3). Rencana tindakan dan rasional dengan

19

a). Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan. Rasional: memaksimalkan ekspansi paru. b). Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam. Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret. c). Kaji bunyi napas tiap 4 jam. d). Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim medis. e). Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis. f). Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau. Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas. g). Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi nyeri. Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan latihan batuk dan napas dalam secara efektif.

b.

Resiko

tinggi

kekurangan

cairan

yang

berhubungan

dengan

kehilangan darah berlebihan. 1). Tujuan Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara. 2). Kriteria hasil

20

Mempertahankan

hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda

-tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat. 3). Rencana tindakan dan rasional a). Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan. Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah dan buli. b). Pantau masukan dan haluaran cairan. Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian. c). Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut. Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya perdarahan pembenaman kateter pada distensi buli-

aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik. d). Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan darah Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan

memerlukan terapi cepat.

21

Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap. Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya

berkurang sendiri. e). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering. f). Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku. Rasional : dapat serebral. g). Dorong pemasukan cairan 3000 ml / hari kecuali menunjukkan penurunan perfusi

kontraindikasi. Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan ketat karena dapat mengakibatkan intoksikasi cairan. h). Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema. Rasional : dapat mengakibatkan dasar penyebaran iritasi

terhadap

prostat dan peningkatan

kapsul prostat dengan resiko perdarahan. i). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah.

22

Rasional :

berguna

dalam

evaluasi

kehilangan

darah/kebutuhan penggantian. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi Rasional : dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya darah, KID. j). Pertahankan traksi kateter menetap, plester kateter di bagian paha dalam. Rasional : traksi kan membuat tekanan pada aliran darah di kapsul prostat untuk membantu mencegah / mengontrol perdarahan. k). Kendorkan traksi dalam 6 - 24 jam. Catat periode pemasangan dan pengendoran traksi, bila diperlukan. Rasional : traksi lama dapat menyebabkan trauma / masalah permanen dalan mengotrol urin. l). Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi. Rasional : pencegahan konstipasi / mengejan untuk defekasi menurunkan resiko perdarahan penurunan faktor pembekuan

rektal-perineal. c. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, resistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obtruksi mekanik: pembesaran prostat. Tujuan: Pola eliminasi normal.

23

Kriteria hasil : Klien dapat berkemih dalam jumlah normal, tidak teraba distensi kandung kemih Residu pasca berkemih kurang dari 50 ml Klien dapat berkemih volunter Urinalisa dan kultur hasilnya negatif Hasil laboratorium fungsi ginjal normal Rencana tindakan : 1. Jelaskan pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi. 2. Dorong klien untuk berkemih tiap 2 4 jam dan bila dirasakan. 3. Anjurkan klien minum sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung bila diindikasikan 4. Perkusi / palpasi area supra pubik 5. Observasi aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca berkemih. Jika volume residu urine lebih besar dari 100 cc maka jadwalkan program kateterisasi intermiten. 6. monitor laboratorium: urinalisa dan kultur, BUN, kreatinin. 7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat: antagonis Alfa - adrenergik (prazosin) Rasional : 1 . Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien kooperatif dalam tindakan keperawatan.

24

2 . Meminimalkan retensi urine, distensi yang berlebihan pada kandung kemih 3 . Peningkatan aliran cairan, mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri. 4. Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area supra pubik. 5. - Observasi aliran dan kekuatan adanya obstruksi - Mengukur residu urine untuk mencegah urine statis karena dapat beresiko infeksi 6. Statis urinarias potensial ISK. untuk pertumbuhan prostat bakteri, dapat urine untuk mengevaluasi

peningkatan

resiko

Pembesaran

menyebabkan dilatasi saluran kemih atas (ureter dan ginjal), potensial merusak fungsi ginjal dan menimbulkan uremia. 7. Mengurangi obstruksi pada buli-buli, relaksasi didaerah prostat sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.

d. Nyeri sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran prostat. Tujuan : Klien menunjukan bebas dari ketidaknyamanan Kriteria hasil : - Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol - Ekspresi wajah klien rileks

25

- Klien mampu untuk istirahat dengan cukup - Tanda-tanda vital dalam batas normal Rencana tindakan : 1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 110 ), dan lamanya. 2. Beri tindakan kenyamanan, contoh: membantu klien melakukan posisi yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi / latihan nafas dalam. 3. Beri kateter jika diinstruksikan untuk retensi urine yang akut : mengeluh ingin kencing tapi tidak bisa. 4. 5. Observasi tanda tanda vital. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat sesuai indikasi, contoh: eperidin ( Dumerol ) Rasional : 1. Memberi informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan Intervensi 2. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping. 3 Retensi urine menyebabkan infeksi saluran kemih, hidro ureter dan hidro nefrosis 4. Mengetahui perkembangan lebih lanjut 5. Untuk menghilangkan nyeri hebat / berat, memberikan relaksasi mental dan fisik.

26

DAFTAR PUSTAKA

Alif, S., 1995. Benigne Prostate Hiperplasia, Makalah. Surabaya. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Data Urologi Impatient, 1999. SMF Urologi RSUD. dr. Soetomo. Surabaya. Effendi, N., 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hardjowidjoto, S.
27

1993. Anatomi Fisiologi Traktus Urogenital. Surabaya, Program Studi Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD. dr. Soetomo. 1999. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya, Airlangga University Press. Ignatavicus, D.D and Marilyn, F.B., 1991. Medical Surgical Nursing : A Nursing Procces Approach. International Edition. Philadelpia, W.B Saunders Company. Kirby, R, John F.P, Michael, K, Andrew, F.P and Louis, J.D., 1994. Shared Care For Prostatic Disease. Oxford, ISIS Medical Media. Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo. Lismidar, H., 1989. Proses keperawatan. Jakarta, Universitas Indonesia. Ndraha Taliziduhu, Dr., 1985. Research : Teori, Metodologi, Administrasi. Jakarta, PT. Bina Aksara. Anggota IKAPI. Oswari, Dr. 1989. Bedah Dan Perawatannya. Jakarta, PT. Gramedia. Anggota IKAPI. Soebandi, D.M., 2001. Benign Prostate Hyperplasia : Permasalahan, Perawatan Dan Pembedahan. Seminar Keperawatan. Surabaya, SMF Urologi Lab. Ilmu Bedah RSUD. dr. Soetomo. Surabaya Post. Tanggal 7 Juni 2001. Hal. 20. Kolom 2, BPH, Pembesaran Prostat Yang Tak Terelakkan. Tucker, S.M., Marry, M.C, Eleanor, V, Paquette, M and Fyfe, W., 1998. Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis Dan Evaluasi. Volume III. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997. Standar Asuhan Keperawatan Penyakit Bedah. Surabaya, Bidang Perawatan RSUD. Dr. Soetomo.

28

29

Anda mungkin juga menyukai