Anda di halaman 1dari 40

Case Report

Oleh : Amriansyah Pranowo ( 1102006027 ) Andari Rahmani Putri ( 1102006029 ) Pembimbing : dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK

SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD Dr. H. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG SEPTEMBER 2011

STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Suku Bangsa Agama Status II. : Ny. J : 75 tahun : Perempuan : Purwosari, Lampung : petani : Jawa : Islam : Menikah

AUTOANAMNESIS : Bercak merah kehitaman pada muka, badan dan kaki : kaki sering kesemutan

Keluhan Utama Keluhan Tambahan

Riwayat penyakit sekarang : 4 bulan SMRS pasien mengaku timbul bercak kemerahan pada kaki sebesar uang logam 100 500 rupiah, tidak terasa gatal, maupun panas dan nyeri. Namun tidak pasien obati 2 bulan kemudian pasien merasakan keluhan bertambah luas ke bagian dada dan punggung yang ukurannya semakin besar disertai dengan seringnya pasien merasakan kesemutan dan rasa baal di tangan dan kaki, kemudian pasien berobat ke puskesmas terdekat, oleh dokter di puskesmas tersebut pasien diberi 3 macam obat minum dan 1 macam obat oles yang pasien lupa nama obatnya. 1 bulan setelah pemakaian obat keluhan dirasakan pasien tidak ada perubahan terlebih lagi keluhan baal dan kesemutan dirasakan semakin bertambah disertai benjolan pada bercak. Setelah obat yang diberikan oleh tsb habis pasien memutuskan untuk berobat ke RSAM.

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Pengobatan yang pernah didapat : Puskesmas : 2 macam obat makan dan 1 macam obat salep : (-)

Penyakit yang pernah diderita III. STATUS GENERALIS

Keadaan umum Kesadaran Keadaan Gizi TD Nadi Respirasi Suhu Thoraks Abdomen KGB Extermitas Saraf perifer

: Tampak sakit sedang : Compos mentis : Cukup : -

: 86 x/menit : : : : : : : 21 x/menit Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal Tidak ditemukan deformitas Tidak ditemukan penebalan

IV. Lokasi

STATUS DERMATOLOGIS : Regio generalisata : Makula eritema berukuran numular plakat, lesinya multiple Diskret sirkumskrip 3

Inspeksi

Tes manipulasi

Pemeriksaan saraf tepi dengan jarum dan kapas. A. Pemeriksaan Saraf Tepi 1. N. Ulnaris Pembesaran saraf (-) Anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis (+) Clawing kelingking dan jari manis (+) Atrofi hipotenar dan otot interosseous dorsalis pertama (-)

2. N. Medianus Pembesaran saraf (-) Anestesi ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan jari tengah (-) Aduksi ibu jari (-) Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah (-) Kontraktur ibu jari (-)

3. N. Radialis Anestesi dorsum manus (-) Tangan gantung (-) Ekstensi jari jari atau pergelangan tangan (-)

4. N. Poplitea lateralis kaki gantung atau foot drop (-) Anestesi pada telapak kaki (-) Anestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior (+) Clow toes (-) 5. N. Tibialis posterior

6. N. Facialis Lagoftalmus (-) 4

B. Pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit tes raba halus dengan ujung jari kapas halus yang sudah dilancipkan Hipoanestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis Hipoanestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior Tes nyeri Nyeri (-) pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis Nyeri (-) pada pada region cruris 1/3 distal bagian anterior C. Pemeriksaan motorik Dalam Batas Normal D. Pemeriksaan komplikasi dan deformitas Tidak terdapat tanda tanda komplikasi dan deformitas pada seluruh tubuh V. LABORATORIUM Tidak dilakukan VI. RESUME . Ny. J, 75 tahun, sudah menikah, seorang petani Sejak 4 bulan yang lalu timbul bercak kemerahan pada kaki sebesar uang logam 100 500 rupiah, tidak terasa gatal, maupun panas dan nyeri. 2 bulan kemudian pasien merasakan keluhan bertambah luas dan besar ke bagian dada,wajah dan punggung disetai kesemutan dan rasa baal di tangan dan kaki, kemudian pasien mendapatkan penanganan medis namun tidak memuaskan. Karenanya pasien memutuskan untuk berobat ke RSAM Status generalis dalam batas normal, status dermatologis, pada regio generalisata makula eritema berukuran nummular sampai plakat multiple diskret generalisata sirkumskrip, papaula berukuran milier sampai lentikular multiple sirkumskrip.

