Anda di halaman 1dari 7

Januari 2013

Editorial
Pembangunan sanitasi di Indonesia diakui tidaklah semudah membalikkan tangan. Pada periode pembangunan yang lampau, pembangunan sanitasi didominasi oleh upaya penyediaan sarana fisik/infrastruktur. Model pembangunan ini tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit mengingat kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, dengan topografi yang bervariasi. Terlebih lagi, hasil pembangunan yang dilakukan pun pada akhirnya menjadi sia-sia karena sarana tidak dipergunakan ataupun dipelihara dengan baik. Dari kegagalan ini, Indonesia belajar bahwa sanitasi bukan hanya sekedar menyediakan sarana fisik/infrastruktur, namun juga mencakup faktor sosialbudaya. Pemikiran ini pun mendorong dikembangkannya metode-metode pembangunan yang lebih mengikutkan para pemangku kepentingan (partisipatoris). Model pembangunan pun dikembangkan dengan memberdayakan masyarakat untuk bisa mengenali dan mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Beberapa uji coba yang dilakukan memberikan hasil bahwa investasi pada model pembangunan dengan pemberdayaan masyarakat lebih efektif dibandingkan hanya dengan mengandalkan pembangunan sarana fisik. Peluncuran Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat pada tahun 2003 pun menandai keseriusan pemerintah untuk mendorong metode pembangunan partisipatoris ini. Beberapa upaya uji coba yang dilakukan sebagai tindak lanjut peluncuran juga memberikan hasil yang menjanjikan. Salah satu tindak lanjut dari hasil uji coba adalah dengan dicanangkannya program nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) pada tahun 2008. Upaya implementasi skala nasional ini kemudian memunculkan isu sumber daya manusia. Untuk mencapai target-target pembangunan nasional, apakah sumber daya yang ada mencukupi untuk melaksanakan program secara optimal? Apakah sumber daya yang tersedia memiliki kompetensi yang dibutuhkan program? Apakah sumber daya yang ada dapat melakukan program dan kegiatan secara efektif? Melalui newsletter elektronik edisi ini, kami mencoba mengulas sedikit mengenai isu sumber daya manusia dalam STBM. Artikel mengenai kualitas dari seorang fasilitator pemicuan, upaya institusionalisasi peningkatan kapasitas pemicuan, maupun rekomendasi pustaka serta artikel-artikel terkait kami coba rangkum dalam edisi ini. Kami berharap informasi-informasi ini dapat menjadi bahan pemikiran pembaca, bahkan memicu ide-ide inovasi yang bisa disampaikan untuk optimalisasi program STBM. Kontak Kami Sekretariat STBM Nasional Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal PPPL Gedung D Lantai 1 Jl. Percetakan Negara No. 29, Jakarta Pusat 10560 - PO BOX 223 Telp. (021) 4247608 Ext: 182, (021) 42886822, Fax: (021) 42886822 email: sekretariat@stbm-indonesia.org website: http://www.stbm-indonesia.org

