Anda di halaman 1dari 6

(Ambon, Lombok, Flores), Jawa Barat (Depok, Cirebon), dan Jawa Tengah (Purbalingga, Purwokerto, Pati, Semarang, dan

Magelang). Dari Sep 16 latar belakang agama, yaitu sebagaian besar memeluk agama Islam dan sisanya memeluk agama Katolik. Selain itu, makanan, cara berpakaian, dan cara bertutur merupakan kebiasaan yang beragam di antara penghuni Wisma Laswi. Dari latar belakang pendidikan pun sangat beragam, ada yang mengambil kuliah di Unnes (pendidikan), Undip (kedokteran, komunikasi), Unisbank (manajemen, akutansi), dan ada juga yang mengambil jurusan keperawatan di Poltekes Telogorejo. Dari tingkat pendidikan, enam mahasiswa di antaranya mengambil ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA MAHASISWA PERANTAU DALAM SOSIALISASI BAHASA SEHARI-HARI DENGAN KONTEKS MULTIKULTURAL DI WISMA LASWI SEMARANG jenjang pendidikan S1 dan sisanya mengambil jenjang S2. Kemultikulturalan itulah yang menarik untuk diteliti dari kajian perspektif sosiolinguistik. Dalam penelitian ini aspek yang dikaji antara lain bentuk alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa sehari-haridi di lingkungan Wisma Laswi. Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari terbukti kerap menunjukkan identitas diri penutur bahasa tersebut dalam lingkungan sosial. Dalam ilmu kebahasaan atau linguistik, fenomena kebahasaan semacam ini termasuk dalam kajian sosiolinguistik. Salzmann (1993:190) menyatakan sosiolinguistik sebagai linguistik yang bermuatan sosial. Dampak situasi sosial dan psikologis dapat diamati dalam pemakaian bahasa oleh penutur. Selanjutnya, Hymes (1974) memberikan sejumlah tema yang menjadi ciri khas kajian sosiolinguistik. Tema-tema kajian Oleh Meilan Arsanti, S. Pd. Universitas Negeri Semarang sosiolinguistik tersebut di antaranya adalah (1) teori bahasa yang tidak melulu menjabarkan tata bahasa melainkan alur pengorganisasian bahasa yang diucapkan, (2) landasan teori dan metodologi yang tidak melulu mencakup pertanyaan mengenai struktur melainkan fungsi, (3) masyarakat bahasa ditentukan berdasarkan cara berbahasa sekelompok orang dan tidak diartikan berdasarkan distribusi ciri-ciri gramatikal semata, (4) kompetensi merupakan kemampuan personal untuk berkomunikasi sesuai dengan konteks, tidak hanya berkisar pada A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya raya. Tidak hanya kondisi geografis yang luar biasa, tetapi sosiokulturalnya pun beranekaragam. Hal ini karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki keragaman bahasa, sosial budaya, etnis, suku, agama, dan status sosial. Kondisi seperti ini oleh Watson (dalam Setyaningsih 2010) dikatakan sebagai masyarakat majemuk atau multikultur, yaitu masyarakat yang di dalamnya berkembang banyak kebudayaan. Mereka terdiri atas beragam etnis yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama atau keyakinan yang berbeda-beda. Keragaman ini sangat kondusif bagi munculnya konflik sosial dalam berbagai dimensi kehidupan. Kondisi Indonesia yang kaya dengan keanekaragaman suku, etnis, bahasa, budaya, dan adat istiadat ini sangat rentan jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus mempunyai cara pandang atau wawasan berorientasi nasional. Bhineka Tunggal Ika sebagai motto negara yang diangkat dari penggalan kekawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada zaman Keprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai, tetapi satu atau although in pieces yet one (Wikipedia). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural dan sosiokultural dibangun di atas keanekaragaman. Dari hal tersebut terkandung maksud bahwa masyarakat multikultural dapat hidup berdampingan, saling menghargai, dan bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya secara harmonis. Kemultikulturalan ini juga merambah dalam ranah pendidikan. Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia misalnya, dalam skala nasional banyak mahasiswa yang pergi menuntut ilmu ke luar daerah seperti mahasiswa dari daerah Ambon, Lombok, NTT, NTB, Bali, Sumatera, dan Sulawesi yang hijrah untuk menuntut ilmu di universitas-universitas yang ada di pulau Jawa. Selain itu, dalam skala internasional banyak juga mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studinya ke luar negeri, misalnya ke Universitas Al Azhar (Kairo), ke universitas yang ada di Malaysia, Singapura, Australia bahkan Amerika. Dalam posisi ini mahasiswa tersebut membawa ciri khas masing-masing daerah, baik suku, etnis, bahasa, agama, negara, maupun budaya. Kondisi ini mengharuskan mahasiswa beradaptasi dengan lingkungan di mana ia tinggal sementara selama menuntut ilmu. Hal ini karena mahasiswa tersebut akan bertemu dan berinteraksi dengan mahasiswa lain yang beranekaragam. Misalnya, mahasiswa luar Jawa yang menuntutu ilmu di pulau Jawa seperti Ambon, Lombok, Flores, Sulawesi atau Papua harus bisa beradaptasi dengan adat dan budaya yang ada di Jawa. Tidak hanya mahasiswa luar Jawa yang harus bisa beradaptasi, tetapi walaupun sama-sama berasal dari suku Jawa pun harus tetap bisa beradaptasi karena masing-masing individu mempunyai ciri khas suku yang berbeda. Di dalam beradaptasi itulah mahasiswa harus pandai membawa diri dalam bergaul atau berinteraksi dan bersosialisasi dengan mahasiswa lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi salah paham atau konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang dapat menimbulkan perpecahan. