Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN

Definisi sindrom koroner akut tegantung pada ciri khusus pada masingmasing elemen dari trias berupa presentasi klinis (termasuk riwayat penyakit arteri koroner), perubahan elektrokardiografi dan marker biokimia jantung. Suatu sindrom koroner akut dapat terjadi tanpa adanya perubahan elektrokardiografi atau peningkatan marker biokimia, saat diagnosis didasari adanya riwayat penyakit arteri koroner sebelumnya atau pemeriksaan konfirmasi berikutnya.1 Di Amerika Serikat setiap tahun sebanyak 1 juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina pektoris tak stabil dan sekitar 6-8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tidak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan.2 Penatalaksanaan dini pada pasien dengan sindrom koroner akut ditentukan oleh adanya perubahan khas pada elektrokardiografi, berupa ada atau tidak adanya segmen ST elevasi. Kombinasi terhadap presentasi klinis, suatu elevasi segmen ST sindrom koroner akut didefinisikan sebagai adanya peningkatan > 1 mm ST segmen pada sekurangnya pada dua sadapan ekstremitas yang berdekatan, > 2 mm elevasi ST pada sekurangnya dua sadapan prekordial yang bersebelahan, atau adanya suatu bundle branch block yang baru. Dalam hal tidak adanya peningkatan segmen ST (non-ST segmen elevation acute coronary syndrome), penatalaksanaan pasien akan diawali dengan penanganan tanpa terapi reperfusi emergensi. 1 Salah satu terapi yang diberikan pada penderita sindrom koroner akut adalah antikoagulan. Antikoagulan standar yang dipakai berupa unfractionated heparin (UFH). Efek samping dan risiko perdarahan yang besar dapat terjadi pada pemberian unfractionated heparin, maka low molecular weight heparin (LWMH) telah menjadi alternatif yang lebih disukai pada kondisi ini. Namun efektifias pemberian jangka panjang untuk pencegahan komplikasi lanjut berupa kejadian reinfark miokard,

iskemia rekuren, ternyata tidak terlalu berbeda bila diberikan lebih dari delapan hari.1,2 Direct thrombin inhibitor merupakan antikoagulan dengan target spesifik pada trombin. Direct thrombin inhibitor memiliki efek antikoagulan yang dapat diprediksi dengan variabilitas individu yang kecil, tidak berinteraksi langsung terhadap trombosit atau protein plasma dan tidak memerlukan antitrombin sebagai kofaktor. 3 Tinjauan pustaka ini diangkat untuk memberikan gambaran dan pilihan terapi antikoagulan pada penderita sindrom koroner akut, sehingga terapi yang diberikan efektif dan dengan risiko yang mungkin timbul dapat diminimalisasi.

BAB II SINDROM KORONER AKUT

2.1

Definisi Istilah sindrom koroner akut merujuk pada adanya suatu keadaan iskemik akut

otot jantung. Sindrom koroner akut meliputi angina pektoris tidak stabil, non-elevasi segmen ST infark miokard (tidak ada elevasi segmen ST), dan elevasi segmen ST infark miokard (ada elevasi segmen ST yang menetap). Angina pektoris tidak stabil merupakan suatu sindrom klinis antara angina pektoris stabil dengan infark miokard akut. Ada tiga bentuk utama yang digambarkan; angina pektoris saat istirahat, angina pektoris yang baru terjadi (new onset), dan angina pektoris yang semakin meningkat.4,5 2.2 Tampilan Klinis pada Sindrom Koroner Akut Angina pektoris stabil ditandai oleh adanya gejala iskemik berupa perasaan tidak nyaman di dada oleh karena penyempitan arteri koroner, hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya hantaran oksigen untuk keperluan metabolisme otot jantung. Angina pektoris juga berhubungan dengan gejala lainnya, seperti berkeringat dingin, sakit kepala, mual, perasaan sempit, dan lelah. Angina pektoris tidak stabil secara klinis ditandai oleh perubahan bentuk angina pektoris stabil dengan gejala yang lebih sering atau lebih berat, gejala tidak hilang selama 20 menit atau lebih, atau berkembang menjadi angina pektoris saat istirahat. Istilah sindrom koroner akut mendeskripsikan spektrum kejadian angina tidak stabil hingga menjadi infark miokard.6

2.3

Patogenesis Proses utama suatu inisiasi sindrom koroner akut adalah adanya gangguan

terhadap plak aterom. Terjadi celah atau ruptur pada plak tersebut akan mengarah pada pembentukan trombin dan deposisi fibrin lokal. Terjadi peningkatan agregasi dan adhesi trombosit serta terbentuknya trombus intrakoroner. Angina tidak stabil dan non-Elevasi segmen ST infark miokard berhubungan dengan oklusi partial trombus berwarna putih dan kaya trombosit. Mikrotrombus dapat lepas dan menyebarkan emboli, menyebabkan iskemik dan infark. Sebaliknya, Elevasi segmen ST (atau gelombang Q) infark miokard berupa trombus putih, kaya fibrin, oklusif yang lebih stabil. 4,7

Gambar 1. Skema yang menggambarkan pembentukan plak aterosklerosis, diawali deposit lapisan lemak hingga terjadinya trombosis8.

Gambar 2. Spektrum sindrom koroner akut berdasarkan gambaran elektrokardiografi dan marker biokimia nekrosis miokard (troponin T, troponin I, dan creatine kinase myocard band), pada pasien dengan nyeri dada kardiak akut.4

2.4

Penatalaksanaan Agregasi trombosit dan pembentukan trombus merupakan peranan kunci

terjadinya sindrom koroner akut, penatalaksanaan lanjut (seperti pemberian glikoprotein IIb/IIIa inhibitor, low molecular weight heparin, dan clopidrogel), keamanan serta penggunaan yang luas atas percutaneous coronary intervention menyebabkan banyaknya pertanyaan mengenai managemen penatalaksanaan yang optimal. Pasien dengan angina pektoris tidak stabil atau non-elevasi segmen ST infark miokard mewakili kelompok heterogen atas tampilan spektrum klinis yang luas, tidak hanya meyakinkan pasien untuk menerima terapi yang paling sesuai atas faktor risiko yang dimiliki, tetapi juga menghindari potensi bahaya atas pengobatan yang

dilakukan. Oleh karena itu, diagnosis yang akurat dan estimasi faktor risiko terhadap efek samping pengobatan merupakan prasyarat pemilihan terapi yang paling sesuai.6,7

