Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Jarir At Thobari Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada PENGANTAR Suatu obat dapat memberi efek farmakologik apabila berada di tempat aksinya dengan kadar tertentu. Kadar di tempat aksi ini secara langsung dipengaruhi oleh kadar obat tersebut di dalam sirkulasi sistemik (darah). Pengukuran kadar obat di tempat aksi saat ini masih memerlukan teknologi yang agak rumit, maka kadar dalam darah kemudian digunakan sebagai parameter untuk menentukan kebutuhan dosis, frekuensi pemberian dan lain-lain, dengan asumsi bahwa kadar dalam darah dapat memberi gambaran kadar di tempat aksi. Setiap obat yang masuk ke tubuh (kecuali yang diberikan secara intravena) akan melalui proses absorpsi, distribusi dan eliminasi. Absorpsi obat dipengaruhi beberapa faktor, misalnya formulasi, stabilitas obat terhadap asam lambung, enzim pencernaan dan makanan. Distribusi obat terjadi apabila obat mencapai sirkulasi sistemik kemudian menembus jaringan. Parameter-parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui profil farmakokinetika suatu obat dapat dihitung dengan pendekatan matematis.
ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME DAN EKSKRESI Setelah mengalami absorbsi dari tempat pemberiannya, obat memasuki sirkulasi sistemik dan didistribusi ke seluruh tubuh. Selama proses distribusi, sebagian obat mencapai tempat aksinya sehingga timbul efek farmakologik. Sebagian obat terikat di jaringan, dan yang berada dalam darah akan terbawa ke organ eliminasi. Eliminasi obat dapat berlangsung melalui dua cara, yaitu ekskresi dalam bentuk tidak berubah dan dimetabolisme terlebih dahulu. Obat yang bersifat polar akan diekskresi melalui organ ekskresi dalam bentuk tidak berubah dan yang bersifat non-polar demetabolisme terlebih dahulu agar menjadi lebih polar dan kurang larut dalam lipid sehingga mudah diekskresi. Selama proses distribusi, molekul obat terbawa oleh sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan sebagian mengalami transfer transmembran sehingga akhirnya sebagian akan masuk ke organ, terikat oleh protein jaringan, didisposisi di lemak, masuk kelenjar susu, kelenjar ludah dan lain sebagainya. Kemampuan obat untuk melalui membran sel berbeda-beda tergantung pada sifat fisiko-kimiawinya. Sebagian molekul obat yang berada dalam sirkulasi sistemik terikat pada protein plasma dan sebagian dalam keadaan bebas. Bentuk bebas inilah yang dapat mengalami transfer transmembran. Pada proses distribusi ini salah satu faktor yang memegang peranan penting adalah besarnya obat yang terikat dengan protein plasma. Setelah masuk ke dalam peredaran darah, sebagian obat akan terikat dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk obat bebas. Besarnya ikatan tergantung dari afinitas obat terhadap protein yang bersangkutan sehingga ada obat dengan ikatan protein yang besar dan ada obat dengan ikatan protein yang kecil. Obat bebas dan obat yang terikat dengan protein plasma selalu dalam keseimbangan dinamis, artinya apabila kadar obat bebas menurun, obat yang terikat dengan protein plasma akan segera dilepaskan menjadi bentuk bebas. Perbedaan afinitas antara obat yang satu dengan yang lainnya memungkinkan adanya pendesakan terhadap ikatan obat yang menyebabkan naiknya kadar obat bebas. Perubahan konsentrasi kadar obat bebas tentu saja akan membawa konsekuensi pada perubahan metabolisme dan ekskresi. Di bawah ini disajikan gambaran pengaruh besarnya ikatan obat dengan protein plasma dan tingginya kadar obat dalam darah.