Rekomendasi Pustaka
Sanitation Personnel: Capacity Development Strategy

Artikel
Pelatihan CLTS untuk Mendukung Implementasi Pada Skala yang Lebih Besar Community Led Total Sanitation (CLTS) yang diperkenalkan di awal 2000-an saat ini sudah sangat tersebar implementasinya, termasuk di Indonesia. Upaya implementasi pada skala yang lebih besar pun sudah dicanangkan di berbagai negara. Di Indonesia, upaya ini dikenal dengan program nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dalam sebuah pertemuan para praktisi CLTS yang digagas oleh Institute for Development Studies (IDS) di Nairobi pada tahun 2011, salah satu isu yang muncul terkait dengan implementasi CLTS skala besar adalah mengenai kualitas pelatihan. Terkait dengan isu tersebut, ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan dan pembelajaran bersama. Pertama adalah tantangan dan kendala seperti praktik yang buruk serta kebutuhan pelatih dan fasilitator yang berkompeten. Kedua, beberapa pengalaman terkait dengan pelatihan CLTS yang dapat dijadikan referensi untuk optimalisasi implementasi CLTS pada skala besar. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa ada banyak fasilitator CLTS yang mengaku sudah memiliki kemampuan yang mumpuni, padahal banyak diantaranya yang belum berhasil mendorong komunitas untuk mencapai Open Defecation Free (ODF). Karena itu, evaluasi kualitas pemicuan maupun pelatihan penyegaran sangat dibutuhkan. Pelatihan juga perlu dilengkapi dengan praktik lapangan, terutama untuk mengembangkan kepercayaan diri dari fasilitator. Selain itu, bentuk pelatihan berjenjang pelatihan untuk pelatih tanpa adanya pembinaan lanjutan dan pendampingan memiliki risiko adanya penyimpangan prinsip, karena fasilitator terkadang harus mengenalkan konsep CLTS secara independen. Di satu sisi, hal ini juga dapat mendorong inovasi. Para peserta yang sebelumnya sudah dilatih melalui pelatihan banyak yang pada akhirnya tidak bisa mengimplementasikan. Hal ini biasanya diakibatkan para peserta hadir mewakili institusinya. Setelah selesai pelatihan, ada kemungkinan orang tersebut akan ditugaskan untuk hal lain yang tidak berhubungan dengan CLTS, sehingga untuk mengimplementasikan CLTS akan menjadi beban tambahan bagi dirinya. Beberapa rekomendasi terkait perbaikan kualitas pelatihan yang diperoleh dari pertemuan antara lain: untuk memastikan bahwa pelatih memiliki catatan keberhasilan mendorong terciptanya komunitas ODF, perlunya pembinaan lanjutan dan pendampingan bagi para pelatih dan fasilitator baru, memastikan bahwa peserta pelatihan adalah individu yang memang akan bekerja untuk mengimplementasikan CLTS, serta terus mencari dan melakukan inovasi dan berbagi pengalaman. Ditulis oleh: Dyota Condrorini (dyota.condrorini@gmail.com)

Sebuah studi yang dilakukan untuk menjajaki kebutuhan peningkatan kapasitas untuk pembangunan sanitasi yang dilakukan melalui proyek WASPOLA Facility. Studi ini juga memberikan rekomendasi strategi peningkatan kapasitas pembangunan sanitasi. Ada 4 strategi yang direkomendasikan: (i) Peningkatan daya tarik pekerjaan sanitasi; (ii) Institusionalisasi upaya peningkatan kompetensi; (iii) Revitalisasi program pengembangan kompetensi; dan (iv) Mendorong pertukaran pengetahuan dari para pemangku kepentingan. Download: Sanitation Personnel: Capacity Development Strategy, link: http://id.scribd.com/ doc/133763915/Final-Report-Sanitation-Training-andCapacity-Study

Apakah Fasilitator STBM Sudah Terampil Memicu? Pelaksanaan STBM dilakukan dengan menggunakan tiga komponen pendekatan, yaitu penciptaan lingkungan yang mendukung (enabling environment), penciptaan kebutuhan (demand creation) dan peningkatan penyediaan (supply improvement). Dalam upaya penciptaan kebutuhan, ada dua metode yang digunakan, yaitu metode promosi dan metode pemicuan. Metode promosi menggunakan berbagai media seperti audio, video/film, bahan cetak (booklet, leaflet, komik, poster, koran, dan lain-lain), seni peran atau pertunjukan, baik tradisional maupun modern. Sementara metode pemicuan menggunakan pendekatan yang biasa dikenal dengan nama community led total sanitation (CLTS).

tahunan bagi para fasilitator CLTS. Enam tahapan proses yang perlu dievaluasi yaitu: 1. Keputusan untuk memicu ataupun tidak memicu Keputusan untuk melakukan pemicuan ataupun tidak dapat dinilai melalui seberapa banyak kondisi berikut terpenuhi:

