Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS KASUS Cegah Agama Jadi Pembenar Kekerasan

Melalui Penerapan Prinsip Multikulturalis Pluralis dalam Kehidupan Beragama

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Paper Perorangan Mata Kuliah Pendidikan Agama Dosen : Syamsuddin , H.A.

Disusun oleh : Johanna Angela / 39110133 Kelas : C

Jurusan Akuntansi Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie 2013

Bab I Pendahuluan
A. Teks Kasus

B. Ringkasan Pemahaman Kasus


Peristiwa kekerasan dengan main hakim sendiri yang bernuansa agama, itulah yang sering terjadi di negara kita, Indonesia. Bernuansa agama artinya agama dijadikan sebagai alasan pembenar suatu tindakan. Seharusnya, agama jangan dipakai sebagai pembenar tindakan kekerasan karena sesungguhnya tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan. Sebaliknya, agama harus didorong untuk mendidik masyarakat agar dapat hidup damai dengan menghargai pelbagai perbedaan. Hal tersebut didukung oleh UUD 1945 dan Pancasila (sila pertama) yang menjadi dasar negara. Kecenderungan orang menggunakan agama sebagai alat pembenar kekerasan berasal dari sejarah panjang peradaban manusia dimana ada sosialisasi sejak kecil untuk memusuhi kelompok lain yang tidak sama dengannya yang pada akhirnya berdampak pada munculnya sikap terlalu mencintai agamanya secara berlebihan dan ia gagal untuk berkomunikasi dengan pihak di luar dirinya. Kegagalan itu dilampiaskan dengan cara-cara yang negatif dan manifestasinya adalah kekerasan. Orang-orang yang terlalu mencintai agamanya secara berlebihan tersebut menganggap bahwa hanya agamanyalah yang paling benar sehingga orang-orang tersebut sulit untuk bisa menghargai agama-agama lainnya. Agama dilihat sebagai instrumen yang gampang digunakan, baik untuk menihilkan kelompok lain maupun untuk mencari kepentingan lain seperti popularitas dan kekuasaan merupakan suatu hal yang dapat dijadikan penyebab agama sebagai pembenar kekerasan. Para politisi sering memanipulasi dan memanfaatkan perbedaan-perbedaan sektarian guna kepentingan mereka sendiri, sering menyeret agama ke dalam pertentangan sosial, ekonomi dan politik. Mass-media juga menyumbang pengambinghitaman agama-agama dalam situasi konflik melalui pemberitaan yang tidak layak. Mereka juga dengan mudah mempengaruhi pihak-pihak yang berkonflik dengan label agama dan menampilkan agama sebagai sumber konflik tanpa melaporkan keragaman dalam tradisi keagamaan dan pelbagai cara yang dilakukan oleh komunitas agama-agama dalam menentang kekerasan dan memperjuangkan perdamaian. Penyebab agama sebagai pembenar kekerasan turut dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti kondisi ketidakadilan yang terjadi di Palestina, Irak, dan Afganistan. Hal tersebut sering kali justru mengentalkan sikap kekecewaan. Apalagi, kekecewaan ini bertemu dengan kebencian dan permusuhan pada kelompok lain yang sudah ditanamkan sejak kecil. Konteks seperti ini sebenarnya sangat berbeda dengan umat Islam di Indonesia. Umat Islam disini tidak terpuruk dan tidak terancam, atau disingkirkan seperti di beberapa tempat di Barat.

Bab II Pendapat Beberapa Tokoh / Ahli


Prinsip-prinsip Membangun Multikulturalis Pluralis dalam Kehidupan Beragama Berdasarkan Pendapat : 1. Pdt. Victor I. Tanja, Mth, PhD
Realitas Indonesia yang berazaskan pancasila yang di dalamnya hadir berbagai agama dan kepercayaan yang secara hukum diakui keberadaannya di bumi indonesia ini memunculkan pertanyaan mengenai konsensi antara satu agama dengan agama lainnya sehingga keutuhan bangsa dapat dipertahankan. Pancasila mencerminkan bahwa corak hakiki hidup bangsa Indonesia adalah majemuk dalam arti budaya, sosial, politik, agama serta kepercayaan dan itulah yang juga ingin disampaikan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun Indonesia telah menjadi suatu bangsa yang merdeka bukan berarti Indonesia tidak memerlukan bangsa lain dalam pengelolaan hidupnya menuju masa depan yang lebih baik. Hidup itu bersifat relatif atau nisbi dalam artian selalu berada dalam keterhubungan dengan yang lain dan di situ pula hidup itu memperoleh makna terdalam yakni hidup yang berguna bagi semua orang. Dengan demikian setiap absolutisme atau pemutlakan adalah usaha yang sia-sia karena melawan hidup dan sebab itu tidak berguna. Sesuai dengan konteks berbangsa, bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, maka yang dinamakan agama itu adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Roma Katolik, Hindu dan Budha. Agama memiliki peranan penting bagi kehidupan bangsa yang telah tertuang dalam Pancasila(sila pertama). Dalam naungan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila, maka kedudukan semua agama itu tanpa memandang mayoritas atau minoritas adalah sama dan sederajat di hadapan hukum. Di sini tidak ada pengertian bahwa semua agama itu sama dan Tuhan yang kita sembah itu sama. Yang sama disini adalah pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa menurut kepercayaan dan pengertian masing-masing agama. Dengan demikian, dalam naungan pancasila pun agama-agama menjadi berkarakter yang relatif atau bersifat nisbi. Oleh karena itu, dalam rangka kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat diperlukan adanya suatu sikap dialogis antara semua umat beragama.