VII. VIII.

DIAGNOSIS BANDING Morbus Hansen Tinea versikolor Pitiriasis rosea Psoriasis DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe MB

IX.

PENATALAKSANAAN Umum : Meningkatkan kebersihan Diet TKTP Merawat kesehatan kulitny Khusus Multipel Drug Treatment (MDT) Rifampisin 600 mg/bulan Klofazimin (lamprene) 50 mg/hari DDS 100 mg/hari

X.

PEMERIKSAAN ANJURAN Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan Histopatologis

XI.

PROGNOSIS Dubia ad bonam

DISKUSI Pada kasus ini di diagnosis Susp. Morbus Hansen berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Dari anamnesis ditemukan bercak merah kehitaman tidak gatal yang pada awalnya kemudian menyebar keseluruh tubuh disertai dengan rasa baal atau kesemutan pada kaki dan tangan. Gejala klinis morbus Hansen ditemukan pada kasus ini.

Pada gambaran klinis ditemukan macula eritema berukuran nummular sampai plakat Multiple diskret generalisata sirkumskrip, papula berukuran milier sampai lentikular Multiple generalisata sirkumskrip. Pada test manipulasi ditemukan : Rangsang nyeri (+), sensasi raba (+) dan belum ditemukannya deformitas, kekakuan otot Dan penebalan saraf. Pengobatan yang diberikan pada pasien ini menurut penulis sudah tepat dengan Diberikannya Multi Drug Treatment (MDT) yaitu : 1. Rifampisin 2. Klofazimin (lamprene) 3. DDS (diaminodifenil sulfon)

TINJAUAN PUSTAKA KUSTA

Pendahuluan Kusta merupakan penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kushta, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra ada disebut disebut dalam Kitab Injil, terjemahan dari bahasa Herbrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apalagi jika dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang ini. Definisi Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebanya ialah Mycobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Sinonim Lepra, morbus Hansen. Epidemiologi Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum

diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun.

Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat, ke benua, negeri dan tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang orang Cina. Tetapi, mengapa distribusinya antar negara dan dalam suatu negara itu sendiri berbeda beda dan mengapa kusta itu menurun atau menghilang, belum jelas benar. Faktor faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan perubahan imunitas, dan kemungkinan kemungkinan adanya reservoir di luar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantang yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya. Belum ditemukannya medium artifisial, mempersukar untuk mempelajari sifat sifat M. leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan danya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 10 7, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratoris atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak anak di bawah umur 14 tahun 13 %, tetapiu anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Sekarang ada usaha mencatat penderita yang di bawah umur 1 tahun untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25 35 tahun. Faktor sosial ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin subur penyakit kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyak terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan 10

variasi gambaran klinis (spektrum dan lain lain) di pelbagai suku bangsa, rupanya disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena adanya ulserasi mutilasi, dan deformita yang disebabkannya, sehingga menimbulkan masalah sosial, psikologis dan ekonomis. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kerusakan syaraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot. Kusta terdapat dimana mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonomua rendah. Pada tahun 1990 World Helath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000). Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85 % di sebagian negara atau wilayah yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91 % dari jumlah kasus berda di 16 negara, dan 82 % di 5 negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria). Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57. Etiologi Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta positif Gram.