Jika semua persyaratan terpenuhi, maka kemungkinan pemicuan akan berhasil. Jika kondisi c dan d tidak terpenuhi, mungkin lebih baik untuk menunda memicu dan bekerja dengan kepemimpinan masyarakat untuk menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan dulu. 2. Perangkat CLTS yang Digunakan Evaluasi mengenai perangkat CLTS dilakukan dengan menilai berapa banyak kondisi berikut dipenuhi. Kemampuan fasilitator dalam menerapkan pendekatan ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan di lapangan. Kemampuan untuk menerapkan berbagai perangkat CLTS termasuk kemampuan komunikasi untuk menyampaikan elemen-elemen pemicu dapat dilatih secara terus-menerus dan akan semakin terasah dengan seringnya fasilitator memicu di lapangan. Meskipun pelatihan CLTS sudah banyak dilaksanakan, dan banyak pula yang telah dilatih sebagai fasilitator CLTS, tetapi bagaimanakah hasilnya? Apakah fasilitator yang sudah dilatih tersebut betul-betul sudah memiliki keterampilan atau kemampuan memicu? Evaluasi kualitas pemicuan salah satunya bisa menggunakan Checklist Indikator Kualitas Proses CLTS yang dikembangkan melalui pengalaman proyek Total Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM) di Indonesia. Checklist ini bermanfaat untuk evaluasi diri oleh fasilitator sendiri maupun oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten atau lembaga lain untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar mengadakan pelatihan penyegaran

Dalam penerapan CLTS di lapangan, tidak ada keharusan untuk menggunakan seluruh perangkat seperti disebutkan di atas. Namun, hasil action research yang dilaksanakan di Jawa Timur menunjukkan bahwa pada komunitas yang cepat mencapai ODF (rata-rata membutuhkan waktu 2 bulan untuk mencapai ODF), perangkat CLTS yang digunakan lebih banyak dibandingkan pada komunitas yang lambat ODF (rata-rata membutuhkan 7-12 bulan

hari untuk mencapai ODF) atau yang belum ODF. Penggunaan setiap perangkat CLTS sebaiknya menyesuaikan karakteristik masyarakat, termasuk situasi, kondisi dan kebiasaannya. Sebagai contoh, penggunaan perangkat simulasi pencemaran air pada masyarakat yang biasa BABS di darat (kebun/hutan/tegalan) akan lebih cocok dengan simulasi meminum air di dalam gelas yang tercemar tinja melalui lalat. Sedangkan pada masyarakat yang biasa BABS dan melakukan aktivitas sehari-hari (mandi/cuci/ gosok gigi) di sungai, maka akan lebih tepat simulasi air dalam ember yang tercemar tinja untuk mencuci muka atau berkumur. Demikian pula dengan penggunaan perangkat lainnya perlu disesuaikan. Karena itu pada tahap pra pemicuan diperlukan observasi awal pada komunitas yang akan dipicu. Pemilihan lokasi untuk proses pemicuan juga perlu dipersiapkan untuk menggunakan perangkat dengan lebih leluasa. Penggunaan lebih banyak perangkat dalam proses dapat memberikan kesempatan lebih besar untuk upaya pemahaman dan analisa terhadap kondisi lingkungan dan perilaku buruk sasaran. Di samping itu, beragam perangkat tersebut dapat lebih membangkitkan elemen-elemen pemicu seperti munculnya rasa jijik, malu, tidak nyaman/risih, harga diri/gengsi, dll. Dengan demikian, keinginan dan komitmen untuk segera berubah dapat timbul pada diri sasaran baik perorangan maupun kolektif komunitas. Perlu diperhatikan disini bahwa tools CLTS adalah alat bantu untuk memicu perbahan perilaku, bukan suatu ritual yang harus dilaksanakan. 3. Efektivitas Pemicuan Evaluasi efektivitas pemicuan yang dilakukan adalah dengan menilai seberapa banyak kondisi berikut terjadi.

beberapa hal berikut.

