1 Informasi Hidrologi
D
selalu
alam setiap perencanaan dan perancangan pengembangan sumber daya air, beberapa besaran kuantitatif dan kualitatif tentang air diperlukan sebagai
informasi awal untuk analisis selanjutnya. Hal ini mudah dipahami karena hampir semua analisis lanjutan dalam perencanaan dan perancangan sumber daya air akan didasarkan pada besaran-besaran kuantitatif dan kualitatif, termasuk di dalamnya variabilitas ruang dan variabilitas waktu dari masing-masing besaran tersebut. Beberapa contoh dapat disebutkan berikut ini. 1. Dalam perencanaan dan perancangan pengendalian banjir, informasi hidrologi diperlukan untuk menetapkan letak, bentuk dan ukuran penampang sungai, ukuran tanggul dsb. Besaran-besaran terakhir ini baru dapat ditetapkan setelah besaran hidrologi seperti yang ditetapkan dalam patokan rancangan ( design criteria) dapat diperoleh. 2. Untuk pengembangan daerah irigasi, penetapan luas daerah irigasi dan berbagai pilihan (alternative) cara-cara pengambilan air sangat ditentukan oleh ketersediaan air di sungai (dependable flow). Dengan demikian analisis hidrologi yang dilakukan harus secermat mungkin agar keseluruhan analisis lanjutannya dapat mempunyai keandalan yang lebih tinggi. 3. Masih terkait dengan butir 2 tersebut, untuk perencanaan dan perancangan bendungan dan bendung, mulai dari perancangan bendung pengelak ( diversion
dam), bendung penutup (cover dam) dan bendung utama (main dam) tidak dapat dipisahkan dari ketergantungannya terhadap besaran-besaran hidrologi. 4. Dalam bidang transportasi, dalam penetapan ukuran gorong-gorong dan penetapan tinggi lantai jembatan, seharusnya juga mendasarkan atas informasi hidrologi yang bersangkutan. Hal terakhir ini akan dapat mengurangi risiko tergenangnya badan jalan atau tergenangnya lantai jembatan. Memperhatikan uraian tersebut kiranya dapat dimaklumi, bahwa informasi hidrologi yang diturunkan dari analisis terhadap data hidrologi, akan merupakan informasi kuantitatif dan kualitatif yang sangat penting, dan dalam batas tertentu menentukan keandalan keseluruhan perencanaan dan perancangan. Untuk itu, informasi hidrologi yang disajikan harus merupakan informasi yang optimal yang dapat diperoleh, dan bersifat mewakili (representative). Untuk dapat menyajikan informasi yang optimal, maka analisis terhadap data hidrologi yang tersedia harus dilakukan dengan prinsip : 1. menggunakan cara (method) terbaik yang tersedia, dan urutan (procedure) yang benar meskipun mungkin data yang tersedia sangat kurang atau tidak tersedia sama sekali , 2. memanfaatkan data sebanyak mungkin. Analisis hidrologi dilakukan untuk dapat menterjemahkan perilaku alam untuk dapat digunakan untuk mengartikan, menetapkan, dan memperkirakan besaran-besaran alam tersebut dalam berbagai keadaan dan rentang waktu tertentu. Dalam hal ini berarti bahwa analisis hidrologi akan didasarkan pada data yang tersedia, yang memberikan gambaran perilaku sistem, dan akan menggunakan hasil analisis untuk mengektrapolasikan informasi hidrologi tersebut untuk masa-masa berikutnya. Disisi lain dipahami, meskipun sampai pada batas-batas tertentu dapat diperhitungkan, akan tetapi pada umumnya perilaku alam hampir tidak pernah dapat diketahui sebelumnya. Berbagai teori dan cara yang dapat dikembangkan, hanya dapat
digunakan dalam lingkup dan rentang waktu yang sangat terbatas. Dengan demikian sangat sulit untuk dapat memperkirakan besaran hidrologi tertentu untuk masa-masa yang akan datang, apalagi dalam hitungan lima, sepuluh atau lima puluh tahun mendatang. Kalau pun hal tersebut dapat dihitung dengan berbagai cara, hal itu masih sangat dibatasi dengan syarat-syarat yang sangat mengikat. Memahami keadaan seperti itu, maka sebenarnya semua teori, cara dan urutan yang digunakan dalam analisis semata-mata didasarkan dan dikembangkan berdasar kejadiankejadian yang telah lalu. Keberlakuan (validity) hasil analisis yang didasarkan pada teori, cara dan urutan tersebut masih merupakan tanda tanya, meskipun dalam batasbatas tertentu sering dapat disajikan dalam bentuk ketelitian statistik ( statistical accuracy). Oleh sebab itu, untuk mendapatkan informasi yang terbaik, maka semua data hidrologi yang terekam harus dianalisis dengan menggunakan teori, cara, dan urutan terbaik yang dikenal sampai saat ini (oleh yang bersangkutan) karena dengan menempuh cara ini pun, masih terdapat ketidak-pastian (uncertainties) dan ketidaktelitian (inaccuracies) yang cukup besar. Pengertian terbaik hendaknya tidak diartikan harus dengan menggunakan perangkat-lunak (soft ware) yang canggih dan mahal, akan tetapi hendaknya ditekankan pada pemilihan teori, cara dan urutan yang paling sesuai dengan keadaan lapangan. Hal yang terakhir ini sangat ditentukan oleh ketersediaan data, kebutuhan, dan tingkat ketelitian yang dapat diterima atau yang terpaksa dapat diterima. Pada dasarnya, data hidrologi untuk salah satu unsur hidrologi yang terkumpul dan dapat diperoleh kembali, mempunyai keterbatasan baik waktu dan tempat. Dengan demikian, maka makin banyak data yang tersedia, baik dalam penyebaran tempat maupun dalam rentang waktunya, data tersebut akan dapat memberikan informasi yang lebih baik. Meskipun demikian, upaya untuk mendapatkan data yang baik, lengkap dan utuh, tidak selalu mudah. Lebih sering, pengolahan data hidrologi terpaksa dilakukan dengan data yang sangat terbatas, atau bahkan tidak ada sama
sekali. Dalam keadaan seperti ini, apapun yang diperoleh di lapangan, harus dapat diolah dan disajikan menjadi informasi hidrologi sebaik mungkin (yang dapat dicapai). Dengan demikian, semua cara yang terbaik harus digunakan, sampai batas maksimal. Dari uraian terdahulu nampak jelas, bagaimana peran hidrologi dalam keseluruhan proses perencanaan dan perancangan pengembangan sumber daya air. Meskipun demikian hendaknya dipahami, bahwa proses perencanaan dan perancangan bukan merupakan proses yang sekali selesai, akan tetapi merupakan proses yang bersifat iteratif. Hasil satu analisis merupakan masukan bagi evaluasi untuk menetapkan kesesuaian dengan tujuan akhir. Hasil evaluasi ini akan merupakan masukan baru bagi analisis ulang berikutnya, sampai akhirnya hasil evaluasi (dari berbagai aspek terkait) paling dekat dengan berbagai kepentingan yang hendak dicapai. Dengan demikian juga harus disadari, seorang hydrologist tidak dapat dan tidak boleh melepaskan diri dari keterikatan dengan semua unsur yang terkait dengan proses perencanaan dan perancangan ini. Secara umum hendaknya juga disadari bahwa peran para teknisi (para ahli dalam bidang masing-masing) tidak sangat menentukan (decisive), karena selain faktor teknis, masih banyak faktor non-teknis yang juga sangat menentukan, seperti kebijakan pemerintah, ketersediaan dana, aspek sosial budaya. Dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat multi-disiplin, peran faktor teknis dapat menjadi sangat kecil, seperti nampak pada gambar (1.1).