2.4.1

Strategi penanganan konservatif dibandingkan invasif dini. Terapi konservatif melibatkan managemen medis intensif, diikuti dengan

stratifikasi risiko dengan tes non invasif (biasanya dengan stres tes) untuk menentukan apakah pasien memerlukan angiografi koroner. Pendekatan ini berdasarkan hasil dari dua uji klinis acak (TIMI IIIB dan VANQWISH) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan hasil akhir atas strategi tindakan invasif dini bila dilakukan secara rutin, dibandingkan dengan pendekatan selektif. Namun hal tersebut bertolak belakang dengan uji klinis acak berikutnya (FRISC II, TACTICS-TIMI 18, dan RTA 3) yang menunjukkan manfaat atas penggunaan stent yang disertai glikoprotein IIb/IIIa inhibitor. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa strategi invasif dini (percutaneous coronary intervention atau coronary artery bypass) memberikan hasil akhir yang lebih baik dari pada terapi non-invasif. TACTIC-TIMMI 18 juga menunjukkan manfaat yang lebih besar atas pengobatan invasif dini terhadap pasien risiko tinggi, yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan konsentrasi troponin T plasma, sementara pada pasien dengan risiko rendah memiliki hasil akhir yang sama antara tindakan invasif dini dibandingkan dengan terapi non-invasif. 9

2.4.2

Identifikasi pasien risiko tinggi Identifikasi pasien dengan risiko tinggi terhadap kematian, infark miokard,

dan iskemia berulang yang perlu diberikan terapi antirombotik agresif dan angiografi koroner segera. Diagnosis awal dibuat berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, elektrokardiografi, dan peningkatan konsentrasi marker biokimia. Informasi yang sama juga digunakan untuk menilai risiko efek samping yang muncul.9

2.4.3

Skor risiko TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction) Usaha untuk membuat model formulasi faktor-faktor klinis lebih mudah

digunakan. Antman dan kawan-kawan telah mengidentifikasi tujuh faktor risiko prognostik bebas atas kematian awal dan infark miokard. Pasien dengan skor risiko TIMI 3 akan mendapat manfaat yang signifikan atas terapi invasif dini, semantara skor < 2 tidak akan bermanfaat. Oleh karena itu, pasien dengan skor risiko TIMI > 3 sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan angiografi segera (idealnya dalam 24 jam), dengan melihat revaskularisasi melalui percutaneous intervention atau operasi pintas. Sebagai tambahan, pasien dengan peningkatan marker troponin, elevasi ST segmen, atau hemodinamik yang tidak stabil sebaiknya juga segera menjalani angiografi.1,9,10 Tujuh variabel skor risiko TIMI : Usia > 65 tahun > 3 faktor risiko untuk penyakit arteri koroner > 50% stenosis koroner pada agiografi Perubahan ST segmen > 0,5 mm Peningkatan konsentrasi serum marker kardiak Penggunaan aspirin pada 7 hari sebelum kejadian

Skor < 2 , risiko rendah; skor > 2 risiko tinggi.

Gambar 3. Pintas manajeman pasien dengan angina pektoris tidak stabil atau nonelevasi segmen ST infark miokard 4

2.5 2.5.1

Terapi Antitrombosit Aspirin Dibandingkan dengan plasebo, aspirin mengurangi setengah kejadian

komplikasi vaskuler

pada pasien dengan angina tidak stabil (kematian

kardiovaskuler, infark miokard yang tidak fatal dan stroke yang tidak fatal), dan mengurangi sepertiga kejadian infark miokard akut.1

2.5.2

Kombinasi terapi aspirin dan clopidrogel

2.5.2.1 Sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST Pada uji klinis clopidogrel in unstable angina to prevent recurrent events
(CURE),

kombinasi aspirin (300 mg awal dan 75-150 mg harian) disertai clopidrogel


8

(300 mg awal dan 75 mg harian) lebih efektif dibandingkan aspirin saja. Kombinasi terapi lebih jauh menurunkan 2,1% absolute risk reduce (20% relative risk reduce) atas kombinasi hasil akhir terhadap kejadian kematian kardiovaskuler, stroke atau infark miokard pada pasien risiko tinggi (elektrokardiografi menunjukkan bukti iskemik atau peningkatan marker jantung) pada non-ST elevasi sindrom koroner akut. Manfaat tersebut terlihat pada 24 jam terapi dan utamanya karena reduksi infark miokard atau iskemik yang berkurang.1

2.5.2.2 Sindrom koroner akut elevasi segmen ST Penelitian CLARITY-TIMI 28 (clopidogrel 300 mg dilanjutkan 75 mg per hari) dan COMMIT/CCS (clopidogrel 75 mg per hari) menunjukkan peningkatan patensi (terbukanya lumen) pada arteri yang berhubungan dengan infark miokard dan mengurangi mortalitas bila terapi aspirin kombinasi clopidogrel risk reduce) didapatkan tanpa adanya peningkatan perdarahan mayor. 1 dibandingkan

terhadap aspirin saja. Reduksi atas angka kematian, reinfark atau stroke (9% relative

2.5.3

Glikoprotein IIB/IIIA antagonis reseptor.

2.5.3.1 Sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST Pasien risiko tinggi dengan non-ST elevasi sindom koroner akut sebaiknya diberikan glikoprotein IIb/IIIa antagonis reseptor, terutama bila pasien sedang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI).