Allah menciptakan manusia menurut gambaran dan teladan Allah. Ini tidak berarti bahwa dengan melihat manusia kita sudah melihat Allah. Istilah yang tepat untuk menjelaskan kedudukan manusia sebagai gambaran Allah dalam terang kesaksian Alkitab adalah mandataris. Manusia adalah gambaran Allah, berarti pula manusia adalah mandataris Allah, yakni sebagai pengemban mandat atau amanat Allah di dalam dunia ini. Oleh karena itu sebagai mandataris Allah, manusia berkewajiban menciptakan hidup yang beriman, aman, tertib, dan sejahtera di dalam dunia. Manusia tidak boleh bertindak absolut karena Allah sendiri pemberi mandat menolak bertindak demikian. Beliau juga memaparkan peran yang dapat dipraktekkan masingmasing agama dalam kehidupan pluralisme yaitu Kristen (kasih), Islam (tauhid), Hindu (moksa), Budha (sunyata) yang pada intinya mengajarkan tentang kebersamaan dalam menolong orang-orang diluar agamanya masing-masing untuk menciptakan perdamaian. Halhal seperti itulah yang sangat diharapkan umat manusia sekarang dari peranan agama, jika agama-agama itu mau mempunyai tempat yang layak dalam kancah pergulatan kehidupan manusia modern yang pluralistik.

2. KH. Ali Yafie


Menurut KH Ali Yafie, rakyat Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang mengenai pluralisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius yang dapat dibuktikan melalui sejarahnya, konstitusinya, dan realita kehidupan sehari-hari rakyatnya. Konstitusi Republik Indonesia yang menandai tegaknya suatu kehidupan kebangsaan yang baru, cukup mencerminkan peta keagamaan rakyat Indonesia yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Selain itu, selama bertahun-tahun menikmati kehidupan berbangsa dan bernegara, peta keagamaannya pun telah bertambah cerah warnanya. Rakyat Indonesia telah cukup berpengalaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Bangsa Indonesia telah menampilkan suatu pola kehidupan beragama yang dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan dalam suratan konstitusi (UUD 1945). Menurut beliau, Iman dan taqwa harus berfungsi dalam kehidupan yang nyata dalam berbangsa dan bernegara. Jika Iman dan taqwa itu telah berfungsi dengan baik disertai dengan berfungsinya agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka tidak akan lagi muncul pertanyaan apakah agama itu sebagai pembawa rahmat atau malapetaka.