Analisis hidrologi dilakukan untuk memahami perilaku hidrologi suatu sistem tertentu. Sistem yang dimaksud dapat terdiri dari berbagai unsur diantaranya unsur fisik, tata-guna lahan, topografi, morfometri. Masing-masing unsur tersebut mempunyai sifat khas, yang merupakan satu keseimbangan tersendiri. Meskipun
PEMBUAT KEPUTUSAN
FAKTOR TEKNIS
Gambar 1.1 Ketergantungan antar unit pengelola. demikian keseimbangan dalam satu unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dari keseimbangan unsur yang ada di sekitarnya, karena setiap perubahan dalam satu unsur akan berpengaruh terhadap keseimbangan dan perilaku keseluruhan sistem. Selain itu juga terdapat unsur anthropogenik, misalnya tataguna lahan. Dengan skema yang sangat sederhana sistem hidrologi dapat digambarkan dengan sebagai berikut (Gambar I.2a)
a)
masukan
SISTEM
keluaran
b)
SISTEM sifat alami natural characteristics sifat anthropogenik anthropogenic / human related characteristics
keluaran
Gambar 1.2 Skema sistem hidrologi Masukan ke dalam sistem hidrologi (apa pun bentuknya) akan dialihragamkan (transformation) menjadi keluaran yang berupa aliran dengan bentuk dan sifat yang tertentu. Pada dasarnya hubungan antara masukan, sistem hidrologi dan keluaran merupakan keseimbangan alami, pada keadaan sistem tertentu. Keseimbangan ini tidak dapat diubah, atau diatur untuk berubah, selama sifat sistem DAS tidak berubah. Perubahan biasanya hanya terjadi sebagai akibat fluktuasi masukan dan keadaan sistem hidrologi sendiri, dan bukan perubahan kuantitatif sifat hubungan ketiga unsur tersebut. Memperhatikan lebih lanjut sistem hidrologi, unsur penyusunnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur-unsur yang bersifat alami (natural elements) seperti, sifat fisik, sifat topografi dan morfometri dan unsurunsur non alami (anthropogenic elements) seperti tataguna lahan. Unsur-unsur
alami tidak dapat berubah (kalau pun berubah sifatnya evolutif). Unjuk kerja sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh unsur-unsur alami ini tidak berubah, dan (hampir) tidak dapat dipengaruhi oleh tingkat kegiatan manusia, kecuali misalnya ada penambangan terbuka besar-besaran. Variabel tataguna lahan (termasuk tanaman penutup / vegetal cover) merupakan salah satu variabel yang dapat berubah cepat tergantung dari faktor antropogenik (anthropogenic factors), sesuai dengan intensitas kegiatan manusia (human activities). Unsur ini yang banyak menimbulkan perubahan tanggapan sistem DAS dan paling sulit diantisipasi padahal perannya sangat penting terhadap perilaku keseimbangan air dalam satu sistem hidrologi tertentu.. Variabel-variabel ini sering dikelompokkan sebagai human related variables. Apabila misalnya faktor tataguna lahan secara garis besar dapat diandaikan terdiri dari tiga unsur besar saja, yaitu hutan, daerah pertanian dan daerah hunian (termasuk di dalamnya daerah industri), maka dapat terlihat salah satu keterkaitannya dalam contoh berikut. Dalam keadaan tertentu, dengan komposisi tiga unsur besar tertentu, maka akan terjadi aliran di sungai dengan sifat-sifat tertentu yang mencerminkan sifat tanggapan sistem DAS terhadap masukan (hujan) yang bersangkutan. Selama komposisi unsur besar tersebut tidak berubah (dengan pengertian di dalam masing-masing unsur besar juga tidak terjadi perubahan), maka sifat aliran yang terjadi akan tetap sama. Sesuai dengan laju pembangunan yang tidak dapat dihindari, maka kebutuhan peningkatan kualitas hidup merupakan satu kebutuhan mutlak. Hal ini berarti, salah satu akibatnya adalah kebutuhan pemukiman yang layak dan dukungan industri yang memadai. Apabila kemudian pertumbuhan kebutuhan lahan untuk hunian dan industri bertambah, maka akan mengurangi luas daerah hutan dan/atau daerah pertanian. Hal ini akan mempengaruhi pola distribusi hujan yang dialihragamkan menjadi komponen limpasan dan infiltrasi, yang selanjutnya akan mengubah sifat aliran sungai. Dengan perubahan pola aliran sungai ini, misalnya komponen
limpasan menjadi terlalu besar, maka terdapat dua kemungkinan, pertama kemungkinan terjadi banjir, kedua kebutuhan air irigasi pada suatu saat menjadi kurang bila tidak dibantu dengan pembangunan bendung. Bila terjadi perubahan debit-debit puncak (banjir) berarti harus ada upaya yang dilakukan untuk pencegahan, yang misalnya dapat saja dengan upaya perubahan pola pertanian, atau dengan upaya fisik lain seperti pembuatan tanggul dsb. Kedua hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah perilaku hidrologi untuk masingmasing unsur yang disebutkan sebelumnya. Demikian pula bila upaya yang dilakukan berupa pembuatan bendungan untuk mengatur air sungai, maka hal ini lebih jelas akan mengubah pola perilaku hidrologi di DAS tersebut. Dengan contoh kecil tersebut kiranya dapat dipahami, bahwa setiap perubahan yang dilakukan tidak saja hanya akan membawa pengaruh (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap perilaku hidrologi salah satu unsur penyusun DAS, tetapi juga berpengaruh terhadap pola hidrologi dalam DAS secara menyeluruh. Sudah barang tentu besar kecilnya perubahan sifat hidrologis yang terjadi sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat perubahan dilakukan.