2.5.3.2 Sindrom koroner akut elevasi segmen ST Hanya sedikit manfaat yang didapatkan bila glikoprotein IIb/IIIa antagonis reseptor diberikan pada kelompok pasien ini. Sedikit sekali mengurangi kejadian reinfark, terjadinya peningkatan perdarahan mayor dan tidak ada perbedaan pada angka mortalitas.1,4

2.5.4

Terapi Antikoagulan

2.5.4.1 Unfractionated Heparin Pada pasien dengan dengan sindrom koroner akut non elevasi segmen ST, pemberian unfractionated heparin dalam 48 jam mengurangi angka kematian maupun infark miokard. Sementara pada pasien dengan sindrom koroner akut elevasi segmen ST, bila disertai pemberian aspirin dan fibrinolitik, unfractionated heparin mengurangi angka kejadian reinfark.1,2,4

2.5.4.2 Low Molecular Weight Heparin (LMWH) 2.5.4.2.1 Sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST Chocrane telah mengulas tujuh randomised controlled trials (RCT) atas penggunaan LMWH dibandingkan dengan unfractionated heparin untuk mengurangi infark miokard dan kejadian prosedur revaskulariasi koroner. Kejadian mortalitas dan perdarahan mayor ternyata tidak berbeda. Penggunaan LMWH setelah rawat inap lebih dari delapan hari ternyata tidak bermanfaat. Bila disertai dengan penggunaan glikoprotein IIb/IIIa reseptor antagonis, efektifitas LWMH tidak lebih baik dibandingkan unfractionated heparin, tetapi komplikasi perdarahan lebih sedikit.

2.5.4.2.2 Sindrom koroner akut elevasi segmen ST RCT yang membandingkan LMWH dengan UFH pada sindrom koroner akut elevasi segmen ST, menunjukkan bahwa LMWH lebih menguntungkan, menurunkan angka infark miokard, dan rekuren iskemia. Namun terapi diatas tidak menurunkan insidens mortalitas, sehingga dikembangkanlah antikoagulan direct thrombin inhibitor.4

2.5.4.3 Direct Thrombin Inhibitor Suatu metaanalisis dari 11 uji acak menunjukkan superioritas direct thrombin inhibitor dibandingkan dengan UFH pada pasien sindrom koroner akut. Terjadi 20 % relative risk reduce atas reinfark dalam tujuh hari, dan terperlihara pada 30 hingga
10

180 hari. Meskipun tidak didapatkan perbedaan pada angka mortalitas. Dibandingkan dengan UFH, maka direct thrombin inhibitor tidak memiliki risiko perdarahan mayor, kecuali pada pasien sindrom koroner akut elevasi segmen ST yang disertai dengan pemberian trombolisis, terjadi 30% relative risk reduce reinfark selama empat hari yang diimbangi dengan peningkatan 32% risiko relatif atas perdarahan moderat.1,11 2.5.5 Terapi Fibrinolitik Penggunaan fibrinolitik streptokinase, anistreplase, dan tissue plasminogen activator menurunkan angka kematian dibandingkan dengan plasebo. Namun terapi tersebut bermanfaat pada pasien dengan sindrom koroner akut elevasi segmen ST, dan tidak berbeda bermakna pada pasien dengan sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST maupun angina pektoris tidak stabil.1,4

11

BAB III ANTIKOAGULAN

Antikoagulan merupakan substansi yang dapat mencegah pembekuan darah. Kelompok antikoagulan digunakan sebagai terapi medis gangguan trombosis, transfusi darah, dialisis ginjal serta mencegah pembekuan dalam tabung pemeriksaan darah. 12

3.1

Coumarin (Antagonis vitamin K) Merupakan antagonis vitamin K oral. Preparat yang tersedia adalah warfarin,

acenocoumarol. Diperlukan waktu 48 hingga 72 jam hingga efek antikoagulannya bekerja. Sering kali disertai dengan pemberian heparin bila diperlukan efek antikoagulan yang cepat. Antikoagulan ini digunakan untuk terapi pasien dengan deep vein thrombosis (DVT), emboli paru, atrial fibrilasi, dan katup jantung prostetik mekanis.

3.1.1

Mekanisme aksi Warfarin menghambat sintesis faktor pembekuan yang tergantung vitamin K

yaitu faktor II, VII, IX dan X, serta regulasi protein C dan protein S. Prekursor faktor pembekuan ini memerlukan karboksilasi residu asam glutamat agar faktor pembekuan terikat pada permukaan fosfolipid endotel pembuluh darah. Enzim yang digunakan untuk karboksilasi asam glutamat adalah gamma-glutamyl carboxyalase. Reaksi karboksilasi akan terjadi bila enzim karboksilase dapat mengubah bentuk reduksi vitamin K (vitamin K hydroquinone) menjadi vitamin K epoxide. Vitamin K epoxide diubah kembali menjadi vitamin K dan vitamin K hydroquinone oleh enzim vitamin K epoxide reduktase (VKOR). Warfarin menghambat epoxide reduktase (khususnya subunit (VKORC1), sehingga menghilangkan kemampuan vitamin K dan vitamin K hydroquinone dalam

12

jaringan, yang menghambat aktifitas karboksilasi glutamil karboksilase. Bila ini terjadi, faktor pembekuan tidak dapat lagi meng-karboksilasi residu asam glutamat, dan tidak dapat terikat pada permukaan endotel pembuluh darah, sehingga menjadi tidak aktif. Faktor pembekuan yang aktif, yang telah diproduksi sebelumnya akan mengalami degradasi (dalam beberapa hari) dan digantikan oleh faktor pembekuan yang tidak aktif, sehingga efek antikoagulan menjadi nyata.13 Protein C dan protein S juga bergantung pada aktifitas vitamin K, sehingga warfarin juga menyebabkan penurunan kadar protein C dan protein S. penurunan kadar protein S akan menyebabkan penurunan aktifitas protein C (yang berfungsi sebagai kofaktor) sehingga mengurangi degradasi faktor Va dan faktor VIIIa. Efek antitrombosis tidak akan tampak hingga terjadi pengurangan yang signifikan atas faktor II yang terjadi beberapa hari kemudian. Sehingga, untuk mendapatkan efek antikoagulan yang cepat, perlu ditambahkan heparin.14

3.2

Heparin Heparin, yang juga di kenal sebagai unfractionated heparin (UFH),

merupakan glikosaminoglikan sulfat tinggi, yang digunakan sebagai antikoagulan injeksi. Meskipun digunakan sebagai antikoagulan utama dalam pengobatan, peranan fisiologis di dalam tubuh masih belum jelas, karena antikoagulan darah yang diterima kebanyakan berupa derivat proteoglikan heparin sulfat dari sel endotel.15 Heparin biasanya disimpan dalam granula sekretori sel mast dan hanya dilepaskan ke pembuluh darah yang mengalami cedera. Telah diusulkan bahwa heparin memiliki kegunaan utama selain sebagai antikoagulan, yaitu sebagai mekanisme pertahanan terhadap invasi bakteri atau material asing.