3. Franz Magnis Suseno SJ


Franz Magnis Suseno merumuskan bahwa orang yang betul-betul percaya pada kebesaran Allah mesti orang yang tahu diri. Meskipun ia tidak akan membenarkan kepercayaan dan praktek keagamaan lain, namun ia tidak akan mengutuknya atau mengutuk orang yang memeluk agama itu. Ia akan tunduk terhadap rahasia penyelenggaraan ilahi yang menghendaki pluralitas agama(karena andaikata tidak dikehendaki Allah, pluralitas itu tidak mungkin ada). Maka semestinya justru kalau kita orang Kristen yang baik atau orang Muslim yang baik, kita juga mampu memiliki sikap toleransi. Toleransi adalah kesediaan untuk menerima kehadiran orang berkeyakinan lain, untuk menghormati keyakinannya meskipun tidak disetujuinya. Orang yang bertoleransi positif mampu untuk menghargai sudut-sudut positif dalam agama-agama lain. Tetapi sebuah kesaksian dipahami salah kalau diartikan sebagai mencari massa dari agama-agama lain. Dengan kata lain, suatu kesaksian tentang keyakinan keagamaannya sendiri hanyalah jujur dan etis apabila secara nyata disertai hormat terhadap keyakinan keagamaan segenap orang lain. Agama-agama diharapkan menjadi pendorong kuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi manusia modern, tetapi yang terancam oleh perkembangan masyarakat modern sendiri: demokrasi, hak asasi manusia, keadilan sosial, keadilan internasional, hak penentu diri, independensi hukum dan kesamaan orang di hadapan hukum, otonomi orang untuk mengurus dirinya sendiri dan seterusnya. Selain itu, agama-agama juga diharapkan menjadi sumber integritas, kejujuran, daripadanya nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kebebasan, kesamaan, kasih sayang, belas kasihan, toleransi dan kesediaan untuk menahan diri berpancaran ke dalam masyarakat. Pancasila sebagai landasan nilai-nilai yang secara positif didukung oleh seluruh masyarakat, sekaligus sebagai ekspresi kesediaan untuk ikut serta penuh dalam hidup masyarakat meskipun tidak semua aspirasi golongannya sendiri terpenuhi. Beliau mengungkapkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan, nilai kebangsaan sebagai suatu bangsa akan mempertemukan kita bersama dan menjadi aktualisasi bersama tidak hanya sekedar kerukunan atau toleransi tetapi suatu persaudaraan, suatu kebersamaan yang amat mendasar.

5. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono


Pertama, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa pluralisme merupakan sebuah berkah (rahmah). Para sosiolog dan antropolog menyakini betul pluralisme itu sebagai suatu kebutuhan. Dengan munculnya tuntutan pelbagai kelompok tersebut, maka lahirlah kombinasi dari setiap

kelompok sebagai mikrokultur (sekurang-kurangnya mereka terkait pada homogenitas etnik karena alasan kultural. Dalam perkembangan selanjutnya, sadar atau tidak sadar, terjadi interaksi antarkelompok etnik untuk bersama-sama berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Dari sinilah terjadi perubahan dari kelompok tersebut, dari kelompok mikrokultural yang homogen ke multikultur yang lebih heterogen (baca, Linch & Hanson dalam Liliweri, 2005:62, Wahid dan Ihsan, 2004). Kedua, menjadikan nilai dan etika pluralisme atau multikultural sebagai bagian dari hidup, bukan sekedar program. Pluralisme dalam masyarakat tidak terbantahkan eksistensinya. Pada masyarakat multikultural kelompok-kelompok etnik dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan seimbang, dapat melindungi dan memelihara diri mereka sendiri karena mereka menjalankan tradisi kebudayaannya.

6. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


Dengan adanya kesadaran tentang pentingnya pluralisme, setiap pihak diharapkan menyadari bahwa sebagai manusia, kita tidak hanya dianugerahi persamaan, melainkan juga perbedaan. Setiap manusia mempunyai ciri, karakter, dan keyakinan masing-masing. Semua itu tidak bisa diseragamkan dengan cara apa pun. Hukum alam mengakui keberadaan mayoritas dan minoritas bukan semata untuk saling menghabisi, melainkan sebagai energi dialektika demi mencapai kemajuan peradaban umat manusia. Semoga saja adanya sense of minority dalam rajutan social fabric kita dapat menghapus segala bentuk penindasan yang dilakukan kaum mayoritas terhadap minoritas. Dengan demikian, robohnya kerukunan beragama di negeri ini bisa segera diatasi bersama.