mengubah data hidrologi yang tersedia untuk dapat disajikan sebagai informasi hidrologi yang terbaik. Dalam kaitan ini berarti dituntut : 1. pemahaman yang baik terhadap keadaan Daerah Aliran Sungai (DAS), 2. kemampuan menterjemahkan dan mengartikan (interpretation) data yang tersedia, 3. kemampuan memilih teori/konsep yang paling tepat. Ketiga hal tersebut merupakan syarat yang sangat penting, karena bekerja dalam hidrologi, berarti bekerja dalam mengartikan/menerjemahkan kejadian-kejadian alam yang telah lampau, untuk memperoleh kejelasan tentang mekanisme pemindahan massa air dari satu sub-sistem DAS ke sub-sistem DAS yang lain, untuk selanjutnya menggunakannya untuk memperkirakan perilaku sistem tersebut dalam kurun waktu tertentu. Kalau dalam butir 1.1.1 disebutkan bahwa dalam melakukan analisis harus dipilih cara yang terbaik yang dimiliki/diketahui, hal itu sebenarnya berarti bahwa sampai saat ini masih sangat sulit diperoleh cara/prosedur yang sempurna, yang mampu menerjemahkan perilaku air dalam suatu sistem DAS, meskipun secara umum, konsep dasarnya telah ditemukan dan digunakan dalam upaya untuk dapat menjawab persoalan-persoalan tersebut. Berbagai masalah masih belum dapat dipecahkan secara tuntas, sehingga selalu dijumpai, satu masalah yang dihampiri ( approach) dengan cara/prosedur yang berbeda, dapat memberikan hasil yang sangat berbeda. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa tidak semua komponen masukan dan perilaku sistem diketahui dengan pasti, yang berarti masih ada ketidakpastian (uncertainties). Selain itu kecermatan dan ketelitian data dan informasi yang digunakan dalam memahami perilaku sistem juga tidak seperti yang diharapkan.
10
Data yang tersedia dari hasil pengukuran, baik yang diperoleh secara manual maupun otomatis, merupakan rekaman besaran unsur hidrologi yang telah terjadi, dalam batas luasan tertentu dan dalam rentang waktu tertentu pula. Dengan demikian, besaran tersebut baru memberikan gambaran tentang salah satu unsur hidrologi, dalam batas-batas tertentu. Misalnya data hujan, sebenarnya data itu hanya memberikan gambaran tentang besar hujan (dengan tingkat ketelitian tertentu) yang terjadi tepat di titik lokasi setasiun tersebut dan tidak berlaku untuk titik yang lain. Besaran hujan di titik lain yang berjarak tertentu dari setasiun tersebut sebenarnya tidak diketahui dengan pasti lebih-lebih untuk daerah tropis. Demikian pula data untuk unsur hidrologi yang lain. Dengan demikian kemampuan data yang dapat dikumpulkan dari setasiun dan alat-alat ukur untuk memberikan gambaran tentang sifat unsur hidrologi, bersifat sangat terbatas. Meskipun demikian, dengan berbagai teori dan konsep yang ada, data tersebut dapat digunakan untuk memberikan pemahaman tentang mekanisme penelusuran air, dari satu sub-sistem ke sub-sistem yang lain mengikuti konsep dasar ilmu hidrologi. Data tersebut merupakan satu-satunya sarana yang dapat digunakan sebagai dasar analisis, untuk memahami perilaku sistem hidrologi yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dipahami, apabila data tersebut tidak teliti atau tidak betul, maka penafsiran (interpretation) terhadap perilaku sistemnya pun juga akan tidak betul. Di sisi lain hendaknya dipahami pula, bahwa sampai saat ini teori/konsep/cara-cara yang digunakan dalam analisis hidrologi belum sangat baik seperti yang diharapkan, sehingga dengan data yang baik (sempurna) pun, perilaku hidrologis suatu sistem belum dapat dipahami secara tuntas. Selanjutnya pemahaman terhadap perilaku hidrologi yang diperoleh dengan analisis data tersebut akan digunakan dalam memperkirakan perilaku hidrologi dimasa-masa yang akan datang (dalam kurun waktu tertentu), dengan sifat-sifat sistem yang dapat tetap sama, atau (pada umumnya) telah berubah. Perubahan dapat terjadi secara alami (natural changes)
11
ataupun perubahan akibat pola dan intensitas perilaku manusia ( human activities). Dengan demikian apabila pemahaman awal terhadap perilaku hidrologi suatu sistem tidak tepat, ektrapolasi yang dilakukan dapat mengundang kesalahan yang makin besar lagi. Oleh sebab itu, disatu sisi analisis hidrologi mempunyai kemampuan untuk menginterpretasi watak suatu sistem, akan tetapi kemampuan itu sangat terbatas, baik dalam skala waktu, ruang dan kecermatan. Memahami hal-hal yang disampaikan sebelumnya, kiranya dapat dipahami, apabila dalam satu kasus dilakukan penyelesaian dengan pendekatan-pendekatan (termasuk andaian-andaiannya) yang berbeda, maka akan diperoleh kesimpulan yang berbeda pula. Padahal dalam praktek informasi hidrologi yang disampaikan harus merupakan informasi yang benar. Oleh sebab itu maka pemilihan cara analisis yang tepat merupakan salah satu kunci yang sangat penting. Hal-hal yang disebutkan dalam bagian-bagian terdahulu hendaknya mendapatkan perhatian, karena informasi yang dapat disajikan dalam analisis akan menjadi pegangan bagi analisis selanjutnya. Oleh sebab itu kehati-hatian dalam memilih cara analisis yang tepat sangat diperlukan.