3.2.1

Mekanisme Kerja Heparin dan derivat low molecular weight heparin (enoxaparin, dalteparin,

tinzaparin) efektif untuk mencegah deep vein thromboses dan emboli pulmonal pada pasien yang berisiko,16 namun tidak ada bukti bahwa salah satu terapi lebih efektif
13

dari pada yang lain dalam mencegah mortalitas. Heparin terikat pada enzim inhibitor antitrombin III yang menyebabkan antitrombin III menjadi aktif. Aktifasi antitrombin III kemudian menginaktifasi trombin dan protesase lain yang terlibat dalam pembekuan darah, terutama faktor Xa. Kecepatan inaktifasi protease oleh antitrombin III dapat meningkat hingga 1000 kali karena ikatan heparin.17 Perubahan antitrombin III karena ikatan dengan heparin akan menginhibisi faktor Xa. Untuk menghambat trombin, maka trombin juga harus mengikat polimer heparin pada situs proximal pentasakarida. Terbentuknya komplek antara antitrombin III, trombin dan heparin menyebabkan inaktifasi trombin. Untuk alasan tersebut, aktivitas heparin melawan trombin tergantung dengan ukurannya, ternary complex memerlukan sedikitnya 18 unit sakarida untuk formasi yang efesien. Sementara aktifitas anti faktor Xa hanya memerlukan satu ikatan. Hal tersebut mengarahkan dikembangkannya low molecular weight heparin (LMWH), serta fondaparinux sebagai antikoagulan. Target terapi LMWH dan fondaparinux berupa anti faktor Xa dari pada anti-trombin (IIa). Fondaparinux merupakan pentasakarida sintetik, yang memiliki struktur yang nyaris identik dengan rangkaian pentasakarida (dapat ditemukan pada polimer heparin dan heparin sulfat) yang terikat pada antritrombin III. LMWH dan fondaparinux mengurangi risiko osteoporosis dan heparin induced thrombocytopenia (HIT). Tidak diperlukan monitoring activated partial thromboplastin time (aPTT), karena aPTT tidak sensitif terhadap perubahan faktor Xa. Sementara efek heparin diukur dengan activated thromboplastin time (aPTT).17

3.3

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) Heparin merupakan polisakarida dengan panjang rantai dan berat molekul

yang bervariasi. Berat molekul unfractionated heparin antara 5000 hingga 40.000 dalton. Berbeda dengan LMWH, yang terdiri dari polisakarida rantai pendek dan berat molekul yang ringan. LMWH didefinisikan sebagai garam heparin dengan berat

14

molekul rata-rata kurang dari 5000 dalton, dan didapatkan dengan cara fraksinasi atau depolimerisasi heparin.18

3.3.1 Aktifitas anti faktor Xa Efek LMWH tidak dapat diukur dengan menggunakan tes partial thromboplastin time (PTT) atau activated clotting time (ACT). Terapi LMWH dimonitor dengan menggunakan anti-factor Xa assay, mengukur aktifitas antifaktor Xa. Sementara aktifitas antifaktor Xa relatif tidak berpengaruh pada heparin dengan molekul yang berat dan karenanya kurang terpengaruh oleh efek potent antagonis heparin yang dapat dilepaskan oleh trombosit. Metodelogi pemeriksaan anti-faktor Xa adalah memeriksa sejumlah residu faktor Xa dengan menambahkan substrat kromogenik yang menyerupai substrat alami faktor Xa, membuat residu faktor Xa dipecahkan, melepaskan senyawa berwarna yang dapat dideteksi oleh

spektrofotometer. LMWH memiliki rasio anti-faktor Xa terhadap anti-trombin sebesar lebih dari 1,5.18 LMWH memiliki perbedaan dengan unfrationated heparin berupa: Berat molekul rata-rata : unfractionated heparin 15 kDa dan LMWH 4,5 kDa Tidak memerlukan monitor parameter koagulasi aPTT Risiko perdarahan yang lebih kecil Risiko osteoporosis yang lebih kecil pada penggunaan jangka panjang Efek antikoagulan pada unfractionated heparin dapat reversibel dengan protamin sulfat, namun pada LMWH efek protemin sulfat terbatas. Efek yang kurang terhadap trombin dibandingkan heparin

15

3.4

Direct thrombin inhibitor (DTI) Antikoagulan lainnya adalah direct thrombin inhibitor. Termasuk dalam

kelompok ini adalah lepirudin, bivalirudin, argatroban dan dabigatran. Suatu oral direct thrombin inhibitor, ximelagatran telah ditolak oleh Food and Drug Administration (FDA) pada september 2004 dan ditarik dari pasaran pada Februari 2006 atas laporan adanya gangguan fungsi hati yang berat. Pada november 2010, Dabigatran oral telah disetujui oleh FDA untuk terapi pada pasien dengan atrial fibrilasi.11, 19

3.5

Antikoagulan lainnya Digunakan dalam instrumen laboratorium, tabung tes, kantung transfusi.

Kebanyakan bekerja dengan mengikat ion kalsium, mencegah pembekuan darah. Yang tersedia adalah, ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), sitrat, dan oxalat.

3.6

Indikasi terapi Antikoagulan digunakan sebagai terapi pada pasien dengan atrial fibrilasi,

emboli pulmonal, deep vein thrombosis (DVT), venous thromboembolism (VTE), stroke, infark miokard dan hiperkoagubilitas didapat atau genetik.12

16

BAB IV DIRECT THROMBIN INHIBITOR

Terapi antikoagulan untuk klinis dimulai sejak keberhasilan isolasi glikosaminoglikan sulfat dari hati anjing, yang disebut dengan heparin, oleh Howell tahun 1923 dan digunakan untuk pengobatan emboli trombus tahun 1939. Kemudian, bishidroksikoumarin dinyatakan sebagai antagonis vitamin K, dan diakui memiliki potensi sebagai terapi oral pada penyakit tromboemboli. Pengakuan tersebut memicu pengembangan struktur antagonis lainnya untuk kepentingan klinis. Manfaat dari preparat tersebut kemudian digunakan sebagai profilaksis tindakan bedah dan nonbedah. Obat-obat tersebut secara umum memiliki efek samping yang bervariasi, interaksi antar obat yang kompleks dan multipel, dan tidak memadai sebagai profilaksis. Isu dan masalah tersebut mengarahkan pencarian obat yang lebih efektif, kurang toksik, dan target yang lebih baik.20