5. Kunjungan tindak lanjut 1 bulan setelah pemicuan dan secara berkala sesudahnya sampai ODF Kualitas pemicuan dapat dilihat pada saat kunjungan tindak lanjut dilakukan untuk mengkaji hasil/dampak dari kunjungan 1 minggu pasca pemicuan, dengan melihat beberapa hal berikut.

4. Kunjungan tindak lanjut 1 minggu setelah pemicuan Kesuksesan proses pemicuan yang dilihat pada kunjungan tindak lanjut 1 minggu pasca pemicuan dapat dinilai melalui

Jika hal-hal tersebut di atas belum terjadi, fasilitator perlu memberikan informasi/ide/contoh kegiatan dari komunitas lain untuk membantu memecahkan kebuntuan.

6. Kunjungan pengecekan acak (secara regular 6 bulan-1 tahun) setelah verifikasi dan pencapaian status ODF Kualitas pemicuan dapat dinilai dengan melakukan beberapa hal berikut. Amati kondisi sekeliling rumah dan lingkungan pemukiman (pinggiran sungai, saluran air dan sungai, kolam ikan, saluran irigasi, lahan pertanian, jurang) untuk melihat tanda-tanda masih terjadinya BABs atau tidak. Memeriksa catatan kepemilikan jamban untuk mengkonfirmasi 100% kepemilikan terhadap sanitasi/ jamban sehat. Amati sampel acak 10% dari fasilitas rumah tangga permanen dan semi permanen - seberapa baik sarana tersebut digunakan dan dipelihara dan sarana tersebut masih dalam kondisi aman/baik? Tanyakan bagaimana perilaku BABs/OD dapat dideteksi dan ditangani, jika ditemukan. Tanyakan apakah ada yang pernah ketahuan OD dan tindakan apa yang diambil sebagai hukuman (jika tidak ada yang pernah tertangkap, ada kemungkinan karena kurangnya upaya pemantauan perilaku OD). Diskusikan dengan desa dan kepala dusun bagaimana agar mereka dapat mencegah masyarakat tergelincir kembali ke perilaku OD dan mereka bisa kehilangan status ODFnya. Catat dan laporkan pembelajaran yang diperoleh kepada pihak Puskesmas/ kecamatan/fasilitator lainnya. Jika ditemui kecenderungan penurunan kualitas sarana jamban sederhana, diskusikan kemungkinan upaya peningkatan kualitas jamban atau masuknya pengusaha sanitasi di komunitas tersebut. Ditulis oleh: Wano Irwantoro-WSP, (wirwantoro@worldbank.org)

Institusionalisasi Peningkatan Kapasitas dalam Program STBM Program STBM diimplementasikan dengan menggunakan tiga strategi utama, yaitu penciptaan kebutuhan, peningkatan suplai dan penciptaan lingkungan yang mendukung ditambah dengan tiga strategi pendukung seperti pengelolaan pengetahuan, pembiayaan, serta pemantauan dan evaluasi. Agar bisa secara optimal melaksanakan program yang diluncurkan pada tahun 2008 ini, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan kapasitas. Kebutuhan akan peningkatan kapasitas ini juga dinyatakan dalam sebuah catatan pembelajaran yang dirilis oleh WSP pada tahun 2010. Dalam catatan tersebut, disampaikan bahwa dari hasil pelaksanaan program peningkatan sanitasi perdesaan yang dilakukan di tiga negara Indonesia, Tanzania dan India peningkatan kapasitas pada setiap tingkatan memiliki peran yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan program.

