Anda di halaman 1dari 11

A.

Masa Hindia-Belanda Sampai Orde Lama Masa Hindia-Belanda Masa Hindia-Belanda berbagai kebijakan dan peraturan

kemaritiman telah diciptakan, namum peraturan perundang-undangan masih bersifat sepenggal-sepenggal atau terpisah sehingga belum mampu menciptakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Periode tahun 1850-1942 adalah periode pelembagaan institusiinstitusi yang menangani urusan masyarakat bagi pemapanan penjajahan Belanda atas Indonesia. Begitu pula halnya dengan urusan-urusan masyarakat pantai yang menyadarkan kegiatan

ekonomi pada bidang kelautan. Peraturan yang dibuat Belanda tentang kelautan bernama Territoriale zee en maritieme kringen ordonatie, (Ordonansi Laut Territorial dan Lingkungan Maritim) yang dikeluarkan tahun 1939. Ordonansi ini menetapkan lebar laut wilayah sepanjang 3 mil laut yang diukur dari garis wilayah daratan (garis air surut pulau atau bagian pulau). Aturan ini mengakibatkan pulau-pulau yang ada di perairan laut Nusantara mempunyai laut wilayah sendiri tidak menjadi satu kesatuan sebagai negara kepulauan. Hal-hal yang menyangkut kegiatan kemaritiman tunduk pada peraturan ini karena ordonasi ini juga mengatur permasalahan penangkapan ikan. Jarak 3 mil laut berarti usaha perikanan harus

mendapat izin dari pemerintah, jika lebih dari 3 mil maka laut dianggap bebas (Tri bawono, 2002:26). Lembaga-lembaga yang menangani kegiatan-kegiatan

kemaritiman masa kolonial Belanda masih berada dalam lingkup Departemen van Landbouw Nijverheid en Handel (Departemen kesejahteraan rakyat), yang kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken (Departemen Ekonomi). Kegiatan-kegiatan kemaritiman masa ini digolongkan sebagai kegiatan pertanian, meski demikian terdapat suatu organisasi khusus yang mengurusi kegiatan perikanan laut dibawah Departemen Van Ekonomische Zaken. Organisasi ini adalah Orderafdeling Zee Visserij. Untuk menyediakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut terdapat suatu institusi penelitian pemerintah colonial bernama Istitut Voor de zee Visserij (Institute Pengembangan Penelitian Kelautan). Pada Ekonomische masa Zaken pendudukan berubah Jepang Departemen Van

menjadi

Gunseikanbu

Sangyogu

(Departemen Ekonomi). Fungsi dan tugas dari departemen ini tidak berubah dari fungsi dan tugas di zaman kolonial. Seperti halnya Lembaga Penelitian dan Pengembangan, meski berubah menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo (Lembaga Penelitian Kelautan) dan berpusat di Jakarta tidak mengalami perubahan fungsi. Undangundang tentang batas laut pun tidak mengalami perubahan. Meski

demikian pada masa Jepang terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan Penerangan pemerintah. Perikanan Di yang daerah-daerah disebut Suisan dibentuk Shidozo. Jawatan Terjadi

penyatuan perikanan darat dan laut yang dimasukkan dalam kegiatan pertanian (Kusumastanto, 2005:4). Ordonansi kemaritiman Belanda, pokok-pokok penetapannya (Tribawono, 2002) antara lain: a. Ordonansi perikanan mutiara dan bunga karang. Mengatur

pengusahaan Siput Mutiara, Kulit Mutiara, Teripang dan Bunga Karang di perairan pantai dalam jarak tidak lebih dari 3 mil laut. b. Ordonansi perikanan untuk melindungi ikan. Mengatur larangan penangkapan ikan dengan menggunakan racun, bius atau bahan peledak, kecuali untuk tujuan ilmu pengetahuan. c. Ordonansi penangkapan ikan pantai, berisi tentang: a. Mengatur usaha perikanan di wilayah perairan Indonesia. b. Yang berhak melakukan usaha perikanan adalah warga negara Indonesia dengan menggunakan kapal motor berbendera Indonesia. c. Bagi yang bukan warga negara Indonesia harus dengan izin Menteri pertanian. d. Bagi warga negara Indonesia yang menggunakan tenaga asing harus dengan izin Menteri pertanian.

d. Ordonansi

Perburuan

Ikan

Paus.