4.1

Struktur Ada dua kelompok direct thrombin inhibitor : inhibitor divalent dan inhibitor

monovalen. Divalent inhibitor mengikat substrate recognition site (exosite 1) dan catalytic site trombin. Monovalen inhibitor hanya mengikat catalytic site. Termasuk dalam kelompok bivalen inhibitor adalah desirudin, lepirudin, dan bivalirudin (bentuk rekombinan ekstrak hirudin lintah). Kelompok monovalen inhibitor adalah argratoban, ximelagatran, dan melagatran.3,11

4.1.1

Kelompok 1: Desirudin, Lepirudin, dan Bivalirudin Desirudin dan lepirudin rekombinan terdiri dari 65 asam amino polipeptida

yang berbeda dari hirudin melalui sulfasi C-terminal tyrosin dan melalui perubahan isoleusin menjadi leusin. Ukuran 7 kDa. Bagian terminal amino dari bentuk polipeptida globuler mengikat catalytic site trombin, sementara terminal carboxy dua

17

belas mengurangi pembentukan dan perluasan interaksi dengan mengikat exosite 1 fibrinogen. Ikatan peptida dengan trombin bersifat irreversibel dan menghambat pemecahan fibrinogen menjadi fibrin. Ikatan pada substat tersebut memerlukan akses exosite 1, karenanya peptida-peptida tersebut tidak menghambat trombin yang telah terikat dengan fibrinogen. Bivalirudin merupakan derivat 20 asam amino hirudin. Amino terminal terdiri dari rangkaian situs inhibitor aktif, D-Phe-Pro-Arg, yang terhubung dengan rantai tetra-glisin yang fleksibel dengan dua belas asam amino dari carboxy terminal hirudin yang terikat pada exosite 1. Ikatan Pro-Arg- peptida dapat dipecah secara lambat oleh catalytic site trombin, oleh karenanya fungsi bivalirudin dapat menghambat secara reversibel dan memiliki waktu paruh yang pendek (20 hingga 30 menit). 3,11

4.1.2

Kelompok 2 : Argatroban, Dabigatran, Ximelagatran, dan Melagatran Merupakan inhibitor monovalen yang memiliki ikatan reversibel dan afinitas

yang tinggi terhadap trombin. Kelompok ini merupakan molekul sintetis kecil yang merupakan turunan modifikasi N-tosyl-L-arginine methyl ester. Suatu struktur kristal kompleks antara trombin dan argatroban menunjukkan bahwa ikatan inhibitor pada kantung hidrofobik dalam catalytic site trombin. Ximelagatran merupakan pro-drug dan bentuk metabolit aktifnya berupa peptidomietik sintetis kecil yang menyerupai rangkaian D-Phe-Pro-Arg tripeptide bivalirudin. Dabigatran etexilate mesilate merupakan prodrug yang menjadi senyawa aktif setelah dimetabolisme dihati menjadi dabigatran. Dabigaran juga memiliki reversibilitas dan afinitas yang tinggi terhadap inhibisi trombin. Dabigatran tidak memerlukan monitoring rutin koagulan, tidak memerlukan titrasi dosis, efek antikoagulan yang konsisten dan dapat diprediksi, mula kerja yang cepat, tidak diperlukan pembatasan diet makanan serta tidak memiliki interaksi antar obat. 11,21,22

18

4.2 Mekanisme Kerja Setelah pembuluh darah mengalami jejas, faktor jaringan terpapar pada permukaan endotelium yang rusak. Interaksi faktor jaringan dengan plasma faktor VII mengaktifkan kaskade koagulasi, menghasilkan trombin melalui tahapan aktifasi seri proenzim. Aktifasi faktor V, VIII, dan XI, akan membentuk trombin lebih banyak lagi dan menstimulasi trombosit. Trombin merupakan sentral dari proses pembekuan. Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Lebih lanjut, aktifasi faktor XIII, akan membentuk anyaman ikatan fibrin, menstabilkan bekuan. Kaskade koagulasi diregulasi oleh antikoagulan alamiah, sistem protein C dan protein S, dan antitrombin, yang akan membantu membatasi pembentukan plak hemostasis pada tempat jejas.20,22

DTI

Gambar 5. Target Intervensi kaskade koagulasi 11,22

4.3 Perbedaan dengan Heparin Heparin bekerja dengan mengikat dan mengkatalisis aktifitas antitrombin. Kompleks heparin-antitrombin akhirnya menghambat aktifitas faktor Xa dan IIa (trombin). Sebagai tambahan, UFH menghambat trombin dengan cara mengikat

19

antitrombin secara simultan dan menjaga kelangsungan kedua molekul tersebut. Heparin tidak dapat menghambat trombin yang telah terikat dengan fibrin, dan trombin yang terikat dengan fibrin degradation products (FDS). Heparin yang terikat pada sel endotel dan plasma protein akan membatasi avaibilitasnya untuk berikteraksi dengan antitrombin sehingga mengurangi efek potensial antikoagulan dari heparin. Sementara rantai LMWH tidak cukup panjang untuk menjembatani trombin ke antitrombin, sehingga kondisi tersebut menyebabkan faktor Xa lebih banyak dihambat dari pada inhibisi trombin.22,23 Obat penghambat trombin dapat memblokade aksi trombin dengan ikatan pada tiga tempat: active site, catalytic site, dan dua exosite. Exosite 1 merupakan tempat ikatan fibrin, dengan demikian peptida yang sesuai akan terikat pada active site. Exosite 2 sebagai tempat ikatan heparin. Trombin oleh low molecul weight heparins (LMWH) diikat secara tidak langsung. LMWH mengkatalisis fungsi antitrombin. Suatu kompleks heparin-trombin-antitrombin terbentuk bila heparin beserta antitrombin mengikat secara terus-menerus pada exosite 2 trombin. Selanjutnya, heparin menjadi jembatan antara trombin dan fibrin dengan mengikat fibrin dan exosite 2. Karena kedua trombin exosite digunakan oleh kompleks fibrinheparin-trombin, aktifitas enzimatik trombin diproteksi dari inaktifasi oleh komplek heparin-antitrombin. Maka dari itu, heparin memiliki kemampuan reduksi dan inhibisi ikatan fibrin-trombin, yang tampak mengganggu, karena trombin yang aktif dapat memicu terjadinya pembentukan trombus.22 Direct thrombin inhibitor dapat bereaksi tanpa terikat dengan antitrombin. Direct thrombin inhibitor dapat menghambat ikatan trombin terhadap fibrin atau fibrin degeneration products (FDP). Direct thrombin inhibitor bivalen memblokade trombin pada active site dan exosite 1, sementara direct thrombin inhibitor monovalen hanya mengikat active site. Termasuk dalam kelompok direct thrombin inhibitor bivalen adalah hirudin, bivalirudin, lepirudin dan desirudin. Sementara kelompok direct thrombin inhibitor monovalen adalah argatroban, dabigatran, melagatran dan ximelagatran. Hirudin alamiah dan rekombinant (lepirudin dan
20