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi di kampus atau tempat umum, tetapi terjadi juga di tempat tinggal seperti di rumah kos atau kontrakkan. Salah satu bentuk interaksi dan sosialisasi mahasiswa yaitu dengan menggunakan bahasa. Walaupun dalam berinteraksi dan bersosialisasi mahasiswa tersebut menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, tetapi mereka juga menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) sesuai daerah masing-masing. Oleh karena bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik, maka bahasa daerah (bahasa ibu) adalah alat identitas suku. Ada pula pandangan akan adanya hubungan yang tetap dan pasti antara ciri-ciri fisik suatu etnik dengan sesuatu bahasa atau variasi tertentu (Sumarsono 2002). Hal ini menguatkan kalimat bijak yang menyatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Secara singkat kalimat bijak ini memuat makna bahwa bahasa yang digunakan merupakan cerminan dari para penuturnya. Dengan kata lain tutur kata seseorang akan menunjukkan bagaimana sifat dan watak orang itu, dari kalangan mana dia. Mahasiswa yang menggunakan bahasa Ambon dapat diidentifikasi bahwa mahasiswa tersebut berasal dari Ambon. Demikian halnya dengan mahasiswa yang menggunakan bahasa Jawa kemungkinan besar mahasiswa tersebut berasal dari suku Jawa. Keanekaragaman baik suku, etnis, maupun bahasa ini sifatnya multikultural. Dalam suatu komunitas di Wisma Laswi yang merupakan rumah kos di daerah Bendan Ngisor (Semarang) yang dihuni 12 mahasiswa terdiri atas berbagai latar belakang sehingga dapat dikatakan multikultural. Kemultikulturalan tersebut meliputi asal daerah, suku, bahasa, agama, pendidikan, dan adat atau kebudayaan. Berdasarkan asal daerah terdiri atas mahasiswa yang berasal dari luar Jawa sebagai berikut. 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya khazanah pustaka ilmiah sosiolinguistik khusunya tentang alih kode, campur kode, dan sosialisasi bahasa. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk mendeskripsikan fenomena bahasa dalam bentuk alih kode dan campur kode mahasiswa perantau dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural. D. Manfaat Manfaat penelitian ini meliputi dua hal yaitu manfaat secara teoretis dan praktis. Adapaun manfaat tersebut dapat diuraikan C. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan sosialisasi bahasa sehari-hari pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural. Adapun tujuan secara khusus penelitian ini sebagai berikut. 1) Mendeskripsikan penggunaan alih kode mahasiswa parantau dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di Wisma Laswi. 2) Mendeskripsikan penggunaan campur kode mahasiswa perantau dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di Wisma Laswi. 3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-hari mahasiswa perantau dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok dalam konteks multikultural di Wisma Laswi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1) Bagaimana penggunaan alih kode mahasiswa parantau dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di Wisma Laswi? 2) Bagaimana penggunaan campur kode mahasiswa perantau dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di Wisma Laswi? 3) Apa saja faktor yang mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-hari mahasiswa perantau dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok dalam konteks multikultural di Wisma Laswi? pengetahuan gramatikal, dan (5) bahasa adalah sesuatu yang membentuk masyarakat pemakainya bukan sekadar sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Trudgill (1983) menegaskan kembali pemikiran Hymes dengan menyatakan kajian bahasa dalam konteks sosial merupakan bagian dari topik-topik utama linguistik. Kajian linguistik dapat berupa kajian yang berbasis pada bukti empiris bahasa yang digunakan dalam konteks sosial. Menurut Trudgill kajian seperti ini menampilkan penggunaan sosiolonguistik sebagai suatu cara mengkaji penelitian linguistik (a way of doing linguistics), yang menitikberatkan pada bagaimana bahasa berperan dalam masyarakat (Trudgill 1974). Hal tersebut sependapat dengan Rokhman (2009) bahwa bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Jadi, pada umunya sosiolinguistik mengkaji masyarakat multibahasa atau dwibahasa. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menggunakan bahasa yang bervariasi dalam arti ada bahasa lain atau ragam lain yang digunakan dalam berkomunikasi sebagai pendamping dan pembanding. Ia juga menyatakan bahwa sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur. Dengan demikian, sosiolinguistik selain mengkaji fenomena pemilihan bahasa juga dapat mengkaji tentang sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural.