11

Patogenesis Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae ke dalam kaki mencir, yang berkembang biak di sekita tempat suntikan. Ternyata tidak ada perbedaan spesies, dari manapun bahan yang didapat, dari negeri manapun, dan dari macam lesi apapun. Untuk tumbuhnya diperlukan jumlah minuman M. leprae yang disuntikkan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak akan meningkatkan perkembang biakan. Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iridiasi (900 r), sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma granuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang dingin, yaitu hidung, kuping telinga, kaki dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenusi salah satu postulat Koch, meskipun belum sepenuhnya dapat dipenuhi. M. leprae berpredileksi di daerah daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman yang lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Gejala Klinis Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, baketrioskopis, dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15 30 menit, sedang histapotologis memerlukan 3 7 hari. Kalau masih memungkinkan, baik juga dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 4 minggu. tidak cukup hanya sampai diagnosis kusta saja, tetapi perlu ditentukan tipenya, sebab penting untuk terapinya.

12

Setelah basil M. leprae masuk ke dalam tubuh, bergantung pada kerentanan orang tersebut, kalau tidak rentan tidak akan sakit dan sebaliknya jika rentan setelah masa tunasnya dilampaui akan timbul gejala penyakitnya. Untuk selanjutnya tipa apa saja yang akan terjadi bergantung pada derajat C.M.I (Cell Mediated Immunity) penderita terhadap M. leprae yang intraseluler obligat itu. Kalau C.M.I tinggi, ke arah tuberkuloid dan sebaliknya kalau rendah, ke arah lepromatosa. Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100 %, merupakan tipe yang stabil jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100 %, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedang tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkulid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BB dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe tipe campuran ini adalah tipe yang stabil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zone spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Zone Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasinya KLASIFIKASI Ridley & Jopling Madrid W.H.O Puskesma ZONE SPEKTRUM KUSTA TT BT BB BL LL Tuberkuloid Borderline Lepromatosa Pausibasiler Multibasiler (PB) (MB) PB MB

Multibasiler berarti mengandung banyak basil ialah tipe LL, BL dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I. banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel 2 dan 3. Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang termasuk dalam multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley Diagnosis

13

Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan pausibaler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan progran pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley dan Jopling. Bila pada tipe tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT MB. Hal ini tercantum pada tabel 4. Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan terdapat persamaan, mungkin pula berbeda mengenai tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinisi seluruh tubuh orang tersebut. Seringkali jangan sampai hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis di muka lain dengan daerah badan, lengan, tungkai, dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya, umpamanya di sebelah kiri lain dengan sebelah kanan. Begitu pula sama dasarnya dalam membuat diagnosis histopatologik, bergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya diambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu : jarum, kapas, tabung reaksi masing masing dengan air panas dan es, pensil tinta, dan sebagainya.

14

Tabel 2

Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB) Sifat Lepromatosa (LL) Makula infiltrat difus Papul Nosud Tak Terhitung Praktis tidak ada Kulit sehat Simetris Halus berkilat Tak jelas Tak ada sampai tak jelas Banyak (ada globus) Banyak (ada globus) Negatif Borderline Lepromatous (BL) Makula Plakat Papul Sukar dihitung Masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tak jelas Mid borderline (BB) Plakat Dome-shaped (kubah) Punched-out Dapat dihitung kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar Agak jelas Lebih jelas

Lesi Bentuk

Jumlah

Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes lepromin

Banyak Biasanya negatif negatif

Agak banyak Negatif Biasanya negatif

15

Tabel 3

Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB) Sifat Tuberkulid (TT) Makula saja Makula dibatasi infiltrat Satu Dapat beberapa Asimetris Kering bersisik Jelas Jelas Borderline Tuberculoid (BT) Makula dibatasi infiltrat Infiltrat saja Beberapa atau satu dengan satelit Masih asimetris Kering bersisik Jelas Jelas Indeterminate (I) Hanya makula Satu atau beberapa Masih asimetris Halus agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas Biasanya negatif Dapat positif lemah, atau negatif

Lesi Bentuk Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Tes lepromin

Negatif Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya positif 1 Positif lemah