desirudin) membentuk suatu kompleks irreversibel stochiometric 1:1 pada trombin. Hirudin sintetik (bivalirudin) dengan cara yang sama mengikat active site dan exosite 1, tetapi saat terikat, bivalirudin tersebut dipecah oleh trombin, sehingga fungsi active site trombin mengalami restorasi. Karena itu, bivalirudin menghasilkan inhibisi trombin sementara.11,22 Dengan berinteraksi hanya pada active site, direct thrombin inhibitor uinvalent menginaktifasi ikatan fibrin trombin. Argatroban dan melagatran memisahkan fibrin dari trombin, meninggalkan enzim trombin aktif dalam jumlah sedikit untuk interaksi hemostasis. Dengan mengurangi aktifasi trombosit yang dimediasi oleh trombin, direct thrombin inhibitor juga memiliki efek antitrombosit. Karena direct thrombin inhibitor tidak terikat dengan protein plasma, maka direct thrombin inhibitor akan menghasilkan respon yang dapat diprediksi dari pada unfractionated heparin.22

Gambar 6. Tiga tempat ikatan pada molekul trombin 22

21

Gambar 7. Mekanisme aksi direct thrombin inhibitor dibandingkan dengan heparin.11 Keterangan gambar : Tanpa heparin, kecepatan inaktifasi trombin oleh antitrombin relatif rendah, namun setelah perubahan conformational change yang diinduksi oleh heparin, antitrombin terikat irreversibel dan menghambat active site trombin. Oleh karena itu, aktifitas antikoagulan heparin berasal dari kemampuannya untuk menghasilkan komplek heparin-trombin-antitrombin. Aktifitas direct thrombin inhibitor lebih independen, tidak memerlukan antitrombin dan berikteraksi langsung dengan molekul trombin. Meskipun direct thrombin inhibitor bivalen menigkat exosite 1 dan active site secara simultan, direct thrombin inhibitor univalen berikteraksi hanya pada active site. Pada kadar yang rendah, kompleks heparinantirombin tidak dapat mengikat trombin yang terikat fibrin, sementara direct thrombin inhibitor dapat mengikat dan menghambat aktifitas trombin tidak hanya pada trombin yang larut namun juga pada trombin yang terikat fibrin pada bekuan darah.11

22

BAB V PERAN DIRECT THROMBIN INHIBITOR PADA SINDROM KORONER AKUT

Beberapa direct thrombin inhibitor, seperti hirudin, bivalirudin, ximelagatran, melagatran, dan dabigatran, baik sendiri maupun kombinasi, telah menjalani evaluasi yang luas pada penelitian fase 3 terhadap pencegahan dan pengobatan trombosis arteri dan vena. Food and drug administration (FDA) telah menyetujui empat direct thrombin inhibitor parenteral. Hirudin dan argatroban untuk pengobatan heparininduced thrombocytopenia (HIT), bivalirudin sebagai alternatif terhadap heparin pada percutaneous coronary intervention (PCI), dan desirudin sebagai profilaksis tromboemboli pada operasi tulang pinggul. Pada tahun 2010, FDA menyetujui dabigatran sebagai terapi atrial fibrilasi.11, 22, 23

5.1

Sindrom Koroner Akut dengan atau tanpa Percutaneous Coronary Intervention Pasien dengan sindroma koroner akut (infark miokard akut, baik dengan atau

tanpa ST-segmen elevasi, dan unstable angina) tetap berisiko terhadap terjadinya iskemik miokard yang berulang, sehingga diperlukan terapi dengan aspirin, clopidogrel, dan heparin.1,2 Peran direct thrombin inhibitor pada manajemen sindrom koroner akut telah diulas pada penelitian meta analisis Direct Thrombin Inhibitor Trialists Collaborative Group. Telah dikumpulkan sebelas uji acak, dengan jumlah 35.970 pasien yang telah menyetujui menggunakan direct thrombin inhibitor atau unfractionated heparin dari 24 jam hingga 7 hari kemudian, dan pasien dipantau setidaknya selama 30 hari. Dibandingkan dengan heparin, direct thrombin inhibitor dapat mengurangi insiden kematian dan miokard infark pada akhir pengobatan dan tiga puluh hari. Perbedaan yang bermakna terutama pada reduksi infark miokard, sementara insiden kematian

23

perbedaannya tidak bermakna. Analisis berdasarkan bahan obat menyatakan bahwa hirudin dan bivalirudin memberikan manfaat yang sama, terjadi sedikit peningkatan yang tidak bermakna atas insiden kematian dan infark miokard. Perdarahan yang serius lebih sering terjadi pada hirudin dibandingkan dengan heparin namun jarang sekali pada bivalirudin dan inhibitor univalen.11,24,25,26

Gambar 4. Patofisilogi heparin induced thrombocytopenia (HIT)27 Keterangan : Patogenesis HIT: Heparin terikat pada platelet faktor 4 (PF4), yang mengekspos neoepitop PF4 dan memicu terbentuknya antibodi (1). Terbentuk kompleks imun heparin-PF4-IgG (2), dan IgG pda kompleks multimolekuler memicu aktifasi trombosit via ikatan pada Fc reseptor (3). Aktifasi trombosit melepaskan PF4 tambahan (4a) dan mikropartikel protrombotik trombosit (4b), yang akan memperkuat reaksi koagulasi. Risiko trombosis lebih jauh ditingkatkan oleh ikatan dari PF4 terhadap heparin-like molecules pada EC, berkontribusi terhadap antibodi yang dimediasi oleh cedera endotel. Singkatan : HIT, heparin induced thrombocytopenia; PF4, platelet factor 4; EC, endothelial cells.