2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah untuk melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian kebahsaan, yaitu penelitian sosiolinguistik tentang alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa mahasiswa perantau dalam konteks multikultural. Di samping itu, hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan informasi atau masukan bagi pengembangan penelitian alih kode, campur kode, dan sosialisasi bahasa selanjutnya. Selanjutnya hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bentuk alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural.

masyarakat multilingual seperti masyarakat Indonesia seorang penutur mungkin harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya. Anggota masyarakat yang mampu bertutur dengan lebih dari satu bahasa tentunya mampu mengganti kode yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Mereka mengalihkan kode yang digunakan dengan pertimbangan agar kode yang digunakan dapat dipahami oleh lawan tuturnya. Pada komunitas yang multilingual, bahasa-bahasa yang berbeda tersebut digunakan pada situasi dan kondisi tertentu, dan pilihan penggunaannya selalu dikendalikan oleh lingkungan sosial (Hudson dalam Mutmainnah 2008:43). Pokok permasalahan pada alih kode dan campur kode berbeda dengan pokok permasalahan pada interferensi. Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:44), pada peristiwa

E. Landasan Teoretis 1. Kajian Sosiolinguistik Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh, 1984: 4; Holmes, 1993: 1; Hudson, 1996: 2 dalam Pujihastuti 2010). Bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Kartomihardjo (dalam Rokhman 2009) mengemukakan gagasan tentang objek kajian sosiolinguistik, sebagai berikut.

interferensi, pusat perhatian kita hanya pada bahasa penerima yang mendapat gangguan dari unsur -unsur asing, sedangkan pada alih kode dan campur kode sasaran perhatian ada pada bahasa-bahasa yang digunakan secara berselang-seling oleh penuturnya karena beberapa sebab atau rangsangan yang datang dari luar atau dari dalam diri penutur. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan (Rokhman 2003). Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Misalnya seorang penutur Jawa yang dwibahasa akan menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara kepada orang lain. Pilihan yang kedua adalah dengan melakukan alih kode ( code switching), yaitu dengan menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Pilihan yang ketiga adalah dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu yang bercampur dengan serpihan-serpihan dari bahasa

Sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa dan variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik faktor kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di dalam suatu masyarakat.

lain. Dengan adanya penguasaan dua bahasa atau lebih, alih kode dan campur kode dapat terjadi pada tuturan mahasiswa perantau dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural. Pada penelitian ini akan dijelaskan pemerian yang mencakup wujud alih kode dan campur kode mahasiswa perantau dalam sosialisasi bahasa di Wisma Laswi. a. Alih Kode

Menurut Rokhman (2009) gagasan tersebut mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang luas, bukan hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasi bahasa melainkan juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut dipengaruh berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor nonkebahasaan, seperti faktor sosialbudaya, termasuk tata hubungan antara pembicara dan pendengar. Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai kekhususan dalam hal nilai-nilai sosialbudaya dan variasi penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Jadi, sosiolinguistik mengkaji semua tentang gejala bahasa yang ada di masyarakat termasuk sosialisasi bahasa yang berupa alih kode dan campur kode dalam kehidupan seharihari. Pada umumnya, sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Dalam kenyataannya, sosialisasi bahasa juga berkaitan dengan situasi tersebut karena dalam berinteraksi dan bersosialisasi, tentu ada bahasa lain atau ragam lain yang ikut digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus pembanding (Rokhman 2009). Dalam kaitannya dengan sosialisasi bahasa, kajian sosialisasi bahasa dalam masyarakat di Indonesia berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Kajian sosialisasi bahasa dalam penelitian ini menitikberatkan pada bentuk alih kode dan campur kode pada mahasiswa perantau dalam konteks multikutural. Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian sosialinguistik meliputi tiga hal, yaitu bahasa, masyarakat, dan hubungan bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat dan bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. 2. Kedwibahasaan Penelitian sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode dan sosialisasi bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan konsep kedwibahasaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali pertama diperkenalkan pada abad ke20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai penguasaan dua bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena dapat diartikan bahwa seseorang baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama. Definisi selanjutnya diberikan oleh Haugen (dalam Pujihastuti 2010:12) bahwa dwibahasa adalah tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup menjadikan seorang itu disebut dwibahasawan. Hal ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif, produktif sebagaimana dituntut Bloomfield melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptis dalam bahasa kedua. Mackey (dalam Mutmainnah 2008:47) menggambarkan kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua bahasa atau lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai. Berdasarkan beberapa pendapat tentang kedwibahasaan di atas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa, baik bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua dalam berkomunkasi. 3. Alih Kode dan Campur Kode Penggunaan sebuah kode tertentu merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa. Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipakai oleh lawan tuturnya. Dengan demikian, di dalam

Alih kode (code switching) merupakan salah satu wujud penggunaan bahasa oleh seorang dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih salah satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson 1996:51-53). Terdapat dua jenis alih kode, yaitu Situational code-switching dan Metaphorical codeswitching (Hudson, 1996:52-53; Wardhaugh, 1986: 102-103; Istiati. S, 1985). Situational code-switching adalah adanya perubahan bahasa yang terjadi karena adanya perubahan situasi. Seorang dwibahasawan menggunakan satu bahasa dalam satu situasi tutur dan menggunakan bahasa yang lain pada situasi tutur yang lain (Hudson 1996:52; Wardhaugh 1986:102-103). Menurut Hudson (1996), alih kode jenis ini dinamakan situational code-switching karena perubahan bahasa-bahasa oleh seorang dwibahasawan selalu bersamaan dengan perubahan dari satu situasi eksternal (misalnya berbicara kepada anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga). Dalam disertasinya, Istiati (dalam Mutmainnah 2008:44-45) menyatakan bahwa alih bahasa jenis ini terjadi terutama disebabkan oleh latar dan topik. Selain itu, umur, seks, pengetahuan penutur, status, sosial, dan kesukuan menentukan pula terjadinya alih kode. Dengan demikian, kaidah-kaidah sosial budaya merupakan faktor yang dominan. Jenis alih kode yang kedua ialah Metaphorical codeswitching, yaitu ketika sebuah perubahan topik membutuhkan sebuah perubahan bahasa yang digunakan. Alih kode ini terjadi apabila penutur merasa bahwa dengan beberapa kata atau kalimat yang diucapkan dalam bahasa lain, maka ia dapat menekankan apa yang diinginkan sehingga akan mendapat perhatian dari pendengarnya. Suwito (dalam Oktora 2012) membagi alih kode menjadi dua, yaitu alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya, dan alih kode intern, yaitu bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama. Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode sebagai berikut ini. 1) Penutur, seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. 2) Mitra tutur, yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. 3) Hadirnya penutur ketiga, untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. 4) Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. 5) Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. 6) Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. b. Campur Kode Campur kode (code-mixing) merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, dimana perubahan bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan situasi, pada campur kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi (Hudson, 1996:53). Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:46), campur kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan situasi pada saat terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebabsebab yang bersifat kebahasaan. Sumber dari campur kode bisa datang dari kemampuan berbahasa, bisa pula datang dari kemampuan berkomunikasi, yakni tingkah laku. Jika gejala itu hadir karena penutur telah terbiasa menggunakan bahasa campur demi kemudahan belaka