12
menunjukkan keterkaitan hampir semua sistem badan-air (water body) yang ada di bumi. Perkembangan dan konsep yang dapat menjelaskan keterkaitan antar sistem tersebut baru pada tahun ..... dikemukakan oleh Leonardo da Vinci, yang selanjutnya konsep tersebut digunakan sampai sekarang. Dari catatan yang ada, upaya untuk mengetahui asal-usul, distribusi dan keterkaitan antar badan-air tersebut telah dilakukan sejak ..... (Menzier, 19..), sedangkan catatan hidrologi yang paling tua yang pernah diketahui, diperoleh di Mesir, tahun ...... (Shahin, 19..).
13
Gambar 1.3 Siklus hidrologi. Penjelasan dapat dimulai dari mana saja, akan tetapi untuk mudahnya, dimulai dari penguapan. Penguapan merupakan proses alami berubahnya molekul cairan menjadi molekul gas/uap. Penguapan dapat saja terjadi dari semua permukaan yang lembab, baik dari permukaan tanah, permukaan tanaman (transpiration) maupun dari permukaan air, seperti rawa, danau dan lautan. Akibat penguapan ini terkumpul massa uap air, yang dalam kondisi atmosfir tertentu dapat membentuk awan. Awan dalam keadaan ini yang kalau masih mempunyai butir-butir air yang berdiameter lebih kecil dari 1 mm, masih akan melayang- layang diudara karena berat butir butir tersebut masih lebih kecil dari pada gaya tekan keatas udara. Akibat berbagai sebab klimatologis, awan tersebut dapat menjadi awan yang potensial menimbulkan hujan, yang biasanya terjadi bila butir-butir berdiameter lebih besar dari pada 1 mm. Bila terjadi hujan, masih besar kemungkinan air teruapkan kembali sebelum sampai dipermukaan bumi, karena keadaan atmosfir tertentu. Hujan baru disebut sebagai hujan apabila telah sampai dipermukaan bumi dan dapat diukur. Air hujan yang jatuh di permukaan terbagi menjadi dua bagian, pertama sebagai aliran limpasan (overland
14
flow) dan kedua bagian air yang terinfiltrasi. Jumlah yang mengalir sebagai aliranlimpasan dan yang terinfiltrasi tergantung dari banyak faktor. Makin besar bagian air hujan yang mengalir sebagai aliran limpasan, maka bagian air yang terinfiltrasi akan menjadi makin kecil. Demikian pula sebaliknya. Aliran limpasan selanjutnya dapat selanjutnya mengisi tampungan-cekungan (depression storage). Apabila tampungan ini telah terpenuhi, air akan menjadi limpasan-permukaan (surface runoff) yang selanjutnya ke laut. Air yang terinfiltrasi, bila keadaan formasi geologi memungkinkan, sebagian dapat mengalir lateral di lapisan tidak kenyang air (unsaturated zone) sebagai aliran antara (sub surfuce flow/interflow). Sebagian yang lain mengalir vertikal, perkolasi (percolation) yang akan mencapai lapisan kenyang air (saturated zone/aquifer). Air dalam akifer ini akan mengalir sebagai aliran air tanah (groundwater flow/baseflow), sungai atau ke tampungan dalam (deep storage).
Siklus hidrologi seperti yang diuraikan tersebut merupakan satu siklus yang menerus dan tidak terputus, meskipun tidak selalu mengikuti siklus yang lengkap. Masingmasing unsur aliran dipengaruhi dan mempengaruhi unsur aliran lainnya, dan tergantung dari faktor-faktor tertentu yang bersifat khas. Jenis faktor dan perannya dalam masing-masing unsur aliran akan dibahas secara mendalam di bagian masingmasing.
15
musim kemarau, fase permulaan musim hujan, fase pertengahan musim hujan dan fase awal musim kemarau. Pada dasarnya siklus limpasan ini menegaskan bahwa kedua konsep dasar yang disebutkan terdahulu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Penjelasan tentang neraca air diberikan dalam butir 1.2.3. Meskipun demikian terdapat dua pengertian yang diperlukan untuk menjelaskan siklus limpasan ini. a. Kapasiatas Lapangan (field capacity) yang mempunyai arti jumlah maksimum air yang dapat ditahan oleh massa tanah terhadap gaya berat. b. Soil Moisture Deficiency (SMD) yaitu perbedaan jumlah kandungan air dalam massa tanah suatu saat dengan kapasitas lapangannya. Pada dasarnya dianut pemahaman (diandaikan), bahwa dalam satu satuan massa tanah (atau satu zona tanah) tertentu, apabila belum tercapai kapasitas lapangannya, maka masukan ke dalam massa tanah tersebut tidak akan diteruskan ke massa /zona tanah di sekitarnya. Meskipun demikian hendaknya juga diketahui, bahwa di dalam kejadian yang sebenarnya, hal tersebut tidak harus terjadi, karena sifat aliran yang menerus (continue). Dengan demikian, sangat besar kemungkinannya, bawa kapasitas lapangan belum tercapai, akan tetapi keluaran dapat telah terjadi. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan hal serupa untuk suatu sistem (subsistem) tertentu. Pada umumnya masukan ke dalam suatu sistem (sub-sistem) tertentu, baru akan diikuti oleh keluaran dalam jumlah dan distribusi tertentu setelah kebutuhan pemenuhan tampungan (storage) dalam sistem tersebut terpenuhi. Keluaran ini akan menjadi masukan bagi sub-sistem yang lain dan seterusnya. Siklus limpasan Hoyt dijelaskan sebagai berikut. 1. Fase I (Akhir musim kemarau)
16
Gambar 1.4 Siklus limpasan fase I (Akhir musim kemarau) Selama musim kemarau, diandaikan sama sekali tidak terjadi hujan. Hal ini berarti tidak ada masukan ke dalam DAS. Proses hidrologi yang terjadi seluruhnya merupakan keluaran dari DAS yaitu aliran antara, aliran dasar dan penguapan. Penguapan terjadi pada semua permukaan yang lembab. Dengan demikian penguapan terjadi hampir di seluruh permukaan DAS. Khususnya dipermukaan lahan, apabila satu lapisan telah kering, maka penguapan terus terjadi dengan penguapan lapisan di bawahnya. Dengan demikian maka lapisan tanah di atas akifer menjadi makin kering, atau nilai SMD semakin besar. Dalam fase ini, limpasan sama sekali tidak ada, sehingga aliran di sungai sepenuhnya bersumber dari pengatusan (drain) dari akifer, khususnya sebagai aliran dasar ( baseflow). Dengan demikian, karena tidak ada hujan, berarti tidak ada infiltrasi dan perkolasi, maka tidak ada penambahan air ke dalam akifer. Akibatnya muka air (tampungan air) dalam akifer menyusut terus, yang menyebabkan penurunan debit aliran dasar. Keadaan ini dapat nampak pada sumur-sumur dangkal ( unconfined aquifer), yang menunjukkan penurunan muka air. Hal ini akan berjalan terus selama belum terjadi hujan. Debit aliran dasar sangat ditentukan oleh potensi akifer dan besar masukannya melalui infiltrasi.