24

Pada tahun 2001 telah didapatkan data penelitian klinis acak pada sindrom koroner akut. Pada penelitian tersebut, dilakukan penelitian pada pasien dengan infark miokard elevasi segmen ST yang telah menerima bivalirudin atau unfractionated heparin yang dikombinasikan dengan streptokinase. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dalam observasi selama tiga puluh hari terhadap angka kematian dari kedua kelompok perlakuan, meskipun bivalirudin menunjukkan manfaat pada kejadian reinfark dalam 96 jam. Selain itu, hasil meta analisis menunjukkan bahwa perdarahan yang serius tidak lebih rendah pada bivalirudin.11 Telah banyak penilaian yang dilakukan atas peranan direct thrombin inhibitor pada sindrom koroner akut. Dalam ulasan penelitian meta analisis dan Hirulog and Early Reperfusion or Occlusion 2 (HERO-2), direct thrombin inhibitor telah dibandingkan dengan unfractionated heparin. Namun demikian, sejumlah analisis memperkirakan bahwa low molecul weight heparin mungkin lebih superior dibandingkan dengan unfractionated heparin pada pasien dengan unstable angina dan infark miokard. Lebih lanjut, terapi agresif dengan antiplatelet telah menjadi standar pengobatan pada sindrom korener akut, sementara peranan direct thrombin inhibitor yang dikombinasikan dengan aspirin dan clopidogrel, serta inhibitor glikoprotein IIb/IIIa belum ditegakkan. Hirudin bukanlah pilihan terapi yang menarik bagi pasien dengan sindrom koroner akut, karena observasi selanjutnya menunjukkan peningkatan perdarahan, serta biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan unfractionated heparin. Bivalirudin juga tidak lebih aman atau lebih bermanfaat dibandinkan unfractionated heparin dan tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan penyakit tersebut.11

5.2

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Pasien yang menjalani percutaneous coronary Intervention (PCI) tidak

mendapatkan manfaat klinis yang signifikan bila diberikan hirudin dan bivalirudin dibandingkan dengan unfractionated heparin. Tetapi kejadian perdarahan yang serius lebih sedikit pada hirudin dan bivalirudin dibandingakan unfractionated heparin.11
25

Bivalirudin telah dibandingkan dengan heparin selama prosedur angioplasti pada post infark miokard dan unstable angina. Penilaian atas kejadian kematian, infark miokard, dan revaskularisasi pada 7 dan 90 hari, lebih sedikit pada bivalirudin, terutama diperlihatkan dari kebutuhan akan tindakan revaskularisasi. Pada hari ke 90, perdarahan serius bekurang secara signifikan pada grup bivalirudin (3,7 persen vs 9,3 persen).25,26,28 Dalam penelitian Randomized Evaluation in Percutaneous Coronary Intervention Linking Angiomax to Reduced Clinical Events 2 (REPLACE-2), pasien yang menjalani PCI elektif atau segera, secara acak menerima unfractionated heparin plus inhibitor glikoprotein IIb/IIIa atau menerima bivalirudin dan ditambahkan inhibitor glikoprotein IIb/IIIa hanya bila terjadi komplikasi selama prosedur tindakan. Hasil gabungan penilaian manfaat dan keamanan mengenai angka kematian, infark miokard, pengulangan revaskularisasi urgensi, dan perdarahan serius ternyata tidaklah bermakna antara kedua grup. Namun, penggunaan bivalirudin berhubungan dengan kejadian perdarahan serius yang lebih rendah. Hanya 7,2 persen yang menerima bivalirudin diberikan tambahan inhibitor GPIIb/IIIa, sehingga biaya pengobatan menjadi lebih lendah. Disimpulkan bahwa bivalirudin tampaknya lebih aman dibandingkan heparin pada pasien yang mejalani prosedur PCI.25 ,26,28

5.3

Terapi Jangka Panjang Sindrom Koroner Akut Pada pasien sindrom koroner akut, pemberian aspirin telah mengurangi risiko

relatif kejadian iskemik sebanyak 23 persen. Kemudian penambahan antagonis vitamin K mengurangi komplikasi kardiovaskuler, namun memerlukan biaya yang lebih mahal. Terapi jangka panjang dengan low molecular weight heparin tidak menunjukkan manfaat tambahan dari pada pemberian dengan aspirin saja. Peranan direct thrombin inhibitor pada profilaksis jangka panjang pada pasien yang juga menggunakan aspirin, telah diteliti pada Efficacy and Safety of the Oral Direct Thrombin Inhibitor Ximelagatran in Patients with Recent Myocardial Damage (ESTEEM). Empat dosis oral Ximelagatran telah dibandingkan dengan plasebo pada
26

pasien dengan infark miokard. Ximelagatran secara bermakna telah mengurangi insiden mortalitas, infark miokard nonfatal, dan iskemia berat yang berulang selama periode enam bulan pengobatan dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan ximelagatran tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian perdarahan yang lebih serius dibandingkan dengan penggunaan aspirin saja, namun risiko total perdarahan menjadi lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan dosis. Peningkatan alanin aminotransferase tiga kali lipat atau lebih dari limit normal terjadi pada 11 persen pasien yang diterapi dengan ximelagatran dibandingkan 2 persen pasien yang menerima plasebo. Namun tahun 2004, obat ini tidak disetujui oleh FDA, karena efek samping pada gangguan fungsi hati dan telah ditarik di pasaran pada tahun 2006.11,27,29 Sediaan oral lainnya adalah dabigatran. Preparat ini telah disetujui di Eropa, Kanada dan Jepang pada tahun 2008 sebagai profilaksis dan terapi venous thromboembolism pada pasien pasca operasi total penggantian lutut dan pinggul. Agen ini akhirnya disetujui oleh FDA Amerika Serikat pada tahun 2010 sebagai terapi atrial fibrilasi.19,30,