sebagai hasil dari sistem budaya, sistem sosial atau sistem kepribadian secara terus menerus, maka gejala itu datang dari sistem tingkah laku. Artinya, gejala ini bersumber dari kemampuan berkomunikasi. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: campur kode ke dalam (innercode-mixing), merupakan campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya dan campur kode ke luar ( outer code-mixing), merupakan campur kode yang berasal dari bahasa asing. Adapaun latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap ( attitudinal type), merupakan latar belakang sikap penutur dan kebahasaan (linguistik type) merupakan latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode antara lain berupa penyisipan kata, frasa, klausa, ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing). c. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu, sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode (Arindra 2011). Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Akan tetapi, apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode. 4. Sosialisasi Bahasa Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory) karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu (Wikipedia). Sedangkan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kentjono dalam Chaer 2003). Jadi, sosialisasi bahasa merupakan proses kebiasaan dalam bekerja sama atau berkomunikasi oleh manusia dalam bermasyarakat. Menurut Duff (1995-508). Language socialization is the life long process by which individuals typically novices are inducted into speci fic domains of knowledge, beliefs, affect, roles, identities, and social representations, which they access and construct through language practices and social interaction . . .

budaya yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Tilaar (2004:29) menggambarkan masyarakat multikultural adalah masyarakat yang penuh resiko karena masyarakat itu berubah dengan cepat sehingga meminta manusia untuk mengambil sikap dan melakukan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau hanyut bersama perubahan itu. Multikulturalisme mencoba membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-perbedaan dan kemajemukan yang ada agar tercipta perdamaian dan dengan demikian akan tercipta kesejahteraan umat manusia (Nugroho 2009:15).

F. Metode Penelitian Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka perlu diuraikan lebih lanjut tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bagian metode penelitian ini dibagi menjadi dua pokok bahasan, yaitu objek penelitian dan metode penelitian. Objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Satu hal yang harus diperhatikan dalam penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial. 1. Objek Penelitian a. Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan sebuah penelitian pemakaian alih kode dan campur kode pada mahasiswa perantau dalam sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural di Wisma Laswi. Wisma Laswi merupakan sebuah rumah kos yang dihuni mahasiswa yang heterogen atau multikultural, baik asal daerah, suku, bahasa, agama, pendidikan, dan adat-istiadat. Wisma Laswi beralamat di Jalan Lamongan IX No. 16, RT 01, RW 08, Bendan Ngisor, Gajahmungkur, Semarang. Pemilihan Wisma Laswi sebagai lokasi penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sesuai dengan topik penelitian. Data dalam penelitian ini bersumber dari penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa penghuni yang terjadi rumah kos Wisma Laswi. Penggunaan bahasa itu terjadi secara alami dari peristiwa tutur yang wajar dalam komunikasi sehari-hari di rumah kos. b. Populasi dan Sampel Setiap penelitian ilmiah tentu berhubungan dengan masalah sumber data. Pemilihan dan penentuan sumber data pada suatu penelitian tergantung pada permasalahan yang akan diselidiki dan hipotesis yang hendak diuji kebenaran atau ketidakbenarannya. Populasi pada penelitian ini adalah populasi homogen, yaitu pemakaian alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa hanya pada suatu masyarakat bahasa tertentu, yakni mahasiswa perantau. Selain itu, populasi pada penelitian ini merupakan populasi teoritis, artinya ialah sejumlah sumber data yang batas-batasnya ditetapkan secara kualitatif, sehingga dari segi jumlah, secara kuantitatif tidak dapat ditetapkan secara tegas (Nawawi 1993). Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan bentuk penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural di Wisma Laswi dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-hari mahasiswa perantau dari Ambon, Lombok, Flores, Cirebon, dan Banyumas dalam konteks multikultural di Wisma Laswi, maka sampel pada penelitian ini adalah tuturan mahasiswa perantau di Wisma Laswi yang ditemukan pada ranah-ranah penelitian yang mengandung unsur-unsur alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa sehari-hari. Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan jenis purposive sample, yaitu salah satu jenis sample yang pemilihan subyeknya didasarkan atas ciri-ciri atau