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh. Orang awam pun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bakan barangkali para ahli kecantikan dapat mendiagnosis, setidak tidaknya dapat menduga ke arah penyakit kusta, terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa makula yang hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa. Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada penyakt kusta dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Haruslah berhati hati dan buatlah diagnosis banding denghan banyak penyakit kulit lainnya yang hampir menyerupainya, sebab penyakit kusta ini mendapat julukan the greatest immitator dalam Ilmu Penyakit Kusta. Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain ialah dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroikal, psoriasis, 16

neurofibromatosis, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukimia kutis, tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan dengan menggunakan jarum suntik terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan mengenai alopesia di daerah lesi, yang kadang kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang pembawaan kulitnya berambut sedikit, sangat sukar menentukannya. Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesarannya, konsistensinya, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang superfisial yang dapat dan perlu Tampaknya mudah, tetapi diperiksa, yaitu antara lain N. Fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. memerlukan latihan dan kebiasaan untuk memeriksanya. Bagi tipe tipe ke arah LL, biasanya kelainan sarafnya bilateral menyeluruh, sedang bagi tipe tipe ke arah TT, kelainan sarafnya itu lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Tabel 4. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) 1. Lesi Kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus) 2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) PB 1 5 lesi hipopigment asi / eritema distribusi tidak simetris hilangnya sensasi yang jelas hanya satu cabang saraf MB > 5 lesi distribusi lebih simetris hilangnya sensasi

banyak cabang saraf

17

Ada pula yang disebut kusta tipe neural murni dengan tanda sebagai berikut : Lesi tidak dan tidak pernah ada lesi kulit Ada satu atau lebih pembesaran saraf Ada anestesia dan atau paralisis, atrofi otot pada daerah yang disarafinya Bakterioskopik negatif Tes Mistsuda umumnya positif Untuk menentukan diagnosisnya sampai ke tipenya, yang biasanya tiope tuberkulopid, borderline atau nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan secara histopatologik Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologisnya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Yang primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratoris atas, tulang tulang jari dan muka. Yang sekunder sebagai akibat kerusakan saraf. keduanya, tetapi terutama oleh yang sekunder. Gejala gejala kerusakan saraf : N. fasialis : Lagoftalmus Umumnya deformitas oleh karena

N. ulnaris : Anestesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis Clawing kelingking dan jari manis Atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama

N. radialis : Anestesia dorsum manus Tangan gantung (wrist drip) Tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis : Kaki gantung (foot drop)

18

N. tibialis posterior : Anestesia telapak kaki Claw toes

Apabila lebih dari satu saraf terkena, kita tinggal menggabungkan gejala gejala tersebut. Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendiri sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Untuk dapat membuat diagnosis klinis sampai pada tipe tipenya perlu diketahui terlebih dahulu cara membuat diagnosis kedua bentuk pola TT dan LL yang akan diuraikan secara skematis pada tabel 1. Bentuk bentuk campuran mempunyai sifat sifat antara kedua bentuk polar tersebut. Kusta Histoid Kusta macam ini merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitif atau relapse resisten. Dapat juga timbul pada yang belum dan yang sedang dalam pengobatan.

19

Pembantu Diagnosis 1. Pemeriksaan Bakterioskopik Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL NEEL SEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae. Pertama tama kita harus memilih tempat tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempay yang akan diambil. Soal jumlah ini juga ditentukan oleh tujuannya, untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat, yaitu kedua kuping telinga bagian bawah dan 2 4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak. Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan kemudian di tempat yang sama pada pengamatan pengobartan untuk dibandingkan hasilnya. Cara pengambilan bahwa dengan menggunakan skalpel steril. Setelah tempat

tersebut didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat tersebut, dengan jalan dipijit, menjadi iskemik agar kerokan jaringan mengandung sesedikit mungkin darah yang akan menggangu gambaran sediaa. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewaraan ini dapat digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara cara lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan keadaan setempat.

