Anda di halaman 1dari 3

Kaitan Invasi AS ke Afghanistan dengan Hukum Internasional

Agresi militer AS terhadap Afghanistan pada tanggal 7 Oktober 2001 silam mengundang banyak perhatian dari masyarakat internasional. Penyerangan yang ditujukan demi membasmi gerakan terorisme tersebut pada kenyataannya justru menimbulkan terror baru bagi masyarakat Afghanistan sendiri. Kehancuran infrastruktur, tewasnya warga sipil yang tidak bersalah, kelangkaan bahan pangan, kemiskinan yang menimpa masyarakat Afghanistan, serta penyakit yang diderita masyarakat akibat tinggal ditempat pengungsian yang jauh dari kata layak menjadi beban tersendiri bagi masyarakat Afghanistan dengan adanya agresi militer terseut. Terkait hal tersebut, maka perlu dilihat bagaimana keterkaitan antara Invasi AS terhadap Afghanistan melalui perspektif hukum internasional. Secara hukum, negara merupakan subjek dari hukum internasional. Seiringn dengan berjalannya waktu, hal ini mengalami perkembangan, diantaranya subjek hukum tidak hanya meliputi negara saja. Beberapa actor juga termasuk dalam subjek hukum internasional, diantaranya ialah Organisasi-organisasi Internasional, Organisasi-organisasi non pemerintah (NGO), Perusahaanperusahaan multinasional (MNC), serta individu-individu. Dalam kasusu ini kita mengetahui bahwa AS merupakan subjek hukum utama terkait invasinya terhadap Afghanistan. Begitupula dengan NATO yang merupakan aliansi AS dalam invasi tersebut. NATO dapat dikategorikan sebagai subjek dari hukum internasional karena posisinya sebagai Organisasi Internasional . Invasi yang dilancarakan AS dan NATO tersebut ditujukan dalam aksi pemberantasan aksi terrorisme. Namun, perlu diketahui arti dari kata terorisme itu sendiri. Ada banyak definisi yang menyebabkan makna dari terorisme, diantaranya ialah seperti yang diungkapkan Gerhard von Glahn bahwa terorisme adalah suatu bentuk kekerasan politik yang serba canggih. Tindakan kekerasan tersebut bukan dilakukan secara sembarangan atau tanpa tujuan. Ia merupakan suatu strategi dan alat bagi mereka yang menolak norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dimana saja di permukaan bumi1. Tujuan dari tindakan kekerasan itu sendiri ialah mengintimidasi atau memaksa suatu pemerintah, individu-individu, atau kelompok-kelompok tertentu untuk mengubah sikap atau kebijakan mereka. Namun dari beberapa definisi diatas, pengertian yang jelas mengenai terorisme ialah suatu tindakan kekerasan tanpa batas dalam berbagai bentuk yang
1

Gerhard von Glahn, An Introduction to Public International Law, Seventh Edition 1996, p 276 dikutip dari Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global 2005, hal 654.

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok individu untuk mencapai tujuan-tujuan dan yang mejadikan orang-orang tak bersalah sebagai korbannya2. Pada definisi terkahir secara jelas disebutkan bahwa korban dari kejahatan teorisme termasuk didalamnya ialah warga sipil yang tidak bersalah. Maka perlu berkaca kembali bahwa invasi AS terhadap Afghanistan tersebut pun memakan korban dari warga sipil yang tidak memiliki keterkaitan baik dengan Taliban maupun Al Qaeda. Agresi militer yang dilakukan AS tersebut berdalih sebagai tindakan self defence sesuai dengan dengan yang tertera pada piagam PBB Pasal 51 yang berbunyi : Nothing in the present charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an arm attack occurs against a member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect to the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security. Dalam bukunya Hukum Internasional : Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Boer Mauna menyabutkan bahwa resolusi 1368 yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB pada 12 September 2001, sehari setelah terjadinya serangan 11 September, mengakui akan hak beladiri individual maupun kolektif negara-negara sesuai dengan yang tertera pada Pasal 51 Piagam, apabila terjadi serangan dari negara lain. Tiga minggu setelah dikeluarkannya resolusi tersebut, Dewan Keamanan menegluarkan resolusi baru No. 1373 yang menyebutkan langkah-langkah yang harus diambil negara-negara anggota untuk memberantas aksi terorisme. Dewan Keamanan meminta kepada negara-negara anggota membuat berbagai aturan untuk memblokir pendanaan aksi teroris, membekukan dana-dana yang berhubungan dengan aksi teroris, menolak pemberian dana maupun perlindungan terhadap para pelaku aksi terorisme, serta membawa para pelaku aksi terorisme tersebut kepada pengadilan. Resolusi tersebut juga mewajibkan kepada negara-negara pelaksana untuk melaporkan tindakan-

ibid

tindakan yang telah dilaksanakan kepada Dewan Keamanan, sebagaimana yang telah tertera pula dalam Pasal 51 Piagam. Namun terdapat penyalah gunaan kata self-defence yang dilakukan AS. AS memanfaatkan istilah self defence untuk melakukan serangan pe-emptive. Pasal 51 Piagam pun mengharuskan untuk melaporkan tindakan yang diambil yang diambil suatu negara dalam melaksanakan aksinya melawan aksi terorisme ke Dewan Keamanan. Dan pada kenyataannya, AS tidak melaporkan kegiatannya kepada Dewan Keamanan PBB. Maka, serangan AS tersebut telah melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional3.

Opcit. Hal 661-662

Anda mungkin juga menyukai