Program STBM sendiri dimulai dengan pengenalan pendekatan CLTS yang dibawa pada tahun 2004, yang kemudian seiring dengan perjalanan implementasi dilengkapi dengan komponenkomponen pemasaran sanitasi dan penciptaan lingkungan yang mendukung. Konsep yang mengintegrasikan ketiga komponen tersebut menjadi dasar upaya implementasi skala nasional. Dalam hampir satu dekade, upaya-upaya seperti pelatihan pemicuan, pelatihan tukang, wirausaha sanitasi maupun pemantauan serta pengelolaan pengetahuan sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, untuk bisa lebih optimal, perlu adanya sebuah integrasi dari upaya-upaya tersebut, yang saat ini diwujudkan dalam bentuk institusionalisasi peningkatan kapasitas. Mengapa perlu institusionalisasi? Sebuah studi mengenai peningkatan kapasitas pernah dilakukan melalui WASPOLA Facility. Melalui studi ini, diperoleh hasil bahwa untuk pencapaian target pembangunan sanitasi, dibutuhkan paling tidak 15.000 orang tenaga sanitasi. Namun, kebutuhan ini juga tidak mudah untuk dipenuhi. Dari setiap pelatihan yang diselenggarakan, tidak semua peserta pelatihan akhirnya bekerja di sektor sanitasi. Karena itu, perlu juga dipikirkan insentif seperti apa yang bisa diperoleh agar dapat menarik tenaga kerja untuk bekerja bagi pembangunan sanitasi. Selain itu, ada isu mengenai kualitas hasil yang berbeda dari setiap pelatihan. Hal ini juga dinyatakan dalam catatan pembelajaran yang disusun melalui WSP, bahwa diperlukan adanya standardisasi pelatihan. Selama beberapa tahun belakangan, pelatihan-pelatihan terkait STBM diselenggarakan oleh masing-masing pelaksana program, baik itu pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Ada kurikulum pelatihan yang memang sudah secara umum disepakati, namun ada juga yang masih belum terstandardisasi. Akibatnya, kualitas hasil pelatihan bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu, perlu ada sebuah upaya untuk terus memperbaharui material pelatihan dengan pembelajaran-pembelajaran baru maupun metode/perangkat yang baru. Selain itu, material juga perlu dilengkapi dengan informasi-informasi yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Dalam upaya institusionalisasi peningkatan kapasitas ini, perlu juga dipikirkan mengenai pembagian peran berbagai pihak. Penyediaan tenaga sanitasi tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja. Namun, perlu ada pembagian peran yang mantap untuk bisa mewujudkan hasil yang optimal. Ditulis oleh: Dyota Condrorini (dyota.condrorini@gmail.com)

Integrasi Komponen STBM Dalam Program Pengembangan SDM Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Besarnya kebutuhan sumber daya manusia untuk STBM mendorong Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL), Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDMK), dan Pusat Promosi Kesehatan (Promkes) bekerjasama untuk mengintegrasikan komponen STBM ke dalam kurikulum pendidikan sekolah kesehatan dan pelatihan-pelatihan kesehatan yang terakreditasi

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan program Pelembagaan Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Jakarta pada tanggal 21 Januari 2013. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperbesar skala dan mempercepat pencapaian target MDGs 7C yaitu mengurangi hingga setengah penduduk yang tidak memiliki akses air dan sanitasi yang layak di tahun 2015. Kemenkes mencatat baru 17,8% penduduk yang tidak lagi buang air besar sembarangan dengan perbedaan tingkat capaian yang tinggi antar provinsi dan antar kabupaten. Kemenkes juga mencatat kematian 162.000 balita yang disebabkan oleh diare. Dalam sektor ekonomi, studi Bank Dunia menyebutkan pada tahun 2008, kerugian ekonomi Indonesia akibat sanitasi yang buruk mencapai 56 triliun rupiah per-tahun dan studi WASPOLA Facility tahun 2012 menyebutkan adanya kebutuhan tenaga sanitasi sebanyak 15.000 orang untuk mencapai target MDGs tahun 2015. Menjawab besarnya kebutuhan atas SDM yang memiliki pengetahuan dan keahlian STBM, Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL), Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDMK), dan Pusat Promosi Kesehatan (Promkes) berupaya mengintegrasikan komponen STBM ke dalam kurikulum