27

BAB VI EFEK SAMPING DIRECT THROMBIN INHIBITOR PADA SINDROM KORONER AKUT

Terdapat sejumlah efek samping penggunaan antikoagulan pada sindrom koroner akut. Efek samping yang paling berbahaya adalah perdarahan mayor. Perdarahan mayor (major bleeding) adalah:22,32 Terjadinya perdarahan yang nyata secara klinis Memerlukan transfusi darah > 2 unit packed red cell atau whole blood Terjadi penurunan haemoglobin 2 g/dl

6.1

Dabigatran Dispepsia dan gastritis (35% dibandingkan dengan warfarin 24%) bukan

perdarahan major (16,6% dibandingkan warfarin 18,4%), perdarahan mayor (3,3% dibandingkan warfarin 3,6%), peningkatan alanin aminotransferase (ALT) > 3 kali batas normal (3%), perdarahan intrakranial (0,3% dibandingkan warfarin 0,8%), hipersensitif, termasuk urtikaria, pruritus, ruam (<0,1%) 31,32

6.2

Argatroban Perdarahan gastrointestinal (14%), hematuria (12%), penurunan hemoglobin

dan hematokrit (10%), perdarahan mayor (5,3%) 33

6.3

Ximelagatran Peningkatan alanin aminotransferase (ALT) > 3 kali batas normal (6-12%),

perdarahan mayor (0,9% dibandingkan warfarin 0,5%), perdarahan mayor dan minor (5,1% dibandingkan warfarin 4,1%)34,35

28

6.4

Bivalirudin Perdarahan mayor, nyeri punggung (42%), sakit kepala (12%), hipotensi

(12%), hipertensi, bradikardi, mual, muntah dispepsia , insomnia (<5%)36

6.5

Lepirudin Perdarahan mayor (19,5%), perdarahan pada tempat injeksi (14%), anemia

(12%), hematom (11%), perdarahan (<11%), hematuria (7%), abnormalitas fungsi hati (5%), pneumonia (5%).37

6.6

Desirudin Perdarahan mayor dan minor (30%), anemia (3%), tromboflebitis (2%), mual

(2%), reaksi alergi (2%). Kurang dari 1% ; perdarahan mayor, hipotensi, edem tungkai, demam, hematuria, sakit kepala, epistaksis, muntah, hematemesis.38

29

BAB VII MONITORING DIRECT THROMBIN INHIBITOR

7.1 Rentang terapi dan monitoring Rekombinan hirudin perlu dimonitor dengan menggunakan activated partial thromboplastin time (aPTT). Lepirudin dimonitor sejak empat jam setelah terapi inisial dan tiap perubahan dosis dan setiap hari berikutnya. Target aPTT adalah 1,5 hingga 2,5 kali rata-rata nilai referensi. Di sisi lain, desirudin hanya perlu dimonitor bila pasein memiliki insufisiensi renal atau adanya peningkatan risiko perdarahan. Bila perlu, aPTT harus diperiksa setiap hari. Namun demikian, aPTT bukanlah monitor yang ideal untuk hirudin pada tingkat dosis yang tinggi, karena tidak ada hubungan linier terhadap peningkatan respon dosis. Pada saat diperlukan dosis tinggi seperti operasi bypass kardiopulmonal, respon aPTT tetap datar sehinga perlu digunakan ecarin clotting time (ECT) untuk memonitor terapi dengan hirudin. Bivalirudin dapat dimonitor dengan activated clotting time (ACT). Namun, hanya perlu dimonitor pada pasien dengan insufisiensi renal atau risiko perdarahan yang meningkat. Argatroban sebaiknya dimonitor dengan aPTT atau ACT. Nilai aPTT harus diukur setiap dua jam sejak terapi inisial hingga rentang terapi mencapai 1,5 hingga 3 kali nilai dasar aPTT didapatkan. Untungnya melagatran, ximelagatran, serta dabigatran memiliki respon antikoagulan yang dapat diprediksi sehingga tidak memerlukan monitor pada kebanyakan pasien. Nilai aPTT tidak memiliki korelasi terhadap manfaat dan risiko perdarahan. 3,22,30

30

Tabel 1. Direct Thrombin Inhibitor3


Direct Thrombin Inhibitor Argatroban Pemberian Waktu Paruh Klirens Dosis Monitor

Intravena

39-51 menit

Hepar

HIT 2 ug/kg/mnt PCT pada HIT -

Bivalirudin

Intravena

20-30 menit

80% metabolit plasma, 20% renal

0,75 mg/kg BB bolus, disertai infus 1,75 mg/kg/jam selama PTCA atau PCI

Lepirudin Ximelagran

Intravena Oral

60 menit 1,5-4 jam

Renal. Renal

0,15 mg/kg/jam Ximelagtran 24 mg, dua kali sehari 150 mg, dua kali sehari

Monitor aPTT setiap dua jam hingga nilai aPTT 1,5-3 kali. Pasien dengan gangguan ginjal dimonitor dengan activated clotting time (ACT). ACT >300 detik menunjukkan antikoagulan adekuat Target aPTT 1,5 2,5. Tidak rutin diperlukan

Melagatran Dabigatran

Subkutan Oral

12-17 jam

Hepar

Tidak rutin diperlukan

31

BAB VIII SIMPULAN

Penatalaksanaan dini pada pasien dengan sindrom koroner akut ditentukan oleh adanya perubahan khas pada elektrokardiografi, berupa ada atau tidak adanya segmen ST elevasi. Dalam hal tidak adanya peningkatan segmen ST (non-ST segmen elevation acute coronary syndrome), penatalaksanaan pasien akan diawali dengan penanganan tanpa terapi reperfusi emergensi. Salah satu terapi yang diberikan pada pasien dengan sindroma koroner akut adalah pemberian antikoagulan. Heparin telah lama digunakan dalam prosedur penatalaksanaan sindrom koroner akut. Sejumlah keterbatasan pada obat tersebut mendorong pengembangan lebih lanjut untuk mendapatkan obat yang lebih baik. Direct thrombin inhibitor merupakan antikoagulan dengan target spesifik pada trombin. Direct thrombin inhibitor memiliki efek antikoagulan yang dapat diprediksi dengan variabilitas individu yang kecil, tidak berinteraksi langsung dengan protein plasma dan tidak memerlukan antitrombin sebagai kofaktor. Penggunaan preparat ini menjanjikan keamanan dan kemudahan dalam terapi pada pasien dengan sindrom koroner akut.

32

Anda mungkin juga menyukai