20

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan paling pagi yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair seours bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidal. Sediaan dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke laboratorium. Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus pada hari yang sama, pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari serah septumnasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa. Umumnya sediaan kulit lebih rutin daripada sediaan mukosa hidung oleh karena pada sediaan mukosa hidung : Kemungkinan adanya mikrobakteria atipikal M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang tubuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non solid, berarti membedakan antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk yang hidup itulah yang lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat menularkan ke orang lain. Dalam praktek sukar sekali menentukan solid dan non solid oleh karena dipengaruhi oleh banyak macam faktor. Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai menjadi sediaan, perlengkapan laboratorium, siapa yang mengerjakannya, yang melihat dan yang menginterprestasikan sediaan, akan menentukan mutu hasil bakterioskopik. Meskipun sudah ada ketetuan, patokan patokan solid dan nonsolid, interpretasi yang melihat itulah yang dapat menimbulkan perbedaan. Andaikata ada satu sediaan dilihat oleh dua atau beberapa orang, besar kemungkinan akan memberikan hasil yang berbeda antara satu dengan yang lain, sampai sampai ada suatu institut yang terkenal dan termasuk yang tertua di dunia tidak berani membedakan antara solid dan non solid. Contoh lain antara dua tokoh dunia lepra yang paling menonjol pada saat

21

ini yaitu SHEPARD dan RESS.

Mereka selalu ada perbedaan interprestasi,

perbedaan hasil pengamatan sediaan yang sama antara solid dan nonsolid. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6 + menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandangan (LP)

1 + bila 1 10 BTA dalam 100 LP 2 + bila 1 10 BTA dalam 10 LP 3 + bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP 4 + bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP 5 + bila 101 1000 BTA rata rata dalam 1 LP 6 + bila > 1000 BTA rata rata dalam 1 LP Semuanya dilihat dengan mikroskop cahaya dengan minyak emersi. IB seseorang adalah IB rata rata semua emusi yang dibuat sediaan. Indeks Morfologi (IM) adalah prosentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. Rumus
Jumlah solid x 100% = .......% Jumlah solid+ nonsolid

Syarat perhitungan IM : Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA IB 1 + tidak usah dibuat IM nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan. Mulai dari IB 3 + ke atas harus dicari IM nya, sebab dengan IB 3 + hanya maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

22

Contoh perhitungan IB dan IM Tempat Pengambila n Telinga kiri Telinga kanan Ujung jari tangan kiri Ujung jari tangan kanan Lesi I Lesi II IB 4+ 3+ 1+ 2+ 3+ 5+ 18 Solid 9 8 1 7 8 33 Nonsolid 91 92 5 22 93 92 395 IM 9% 8% 1/23 7% 8%

IB penderita =

18 = 3+ 6 33 = 100% = ....% 33 + 395

IM penderita =

Ada pendapat, bahwa jika semua BTA kurang dari 100, dapat pula dibuat IM nya, tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil atau diperbesar. Sebagai contoh umpanya solid ada 4, nonsolid ada 44, maka IM 4 : 48. Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan pengamatan sediaan antara orang orang selaboratorium, antar laboratorium, nasional maupun internasional. Pada tindak lanjut penderita secara bakterioskopik sebaiknya dilakukan oleh laboratorium dan orang orang yang sama pula, agar keobyektifannya dapat dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat dilaksanakan, tetapi untuk IM sangat sulit, bahkan ada yang berpendapat tidak mungkin. 2. Pemeriksaan Histopatolok