Artinya bahwa sosialisasi bahasa adalah proses seumur hidup dimana individu biasanya dibedakan berdasarkan pengetahuan, keyakinan, pengaruh, peran, identitas, dan representasi sosial, yang mereka akses dan dibangun melalui praktik bahasa dan interaksi sosial. Sosialisasi bahasa mengacu pada perolehan pengetahuan budaya bahasa, pragmatis dan lainnya melalui pengalaman sosial dan sering disamakan dengan perkembangan kompetensi budaya dan komunikatif. Penelitian di bidang ini meneliti aspek-aspek pembelajaran dan juga bagaimana individu dapat bersosialisasi dengan identitas tertentu, pandangan dunia atau nilai-nilai, dan ideologi ketika mereka belajar bahasa, apakah bahasa pertama atau bahasa kedua. Dengan demikian, sosialisasi bahasa mengeksplorasi bagaimana orang belajar berkomunikasi atau berinteraksi dalam konteks pembicaraan tertentu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari seperti: lelucon, ucapan salam, pelajaran kelas, bercerita atau menulis esai atau memo dan juga nilai-nilai yang mendasari praktik-praktik tersebut. Mampu berpartisipasi dalam praktik bahasa dengan tepat, sesuai dengan harapan pribadi dan umum (konvensi), sehingga memungkinkan manusia dapat bermanfaat dengan baik dalam masyarakat. 5. Multikulturalisme Istilah multikulturalisme umumnya digunakan untuk menjelaskan suatu heterogenitas budaya, atau merujuk pada eksistensi pluralitas etnik dan berbagai kelompok budaya dalam masyarakat (Sundrijo 2007). Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa setiap orang dengan berbagai latar belakang kebudyaan yang berbeda dapat hidup secara damai tanpa mengorbankan kekhasan budayanya dan tidak menimbulkan konflik akibat perbedaan budaya di antara mereka. Tilaar (dalam Ekoati 2010) menyatakan bahwa multkulturalisme merupakan upaya untuk menggali potensi budaya sebagai capital yang membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko. Oleh karena proses pendidikan adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural hanya dapat diciptakan melalui proses pendidikan. Penanaman pengakuan terhadap keragaman etnis dan budaya masyarakat Indonesia di era globalisasi saat ini merupakan upaya merespons fenomena konflik etnis dan sosial-

sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu tuturan pada mahasiswa perantau di Wisma Laswi yang ditemui. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, dan analisis data bersifat kualitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan Metode ini disebut juga metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) (Sugiyono 2010:14). Objek kajian pada penelitian ini diteliti berdasarkan tiga langkah penting, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. a. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dilakukan seorang peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan. Dengan metode pengumpulan data yang tepat dalam suatu penelitian akan memungkinkan pencapaian pemecahan masalah secara valid dan terpercaya yang akhirnya akan memungkinkan dirumuskannya generalisasi yang obyektif (Nawawi 1991:13). Penelitian ini menggunakan metode observasi dan metode wawancara Menurut Gunarwan (2001a:44), metode wawancara mirip dengan metode survei, yakni menggunakan sejumlah pertanyaan untuk menjaring informasi atau data dari responden. Peneliti terlibat langsung selama proses pengumpulan data karena peneliti termasuk salah satu penghuni Wisma Laswi. Data dikumpulkan selama kurang lebih dua minggu baik secara langsung maupun tidak langsung selama ada tuturan dari sampel terkait penggunaan alih kode dan campur kode dalam kehidupan sehari-hari. Teknik yang digunakan adalah dengan merekam tuturan sampel untuk mendapatkan data yang valid dan lengkap. Tuturan yang menjadi data penelitian ini terealisasi di dalam penggalan tuturan penghuni kos (mahasiswa perantau). Data verbal yang berupa penggalan tuturan ini pun tidak dikuantifikasi sehingga di dalam penelitian ini tidak digunakan perhitungan secara statis. b. Analisis Data

Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Kaidah dan simpulan aspek-aspek alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural di Wisma Laswi dianalisis dengan menggunakan metode analisis kontekstual. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode korelasi atau metode padan, yaitu metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, metode korelasi dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan penelitian Sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas (Arimi dalam Mutmainnah 2008:61). Analisis data pada penelitian ini dilakukan melalui empat langkah, yaitu 1) reduksi data, 2) transkripsi data hasil rekaman, 3) pengelompokan kategori data baik dari data rekaman maupun data dari catatan, dan 4) penyimpulan pola penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural. c. Penyajian Hasil Analisis Data Pada penelitian ini, hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode informal. Penerapan metode informal dalam penelitian ini tampak pada pemaparan hasil analisis tentang penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa. Dengan metode informal ini, penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menyajikan diskripsi khas verbal dengan kata-kata.

bahasa Indonesia (nonformal/lisan) tentang rencana membeli makan malam. Kemudian Meilan (Banyumas) tiba-tiba datang bergabung dengan mereka untuk membahas menu makan malam. Awalnya berbicara menggunakan Bahasa Indonesia (BI), kemudian saat berbicara dengan Nurul beralih menggunakan Bahasa Jawa (Banyumasan). Saat akan pergi membeli makan tiba-tiba ayah Indra menelfon. Awalnya Indra menggunakan BI ketika berbicara dengan Nurul, setelah berbicara dengan ayahnya beralih menggunakan Bahasa Lombok (BL). Penggunaan alih kode dapat dilihat pada dialog di atas dengan keterangan angka sebagai berikut. Alih kode yang dilakukan Nurul dapat dilihat pada percakapan nomor (4) BI, (6) BJ, dan (8) BJ-BI. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BJ dan dari BJ ke BI. Alih kode yang dilakukan Meilan dapat dilihat pada percakapan nomor (5) BI dan (7) BJ. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BJ. Alih kode yang dilakukan Indra dapat dilihat pada percakapan (11) BI-BL, (13) BL, dan (15) BL. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BL.