pendidikan sekolah kesehatan dan pelatihan-pelatihan kesehatan yang terakreditasi, termasuk ke dalam programprogram besar kesehatan yang sudah berjalan seperti desa siaga dan program dokter magang. Selain menyasar mahasiswa, program ini juga menyasar tenaga-tenaga kesehatan, sanitarian, fasilitator STBM yang sudah ada, maupun orangorang yang tertarik untuk menjadi fasilitator melalui program pembelajaran elektronik dan sistem sertifikasi. Program ini diarahkan untuk mempercepat pencapaian target besar nasional secara efektif dan dalam pelaksanaannya akan dilakukan integrasi pesan STBM dengan pesan-pesan dan strategi kesehatan lainnya untuk menjamin keberlanjutan perubahan perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, ujar Prof. Dr. Chandra Yoga Aditama, Direktur Jendral PPPL dalam pembukaan lokakarya peluncuran program pelembagaan ini. Kunjungan Pembelajaran ke Jawa Timur Untuk melihat dan mendapatkan masukan langsung dari pelaksana dan penerima manfaat program STBM, tim kecil program pelembagaan penguatan kapasitas STBM Kemenkes melakukan kunjungan pembelajaran ke Jawa Timur pada tanggal 28-30 Januari 2013. Jawa Timur menyumbang 25% kemajuan capaian pelaksanaan STBM di Indonesia, ungkap Zainal Nampira, Kasubdit Penyehatan Air, menjelaskan pertimbangan memilih Jawa Timur sebagai lokasi studi. Dalam kunjungan tersebut terungkap bahwa kesuksesan Jawa Timur didukung oleh bergeraknya tiga komponen STBM secara bersamaan. Komponen peningkatan kebutuhan didukung oleh beragam kegiatan pemicuan di masyarakat, promosi dan kompetisi baik antar komunitas maupun antar kabupaten/kota. Penyediaan kebutuhan didukung oleh berbagai kegiatan pelatihan wirausaha sanitasi, inovasi-inovasi pilihan jamban murah, pembentukan asosiasi dan dukungan akses pendanaan. Adapun kondisi kondusif diwujudkan melalui dukungan kebijakan yang pro-STBM dan realisasi melalui penyediaan anggaran. Kontribusi masyarakat yang sangat besar juga merupakan faktor kunci kesuksesan STBM di Jawa Timur. Investasi masyarakat mencapai 4 milyar atau 10 kali lebih besar dari investasi pemerintah, jelas Warto, MSc, Asisten I bidang Administrasi Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Jombang. Banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat, misalnya di Sumobito, masyarakat melakukan arisan jamban Rp 1000,-/ hari, ujar kepala puskesmas Sumobito menjelaskan kreatifitas warga untuk memiliki jamban. Edy Basuki, Kasie Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Jawa Timur menjelaskan bahwa walaupun Jawa Timur dinilai sebagai provinsi dengan capaian terbesar, baru 1.119 dari 8.000 desa di Jawa Timur yang bebas buang air besar sembarangan (Open Defecation Free/ODF). Tantangan kami masih sangat besar, masih jauh dari target 4.000 desa ODF di tahun 2015.