17
Gambar 1.5 Siklus limpasan fase II (Awal musim hujan) Dalam fase ini diandaikan keadaannya pada awal musim hujan, dan diandaikan hujan masih relatif sedikit. Dengan andaian ini beberapa keadaan dalam sistem dapat terjadi. Hujan yang terjadi sebagian ditahan oleh tanaman (pohon-pohonan) dan bangunan sebagai air yang terintersepsi (interception). Dengan demikian dapat terjadi jumlah air hujan masih belum terlalu besar untuk mengimbangi kehilangan air akibat intersepsi. Di sisi lain, air hujan yang jatuh di permukaan lahan, sebagain besar terinfiltrasi, karena lahan dalam keadaan sangat kering. Dengan demikian diperkirakan bagian air hujan yang mengalir sebagai aliran permukaan dan limpasan masih kecil, yang sangat besar kemungkinannya inipun masih akan tertahan dalam tampungan-tampungan cekungan (depression storage) yang selanjutnya akan diuapkan kembali atau sebagian terinfiltrasi. Oleh sebab itu sumbangan limpasanpermukaan (surface runoff) masih sangat kecil (belum ada), sehingga belum nampak pada perubahan-cepat muka air di sungai. Selain itu, air yang terinfiltrasi pun juga tidak banyak, yang mungkin baru cukup untuk membasahi lapisan atas tanah.
18
Dengan pengertian lain, air yang terinfiltrasi masih digunakan oleh tanah untuk mengurangi SMD-nya, sehingga belum banyak air yang diteruskan ke bawah (perkolasi). Dengan demikian maka potensi akifer belum berubah, maka aliran yang dapat dihasilkan sebagai aliran dasar juga belum berubah. 3. Fase III (Pertengahan musim hujan) Dalam periode ini diandaikan hujan sudah cukup banyak, sehingga kehilangan air akibat intersepsi sudah tidak ada lagi (karena sudah terimbangi oleh stemflow dst). Demikian pula tampungan cekungan (depression storage) telah terpenuhi, sehingga air hujan yang jatuh diatas lahan, dan mengalir sebagai overlandflow, kemudian mengisi tampungan-cekungan diteruskan menjadi limpasan (runoff) yang selanjutnya ke sungai.
Gambar 1.6 Siklus limpasan fase III (Pertengahan musim hujan) Dengan demikian maka akan terjadi perubahan muka air secara jelas, yaitu dengan naiknya permukaan sungai akibat hujan. Kenaikan yang relatif cepat ini disebabkan karena pengaruh limpasan permukaan. Bagian air hujan yang terinfiltrasi, karena
19
diandaikan lapisan-lapisan tanah telah mencapai kapasitas lapangan, maka masukan air ke dalam tanah akan diteruskan baik sebagai aliran antara ( interflow) maupun komponen aliran vertikal (percolation), yang akan menambah tampungan air tanah (ground water storage / aquifer). Akibat penambahan potensi air tanah ini maka muka air tanah akan naik (terutama yang nampak di akifer bebas), dan aliran air tanah juga akan bertambah, sehingga terjadi penambahan debit aliran dasar di sungai. Keadaan semacam ini berlanjut terus sampai akhir musim hujan. 4. Fase IV (Awal musim kemarau) Periode ini mengandaikan keadaan di awal musim kemarau, sehingga hujan sudah tidak ada lagi. Dalam keadaan ini maka, kembali kedalam sistem DAS tidak ada lagi masukan (hujan). Yang ada adalah keluaran, baik sebagai penguapan maupun keluaran air pengatusan dari akifer. Keadaan ini adalah awal keadaan fase I, dan akan berlanjut terus sampai dengan fase I.
Gambar 1.7 Siklus limpasan fase IV(Awal musim kemarau) Penjelasan siklus limpasan ini, merupakan upaya untuk mulai mengenalkan, dan memahami proses yang terjadi dalam sistem DAS, yaitu dengan menggabungkan kedua konsep dasar yang disebutkan terdahulu, yaitu siklus hidrologi dan neraca air.
20
Meskipun demikian hendaknya dipahami betul, bahwa proses alam yang terjadi sebenarnya jauh lebih komplex, dan tidak merupakan proses yang terkotak-kotak seperti yang dijelaskan dalam keempat fase tersebut. Proses yang sebenarnya merupakan proses yang berkesinambungan (continuous), dan peralihan dari satu kondisi ke kondisi yang lain (satu fase ke fase lain) dapat saja terjadi setiap saat. Namun demikian, kedua prinsip dasar hidrologi yang disebutkan terdahulu selalu akan terjadi. Hal ini terjadi karena sifat hujan yang memiliki variabilitas baik ruang maupun waktu (spatial and temporal variability) yang sangat tinggi, dan sistem DAS yang pada dasarnya merupakan sistem yang non linear time variant'.
(1.1)
21
Yang dimaksud dengan masukan adalah semua air yang masuk ke dalam sistem, sedangkan keluaran adalah semua air yang keluar dari sistem. Perubahan tampungan adalah perbedaan antara jumlah semua kandungan air (dalam berbagai sub-sistem) dalam satu unit waktu yang ditinjau, yaitu antara waktu terjadinya masukan dan waktu terjadinya keluaran. Persamaan ini tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar yang lainnya (siklus hidrologi) karena pada hakekatnya, masukan ke dalam salah satu sub-sistem yang ada, adalah keluaran dari sub-sistem yang lain dalam siklus tersebut. Dengan demikian pemahaman, dan penetapan andaian dan postulat dalam analisis dalam menterjemahkan siklus hidrologi ke dalam sub-sistem yang lebih kecil menjadi sangat penting, karena selanjutnya akan menentukan pemilihan cara analisis yang terkait. Persamaan (1.1) tersebut nampak sangat sederhana, namun hendaknya digunakan dengan cukup hati-hati dan cermat. Besaran masukan (I) dan besaran keluaran (O) pada dasarnya mudah untuk diukur. Akan tetapi besaran perubahan tampungan ( S) tidak selalu mudah. Sebagian besaran kandungan air dalam satu sistem, seperti danau, rawa, sungai, tampungan lain, mudah diperoleh dan diukur dengan kecermatan yang cukup. Besar dan agihan-ruang ( areal distribution) air tanah, dengan sedikit upaya dapat diperoleh dengan cukup cermat. Akan tetapi besaran lain seperti kelembaban tanah (soil moisture) yang untuk jenis analisis tertentu sangat penting artinya, tidak mudah diperoleh kecuali dengan peralatan-peralatan khusus. Oleh sebab itu, dalam analisis, apabila tidak mutlak diperlukan, dapat diupayakan agar besaran S tersebut dapat diabaikan, karena nilainya sangat kecil. Akan tetapi bila besaran itu menjadi penting dalam kasus analisis yang ditinjau, maka tetap harus diperhitungkan.