23

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit yang disebut histiosit. Salah satu tugas makrofas adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS nya tinggi makrofag akan mampu memfagositosis M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman itu oleh karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di pagositosis, makrofag itu akan berubah bentuk menjadi sel epitoloid yang tidak dapat bergerak lagi dan akan dapat berubah lagi menjadi sel datia Langhans. Adanya masa epitoloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Bagi yang SIS nya rendah atau lumpuh, histiosit bukannya menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebar luasan. Granduloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat derivatnya. Gambaran histopatologik bagi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan sarag yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Bagi lempromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), ialah suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik, ada sel virchow dengan banyak basil. Bagi tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Agar lebih jelas lihat tabel 5 di bawah ini. Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi, dan klasifikasi masih bermacam macam. Mengenai pstofidiologinya yang belum jelas itu akan diterangkan secara imunologik. Reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reasksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam klarifikasi yang 24

beramacam-macam itu, kita mengambil yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir akhir ini, yaitu : E.N.L. (eriterma nodususm leprosum) Reaksi reserval atau reaksi upgrading

E.N.L. terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Tabel 5. Karakteristik Berbagai Tipe Kusta Menurut Klasifikasi Ridley-Jopoling Tipe TT Reaksi lepromin Stabilitas imunologik Reaksi Borderline E.N.L Basil dalam hidung Basil dalam granuloma Sel epiteloid Sel datia Langhans Globi Sel busa (sel Virchow) Limfosit Infiltrasi zone sub epidermal Kerusakan saraf TT 3+ ++ 0 + +++ +++ + ++ BT BB Ti 2+ 1+ + + ++ 0-1+ 1+-3+ 3-4+ + + + ++ + +++ ++ + + +/+++ ++ + BL + + 4-5+ + + LL Li LL + ++ + + ++ ++ 5-6+ 5-6+ + + ++ +++ +/ + -

25

Imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomen kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun, tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi Arthus, tetapi sebenarnya E.N.L tetap merupakan fenomen unik, tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka E.N.L termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun. Oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka dapat dibentuk antibodinya. Ternyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lebih tinggi daripada orang sehat dan kadar pada tipe lepromatosa jumlah basilnya jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya serta mengaktifkan sistem komplemen membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut harus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat menyangkut dalam berbagai organ. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus, eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai mata akan menimbulkan gejala iridoksiklitis, pada saraf perifer gejala neuritis akut, pada kalenjar getah bening gejala limfadenitis, pada sendi gejala artritis, pada testis gejala orkitis dan pada ginjal menimbulkan gejala nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. E.N.L dapat disertai gejala kosntitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula. Perlu ditegaskan bahwa pada E.N.L tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi revversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam halini adalah SIS, yaitu oleh karena peningkatan mendadak SiS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya hipersensitivitas tipe lambat. Adanya reaksi peradangan pada dengan reaksi tempat tempat yang

ada M. leprae, yaitu pada saraf (neuritis) dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut tersebut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara

26

mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah diterangkan terdahulu, bahwa yang menentukan tipe penyakitnya adalah SIS. Tipe tipe yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi lepra, akhir akhir ini sudah hampir tidak terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjukkan pergeseran ke arah LL masih tetap berlaku, berarti bergerak tidak secara reaksi, tidak secara cepat, tetapi lambat saja. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagaian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi bari dalam waktu yang relatif singkat, artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, oleh karena sangat menentukan pada pemberian pengobatan dengan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pengobatan dengan kortikosteroid adalah fakultatif. Kalau kita perhatikan kembali kedua macam reaksi E.N.L dan reversal itu dari segi lesi, E.N.L dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, barangkali tidak ada salahnya kalau E.N.L disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini barangkali penting membantu menegakkan diagnosa reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus, kalau ada berarti nodular atau E.N.L, jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline. Pengobatan Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil sulfon) lalu Klofazimin dan Rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL dan 27

Rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif, yaitu Okfloksasin, Minosiklin dan Klaritromisin. Berbeda dengan pengobatan tuberkulosis, yang sudah lebih dahulu dan telah melaksanakan tindakan untuk mencegah kemungkinan timbulnya resistensi dengan jalan pengobatan kombinasi atau Multi Drug Treatment (MDT), yaitu sejak 1951. MDT pada kusta baru dimulai pada tahun 1971 yang berarti MDT kusta telah tertinggal 20 tahun dari MDT tuberkulosis. Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang kita laksanakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO dengan alternatifnya sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, oleh karena DDS ini adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara berkembang yang sosial ekonominya rendah. DDS Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan secara monoterapi. Pada tahun 1960 SHEPARD berhasil melakukan inokulasi M. leprae ke dalam telapak kaki mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya resistensi terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta ialah dari monoterapi ke MDT. Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan,yaitu relaps sensitif (persistent) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan, penyakit sekonyong konyong aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi, ternyata bahwa M. leprae masih sensitif terhadap DDS dengan pembuktian secara pengobatan dan inokulasi mencit. M. leprae yang tadinya dorman, sleeping atau persistent bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil yang dorman itu sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.

28

Pada relaps resisten dengan gejala klinis, bakterioskopik dan histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik dan histapatologik. Apabila fasilitas mengizinkan, pembuktian yang paling menentukan adalah inokulasi mencit, sekaligus menentukan gradasi resistensinya dari yang rendah, sedang sampai yang tinggi. Inokulasi mencit di Indonesia, baru dapat dilaksanakan pada tahun 1980 di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta. Resistensi terhadap DDS ada yang sekunder dan ada yang primer. Resistensi sekunder terjadi oleh karena : Monoterapi DDS Dosis terlalu rendah Memakan obat tidak teratur Pengobatan terlalu lama,setelah 4 24 tahun

Hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten yang manifestasinya dapat dalam segala tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedang pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk : Mencegah dan mengobati resistensi Memperpendek masa pengobatan Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain : Efek terapeutik obat Efek samping obat

29

Harga obat Kemungkinan penerapannya

Kalau kombinasinya terlalu kompleks, terlalu mahal, tidak dapat dilaksanakan dan sebaliknya jika kombinasinya terlalu sederhana dan terlalu murah, akan mengundang resistensi baru. Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat - obat lain. Dosis DDS ialah 1 2 mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hermolitik, leukopenia, insomnia, neoripatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglobinemia. Rifampisin Rifampisin adalah obat yang menjadi salag satu komponen kombinasi dengan DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan ; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., LEIKER dan KAM. Resistensi pertama terhadap M. leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh JACOBSON dan HASTINGS. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit. Klofazimin (Lamprene) Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan HOOGERZEIL. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.

30

Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin ialah at warna dan tertimbun di tempat tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksi dan vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun di hati. Perubahan warna tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan. Protionamid / Etionamid Dosisnya 5 10 mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai. Mengenai beberapa sifat lebih lanjut obat obat tersebut dapat dilihat pada Tabel 10-6. Oleh karena distribusi klofazimin dalam jaringan tidak merata MIC nya sukar dicari. Tabel 10-6. MIC Berbagai Obat Antilepra Lamanya Dosis Rasio Serum Konsentrasi Serum Aktivitas Mg Puncak MIC Lampaui MIC Bakterisidal (Hari) 600 30 1 +++ 100 500 10 + 225 15 200 375 60 1 ++ 375 460 1 ++ 50/100 +

Obat Rifampisin DDS Acedapson Etionamid Protionamid Klofazimin

MIC Ug/ml 0.3 0.003 0.003 0.05 0.05 -

Obat Alternatif Ofloksasin Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in viro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan

31

susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizzines, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus secara hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Minosiklin Termasuk dalam kelompok tertrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang mengenai kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan. Klaritromisin Merupakan kelompok antibiotika makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa dosis harian 500 mg membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari, lebih dari 99,99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. MDT dengan beberapa alternatifnya telah ditetapkan pada Rapat Konsultasi Kusta Nasional (RKKN) yang kiranya sesuai dan dapat diterapkan di Indonesia. 1. MBT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) : Rifampisin 600 mg setiap bulan DDS 100 mg setiap hari Klofazimin : 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg sehari atau 3 x 100 setiap Minggu adalah

