Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS

ANESTESI REGIONAL PADA PENDERITA BPH

BAB I PENDAHULUAN

I.

DEFINISI Kelenjar prostate adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli, sehingga dapat disimpulkan bahwa BPH (Benign Prostate Hypertrophy) adalah hyperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostate yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram.

II. PENYEBAB Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, kemungkinan karena faktor umur dan hormone androgen. Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang BPH, diantaranya : 1. Teori Dehidrotestosteron 2. Teori Hormon, ketidakseimbangan antara estrogen -tetosteron 3. Faktor interaksi stroma dan epitel 4. Berkurangnya kematian sel prostat III. PATOFISIOLOGI Pembesaran prostate menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikan. Untuk dapat menegluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomic buli-buli berupa hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulibuli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kencing sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi keseluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat

menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. IV. GAMBARAN KLINIK Obstruksi prostate dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun di luar saluran kemih. 1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah. Biasanya gejala-gejala dari pembesaran prostate jinak dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptomps (LUTS) dibedakan menjadi gejala obstruktif. 1. Gejala iritatif : Sering miksie (frekuensi), nokturia, urgensi, disuria. 2. Gejala obstruktif : Pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksie, hesisteny, straining, intermittency, waktu miksi memanjang akhirnya retensi urine dan inkontinen karena overflow. Tabel I.1. Skor Madsen Inversen dalam Bahasa Indonesia
Pertanyaan Pancaran Mengedan saat berkemih Harus menunggu saat akan kencing BAK terputus-putus BAK tidak lampias Inkontensia Kencing sulit untuk ditunda Kencing malam hari Kencing siang hari 0 Normal Tidak Tidak Tidak Tidak tahu 1 Berubahubah Ya Ya Ya 1x 2 3 Lemah 4 Menetes

Berubahubah Ringan 2 Tiap 2-3 jam sekali

Ya Ya Sedang 3-4 Setiap 1-2 jam sekali

> 1x

Tidak ada 0-1 > 3 jam sekali

Berat >4 < 1 jam sekali

Dikutip dari Raharjo, D. Prostat, Kelainan-kelainan Jinak, Diagnosa & Penanganannya. Jakarta : Bag. Urologi FKUI, 1999. Gejala dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal dapat ditemukan uremia, kenaikan TF, RR, nadi, foetor uremik, ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neurografi perifer.

Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan menyingkirkan diagnosis banding seperti strikur, karsinoma, stenosis meatus atau fimosis. Pemeriksaan lain yang sangat penting adalah colok dubur. 2. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan akibat penyulit prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda darti infeksi atau urosepsis. 3. Gejala di luar saluran kemih Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intrabdominal. V. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Analisa urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, infeksi. Pemeriksaan laboratorium seperti elektrolit, ureum, creatinin, merupakan informasi dasar untuk mengetahui fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesifik Antigen) sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau deteksi dini keganasan. Nilai PSA < 4 ng/ml berarti tidak perlu biopsi, nilai PSA 4-10 ng/ml perlu dihitung PSAD (Prostate Spesific Antigen Density). Bila PSAD > 0.15 atau nilai PSA > 10 ng/ml biopsi prostat. 2. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang biasa dilakukan yaitu polos abdomen, pielografi intravena, USG, sistoskopi. VI. PENATALAKSANAAN 1. Observasi Observasi biasa dilakukan pada pasien dengan kelihan ringan (skor Madsen Iversen 9). Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.