Percakapan 2 Tempat Waktu Konteks Penutur a. Elsi (Flores) b. Teman Elsi (Flores) : antre mandi : : ruang TV Wisma Laswi : sore hari ( 16.00 WIB)

G. Pembahasan Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka pembahasan dibagi menjadi tiga bagian. Secara lengkap pembahasa tersebut sebagai berikut. 1. Penggunaan Alih Kode Penggunaan alih kode pada mahasiswa parantau dalam sosialisasi bahasa di Wisma Laswi dibagi berdasarkan asal daerah, yaitu dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok. Penggunaan alih kode tersebut dapat dilihat dari percakapan berikut. Percakapan 1 Tempat Waktu Konteks Penutur : ruang makan kos Wisma Laswi : malam hari ( pukul 18.30 WIB) : makan malam : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

c. Nana (A) (Cirebon) d. Dewi (Ambon) e. Nana (B) (Ambon)

Di suatu sore sebagain penghuni Wisma Laswi berkumpul di ruang TV. Sudah menjadi suatu rutinitas setelah seharian beraktivitas di luar atau kuliah penghuni Wisma Laswi berkumpul dan menonton TV bersama. Selain menonton TV seperti anak kos pada umumnya mereka bergantian mandi. Sambil menunggu antrean mandi mereka berbincang-bincang sambil menonton TV. Elsi : Ini acara apaan sih, bikin gemes! Nana (A) : Iya apaan itu, ganti aja El! Lihat berita aja!

Elsi : Remotnya rusak, kayaknya abis batre. Dewi Nana (A) : Itu minta uang kas sama Indra aja buat beli batre. : Itu sok aja pake batreku, kemaren aku abis beli.

a. Indra (Lombok/Suku Bima) b. Bapak Indra (Lombok/Suku Bima) c. Nurul (Banyumas/Suku Jawa) d. Meilan (Banyumas/Suku Jawa)

Elsi : Eh yang mandi giliran siapa? Itu si Nana (B) udah selesai. Dewi : Giliran aku yang mandi Dewi kemudian masuk kamar mandi setelah Nana (B) ke luar dan bergegas menuju kamarnya. Kemudian Dewi memanggil Nana (B) yang merupakan adik kandungnya karena handuk dan sabun mandinya ketinggalan di kamar. Dewi meminta Nana (B) untuk

Indra dan Nurul sedang asyik berbincang-bincang di ruang makan. Kemudian Meilan yang berada di kamarnya datang dan ikut bergabung dengan mereka. (1) (2) (3) (4) (5) Indra Nurul Indra Nurul Meilan : Rul, aku laper nih beli makan yuk! : Sama. Enaknya makan apa ya? : Aku udah bosen banget makan di sini nih. Kangen masakan ibuku. : Lah terus mau makan apa Ndra? : Pada mau beli makan ya? Mau beli apa si? (12) (8) Dewi (9) (10) (11)

mengambilkannya dan mengantarkan ke kamar mandi. : Ade, tolong ambil sabun deng handok di kamar do, akang ada tatinggal Nana (B): Dima Kakak? Di kamar seng ada. Dewi : Di atas kasor di dekat meja tu. Nana (B): Seng ada.

Nana (A): Ntos heunteu usah make sabun, mbeh ngirit atuh Neng Dewi! (meledek) (13) Elsi : Emangnya kamu mandi nggak pernah pakai sabun? (tertawa) Tiba-tiba dari lantai bawah teman Elsi dari Flores datang ingin meminjam buku.

: Koe pengin maem apa Mel? Aku bosen panganan neng kene enak-enak neng umah ya? : Ya mestilah Rul! Aku nitip kucingan siji baen ya karo gorengan siji wis. : Aku juga wis kucingan rong bungkus. Ayo Ndra, kita beli makan! (9) (10) Indra Meilan : Ah kamu Cuin, makan kucingan mulu! : Suka-suka dong! Saat Indra dan Nurul akan pergi membeli makan, tiba-tiba ayah Indra menelfon sehingga Nurul menunggu Indra selesai ditelfon. : Eh bentar-bentar Rul bapakku nelfon nih, Hallo Assalamualaikum Bapak ana napi? (12) (13) (14) (15) (16) Bapak : Berembe kabar pelinggih, sehat? Sampun mendaran? (14) (15) Teman Elsi Elsi (16) (17) (18) (19) (20) (21) Teman Elsi Elsi Temen Elsi Elsi Nana (A) Elsi

:Elsi pinjam laku aku buku penelitian dehau e? Aku bao sms hau landing toe balas! : Oh eng neka rabo, HP daku one kamar. Bao mai porong TV agu konco. : Nia naan buku hitu? Emi laku e. : Emi kaut one rak! : Eng ga. Kole aku ge. Tiba teing. : Toe ganda-ganda de ko? : Itu temanmu El? Ambil jurusan apa? : Kalau nggak salah ambil jurusan BK.

Indra : Niki baru mendaran Pak. Bapak : Bapak sampun transfer 500.000 coba dicek ya? Pada percakapan di atas umumnya menggunakan Bahasa Indonesia (BI) untuk bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kemultikulturalan yang ada di Wisma Laswi mengharuskan para penghuninya menggunakan BI karena berasal dari daerah yang berbeda. Di antara penggunaan BI dalam percakapan di atas terdapat alih kode ke dalam Bahasa Daerah seperti Bahasa Flores (BF), Bahasa Ambon (BA), dan Bahasa Cirebon (Bahasa Sunda). Berdasarkan dialog di atas alih kode yang terjadi dapat di kelompokkan sebagai berikut. Pada percakapan di atas antara Indra, Nurul, Meilan, dan ayah Indra terjadi alih kode dari Bahasa Indonesia (BJ) ke Bahasa Jawa (BJ/Banyumas) dan dari BI ke Bahasa Lombok. Antara Indra (Lombok) dan Nurul (Banyumas) awalnya bertutur dengan menggunakan Alih kode yang dilakukan Dewi dapat dilihat pada dialog nomor (6) BI, (7) BA, dan (9) BA. Alih kode yang terjadi adalah dari BI ke BA. Alih kode yang dilakukan Nana (A) dapat dilihat pada dialog nomor (5) BI dan (11) BC (Sunda). Alih kode yang terjadi adalah dari BI ke BC.