32

Kombianasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasilar ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Trearment (RFT). Setelah RFT dilakukan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC). 2. MDT untuk pausibasiliar (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC. Pada tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFT dan RFC, tetapi penderita dinyatakan sembuh, apabila kasus MB telah mendapat 24 dosis dalam 24 36 bulan dan kasus PB telah mendapat 6 dosis dalam 6 9 bulan. Karena fasilitas pemeriksaan bakterioskopik tidak selalu tersedia dan hasilnya seringkali meragukan, klasifikasi penderita dilakukan berdasarkan gambaran klinisnya. Kriteria ini berbeda dari program ke program, tetapi pada umumnya berdasarkan jumlah lesi, terutama lesi kulit, dan jumlah daerah tubuh yang terkena. Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan

33

lesi 2-5 buah, dan penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah (lihat tabel 104). Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah

memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12 18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2 5 buah tetap 6 dosis dalam 6 9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal. Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena pelbagai alasan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg / 500 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan. Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan. Pengobatan E.N.L Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosinya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Kalau perlu dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau penderita dirawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, yang artinya bahwa E.N.L. akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, jadi penderita ini harus makan kortikosteroid terusmenerus. 34

Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati oleh karena obat ini teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Sayang di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-E.N.L., tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan E.N.L. keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk melepaskan dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi, untung masih bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penaggulangan E.N.L. ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya. Pengobatan Reaksi Reversal Perlu diperhatikan, apabila reaksi ini disertai neuritis akut atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neurits, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 1530 mg sehari, kemudian diturunkan dosisnya perlahan-lahan. Pengobatan harus secepatcepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Ketergantungan kortikosteroid tidak terdapat. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomid tidak efektif teradap reaksi reversal.

35

Pencegahan Cacat Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT berada dalam resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, penderita dengan lesi kulit multipel dan penderita dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas atau kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak nyeri, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan ini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi berkanjut. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau Prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dengan pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau hangat, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah-pecah. Who Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No. 607 1977 telah membuat kalsifikasi cacat bagi penderita kusta. Hal ini terlihat pada tabel 7.

36

Rehabilitasi Usaha rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk cacat tubuhnya ialah antara lain medis, yaitu dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Jalan lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa harga dirinya. Jalan lain lagi ialah melalui kejiwaan.

Tabel 7. Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0 : Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat Tingkat 1 : Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat Tingkat 2 : Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata Tingkat 0 : Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta : tidak ada gangguan 37

penglihatan Tingkat 1 : Ada gangguan pada mata akibat kusta ; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter) Tingkat 2 : Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60 ; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).

38

DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan pengukurannya. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta Depkes RI. 1999a. Indonesia Sehat 2010. Depkes RI. Jakarta. Depkes RI, 2002b. Buku Panduan Pelaksanaan Program P2 Kusta Bagi Unit Pelayanan Kesehata. Dit. Jen PPM & PL. Jakarta. Depkes RI , 2002c. Buku Pedoman Pemberantasan Program P2 Kusta. Dit. Jen PPM & PLP. Jakarta. Depkes RI , 2005d. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta . Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta.. Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Utara , 2008. Laporan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Utara. Buranga. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2008 . Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Hasibuan. T,W.A. Kadri. Epidemiologi Kusta dan Program Pemberantasan Penyakit Kusta ; Berita Epidemiologi Buletin Epidemiological Edisi Mei 1990, Ditjen. Jakarta. Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya. Nadesul, H. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta. Nasri, N. 1997a. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta. Nasri, N. 2000b. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta. Ngatimin, Rusli. 2002. Diktat Kuliah Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK3. Makasar. Notoatmodjo,S.a, 1989. Pengantar Pendidikan dan Imu Perilaku Kesehatan. CV. Rajawali. Jakarta. Notoatmodjo,S.b, 1993. Pengantar Pendidikan dan Imu Perilaku Kesehatan . Andi Offset. Yogyakarta.

39

40

Anda mungkin juga menyukai