Mengatur

perburuan

dan

perlindungan Ikan Paus (semua ikan paus dilindungi dengan SK Menteri Pertanian No. 716/kpts/10/1980) kecuali usaha penangkapan oleh nelayan tradisional setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. e. Peraturan pendaftaran kapal-kapal laut asing, yang mengatur:
(1) Kapal nelayan laut asing yang berhak melakukan penangkapan

ikan dalam daerah laut Indonesia/daerah lingkungan maritim harus didefinisikan atas nama pemilik.
(2) Kapal yang terdaftar diberi tanda pengenal untuk menunjukan

bahwa kapal tersebut berhak melakukan penangkapan ikan di daerah laut dan daerah dua lingkungan maritim. f. Ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim, yang berisi:
(1) Laut teritorial Indonesia adalah daerah yang membentang ke

arah laut dari garis surut, Pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk wilayah Indonesia.
(2) Penangkapan ikan adalah mengerjakan pada umumnya suatu

kegiatan yang langsung atau tidak langsung yang bertujuan untuk mendapatkan, memburu hasil-hasil laut.
(3) Penangkapan ikan di lingkungan-lingkungan maritim boleh

dilakukan oleh mereka yang termasuk bumiputra,


(4) Kepada warga-warga negara Indonesia dapat diberikan izin

untuk mengerjakan penangkapan ikan dilingkungan maritim, jika tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan maritim. Jika dicermati Ordonasi kemaritiman ini hanya mengatur perizinan penangkapan ikan dilengkapi dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon, serta adanya ancaman pidana. Kebijakan ini semata-mata hanya untuk kepentingan satu pihak yakni Hindia-Belanda, sehingga terdapat kecenderungan memanfaatkan sumber daya ikan secara berlebihan (ekstraktif), oleh pemilik izin (nelayan tangkap ikan) untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Kondisi ini berakibat usaha kepentingan nelayan tradisional menjadi terabaikan.

2. Masa kemerdekaan Pada masa kemerdekaan terjadi perkembangan dalam bidang kemaritiman, adanya restrukturisasi lembaga kemaritiman. Setelah Kabinet Presidensial terbentuk, pemerintah membentuk Departemen Kemakmuran Rakyat dengan Menterinya Mr. Syafrudin Prawiranegara. Dalam departemen ini terbentuk jawatan perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Semenjak kabinet pertama terbentuk pada tanggal 2 September 1945 hingga terbentuknya Kabinet Parlementer ketiga pada tanggal 3 Juli 1947, Jawatan Perikanan tetap berada dibawah Koordinator Pertanian disamping Koordinator Perdagangan dan Perindustrian dalam Departemen Kemakmuran Rakyat. Meski kemudian Departemen

Kemakmuran Rakyat mengalami perubahan struktur organisasi akibat Agresi Militer Belanda I dan II serta perpindahan ibukota ke Yogyakarata, Jawatan Perikanan tetap menjadi subordinat perikanan. Pada 1 Januari 1948 Departemen Kemakmuran Rakyat mengalami restrukturisasi dengan menghapus koordinator-koordinator. Sebagai

penggatinya ditunjuk 5 Pegawai tinggi dibawah menteri yaitu pegawai tinggi urusan perdagangan, urusan pertanian dan kehewanan, perkebunan dan kehutanan serta pendidikan. Jawatan perikanan merupakan bagian urusan pertanian. Masa pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949, Departemen kemakmuran rakyat dipecah menjadi dua Departemen yaitu: Departemen Pertanian, Perdagangan dan Perindustrian, Jawatan Perikanan baru masuk dalam Departemen Pertanian. Pada tanggal 17 maret 1951 Departemen Pertanian mengalami perubahan susunan yaitu menunjuk tiga koordinator yang menagani masalah pertanian, perkebunan dan kehewanan. Di bawah Koordinator pertanian, dibentuk Jawatan pertanian rakyat. Jawatan Perikanan berkembang menjadi Jawatan Perikanan Laut, Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan Darat, dan Yayasan Laut. Semua jawatan tersebut berada di bawah Jawatan Pertanian Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama, pada tanggal 9 April 1957 susunan Departemen pertanian mengalami perubahan Perikanan dan dibawah lagi dengan ini dibentuknya Direktorat perikanan

direktorat

jawatan-jawatan

dikoordinasikan.

Pada 13 Desember 1957 diadakan Deklarasi Djuanda, yang secara politik mengklaim wilayah perairan Indonesia. Batas laut territorial lebarnya menjadi 12 mil yang diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau. Secara substansial Deklarasi Djuanda memberikan inspirasi tentang wawasan nusantara yang mencakup komponen kesatuan ekonomi, kesatuan wilayah dan kesatuan politik. Deklarasi Djuanda merupakan tindakan politik namun membawa dampak pada perombakan radikal terhadap hukum laut internasional yang berlaku sampai saat ini dan melahirkan hukum laut yang baru. Paska Deklarasi Djuanda muncul beberapa kebijakan dan peraturan yang terkait dengan kelautan antara lain Undang-Undang No. 4/prp/1960 tentang perairan Indonesia, pengumuman pemerintah tentang landasan kontinen Indonesia tahun 1969 dan Undang-Undang No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Deklarasi Djuanda merupakan embrio (cikal bakal) Undang-Undang No. 4/prp/1960, ada beberapa dasar pertimbangan pemerintah