2. Terapi Medikamentosa a. Penghambat adregenik Obat-obatan yang sering dipakai diantaranya prazosin, duxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif tamsulosin. ( 1a). Penggunaan -1-adrenergik secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Efek samping yang timbul adalah pusing-pusing, capek, sumbatan hidung, rasa lemah. b. Penghambat enzim 5- reduktase Yang dipakai adalah finasteride (proscar), obat ini menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. c. Fitoterafi 3. Terapi Bedah Indikasi absolut terapi bedah pada BPH yaitu retensio urine berulang, hematuria, tanda penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, tanda-tanda obstruksi berat (divertikel, hidroureter, hidrorefrosis), ada batu saluran kemih. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi TURP Trans Urethal Resection of The Prostate), TUIP (Trans Urethal Insicion of The Prostate), prostatektomi terbuka, prostatektomi dengan laser. Saat ini TUR-P masih merupakan standar emas terapi bedah pada BPH. Reseksi kelenjar prostat dilakuakn tranuretra dengan mempergunakan cairan irigasi (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang dipakai dan harganya cukup murah yaitu H 2O steril (aquadest). Indikasi dilakukan TUR-P diantaranya gejala-gejala sedang sampai berat. Volume prostat < 90 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR-P jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hipohatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TUR-P adalah strikur uretra, ejakulasi retrograd, impotensi.

4. Terapi Invasif Minimal Meliputi : TUMT (Trans Urethal Microwave Thermotherapy) TUBD (Dilatasi Balon Trans Urethal) High Intensity Focused Ultrasound TUNA (Ablasijamm Trans Urethal) Stent Prostat

ANESTESI REGIONAL Penggunaan obat analgetik lokal untuk mengangkut hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat dipengaruhi sebagaian/seluruhnya. Pasien tetap sadar, cara pemberiannya dibagi dalam infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, analgesia permukaan, dan analgesia regional intravena. Obat analgetikya terdiri dari golongan amide (Lignokain, bupivakain) dan golongan eter (prokain, tetrakain). Komplikasi obat analgetik lokal bisa komplikasi lokal edema, infeksi, nekrosis dll) dan komplikasi sistemik (depresi, penurunan tekanan darah). Menurut tekbik cara pemeberian dibagi dalam;1) infiltrasi lokal, 2) blok lapangan, 3) Blok saraf, 4) analgesia pernukaan, 5) analgesia regional intravena. Analgesia spinal ialah pemberian obat anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anastesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikan anastetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Induksi analgesia spinal ini adalah bedah ekstremitas bawah. Bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi dan bedah abdomen bawah. Persiapan analgesia spinal meliputi informed consent, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium anjuran (Hb, Ht, PT, PTTI (Prothrombine tire) dan parthal thromboplastic tire).

Teknik Analgesia Spinal Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas neja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan mneyebabkan menyebarnya obat. 1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk. 2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis. 3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol. 4. Beri Anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1,2% 2-3 ml. 5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoducer), yaitu jarum suntik biasa sepmrit 10 cc. tusukkan introdusr sedalam kirakira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat durameter, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi mengilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik, jarak kulit ligamentum flavum dewasa 6 cm.

BAB II PRESENTASI KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Usia Berat badan Tinggi badan Agama Jenis kelamin Alamat Tangal masuk RS No. CM : Tn. S : 65 tahun : 55 kg : 160 cm : Islam : Laki-laki : : :

I.

ANAMNESA A. Keluhan utama B. Keluhan tambahan : : Tidak bisa buang air kecil -

C. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 24 Desember 2007 dengan keluhan Buang air kecil tidak lancar, nyeri abdomen bagian tengah bawah, kandung kemih terasa penuh, keluhan mulai tadi pagi. D. Riwayat Penyakit Dahulu - Pasien tidak menderita sakit ini sebelumnya. - Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal. - Riwayat penyakit asma disangkal. - Riwayat penyakit hipertensi disangkal. - Riwayat operasi sebelumnya disangka. - Riwayat alergi disangkal E. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga menderita penyakit yang sama

II.

PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis 1. 2. 3. Keadaan umum Kesadaran Vital sign : Sedang : Compos mentis : TD N S R 4. Kepala Kepala Mata Telinga Hidung Mulut dan gigi Leher : Mesocephal ; jejas ( - ) ; tumor ( - ) : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+) : Tidak ada kelainan bentuk, sekret (-/-) : Tidak ada deviasi septum, sekret (-/-) : Tidak ada pembesaran tonsil, karies (+) : Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelanjar tiroid dan kelenjar getah bening, JVP tidak meningkat. 5. Thorax Cor Pulmo : Suara jantung S1 > S2 reguler, gallop (-), murmur (-), ictus cordis ( - ), tidak kuat angkat. : Suara paru vesikuler; ronkhi -/- ; wheezing -/-Simetris kanan dan kiri Tidak ada retraksi 6. Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi 7. Ekstermitas Superior Inferior 8. 9. Pemeriksaan akral : Edema -/- Fraktur -/: Edema -/- Fraktur -/: hangat : Perut datar, supel, distensi ( - ) : masa (-), hepar dan lien tidak ada kelainan : Tympani : BU (+) normal : 120/70 mmHg : 90 x/menit : 37,5C : 20 x/menit

Pemeriksaan turgor kulit : baik

B. Status lokalis Regio Inspeksi Palpasi II. : Suprapubik : Benjolan (+), terpasang kateter : Nyeri takan (+), Massa (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium tanggal 2 Januari 2008 HB HT Leukosit Eritrosit Trombosit LED MCV MCH MCHC PT APTT Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Ureum darah SGOT SGPT GDS : 11,4 gr/dl : 34 % : 7900/ ml : 4,8 jt /ml : 413.000/ml : 25 mm/jam : 82,9 fl : 27,9 pgr : 33,8 % : 12,6 dtk : 28,9 dtk : 2% : 0% : 0% : 75 % : 20 % : 3% : 23,1 mg/dl : 8 : 24 : 112 : Thorak tenang Cor dbn ( 13 -16 gr/dl ) ( 40 48 % ) ( 5.000 10.000/ml ) ( 4,5- 5,5 jt/ml ) ( 150.000 -400.000/ml ) ( 0 - 10 mm/jam ) ( 80 97 fl ) ( 26- 32 pgr ) ( 31-36 % ) ( 11- 14 dtk ) ( 30- 40 dtk ) ( 0-1 % ) ( 1-4 % ) ( 2-5 % ) ( 40-70 % ) ( 19-48 % ) ( 3-9 % ) ( 10-50 mg/dl ) ( 0,7-1,2 mg/dl ) ( L < 37 ) ( L < 41 ) ( < 200 )

Hitung jenis :

Creatinin darah : 0,83 mg/dl

B. Foto cystogram : Gambaran BPH C. Foto thorak

III. DIAGNOSA KLINIS BPH IV. KESIMPULAN Status fisik ASA II VII. LAPORAN ANESTESI Diagnosa pra bedah Diagnosa pasca bedah Jenis pembedahan Jenis anesthesi Premedikasi dengan Medikasi : BPH : BPH : Prostattectomy : Regional Anestesi : Ondansetron 4 mg : Bupivacain Spinal 20 mg Diazepam 5 mg Torasic Adona Tranexamate Cefotaxime 1000 mg Vitamin K Vitamin C Maintenance Relaksasi dengan Teknik anestesi : O2 2,0 L/mnt : : - Spinal ; SAB L3 / L4 - LCS ( + ) jernih - Barbotase ( + ) Respirasi Posisi Infus durante operasi : Spontan : Supine : RL II Plabot HES I Plabot

Penatalaksanaan anastesi (tanggal 4 Januari 2008)

Laporan durante operasi : - Mulai anastesi : 08.40 WIB - Mulai operasi : 08.50 WIB - Cairan yang masuk durante operasi : RL II plabot, dan HES I plabot - Selesai operasi : 10.00 WIB Tekanan darah dan frekuensi nadi ( terlampir ) Perdarahan Urin tampung : 200 cc : 300 ml

VIII. TERAPI CAIRAN a. BB Operasi sedang Puasa selama 8 jam Lama operasi Jumlah perdarahan Pre operasi : 1 jam 10 menit : 200 cc : Cairan maintenance 2 cc/kgBB/jam 2 cc x 55 = 110 cc/jam : 55 kg : 6 cc/kgBB