Indra : Nggih Pak niki sekalian lalo boya mendaran. Bapak : Ya udah ati-ati ya?

Alih kode yang dilakukan Elsi dapat dilihat pada dialog nomor (12), (14), (16), dan (18). Alih kode yang terjadi adalah dari BI ke BF.

Di suatu siang sambil menikmati es kelapa muda penghuni Wisma Laswi duduk santai sambil bercanda dan berbincangbincang tentang pernikahan.

Berdasarkan kedua percakapan di atas dapat diketahui bahwa penggunaan alih kode terjadi pada umumnya jika bertemu atau berdialog dengan sesama suku atau berasal dari daerah yang sama. Hal ini karena penghuni Wisma Laswi dihuni dari berbagai suku atau daerah yang berbeda, sehingga dalam berkomunikasi atau bersosialisasi menggunakan Bahasa Indonesia (BI) agar tidak terjadi salah paham. Akan tetapi, penghuni Wisma Laswi yang berpenghuni mahasiswa perantau tidak menutup diri terhadap bahasa daerah penghuni lain. Artinya dalam beberapa kesempatan atau jika sedang berkumpul sering kali saling belajar antar bahasa daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kemultikulturalan yang ada di Wisma Laswi tidak menjadi penghalang atau perpecahan antar suku dalam bersosialisasi. Akan tetapi, hal ini justru menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri sehingga semakin mempererat keakraban di antara penghuni Wisma Laswi yang notabennya sebagai mahasiswa pendatang atau perantau. Alih kode yang terjadi pada mahasiswa perantau dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural di Wisma Laswi misalnya sebagai berikut. 1) Ambon Dewi : Giliran aku yang mandi

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

Nana

: Eh kemaren lihat nikahannya Ayu Dewi nggak?

Dewi: Aku lihat Mbak, di Dahsyat kan live. Bagus lho Mbak? Nana : Aku seminar sih jadi nggak nonton deh! Emang gimana Wi?

Dewi: Mewah sama kental adat banget. Hantarannya 80 katanya barang mewah semua. Indra Nurul : Emang pake adat mana si? : Kayaknya bagus ya nikahan pake adat gitu, rasanya lebih sakral.

Dewi: Kemaren akad nikahnya sih pake adat Jawa, terus nanti resepsinya katanya pake adat Gorontalo ngikut suami. Nana Indra : Nikahanku entar pake adat juga ah! : Kalau aku sih harus di Lombok nika ro nekunya banyak, pokonya ngabisin duit. Mulai dari la lose ro la ludi, pancaran, hingga

upacara tawari atau pamaco. Dulu abangku pas nikahan juga gitu. (10) Nurul : Sama adat nikahannya orang Jawa juga banyak. Mulai dari nembung, lamaran, bleketepe, dodol dawet, midodareni , panggih, tandur. Tapi asyik bikin nikahan sakral. (11) (12) (13) Elsi : Kalau di Jawa ada uang susu nggak? peningsetan, siraman,

: Ade, tolong ambil sabun deng handok di kamar do, akang ada tatinggal Nana (B) Dewi Nana (B) 2) Banyumas Nurul Meilan : Lah terus mau makan apa Ndra? : Pada mau beli makan ya? Mau beli apa si? enak-enak neng umah ya? : Dima Kakak? Di kamar seng ada. : Di atas kasor di dekat meja tu. : Seng ada.

Nurul : Uang susu? Apaan itu El?? Elsi : Iya uang susu, uang tebusan untuk mempelai perempuan. Besarnya sesuai dengan tingkat pendidikan. Ada juga ling weling atau belis semacam maskawinlah.

(14) (15) (16)

Nana: Lah kalau S2 berapa tuh El? Elsi : Ya banyaklah, tapi bisa ditawar kok tergantung keputusan keluarga.

Dewi : Sama di Ambon juga ada, tapi besarnya tergantung ceweknya cantik apa enggak. Kalau cantik bakalan laku mahal loh! Makanya orang Ambon kalau punya anak cewek itu aset.

: Koe pengin maem apa Mel? Aku bosen panganan neng kene

: Ya mestilah Rul! Aku nitip kucingan siji baen ya karo gorengan siji wis. : Aku juga wis kucingan rong bungkus. Ayo Ndra, kita beli makan! 3) Cirebon Nana (A) : Itu sok aja pake batreku, kemaren aku abis beli.

(17)

Nurul : Kalau di Jawa sih tergantung kemampuan, kalau orang berada ya banyak kalau orang biasa ya sedang -sedang saja. Kalau nggak salah ada uang dapur juga namanya pekah.

(18) (19)

Nana: Nah kalau adat nikahan Ambon gimana itu Wi? Dewi : Ambon juga adatanya banyak, yang aku tahu sih mulai dari masuk minta kalau Jawanya itu nembung ya? Terus ada juga antar pakaian, basumpah kawin, sama piring balapis. Banyak deh, tapi aku nggak tahu pasti. Yang tahu itu tetua-tetuanya.