Sebelum dikeluarkan dari tubuh, obat mengalami proses metabolisme terlebih dahulu. Metabolisme adalah perubahan daru suatu senyawa menjadi senyawa lain yang lebih polar, lebih mudah larut dalam air, dan terionisasi sehingga dapat dieliminasi lebih mudah. Metabolisme dapat terjadi di beberapa tempat, terutama di hepar, sedikit dalam ginjal, empedu, jaringan otot, dan dinding usus. Enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme terdapat dalam mitokondria atau fraksi mikrosomal. Selain itu, di dalam darahpun metabolisme beberapa obat dapat terjadi, karena adanya enzim yang diproduksi oleh sel darah. Aksi fisiologis terpenting dari enzim metabolisme adalah mengubah senyawa yang bersifat lipofilik menjadi metabolit yang larut dalam air sehingga mudah diekskresi. Metabolisme obat umumnya dibagi menjadi fase I dan fase II. Metabolisme obat pada fase I meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidolisis dan dehalogenasi. Fase II berupa reaksi konjugasi. Pada fase I biasanya terbentuk senyawa dengan gugus baru yang bersifat cukup polar, yaitu gugus OH, NH2, SH. Namun senyawa (metabolit) yang terbentuk ini belum tentu dapat dieliminasi. Untuk mempermudah eliminasinya, senyawa tadi kemudian mengalami reaksi fase II dengan substrat endogen yaitu glukoronat, sulfat, asetat atau asam amino sehingga terbentuk senyawa baru yang sangat polar. Ekskresi obat dari tubuh dapat melalui berbagai cara, namun demikian ekskresi obat yang utama adalah melalui ginjal. Ekskresi obat dapat juga melalui empedu, intestinum, paru atau air susu pada wanita menyusui. Ekskresi melalui ginjal dapat melalui tiga mekanisme utama yaitu filtrasi glomerular, sekresi tubular dan reabsorpsi tubular.
Bentuk sediaan Seperti telah disebutkan di hand out sebelumnya bahwa ada bermacam-macam bentuk sediaan yang dapat digunakan. Perbedaan bentuk sediaan obat ini kalau dilihat melalui pendekatan farmakokinetika dapat digambarkan dari kurva kadar obat versus waktu. Proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi terlihat dari gambaran kurva berikut ini
Induksi dan inhibisi Beberapa obat yang mempunyai struktur berlainan sudah lama diketahui dapat mempengaruhi aktivitas enzim metabolisme. Obat yang dapat meningkatkan aktivitas enzim metabolisme (misalnya enzim sitokrom P 450) sehingga memepercepat metabolisme obat disebut dengan induktor enzim, sedangkan obat yang bersifat menghambat metabolisme obat disebut inhibitor enzim. Contoh senyawa induktor enzim yaitu fenobarbital dan rifampisin, sedangkan senyawa inhibitor enzim yaitu isoniazid, propranolol, simetidin dan kloramfenikol. Kalau digambarkan menurut gambaran kadar versus waktu, maka proses induksi dan inhibisi seperti terlihat pada gambar berikut ini.
PROFIL FARMAKOKINETIKA Untuk mengetahui profil farmakokinetika suatu obat diperlukan suatu serial pengukuran kadar obat dalam cairan tubuh dalam waktu tertentu setelah pemberian obat. Profil farmakokinetika yang paling sederhana dapat diperoleh pada pemberian obat dengan dosis tunggal. Setelah obat diberikan dengan dosis tertentu, kemudian dilakukan pengambilan cuplikan darah/serum/plasma untuk diukur kadar obatnya pada waktu-waktu tertentu. Setelah itu bisa dibuat gambar hubungan antara kadar obat (sumbu y) dan waktu
(sumbu x) seperti terlihat pada gambar berikut ini. Untuk berbagai bentuk sediaan gambarannya seperti terlihat pada gambar sebelah kiri, sedangkan gambar yang kanan menerangkan cara penghitungan waktu paro secara mudah.
