Anda di halaman 1dari 4

I.

PENGALAMAN Mr J, Laki-laki , 24 Tahun , Pada tanggal 31 Desember 2012 sekitar pukul 18.30 mengendarai motor dari arah selatan ke utara melewati rel kereta api (daerah soragan, jalan depan RM. Mak Engking). Ditolong oleh warga dalam keadaan terbaring jatuh dari motor dengan badan tertusuk pisau dibagian perut kiri atas. Seorang saksi melihat bahwasannya diperkirakan pelaku lebih dari 1 orang mengendarai motor RX King. Pasien dibawa oleh warga ke RS Ludira Husada, disana mendapat pertolingan selama 2 jam. Kemudian pasien dirujuk ke RS Sardjito dan langsung diadakan operasi pada tanggal 1 januari 2013 pukul 02.00. Pasien mendapat perawatan di ICU dan meninggal pada tanggal 5 januari 2013 pukul 09.00. Dilakukan otopsi PLPD pada pukul 12.30

II.

Masalah yang Dikaji Apa yang dapat diungkapkan dari otopsi mayat yang meninggal akibat pembunuhan dengan kekerasan? Pasal-pasal KUHP yang berhubungan dengan kasus pembunuhan ini?

III.

Analisis Masalah Pembunuhan menggunakan kekerasan dapat dilakukan dengan benda tumpul, benda tajam maupun senjata api. Kadang-kadang dapat terjadi pembunuhan dengan api, sekalipun jarang terjadi. Pada kasus pembunuhan dengan menggunakan kekerasan tajam, luka harus dilukiskan dengan baik, dengan mmeperhatikan bentuk luka, tepi luka, sudut luka, keadaan sekitar luka serta lokasi luka. Luka biasanya terdapat beberapa buah yang distribusinya tidak teratur, sekalipun tidak jarang ditemukan kasus pembunuhan hanya terdiri dari satu luka saja tanpa si korban sempat melakukan perlawanan apapun. Dengan menentukan arah kekerasan pada luka yang ditemukan, dapat dilakukan rekonstruksi terjadinya peristiwa. Pada kematian akibat kekerasan, pemeriksaan terhadap luka harus dapat megungkapkan berbagai hal tersebut dibawah ini : 1. Penyebab luka

Dengan memperhatikan morfologi luka, kekerasan akibat penyebab luka dapat ditentukan. Pada kasus tertentu, gambaran luka seringkali dapat memberi petunjuk mengenai bentuk benda yang mengenai tubuh. 2. Arah kekerasan Pada luka lecet jenis geser, luka tusuk dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal ini sangat membantu pihak yang berwajib dalam melakukan rekonstruksi terjadinya perkara. 3. Cara terjadinya luka Yang dimaksud dengan terjadinya luka adalah apakah luka ditemukan terjadi sebagai kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri. Luka akibat pembunuhan dapat tersebar pada seluruh bagian tubuh. Pada korban pembunuhan yang sempat mengadakan perlawanan, dapat ditemukan luka tngkis yang biasanya terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah atau telapak tangan. Pada korban bunuh diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka percobaan yang mengelompok dan berjalan kurang lebih sejajar. 4. Hubungan antara luka dengan sebab mati Harus dapat dibuktikan bahwa terjadinya kematian semata-mata disebabkan oleh kekerasan yang menyebabkan luka. Untuk itu pertama-tama harus dibuktikan bahwa luka yang ditemukan adalah benarbenar luka yang terjadi semasa korban masih hidup. Untuk ini,tanda intravitalis luka berupa reaksi jaringan terhadap luka terhadap luka yang perlu diperhatikan. Tanda intravitalis luka dapat bervariasi ditemukan resapan darah, terdapatnya proses penyembuhan luka, serbukan sel radang, pemeriksaan histo-ensimatik sampai pemeriksaan kadar histamine bebas dan serotonin jaringan.
Pasal-pasal yang berhubungan dengan kasus pembunuhan ini adalah :
Dalam KUHP pasal kejahatan terhadap tubuh dan jiwa manusia dapat dikelompokkan dalam dua bagian besar, yaitu usaha pembunuhan atau penganiayaan. Pembunuhan diatur dalam pasal 338, 339, dan 340. Pasal 338 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam k arena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pembunuhan yang disertai tindak pidana diatur dalam pasal 339 KUHP yang berbunyi demikian:

Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan denganmaksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Sedangkan pembunuhan yang terencana diatur dalam pasal 340 KUHP yang berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima tahun. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian diatur dalam KUHP pasal 351 (3), 353 (3), 354 (2), dan 355 (2). Luka-luka korban sendiri tergolong dalam luka berat sesuai dengan pasal 90 KUHP, yaitu Luka berat berarti: Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan Kehilangan salah satu pancaindra; Mendapat cacat berat; Menderita sakit lumpuh; Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; pencarian;

Oleh karena itu yang lebih sesuai adalah pasal 354 (2) dan 355 (2) KUHP yang mengatur tentang penganiayaan berat. Pasal 354 (2) KUHP berbunyi: Jika perbuatan (dengan sengaja melukai berat orang lain) mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Penganiayaan berat yang terencana diatur dalam pasal 355 (2) KUHP, yang berbunyi: Jika perbuatan (penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu) mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

IV.

Kesimpulan
Daftar Pustaka

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI, Cetakan II, 1994. Budianto A. et. al. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, FKUI. Ed.I, Cetakan II, Jakarta 1997. Staf Pengajar FKUI. Teknik Autopsi Forensik. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI, Ed.I, Cetakan III, Jakarta 2000.

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Hertian S, et all, Prosedur medikolegal, in : Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta; Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.p.11-25. 2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Hertian S, et all, Visum et repertum, in : Ilmu kedokteran forensik. Jakarta; Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1997.p.5-16. 3. Dahlan S, Interpretasi temuan, in : Ilmu kedokteran forensik pedoman bagi dokter dan penegak hukum. Semarang; Badan penerbit Universitas Diponegoro. 2008.p.172-76. 4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, Identifikasi personal, in : Kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta; Media aesculapius.2005.p.182-85. 5. Satyo, Alfred C, Sebab kematian, in : Ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta; PT Binarupa Aksara.1989.p.69-82.

Anda mungkin juga menyukai