: Ntos heunteu usah make sabun, mbeh ngirit atuh Neng Dewi! (meledek) 4) Flores : Emangnya kamu mandi nggak pernah pakai sabun? (tertawa) :Elsi pinjam laku aku buku penelitian dehau e? Aku bao sms hau landing toe balas! : Oh eng neka rabo, HP daku one kamar. Bao mai porong TV agu konco. Teman Elsi Elsi Temen Elsi Elsi 5) Lombok : Eh bentar-bentar Rul bapakku nelfon nih, Hallo Assalamualaikum Bapak ana napi? Bapak Indra Bapak Indra Bapak : Berembe kabar pelinggih, sehat? Sampun mendaran? : Niki baru mendaran Pak. : Bapak sampun transfer 500.000 coba dicek ya? : Nggih Pak niki sekalian lalo boya mendaran. : Ya udah ati-ati ya? (19) : Nia naan buku hitu? Emi laku e. : Emi kaut one rak! : Eng ga. Kole aku ge. Tiba teing. : Toe ganda-ganda de ko? (22) (23) (24) (25) Elsi (20) (21)

Indra : Emang kalau di Cirebon gimana Na? Nana: Sebenarnya sama juga sih urutannya mulai dari njegog atau pinangan, seserahan, siram tawandari, parasan, tenteng penganten . Sama aku juga nggak tahu pasti kan belum nikah. (tertawa). : Kalau di Flores sih yang penting belisnya.

Nurul : Ngomong-ngmong siapa neh yang duluan mau nikah? Indra : Yuk nyari calon suaminya dulu! Nana: Aku sih hayuk aja deh!

Berdasarkan percakapan di atas dapat diketahui penggunaan campur kode antara masing-masing penutur berbeda, yaitu sesuai menggunakan bahasa atau istilah sesuai daerah asal masing-masing. Pengunaan campur kode tersebut misalnya dalam percakapan berikut ini. 1) Ambon Dewi : Ambon juga adatanya banyak, yang aku tahu sih mulai dari masuk minta kalau Jawanya itu nembung ya? Terus ada juga antar pakaian, basumpah kawin, sama piring balapis. Banyak deh, tapi aku nggak tahu pasti. Yang tahu itu tetua-tetuanya. Campur kode yang digunakan adalah istilah adat pernikahan Ambon, yaitu masuk minta, antar pakaian, basumpah kawin, dan sama piring balapis.

2. Penggunaan Campur Kode Penggunaan campur kode pada mahasiswa parantau dalam sosialisasi bahasa di Wisma Laswi sama halnya (10) dengan penggunaan alih kode, yaitu dibagi berdasarkan asal daerah, yaitu dari Ambon, Banyumas, Cirebon, Flores, dan Lombok. Penggunaan campur kode tersebut dapat dilihat dari percakapan berikut. Tempat Waktu Konteks Penutur a. Dewi (Ambon) b. Nurul (Banyumas) c. Nana (Cirebon) d. Elsi (Flores) e. Indra (Lombok) 4) Flores (13) Elsi : ruang makan Wisma Laswi : siang hari ( 13.30 WIB) : adat pernikahan : 3) Cirebon (21)

2) Banyumas Nurul : Sama adat nikahannya orang Jawa juga banyak. Mulai dari nembung, lamaran, bleketepe, dodol dawet, midodareni , panggih, tandur. Tapi asyik bikin nikahan sakral. Campur kode yang digunakan adalah istilah adat pernikahan Jawa, antara lain yaitu nembung, lamaran, bleketepe, dodol dawet, peningsetan, siraman, midodareni , panggih, tandur. peningsetan, siraman,

Nana

: Sebenarnya sama juga sih urutannya mulai dari njegog atau pinangan, seserahan, siram tawandari, parasan, tenteng penganten . Sama aku juga nggak tahu pasti kan belum nikah. (tertawa). Campur kode yang digunakan adalah istilah adat pernikahan daerah Cirebon antara lain, yaitu njegog atau pinangan, seserahan, siram tawandari, parasan, tenteng penganten .

: Iya uang susu, uang tebusan untuk mempelai per empuan. Besarnya sesuai dengan tingkat pendidikan. Ada juga ling weling atau belis semacam maskawinlah.

Campur kode yang digunakan adalah istilah adat pernikahan Flores antara lain yaitu ling weling atau belis. 5) Lombok Indra : Kalau aku sih harus di Lombok nika ro nekunya banyak, pokonya ngabisin duit. Mulai dari la lose ro la ludi, pancaran , hingga upacara tawari atau pamaco. Dulu abangku pas nikahan juga gitu. Campur kode yang digunakan adalah istilah adat pernikahan Lombok antara lain yaitu nika ro nekunya, la lose ro la ludi, pancaran, tawari atau pamaco.

3. Faktor Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode dalam Sosialisasi Bahasa Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kodedan campur kode dalam sosialisasi bahasa sehari-hari pada mahasiswa perantau dalam konteks multikultural di Wisma Laswi dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan atau dalam bertutur dengan teman sesuku atau berasala dari daerah yang sama.

Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama.

Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain. Di Wisma Laswi yang dihuni mahasiswa perantau dari berbagai daerah banyak terjadi alih kode dan campur kode sesuai dengan topik dan konteks pembicaraan.

Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon, atau melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.

Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam situasi bebas, santai dengan menggunakan ragam non -formal. Dalam ragam non-formal kadang kadang terjadi penyisipan unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non-ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode. Pembicaraan yang terjadi di Wiswa Laswi sering kali bersifat non-formal sehingga sering terjadi campur kode. f. Fungsi dan Tujuan Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi komunikasi. Alih kode dapat terjadi karena situasi dipandang tidak sesuai atau tidak relevan. Dengan demikian, alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih. g. Ragam dan Tingkat Tutur Bahasa Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan pada mitra tutur. Pertimbangan ini menunjukkan suatu pendirian terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Alih kode dan campur kode lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.

Anda mungkin juga menyukai