A. Latar Belakang
1. Pengertian Interfaith Dialogue Secara etimologi, Dialog berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 kata, yaitu Dia dan Logos. Dia berarti jalan, Logos yang berarti kata, sehingga jika diartikan Dialog adalah bagaimana cara manusia dalam menggunakan sebuah kata. Secara umum, Dialog dapat diartikan sebagai sebuah percakapan timbal balik antara 2 orang atau lebih. Interfaith adalah antar kepercayaan atau antar agama.
2. Pengertian Komunikasi Komunikasi atau communicaton berasal dari bahasa Latin communis yang berarti 'sama'. Communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (make to common). Secara sederhana komuniikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another). Pada awalnya, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan organis. Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk reproduksi. Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan.
Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan penyiaran. Komunikasi dapat berupa interaktif, komunikasi transaktif|transaktif, komunikasi bertujuan|bertujuan, atau komunikasi tak bertujuan|tak bertujuan.
Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.
C. Kerangka Pemikiran
Interfaith Dialogue
Komunikasi
Indikator: 1. Toleransi & saling mengormati antar beragama 2. Saling memahami antar umat beragama 3. Dapat menerima perbedaan satu sama lain
Indikator: 1. Kerjasama yang baik antar umat beragama 2. Hubungan yang baik & harmonis antar umat beragama 3. Interaksi antar umat beragama
Rumusan Masalah :
Hipotesis : Ho : Terdapat hubungan antara Interfaith Dialogue dengan komunikasi antar umat beragama
H1: Tidak Terdapat hubungan antara Interfaith Dialogue dengan komunikasi antar umat beragama
Demikian salah satu hasil pertemuan The 5th Regional Asia Pacific Interfaith Dialogue yang diselenggarakan di Perth, Australia, 28-30 Oktober 2009. Kegiatan yang disponsori beberapa negara, termasuk Indonesia, Filipina, dan Selandia Baru ini merupakan kelanjutan dialog-dialog sebelumnya. Sebagai bentuk penguatan komunikasi antarumat beragama dalam skala regional, kegiatan seperti ini penting artinya guna menumbuhkan semangat dan kekuatan baru agama dalam skala yang lebih luas. Pertemuan ini dihadiri sekitar 150 peserta dari 14 negara, yaitu negara-negara ASEAN, Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan Timor Leste. Kita menyadari tantangan terbesar kehidupan beragama kita, salah satunya, adalah seberapa jauh bangsa ini sanggup mengelola kebhinekaan yang ada. Berbagai tantangan kebangsaan dalam kebhinekaan dari hari ke hari semakin berat. Bangsa ini sering menghadapi kendala komunikasi antarumat beragama yang melahirkan masalah, khususnya masalah kekerasan. Padahal, akar kekerasan masih sering terpicu oleh hilangnya hal-hal yang dianggap sederhana dan sepele: toleransi, kebersamaan, pluralisme, dan penghormatan nilai-nilai. Akibatnya, berbagai kepentingan menyusup di balik sensitifnya hubungan agama di Indonesia. Kepada siapa diharapkan kelestarian kebhinekaan Indonesia? Kaum muda menjadi tulang punggung bangsa. Kepada merekalah diharapkan agar semangat toleransi, pluralisme, dan penghargaan antarkelompok ini tetap lestari dan menjadi dasar berkehidupan bangsa ini. Memang dalam sebuah laporan Setara Institute atas survei opini publik untuk mengukur daya eksplorasi dan empati kebangsaan kaum muda setelah 10 tahun reformasi membersitkan sebuah harapan bagi peradaban Indonesia, walau tetap dengan berbagai catatan kritis. Dari sana diketahui bahwa persepsi publik tentang persoalan pluralitas cukup penting dalam rangka mengeksplorasi pendapat atau opini dan sikap publik terhadap pluralitas agama, ideologi, suku, dan golongan yang ada di Indonesia. Tentu perlu disadari bahwa agama yang bersifat primordial akan selalu menegasikan aspek pluralitas, dan selanjutnya ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu pula perlu disadari bahwa fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan. Fungsi agama adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan asal usul suku dan budaya, ras maupun gender. Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan suatu pemujaan (cult) belaka. Pada intinya fenomena ini menunjukkan bahwa diskursus relasi agama dan negara memang belum selesai. Dari kenyataan demikian, sebenarnya pemikiran progresif untuk memperbaiki bangsa inilah yang dibutuhkan. Revolusi cara pandang mengelola bangsa ini harus dimulai dengan menciptakan habitus baru dalam berperilaku.
Cara pandang sempit dalam melihat permasalahan kebangsaan ini akan membuat putusnya lingkaran kepedulian. Sebab, yang ada dalam pikiran hanyalah problem individu dan identitas. Saat identitas dijadikan bahasa politik, ekonomi, agama, dan pendidikan, bangsa ini akan demikian mudah terpuruk ke dalam sikap reaksioner terhadap perbedaan. Di sinilah dibutuhkan pemikiran yang reflektif dan jujur serta memiliki ketulusan untuk menata kembali bangsa ini dari berbagai kebuntuan. Belajar dari dialog di Perth ini, kita perlu mendorong pendidikan keagamaan yang lebih menghargai keanekaragaman. Dalam hal ini peran media sangat membantu menghindari generalisasi terhadap kelompok tertentu. Media diharapkan dalam pemberitaan lebih memiliki kepekaan terhadap simbol agama dan etnis. Kepekaan ini amat diperlukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang bisa memicu konflik lebih jauh. Sering dimaklumi bahwa konflik yang kerap terjadi justru karena persoalan di luar agama. Justru agama kerap dipakai sebagai alat pemicu karena penganut agama mudah dibakar emosinya. Dalam konteks ini dibutuhkan sebuah model pendidikan agama yang menekankan multikulturalisme. Juga adanya suatu kurikulum yang khusus mengadopsi interfaith dialogue di berbagai sekolah sehingga pemahaman mengenai keragaman beragama dapat diadopsi sejak awal. Pentingnya mendorong penyusunan modul atau kurikulum di berbagai sekolah yang juga mengadopsi keragaman kebudayaan yang berpengaruh terhadap upaya pemahaman keagamaan, mengingat kebudayaan juga merupakan alat untuk menyebarkan agama dan mengembangkan agama. Pada akhirnya hal itu akan mendorong komunikasi antarumat agama yang bermanfaat bagi tumbuhnya perdamaian bagi semua.
B. Analisis Kondisi
C.