Salah satu kendala kami adalah kurangnya personil STBM yang mumpuni. Oleh karena itu, kami sangat mendukung program integrasi STBM ke dalam kurikulum di Poltekkes. Winarko dari Poltekkes Surabaya menambahkan bahwa Poltekkes di Jawa Timur siap menggerakkan 300 mahasiswa per-tahun yang akan Praktek Kerja Lapangan (PKL) untuk mendukung program STBM. Kami juga siap untuk menyisipkan komponen STBM ke dalam kurikulum yang sesuai seperti mata kuliah penyehatan lingkungan permukiman dan promosi kesehatan, katanya. Integrasi dengan Desa Siaga

Peluang Personil Watsan Masih Terbuka Lebar Kesempatan bekerja di sektor air minum dan sanitasi di Indonesia ternyata masih tinggi. Faktanya, berdasarkan perhitungan Kementerian Bappenas menunjukkan, hingga 2019 mendatang, setidaknya Indonesia masih membutuhkan 2000 lebih personil air minum dan sanitasi. Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Nugroho Tri Utomo mengatakan, besarnya peluang tersebut disebabkan hingga kini pembangunan air minum dan sanitasi belum menujukkan hasil optimal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, setidaknya hingga 2011 lalu hanya ada 55% penduduk yang memiliki akses air minum dan sanitasi layak. Padahal, bila mengacu pada target perolehan MDGs 2015 mendatang, setidaknya 68% penduduk Indonesia harus memiliki akses air minum dan sanitasi layak, ujarnya saat menjadi salah satu pembicara pada seminar Young Water Professional, di ajang IWWEF beberapa waktu lalu. Menurut Nugroho, kesempatan ini tidak boleh disia-siakan begitu saja oleh para generasi muda Indonesia, khususnya bagi mahasiswa yang telah mengambil jurusan sesuai dengan kompetensi di sektor air minum dan sanitasi. Salah satunya seperti, mahasiswa program studi teknik lingkungan. Hal ini karena, kedepannya pembangunan air minum dan sanitasi di Tanah Air akan semakin gencar dilakukan. Mengingat, masih banyak perbaikan kondisi air minum dan sanitasi yang perlu ditingkatkan oleh negeri ini, terangnya. Dia menjelaskan, berdasarkan program keberlanjutan Pamsimas 2 yang rencananya akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini pada lebih dari 7000 desa di 121 kabupaten. Setidaknya, dibutuhkan 2400 orang fasilitator dan 690 konsultan. Lebih lanjut, dia menerangkan, ada banyak peran pekerjaan yang dapat dipilih pada sektor ini. Mulai dari menjadi konsultan, manajer, instruktur, fasilitator, kontraktor, hingga operator. Bahkan kalau dihitung secara kasar saja, setidaknya ada lebih dari 200 jenis bidang profesi yang dapat digeluti, katanya pada acara lokakarya yang bertajuk career talks in the water industry di Jakarta (16/1). Selain itu, dia menambahkan, walaupun personil yang dibutuhkan sangat banyak. Namun, dalam memilih personil kualitas juga menjadi pertimbangan utama. Oleh karena itu, ada baiknya bila sebelum lulus para mahasiswa yang berminat bekerja di bidang ini dapat mempersiapakan diri sesuai kualifikasi. Sehingga nantinya bisa langsung diterima pada bidang pekerjaan yang dipilih, pungkasnya. Sumber: www.ampl.or.id

Pendekatan STBM yang mengedepankan upaya preventif dan promotif terpadu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tidak hanya cocok digunakan untuk program sanitasi, tetapi dapat digunakan dalam program-program kesehatan lainnya. Pendekatan dan program STBM akan diintegrasikan ke dalam wadah Desa Siaga. Saat ini, tim kecil sedang menyisipkan materi STBM ke dalam kurikulum dan modul Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan. Pelatihan pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi dengan STBM, khususnya untuk fasilitator masyarakat pesisir akan kami lakukan dalam waktu dekat di beberapa provinsi di timur Indonesia, jelas Rarit Gempari, Kabid Pemberdayaan Masyarakat, Pusat Promosi Kesehatan menjelaskan salah satu model pelembagaan kapasitas STBM yang terintegrasi dengan program-program Kemenkes lainnya. Ditulis oleh: Rahmi Kasri-WSP, (rahmikasri@gmail.com)

Anda mungkin juga menyukai