Bab III Analisis Kasus


Penerapan prinsip-prinsip membangun multikulturalis pluralis untuk pemecahan kasus 1. Sikap terlalu mencintai agama secara berlebihan
Hal tersebut terjadi karena adanya sosialisasi sejak kecil untuk memusuhi kelompok lain yang tidak sama dengannya yang pada akhirnya berdampak pada munculnya sikap terlalu mencintai agamanya secara berlebihan dan ia gagal untuk berkomunikasi dengan pihak di luar dirinya. Kegagalan itu dilampiaskan dengan cara-cara yang negatif dan manifestasinya adalah kekerasan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam membangun multikulturalis pluralis dalam kehidupan beragama. Menurut Pdt. Victor I. Tanja, Mth, PhD, Hidup itu bersifat relatif atau nisbi dalam artian selalu berada dalam keterhubungan dengan yang lain dan di situ pula hidup itu memperoleh makna terdalam yakni hidup yang berguna bagi semua orang. Dengan demikian setiap absolutisme atau pemutlakan adalah usaha yang sia-sia karena melawan hidup dan sebab itu tidak berguna. Ia memaparkan bahwa tidak ada gunanya melakukan pemutlakan karena pada dasarnya kedudukan semua agama itu adalah sama dan sederajat di hadapan hukum tanpa memandang mayoritas atau minoritas. Seharusnya, individu maupun suatu kelompok tertentu tidak perlu mempermasalahkan perbedaan agama yang terjadi karena pada intinya tidak ada pengertian bahwa semua agama itu sama dan Tuhan yang di sembah itu sama. Yang sama disini adalah pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa menurut kepercayaan dan pengertian masingmasing agama. Prinsip Pdt. Victor I. Tanja, Mth, PhD tersebut didukung oleh prinsip KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyatakan bahwa dengan adanya kesadaran tentang pntingnya pluralisme, setiap pihak diharapkan menyadari bahwa sebagai manusia, kita tidak hanya dianugerahi persamaan, melainkan juga perbedaan. Setiap manusia mempunyai ciri, karakter, dan keyakinan masing-masing. Semua itu tidak bisa diseragamkan dengan cara apa pun. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tidak terlalu mencintai agamanya secara berlebihan dan dapat lebih menghargai pluralitas sehingga terciptalah kerukunan antar umat beragama.

2. Agama dijadikan sebagai alat pemuas kepentingan


Agama dilihat sebagai instrumen yang gampang digunakan, baik untuk menihilkan kelompok lain maupun untuk mencari kepentingan lain seperti popularitas dan kekuasaan merupakan suatu hal yang dapat dijadikan penyebab agama sebagai pembenar kekerasan. Hal tersebut dilakukan oleh para politisi yang sering memanipulasi dan memanfaatkan perbedaanperbedaan sektarian guna kepentingan mereka sendiri, sering menyeret agama ke dalam pertentangan sosial, ekonomi dan politik. Selain itu, media massa pun seringkali memeperparah situasi konflik yang terjadi melalui pemberitaan yang tidak layak seperti menampilkan agama sebagai sumber konflik tanpa melaporkan keragaman dalam tradisi keagamaan dan pelbagai cara yang dilakukan oleh komunitas agama-agama dalam menentang kekerasan dan memperjuangkan perdamaian. Franz Magnis Suseno memaparkan bahwa Agama-agama diharapkan menjadi pendorong kuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi manusia modern, tetapi yang terancam oleh perkembangan masyarakat modern sendiri: demokrasi, hak asasi manusia, keadilan sosial, keadilan internasional, hak penentu diri, independensi hukum dan kesamaan orang di hadapan hukum, otonomi orang untuk mengurus dirinya sendiri dan seterusnya. Selain itu, agama-agama juga diharapkan menjadi sumber integritas, kejujuran, daripadanya nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kebebasan, kesamaan, kasih sayang, belas kasihan, toleransi dan kesediaan untuk menahan diri berpancaran ke dalam masyarakat. Oleh karena itu, seharusnya agama tidak dijadikan instrumen untuk mencapai kepentingan lain atau menihilkan kelompok lain melainkan sebagai jalan untuk menuju Tuhan. Selain Franz Magnis Suseno, KH Ali Yafie juga menyatakan bahwa Iman dan taqwa harus berfungsi dalam kehidupan yang nyata dalam berbangsa dan bernegara. Jika Iman dan taqwa itu telah berfungsi dengan baik disertai dengan berfungsinya agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka tidak akan lagi muncul pertanyaan apakah agama itu sebagai pembawa rahmat atau malapetaka. Dengan demikian, masyarakat seharusnya menjadikan agama sebagai motivator serta meletakkan landasan etik moral dan spiritual untuk menyukseskan usaha pembangunan karena pada dasarnya agama memiliki peranan penting dalam menentukan arah kehidupan suatu bangsa.