Dari kurva kadar obat dalam darah/serum/plasma terhadap waktu kemudian dilakukan penghitungan parameter farmakokinetika. Parameter farmakokinetika Tetapan kecepatan absorpsi (ka) Tetapan kecepatan absorpsi menggambarkan kecepatan obat masuk ke sirkulasi sistemik dari tempat pemberiannya (misalnya saluran cerna pada pemberian per oral, atau jaringan otot pada pemberian intramuskuler). Satuan parameter ini adalah fraksi per satuan waktu (jam-1 atau menit-1). Waktu mencapai kadar puncak (tmax) Parameter ini menggambarkan waktu untuk mencapai kadar obat tertinggi pada sirkulasi sistemik. Kecepatan absorpsi suatu obat dapat digambarkan dengan parameter ini, misalnya ampisilin 1 jam, fenobarbital 6-18 jam. Kadar puncak (Cmax) Cmax menggambarkan kadar obat tertinggi dalam darah/serum/plasma. Satuan Cmax dapat berbeda untuk setiap obat (misalnya metronidazol ug/ml, deksametason ng/ml). Cmax bisa menggambarkan apakah kadar obat sudah melampaui kadar efektif minimum atau sudah melampaui kadar toksik minimum Luas daerah di bawah kadar obat terhadap waktu (AUC0-...) Parameter ini dapat menggambarkan persentase jumlah obat yang diabsorpsi dari dosis yang diberikan dengan membandingkan dengan AUC obat yang diberikan secara intravena. Hasil yang didapat sama dengan nilai ketersediaan hayati absolut (F). Nilai AUC dapat menggambarkan lama dan intensitas obat berada dalam sirkulasi sistemik. Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi adalah volume semu cairan tubuh yang diperlukan untuk memuat sejumlah obat dalam kadar yang proporsional dengan kadarnya dalam plasma. Kliren Klien adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat per satuan waktu. Nilai ini merupakan nilai kliren yang disebabkan oleh proses metabolisme yang terutama berlangsung di hepar dan ginjal. Tetapan kecepatan eliminasi (kel) Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan kecepatan penurunan kadar obat setelah proses kinetika mencapai keseimbangan. Waktu paro (t1/2) Waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik tinggal separonya. Parameter ini banyak digunakan untuk memperkirakan kapan obat akan habis dari tubuh atau kapan sebaiknya dilakukan pemberian berulang.
Interaksi obat Pemakaian kombinasi lebih dari satu macam obat sering dijumpai dalam pengobatan. Pemakaian kombinasi ini bertujuan untuk meningkatkan efek terapi dan mengurangi efek samping atau efek toksik yang disebabkan oleh masing-masing obat. Namun demikian kebiasaan pemakaian kombinasi ini dapat menyebabkan terjadinya interaksi obat yang kadang-kadang merugikan penderita. Secara garis besar, mekanisme interaksi obat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu interaksi farmasetik, interaksi farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik. Interaksi farmasetik Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh, dan merupakan interaksi fisiko-kimiawi antara obat dengan obat atau obat dengan bahan tambahan dalam sediaan. Interaksi ini dapat emnyebabkan obat kehilangan aktivitas farmakologiknya. Sebagai contoh, gentamisin mengalami inaktivasi apabila dicampur dengan karbenisilin atau penisilin bereaksi dengan dilantin. Interaksi farmakokinetik Interaksi farmakokinetik terjadi apabila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Interaksi pada proses absorpsi terjadi melalui berbagai mekanisme, antara lain perubahan pH saluran pencernaan (misalnya pemberian antasida mempengaruhi kelarutan aspirin) atau obat yang diberikan membentuk senyawa kompleks sehingga tidak dapat diabsorpsi dengan baik (misalnya penurunan absorpsi tetrasiklin karena berikatan dengan logam berat seperti alumunium, besi, kalsium atau magnesium). Perubahan motilitas lambung karena metoklopramid dapat menurunkan absorpsi digoksin atau meningkatkan absorpsi aspirin dan parasetamol. Interaksi pada proses distribusi yang penting ialah terjadinya pendesakan ikatan protein obat dengan derajad ikatan protein yang lebih lemah oleh obat-obat dengan derajad ikatan protein yang lebih kuat sehingga menaikkan kadar obat bebas dari obat yang terdesak. Misalnya fenilbutason dan asam salisilat meningkatkan efek hipoglikemia tolbutamid
karena lebih banyak fraksi bebas tolbutamid yang terdesak dai ikatannya dengan protein plasma. Interaksi pada proses metabolisme terjadi apabila suatu obat diberikan bersamasama dengan induktor enzim atau inhibitor enzim. Interaksi farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah peristiwa interaksi yang terjadi pada tingkat reseptor (telah diterangkan di hand-out sebelumnya)