22
Dalam menggunakan prinsip ini untuk berbagai kepentingan analisis, umumnya diandaikan proses pemindahan air dari satu sistem (sub-sistem) satu ke sistem (subsistem) yang lain seperti yang dijelaskan dalam siklus limpasan. Kejadian yang sebenarnya tidak pernah dapat diketahui, kapan mulai terjadinya keluaran sesudah ke dalam suatu sistem mendapat masukan dengan besar dan variabilitas tertentu. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mempermudah pemahaman, penyederhanaan dan upaya agar proses alami tersebut dapat dipahami dan diterjemahkan lebih jelas. Hal ini juga merupakan prinsip yang banyak dipakai dalam penyusunan model dalam hidrologi.
23
1.2.4 Akifer Dalam pengertian praktis, akifer (aquifer) diartikan sebagai formasi geologi yang dapat menyimpan dan melepaskan air dalam jumlah yang cukup. Dalam Teknik Sipil dapat diartikan sebagai lapisan lulus air (permeable layer). Sebaliknya, lapisan yang tidak dapat meyimpan dan melepaskan air (dalam jumlah yang cukup) disebut lapisan kedap air (impermeable layer), atau disebut sebagai aquifuge/aquiclude'. Secara skematis, sistem akifer dapat ditunjukkan dalam gambar (1.8) berikut ini.
Gambar 1.9 Skema sistem akifer. Di alam terdapat dua jenis akifer, yaitu akifer bebas ( unconfined aquifer) dan akifer terkekang / tak bebas (confined aquifer). Akuifer bebas adalah akuifer yang di bawah dibatasi oleh lapisan kedap air dan di atas dibatasi oleh permukaan akifer itu sendiri. Akuifer terkekang, dibatasi baik di atas maupun di bawah oleh lapisan kedap air, dan air di dalamnya merupakan air yang bertekanan. Permukaan air dalam akuifer bebas naik-turun sesuai dengan sifat formasi geologi setempat dan tergantung pula dari jumlah kandungan air dalam akuifer. Apabila pengeboran atau penggalian sumur dilakukan sampai batas akifer ini, maka muka air tanah akan mencapai ketinggian
24
sampai batas air akuifer setempat. Ketinggian muka air dalam akuifer ini sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, akan tetapi juga sangat berfluktuasi, sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian air (ingat konsep keseimbangan air untuk suatu sistem). Apabila pengeboran dilakukan lebih dalam lagi dan menembus lapisan kedap air, maka muka air dalam sumur akan mencapai ketinggian yang sama dengan ketinggian garis tenaga. Akan tetapi bila pipa sumur lebih rendah dari garis tenaga, maka air akan mengalir keluar (flowing well). Dalam praktek sering kedua sumur ini disebut sebagai sumur artesis (artesian well). Lapisan tanah yang murni kedap air dalam praktek tidak dapat dijumpai dalam luasan yang sangat lebar, sehingga yang didapat adalah formasi lapisan kedap air dalam luas yang terbatas dan hanya merupakan lensa-lensa dengan luasan tertentu, atau lapisan yang tidak murni kedap air. Dengan demikian yang ditemui di alam lebih sering bukan akifer yang murni terkekang, akan tetapi merupakan akifer semi terkekang (semi confined ). Dalam keadaan yang terakhir ini, maka air yang berada di akifer bebas saling mempengaruhi dengan air dalam akuifer terkekang. Di daerah pantai, apabila terjadi kontak antara akifer dengan laut, maka terjadi intrusi air laut, dimana air laut masuk ke dalam akifer, dengan bentuk dan kedalaman tertentu (salt water tongue). Kedalaman ini (jarak masuknya air asin ke akifer diukur dari garis pantai) sangat dipengaruhi oleh sifat akifer dan besar tekanan air tawar. Makin tinggi tekanan air tawar, maka pengaruh air asin makin pendek, akan tetapi bila tekanan kecil, air asin masuk makin ke dalam. Dapat dimengerti bahwa satusatunya upaya yang dapat dilakukan untuk membatasi kedalaman masuknya air asin adalah dengan mempertinggi tekanan air tawar, yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Hal-hal ini akan dibahas lebih jauh di bab Air Tanah.
25
26
membatasi sistemnya, misalnya ditetapkan titik kontrol di Bantar, maka disebutkan sebagai DAS Progo di Bantar. Apabila titik kontrolnya berada di Borobudur, maka sistem nya adalah DAS Progo di Borobudur. Dalam sistem DAS ini terdapat anak sungai yang cukup besar, yaitu sungai Elo yang sistemnya adalah DAS Elo di Mendut. Dalam hal seperti ini, DAS Elo di Mendut dapat disebutkan sebagai subDAS Progo.
Untuk berbagai kepentingan penyiapan informasi tertentu, dituntut sistematika analisis tertentu, yang tidak selalu sama satu dengan yang lainnya. Misalnya informasi yang diperlukan untuk pekerjaan perancangan irigasi, berbeda dengan untuk pengendalian banjir, demikian pula akan berbeda untuk perancangan bendungan. Meskipun demikian, untuk analisis setiap unsur hidrologi, perlu diperhatikan berbagai urutan analisis untuk memperoleh hasil terbaik. Perlu pula dipahami, bahwa derajat ketelitian yang diperlukan dalam setiap analisis sebenarnya
27
sama untuk semua tujuan. Yang berbeda adalah tinggi-rendahnya ketelitian informasi yang menyangkut tingkat kepentingan dalam suatu tahap perancangan tertentu. Untuk menjamin derajad ketelitian yang tinggi, semua sumber ketidaktelitian data (sumber kesalahan data) harus dikenali, dan kesalahan yang mungkin terjadi dapat dikurangi semaksimal mungkin. Di dalam praktek analisis hidrologi untuk perancangan, hal ini jarang dilakukan, kecuali satu atau dua hal saja. Akan tetapi apabila analisis dilakukan untuk mendukung penelitian, maka semua kemungkinan kesalahan harus diidentifikasi dengan baik. Memang tidak semua kesalahan dapat dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi upaya maksimal kearah itu harus dilakukan. Urutan analisis lengkap yang dapat diikuti salah satunya sebagai berikut.