mengeluarkannya: pertama, bentuk geografis Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan terbesar mempunyai sifat dan corak tersendiri. Kedua, bagi kebutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia,kepulauan dan laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang utuh. Ketiga , penentuan batas teritorial sebagai termaktub dalam Territoriale zee en

maritime kringen ordonatie, sudah tidak sesuai lagi dengan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas karena akan mengakibatkan pembagian wilayah daratan Indonesia dalam dua bagian yang masing-masing terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri (Tribawono dkk, 2002:27). Pemerintah merasa betapa pentingnya upaya memperkokoh posisi azas negara kepulauan atau azas negara Nusantara maka ditetapkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang No 4 tahun 1960 dan Undang-Undang No. 4/prp/1960 tentang perairan Indonesia agar mempunyai kekuatan hukum yang berlaku dan pasti. Beberapa pertimbangan yang mendorong pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 4/prp/1960 adalah: 1. Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terdiri dariberibu-ribu pulau mempunyai corak tersendiri. 2. Berdasarkan sejarah memang sejak dahulu kepulauan Indonesia merupakan suatu kesatuan. 3. Bagi keutuhan wilayah negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat. 4. Penentuan batas wilayah laut seperti termaktub dalam Territoriale zee en maritime kringen ordonatie 1939 (tidak lagi sesuai dengan pertimbangan tersebut diatas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian yang terpisahkan dengan laut

wilayahnya sendiri-sendiri. 5. Perlu mengadakan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang tentang perairan Indonesia yang sesuai dengan kenyatan-kenyataan tersebut diatas. Penentuan perubahan batas perairan laut Indonesia menjadi 12 mil mempunyai dampak sangat penting bagi perkembangan kegiatan dibidang ekonomi. Indonesia mempunyai kedaulatan atas segala perairan yang terletak didalam batas-batas garis laut wilayah serta udara dan dasar laut. Semula luas daratan Indonesia adalah 2.027.087 km
2

kemudian bertambah menjadi 5.193.250 km .

Pertambahan luas ini menjadikan segala kekayaan alam yang ada didalamnya baik hewani dan nabati serta kekayaan bahan mineral harus tetap diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Masa Orde Lama Jatuh bangunnya kabinet semasa Pemerintahan Parlementer

membuat Presiden Soekarno menganggap bahwa Sistem Parlementer tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pada tanggal 5 juli 1959 Presiden mengeluarkan Dekrit untuk kembali pada Undang-undang Dasar 1945.

Istilah departemen pada masa sebelum Dekrit berubah menjadi Departemen dan posisi istilah Direktorat kembali ke Jawatan. Tahun 1962 penggabungan Departemen Pertanian dan Agraria, istilah direktorat

digunakan kembali. Pada masa Kabinet Presidensial pasca Dekrit Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi beberapa jawatan yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitin Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan Badan Usaha Perikanan. Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak kembali susunan kabinet dan terbentuklah Kabinet Dwikora pada tahun 1964. Pada Kabinet Dwikora ini Departemen pertanian mengalami deskontruksi menjadi 5 buah departemen. Pada kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut dibawah Kompartemen

Pertanian dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat dan Laut merupakan respons pemerintah atas hasil musyawarah nelayan I yang menghasilkan rekomendsi perlunya departemen khusus yang menangani pemilikan dan penguasaan usaha meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui pembentukan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Departemen Perikanan Darat/Laut tidak lagi dibawah Kompartemen Pertanian dan Agraria melainkan mengalami reposisi dan bernaung dibawah Kompartemen Maritim. Di bawah kompartemen baru departemen tersebut mengalami perubahan nama menjadi Departemen Perikanan Dan Pengolahan Kekayaan Laut.

Keadaan ini tidak berlangsung lama pada tahun 1965 terjadi pemberontakan G 30 S/PKI dan Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera pada tahun 1966. Dalam Kabinet Ampera terjadi restrukturisasi kembali yaitu dengan menetapkan susunan kabinet yang terdiri atas sebuah Presidium dan 24 Departemen urusan-urusan perikanan dan kelutan ditangani oleh sebuah departemen yang disebut Departemen Maritim. Departemen Maritim ini terdiri atas 3 Direktorat Jendral yaitu Dirjen Perhubungan Laut, Dirjen Industri Maritim dan Dirjen Pengolahan Laut.

Anda mungkin juga menyukai