Durante operasi Puasa : 8 jam x maintenance : 8 jam x 110 cc/jam : 880 cc Stress operasi : Operasi sedang : 6 cc/kg BB/jam : 6 cc x 55/jam : 330 cc/jam Pemberian cairan Jam I : puasa + maintenance + strees operasi : (.880) + 110 cc/jam + 330 cc/jam : 440 cc + 110 cc/jam + 330 cc/jam : 880 cc Perdarahan Urin output : 200 cc : 300 cc : Jam I + perdarahan + urin output : 880 cc + 200 cc + 300 cc : 1380 cc Jumlah cairan yang diberikan : RL II = 2 x 500 = HES Jadi sisa kebutuhan = 1 x 500 = 1500 ml : 1500 ml 1380 ml : 120 ml EBV = 70 ml/kgBB x 55 kg = 3850 ml ABL = 20% dari EBV =
20 x 3850 = 770 ml 100

Jadi total kebutuhan cairan

1000 ml 500 ml

IX. PEMBAHASAN A. Pre-Operatif Pasien datang dengan keluhan miksi tidak lancar sejak tadi pagi. Pasien diputuskan dirawat di bangsal Kenanga. Setelah keadaan umum pasien membaik, pasien dipersiapkan untuk operasi tanggal 04 Januari 2008. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA II (pasien giatri), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik SubArachoid Block. Pasien yang akan menjalani operasi prostattectomy umumnya adalah pasien geriatri, untuk itu penting dilakukan evaluasi ketat terhadap fungsi kardiovaskuler, respirasi dan ginjal. Pasien-pasien ini dilaporkan mempunyai prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami gangguan kardiovaskular dan respirasi, hal lain yang perlu diperhatikan pada pembedahan ini adalah darah harus selalu tersedia karena perdarahan prostat dapat sangat sulit dikontrol, terutama pada pasien yang kelenjar prostatnya > 40 gram. Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal. Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi T10 memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal bagi prostattectomy. Dibanding dengan general anastesi, regional anastesi dapat menurunkan insidens terjadinya post-operative venous trombosis. B. Durante operatif Prosedur pembedahan ini adalah membuka perlekatan prostat dengan vesika urinaria kemudiam mereseksi kelenjar prostat yang membesar, selalu memerlukan cairan irigasi kontinyu dalam jumlah besar. Penggunaan sejumlah besar cairan irigasi membawa beberapa komplikasi antaralain TURP syndrom, hipotermi, dan koagulopati.

Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian tubuh inferior saja. Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah bucain spinal 20 mg (berisi bupivakain Hcl 20 mg), bucain spinal dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Durasi analgetik pada T 10- T 12 selama 2-3 jam, dan bukain spinal menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama 2- 2,5 jam. Selain itu bucain juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua jaringan yang terkena. Pada saat operasi berlangsung pasien tampak sangat gelisah sehingga diberikan diazepam 5 mg untuk menghilangkan kecemasan pasien agar pasien bisa tenang. Diazepam merupakan golongan depresan SSP yang menyebabkan tenang, kantuk / menidurkan. Efeknya yaitu sedasi, hipnosis, menurunkan emosi dan relaksasi otot. Antibiotik yang diberikan adalah cefotaxime 1000 gram iv cefotaxim dipilih karena memiliki aktivitas spektrum yang lebih luas terhadap kuman gram negatif serta lebih stabil terhadap kuman penghasil beta laktamase, penisilinase dan sefalosporinase. Hal ini penting diperhatikan karena pasien-pasien bedah urologi mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi. Selain itu pada pasien terdapat tanda-tanda cystitis, oleh karena itu cefotaxime dinilai tetap sesuai dengan indikasinya yaitu infeksi saluran kemih. Sebagai analgetik digunakan torasic (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Torasic 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence

depresi nafas pada clinicaal trial pemberian ketorolac dosis pakai ketorolac untuk pasien giatri (> 65 tahun) adalah titik lebih dari 60 mg/hari dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30 mg mrp dosis yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik. Adona, Trexenamate, Vit C dan Vit K merupakan paket hemeostatik. Hemeostatik merupakan obat yang digunakan untuk menghentikan perdarahan. Adona bekerja penghambat bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin, dan faktor pembekuan darah lain. Obat ini diekskresikan dengan cepat melalui urin. Trenexamat mempunyai indikasi dan mekanisme kerja yang sama, namun 10 kali lebih potent dengan efek samping yang lebih ringan. Vit K memerlukan waktu untuk dapat menimbulkan efek, sebab vitamin K harus dapat merangsang pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara ketat 4 aspek yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi, monitoring lapangan operasi, dan monitoring lingkungan operasi. C. Post Operatif Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang dengan 1 bantal, minum banyak air putih serta tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.

BAB III KESIMPULAN


1. Pada pasien ini dipilih regional anestesi dengan teknik spinal karena memberikan efek anestesi yang lebih baik dan memberikan kondisi yaang lebih optimal bagi prostattektomy. 2. Obat-obatan yang digunakan dalam operasi ini merupakan obat-obat yang dianggap rasional dengan efek yang paling optimal yang bisa diberikan pada pasien geriatri mengingat penurunan fungsi organ yang terjadi kelompok pasien ini. Premedikasi ondansentron 4 mg untuk menimbulkan kenyamanan pasien. Medikasi : Bupivakain spinal 20 mg (sebagai obat anestesi spinal), diazepam 5 mg sebagai penenang, cefotaxime (sebagai antibiotik) dan torasic 30 mg sebagai analgetik. 3. Penurunan fungsi organ yang terjadi pada pasien-pasien geriatri antara lain : a. b. c. Kardiovaskular Sistem pernafasan Ginjal : Penurunan elastisitas pembuluh darah arteri penurunan cardiac reserve. : Penurunan elastisitas jaringan baru. : Penurunan renal blood flow dan massa ginjal penurunan d. Sistem pencernaan kemampuan ginjal untuk mengekskresi obat-obatan : Penurunan hepatic blood flow Penurunan kecepatan produksi albumin & plasma kolinesterase. e. f. System syaraf Muskuloskeletal : Penurunan sintesis neurotransmitter : Atrofi kulit Gangguan sendi lebih mudah terjadi akibat positioning pada operasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi. FKUI, Jakarta. 1989. Michael B. Dubson. Penuntut Praktis Anestesi. EGC, Jakarta. 1994. Boulton, Thomas B. Anestesiologi. EGC, Jakarta. 1994. Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Linformatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Sagung Seto, Jakarta. 2001. Arif Mansoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. edisi Ketiga Media Aesculapius FKUI, Jakarta. 2000. Buku ajar Ilmu Bedah / Editor, R Sjamsuhidajat, wim de jong. Edisi 2, Jakarta : EGC. 2004. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi. Sagung seto, Jakarta. 2007

ABSTRAK
Dilaporkan penatalaksanaan anastesi pada penderita BPH (Benigne Prostate Hypertrophy) yang dilakukan operasi Prostattectomy pada seorang laki-laki berumur 65 tahun menggunakan anastesi Regional dengan teknik anastesi spinal pada lumbal 3 / lumbal 4 dan status fisik ASA II. Dilakukan premedikasi dengan Ondansentron 4 mg. Medikasi induksi dengan bupivakain HCl 20 mg. Maintenance dengan inhalasi O2 2,0 liter/menit. Durante operasi monitoring tensi dan nadi dengan cara manual. Induksi anastesi dilakukan selama 10 menit dan bertahan selama operasi yang berlangsung selama 1 jam 10 menit. Durante operasi tidak didapatkan penyulit anastesi maupun pembedahan. Pasca operasi pasien dibawa ke ruang pemulihan untuk dimonitor keadaan umum setelah pasien pulih anastesi pasien dibawa ke bangsal.

Anda mungkin juga menyukai