28
pengukur (observer), atau karena cara analisis yang belum betul. Kesalahan dalam data hidrologi tidak dapat dihindarkan, apalagi dihilangkan. Dalam kaitan ini harus disadari benar, bahwa setiap analisis yang dilakukan selalu membawa kesalahan, baik yang bersumber dari data maupun bersumber dari cara analisis itu sendiri. Oleh sebab itu dalam analisis harus dapat diterima adanya kesalahan-kesalahan yang terbawa, meskipun upaya maksimum untuk menguranginya telah dilakukan. Paling tidak, semua pihak harus menyadari bahwa informasi hidrologi yang digunakan dalam perancangan itu masih mengandung berbagai kesalahan. Berberapa kesalahan yang sangat sering dijumpai dalam data hidrologi diantaranya disebutkan berikut ini. a. Jaringan setasiun hujan. Jumlah setasiun hujan dalam suatu DAS sangat menentukan kecermatan informasi hujan yang akan digunakan dalam analisis. Makin tinggi kerapatan setasiun hujan akan makin tinggi pula ketelitian data yang diperoleh, akan tetapi menyangkut pembiayaan yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, untuk setiap DAS harus dikaji dahulu, berapa kerapatan jaringan setasiun hujan optimum yang diperlukan yang sesuai dengan tujuan analisis. Selain hal tersebut, pola penempatan setasiun hujan dalam suatu DAS ternyata juga berpengaruh penting terhadap ketelitian hitungan. Hal ini akan dibahas lebih jauh dalam bab II. b. Kelengkapan data hujan. Dalam setiap upaya pengumpulan data hujan, hampir selalu dijumpai sejumlah data yang hilang. Hal ini cukup mengganggu apabila mencakup jumlah yang cukup banyak. Data yang hilang tersebut harus diperlakukan dengan cara yang betul, agar dalam analisis selanjutnya kesalahan yang terjadi dapat dikurangi. Berbagai pertimbangan mengenai hal ini disajikan dalam bab II. c. Panjang data hujan. Selain kelengkapan data, panjang data hujan yang tersedia juga berpengaruh terhadap kecermatan suatu jenis hitungan tertentu. Selain
29
berpengaruh terhadap ketelitian hasil analisis frekuensi, akan tetapi juga mempengaruhi proses kalibrasi model. d. Kepanggahan data. Kepanggahan (konsistensi) data merupakan salah satu syarat mutlak bagi satu seri data hujan, sebelum data tersebut dianalisis lebih jauh. Data dari setiap setasiun hujan harus diuji, dengan cara-cara yang berlaku. Apabila diperlukan, dapat dilakukan perlakuan khusus terhadap data tersebut. Berbagai cara pengujian akan dibahas secara khusus dalam bab II. e. Data hidrometri. Data hidrometri sering diperlakukan apa adanya, padahal beberapa hal perlu dicermati. Kecermatan mengamati rekaman data hidrometri diperlukan, agar hal-hal yang memungkinkan menimbulkan salah interpretasi dapat dihindarkan. f. Cara analisis. Seperti disebutkan beberapa kali sebelumnya, bahwa prosedur analisis yang diilakukan harus dipilih yang tepat, dan mengikuti cara terbaru yang dikenal dalam hidrologi. Hal ini mutlak diperlukan karena cara-cara yang digunakan dalam analisis hidrologi sekarang adalah cara terbaik yang dikenal sampai saat ini untuk mengartikan perilaku hidrologi suatu DAS tertentu. Namun demikian caracara tersebut masih selalu membawa ketidakpastian yang masiih harus diteliti dan dicari lagi. Oleh sebab itu analisis hidrologi harus didasarkan pada cara-cara terakhir yang dikenal dalam hidrologi. Hal ini akan dijelaskan di bagian-bagian yang terkait masing-masing.
30
sebelum langkah--langkah analisis selanjutnya dapat dilakukan. Ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa data yang hilang tersebut dapat ditemukan kembali, dengan melakukan ektrapolasi terhadap data dari setasiun hujan di sekitarnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa data yang hilang tersebut tidak perlu diperkirakan kembali, karena tidak akan ditemukan data yang sebenarnya. Keputusan mengenai ini dan pertimbangannya disajikan dalam bab II. Pemeriksaan terhadap data ini tidak hanya kelengkapannya saja, tetapi juga pemeriksaan terhadap kebenaran data. Kesalahan dapat terjadi pula karena kesalahan dalam penulisan data oleh pengamat, atau oleh petugas lain dalam memindahkan data. Hal ini perlu dicermati, khususnya terhadap data dengan nilai besar yang meragukan. Kalau hal itu terjadi, maka perlu dicari penjelasannya, apakah memang besaran tersebut terjadi, atau terjadi karena kesalahan. b. Pengujian kepanggahan data hujan. Hal ini perlu dilakukan, karena pada dasarnya data hujan baru dapat dianalisis apabila diyakini seluruh data tersebut berasal dari satu populasi yang sama. Pengujian dapat dilakukan dengan cara konvensional, kurva massa ganda (double mass curve) , atau dengan uji statistik. Kedua cara pengujian tersebut (consistency tests) disajikan secara rinci dalam bab yang bersangkutan. Dari pengalaman selama ini lebih dari 20 % data hujan di Pulau Jawa ternyata tidak panggah, dikarenakan beberapa sebab. c. Perata-rataan hujan untuk memperoleh besaran hujan DPS ( catchment rainfall). Beberapa cara dapat digunakan untuk memperoleh besaran ini. Kadang-kadang, untuk maksud tertentu, diperlukan pula hujan bulanan, atau hujan tahunan, yang pada dasarnya dapat diperoleh dengan cara yang sama. d. Agihan hujan jam--jaman (hourly rainfall). Hal ini merupakan bagian yang tidak terlalu mudah, karena selain prosedur bakunya tidak ada, akan tetapi juga merupakan salah satu sumber kesalahan yang cukup besar, terutama yang menyangkut 'representativeness' hasil hitungannya.. Kehati-hatian dalam menetapkan agihan jam-jaman ini sangat diperlukan.
