Anda di halaman 1dari 2

SISTEM SARAF OTONOM Saraf Otonom (involunter) disebut juga susunan saraf tak sadar, karena susunan saraf

otonom mengendalikan organ-organ secara tidak sadar. Berfungsi memelihara keseimbangan dalam organisme, mengendalikan seluruh respon involunter pada otot polos, otot jantung, dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur (Sloane,2003). Saraf otonom terdiri dari saraf praganglion, ganglion dan saraf pascaganglion yang memepersarafi sel efektor. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri dari serat aferen yang sentripental disalurkan melalui N-vagus, pelvikus, splanknikus dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat-serat ini terletak di ganglia dalam kolumna dorsalis dan di ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. Tidak ada perbedaan yang jelas antara serabut aferen sistem saraf otonom dengan serabut aferen sistem somatic, sehingga tidak dikenal obat yang secara spesifik dapat mempengaruhi serabut aferen otonom (Zunilda, 1995). Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatic; sebaliknya, kejadian somatic dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat otonom, misalnya di medulla oblongata terdapat pengatur pernapasan dan tekanan darah ; hipotalamus dan hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air, metabolisme karbohidrat dan lemak , pusat tidur dan sebagainya. Hipotalamus dianggap sebagai pusat susunan saraf otonom. Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator antara sistem otonom dan somatik (Zunilda, 1995). Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Organ tubuh umumnya dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis , dan tonus yang terlihat merupakan hasil perimbangan kedua sistem tersebut. Inhibisi salah satu sistem oleh obat maupun akibat denervasi menyebabkan aktivitas organ tersebut didominasi oleh sistem yang lain. Tidak pada semua organ terjadi antagonisme ini, kadang-kadang efeknya sama. Sekresi liur dirangsang baik oleh saraf simpatis maupun parasimpatis, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya (Zunilda, 1995). Sistem simpatis terletak di depan kolumna vertebrata dan berhubungan serta bersambung dengan sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf. Sistem simpatis terdiri dari serangkaian urat kembar yang bermuatan ganglion-ganglion. Urat-urat itu bergerak dari dasar tengkorak yang terletak di depan kolumna vertebrata yang berakhir dalam pelvis di depan koksigis sebagai ganglion koksigeus (Evelyn, 2006). Stimulasi terhadap sistem simpatik mencetuskan reakis-reaksi ergotrop, misalnya aktivasi jantung, peredaran darah dan pernapasan, perombakan cadangan lemak, mobilisasi cadangan glikogen dll (Gery, 2003). Sistem parasimpatis terbagi menjadi 2 bagian yang terdiri dari saraf otonom kranial dan saraf otonom sakral. Saraf kranial otonom adalah saraf kranial ketiga, ketujuh kesembilan dan kesepuluh. Saraf saraf ini merupakan penghubung antar saraf parasimpatik dari otak menuju

organ-organ yang dikendalikan olehnya. Contohnya serabut-serabut yang mencapai serabutserabut otot okuler pada iris, sehingga merangsang gerkan-gerakan yang menentukan ukuran pupil mata (Evelyn, 2006). Semua peristiwa restitusi, yang disebut deangan reaksi-reaksi trofotrop, seperti kenaikan kapasitas sekresi kelenjar-kelenjar pencernaan, peningkatan peristaltik usus, penurunan fungsi peredaran darah dan pernapasan (merosotnya penggunaan energi) dikendalikan oleh sistem parasimpatik. (Gery, 2003) Sistem simpatis aktif setiap saat, walaupun aktivitasnya bervariasi dari waktu ke waktu. Dengan demikian penyesuaian tubuh terhadap lingkungan terjadi secara terus menerus. Sedangkan sistem parasimpatis fungsinya lebih terlokalisasi , tidak difus seperti sistem simpatis, dengan fungsi primer reservasi dan konservasi sewaktu aktivitas organisme minimal. Sistem ini mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal, mestimulasi sistem pencernaan berupa peningkatan motilitas dan skeresi getah pencernaan, meningkatkan adsorpsi makanan, memproteksi retina terhadap cahaya berlebihan, mengosongkan rectum dan kandung kemih (Zunilda, 1995). Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat yang kerja serupa dengan perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik. Obat kolinergik ini dibagi dalam tiga golongan yaitu (1) ester kolin; dalam golongan ini termasuk: asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol; (2) antikolinesterase, termasuk didalamnya: eseserin ( fisostigmin ), prostigmin ( neuostigmin ), diisopropil-fluorofosfat ( DPF), dan insektid golongan organofosfat; dan (3) Alkaloid tumbuhan; yaitu muskarin, pilokarpin dan arekolin (Zunilda, 1995). Sedangkan antikolinergik disebut parasimpatolitik berarti obat yang kerja berlawanan dengan perangsangan saraf parasimpatis dan merupakan obat alternative levodopa dalam pengobatan parkinsonisme. Yang terrmasuk ke dalam kelompok ini adalah biperidin, prosiklidin, benztropin, dan antihistamin dengan efek antikolinergik difenhidramin dan etopropazin. Mekanisme kerjanya adalah dasar kerja obat ini ialah mengurangi akitvitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal. Efek antikolinergik perifernya relative lemah dibandingkan dengan atropin. Atropine dan alkaloid beladon lainnya merupakan obat pertama yang dimanfaatkan pada penyakit parkinson, tetapi telah ditinggalkan karena efek perifernya terlalu mengganggu (Zunilda, 1995).

Anda mungkin juga menyukai