3. Kondisi ketidakadilan yang terjadi di Palestina, Irak, dan Afganistan


Kondisi ketidakadilan ini berupa sikap diskriminasi terhadap umat Islam dimana umat Islam disingkirkan di beberapa tempat di Barat. Hal tersebut mengentalkan sikap kekecewaan apalagi kekecewaan ini bertemu dengan kebencian dan permusuhan dengan kelompok lain yang sudah ditanamkan sejak kecil. Kondisi ketidakadilan yang terjadi membuktikan bahwa masih adanya sikap yang belum bisa menghargai pluralitas sehingga pada akhirnya dapat memicu terjadinya kekerasan. Prinsip yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah prinsip Pdt. Victor I. Tanja, Mth, PhD yang menyatakan bahwa manusia sebagai mandataris Allah, berkewajiban menciptakan hidup yang beriman, aman, tertib, dan sejahtera di dalam dunia. Manusia tidak boleh bertindak absolut karena Allah sendiri pemberi mandat menolak bertindak demikian. Beliau juga memaparkan peran yang dapat dipraktekkan masing-masing agama dalam kehidupan pluralisme yaitu Kristen (kasih), Islam (tauhid), Hindu (moksa), Budha (sunyata) yang pada intinya mengajarkan tentang kebersamaan dalam menolong orang-orang diluar agamanya masing-masing untuk menciptakan perdamaian. Prinsip lainnya yang berhubungan adalah prinsip yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno. Ia menyatakan bahwa orang yang baik seharusnya memiliki sikap toleransi. Toleransi adalah kesediaan untuk menerima kehadiran orang berkeyakinan lain, untuk menghormati keyakinannya meskipun tidak disetujuinya. Orang yang bertoleransi positif mampu untuk menghargai sudut-sudut positif dalam agama-agama lain. Tetapi sebuah kesaksian dipahami salah kalau diartikan sebagai mencari massa dari agama-agama lain. Dengan kata lain, suatu kesaksian tentang keyakinan keagamaannya sendiri hanyalah jujur dan etis apabila secara nyata disertai hormat terhadap keyakinan keagamaan segenap orang lain. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun menyatakan hal yang serupa mengenai kondisi ketidakadilan yang sering terjadi yaitu bahwa Hukum alam mengakui keberadaan mayoritas dan minoritas bukan semata untuk saling menghabisi, melainkan sebagai energi dialektika demi mencapai kemajuan peradaban umat manusia. Semoga saja adanya sense of minority dalam rajutan social fabric kita dapat menghapus segala bentuk penindasan yang dilakukan kaum mayoritas terhadap minoritas. Dengan demikian, robohnya kerukunan beragama di negeri ini bisa segera diatasi bersama.

Bab IV Kesimpulan
Peran agama saat ini sudah agak menyimpang dari yang semestinya. Pada dasarnya agama berfungsi sebagai pembawa perdamaian, pemupuk rasa solidaritas, kontrol sosial, pembaharuan dan sebagainya. Namun, yang terjadi saat ini malah sebaliknya agama dijadikan sebagai alat pembenar kekerasan. Hal-hal yang menyebabkan peristiwa tersebut diantaranya adalah sikap mencintai yang terlalu berlebihan pada suatu agama sebagai akibat dari sosialisasi yang dilakukan sejak kecil untuk memusuhi kelompok lain yang tidak sama dengannya sehingga pada akhirnya gagal untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Penyebab lainnya adalah agama dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan lain seperti popularitas, kekuasaan dan lain-lain. Agama sering diseret dalam pertentangan ekonomi,sosial maupun politik. Konflik yang terjadi diperparah oleh media massa yang tidak bertanggung jawab dimana media massa tersebut menampilkan pemberitaan yang tidak layak mengenai agama yang bersangkutan. Selain itu, faktor eksternal juga turut menjadi penyebab bergesernya fungsi agama tersebut seperti kondisi ketidakadilan yang terjadi di Palestina, Irak, dan Afghanistan. Sikap diskriminasi rupanya masih terjadi terhadap agama minoritas dimana dalam kasus ini umat Islam disingkirkan di beberapa negara Barat. Hal-hal tersebut tidak boleh terus berlanjut karena akan menimbulkan perpecahan antar umat beragama. Oleh karena itu, semua elemen bangsa Indonesia diharapkan mencegah penggunaan agama sebagai legitimasi atau pembenaran atas kekerasan terhadap sesama manusia. Sebaliknya, agama harus didorong untuk mendidik masyarakat agar dapat hidup damai dengan menghargai berbagai perbedaan. Pancasila merupakan kesepakatan besar bangsa Indonesia yang menjamin semua pemeluk agama dapat menjadi warga negara dengan status yang sama. Itu juga berlaku untuk semua etnis, budaya, kelompok, atau golongan. Intinya, semua punya hak untuk hidup di negara ini. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah masing-masing individu atau kelompok harus menghormati keyakinan kelompok lain sehingga dapat hidup tenteram dan aman, melaksanakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pancasila yang dikaitkan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, menjalankan agama dengan benar sehingga agama dapat menjadi penjaga nilai-nilai kebaikan, dan yang paling terpenting adalah harus memiliki sikap toleransi karena dengan adanya toleransi kita mampu untuk menghargai sudut-sudut positif dalam agama-agama lain.

Anda mungkin juga menyukai