31
e. Untuk beberapa tujuan tertentu, kadang-kadang diperlukan hubungan antara kedalaman hujan, luas DPS dan lama hujan (depth-area-duration). Atau juga hubungan antara yang cukup besar. intensitas dan lama hujan (intensity duration). Kedua macam hubungan ini tidak mudah untuk diperoleh, dan juga mengandung ketidakpastian
1.3.3 Penguapan
Besarnya laju penguapan mempunyai peran berbeda untuk berbagai kepentingan analisis hidrologi. Untuk satu kasus tertentu, penguapan dapat mempunyai nilai yang sangat penting, sehingga besarannya sama sekali tidak dapat diabaikan. Akan tetapi untuk kasus lainnya, besar penguapan umumnya diabaikan, karena perannya/pengaruhnya sangat kecil. Meskipun demikian berbagai cara pendekatan untuk mengukur dan memperkirakan nilai penguapan perlu dicermati benar.
1.3.4 Infiltrasi
Hampir semua analisis hidrologi memerlukan informasi infiltrasi ini. Secara teoritik sudah cukup banyak pendekatan yang dilakukan untuk menghitung laju infiltrasi ini. Dengan demikian cara-cara untuk mengukur besaran tersebut di lapangan dapat mengacu pada teori yang telah tersedia, atau melakukan pengukuran langsung. Meskipun demikian masih memerlukan kecermatan untuk menggunakan informasi ini dalam analisis, terutama sekali ketelitiannya yang terkait dengan variabilitas ruangnya.
1.3.5 Hidrometri
32
Hidrometri merupakan kegiatan yang sangat penting untuk menyiapkan informasi mengenai berbagai unsur aliran. Oleh sebab itu, maka semua prosedur, syarat dan cara-cara analisis harus diikuti secermat mungkin
1.3.6 Hidrograf
Variabilitas unsur-unsur aliran disajikan dalam hidrograf ini. Semua analisis kuantitatif mengenai aliran sungai mengacu pada hidrograf. Meskipun demikian perlu disadari bahwa hidrometri dan hidrograf mempunyai sumber ketidak-telitian yang cukup banyak dan cukup besar. Dengan demikian kehati-hatian dalam menyiapkan hidrograf perlu dilakukan. Beberapa karakteristik DPS secara awal dapat diturunkan dengan pencermatan terhadap hidrograf ini.
33
berdasar patokan teknis saja, akan tetapi banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonteknis. Oleh sebab itu penetapan patokan rancangan ini tidak sederhana, dan memerlukan pertimbangan menyeluruh dan cermat.
Daftar Pustaka
Ben Chie Yen, 1970, Risk in Hydrologic Design of Engineering Project, Journal of the Hydraulic Division, ASCE, April, HY4, pp 959 - 966 Benson, M. A., 1965, Allocation of Stream Gauging Station in a Country, Design of Hydrological Networks, Vol I, IASH Publication No. 67, pp 222 - 228. Benson, M. A., 1972, Use of Multiple Regression Analysis in the Design oof Stream gauging Network, Practice in USA, WMO Bulletin No. 234, pp III.3.2.1 III.3.2.4. Blesdale, A. 1965, Raingauge Network Development and Design With Special Reference to UK, Design of Hydrological Networks, Vol I, IASH Publication No.67 pp 146 - 154. Bruce, J. P., and Clark, R. H., 1966, Introduction to Hydrology, pp 310, Pergamon Press, London .
34
Cadavias, G. S., and Salomon, S. I., 1972, Future Development of Hydrological Network, WMO Bulletin No. 324, pp VI.2.1-1-3 Chapman, T. G., 1972, Research and experimantal Basin, WMO Bulletin N32234, pp IV.5.1 - 1-10. Colenbrander, 1979, Hydrology, IHE, Delft, Netherlands. Dam, J. C. van, 1979, Hydrology, IHE, Delft, Netherlands. Hall, A. J. and Barclay, P. A., 1980, Methods of Determining Areal Rainfall from Observed Data, Roving Seminar on Intense Precipitation and Flood, Document 2, Item 2, Bandung, Indonesia. Hamon, W. R., Johnson, C. W., Steohenson, G. R., and Smith, F. M., 1965, Development of Coordinated Hydrologic Network for Semi Arid Watershed, Design of Hydrologic Network, Vol II, IASH Publication No 68, pp 663 674.
Holtan, H. N., and Creits, N. R., 1967, Influence of Soil, Vegetation and Geomorphology on Element of Flood Hydrograph, Flood and Their Computations, Proceeding of the Liningrad Symposium, Vol II, pp 755 - 765, IASH, Unesco, WMO, Geneva. Kelway, F. S., 1975, The Rainfall Recorder Problems, Journal of Hydrology No 26, pp 55 - 77. Kirkby, M. J., 1978, Hillslope Hydrology, pp 375, John Wiley & Sons, New York. Laurenson, E. M., and T O'Donnel, 19699, Data Error Effects in Unit Hydrograph Derivation, Journal of the Hydraulic Division, ASCE, November, HY6, pp 1899 - 1917. Linsley, R. K., Kohler, M. A., and Paulhus, J. L. H., 1949, Applied Hydrology, Mc Graw Hill, New York. Linsley, R. K., Kohler, M. A., and Paulhus, J. L. H., 1958, Hydrology for Engineers, Mc Graw Hill, New York. Menzier, 1942, Hydrology, Dover, New York.
35
Roberts, M. C., and Klingeman, P. C., 1970, The Influence of Landform and Precipitation Parameter on Flood Hydrograph, Journal of Hydrology No. 11, pp 393 - 411. Schneider, W. JJ., 1967, Reforestration effects on Winter and Spring Flood Peaks in Central New York State, Flood and Their Computations, Proceeding of the Lingrad Symposium Vool II, pp 780 - 786, IASH, Unesco, WMO, Geneva. Veisman, Herbauch and Knapp, 1972, Introduction to Hydrology, Inter Education Publisher, New York. Volker, A., 1979, Hydrology, IHE, Delft, Netherlands.
36