Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal ini ditandai dengan adanya perilaku dan lingkungan yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006) Di masa yang akan datang, pembangunan kesehatan akan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup berat. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, status kesehatan masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006) Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia saat ini bersamaan dengan mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Salah satu penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia dan menimbulkan dampak ssosial maupun ekonomi adalah Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD sudah berulang kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) disertai kematian yang banyak. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan, iklim, demografi, sosial ekonomi, dan perilaku. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006) Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang meninggal dunia. Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Sampai dengan akhir tahun 2008 juga belum ditemukan obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit DBD. (Depkes RI, 2010)

Pemerintah telah berusaha membina peran serta masyarakat melalui berbagai kelompok kerja dalam pemberantasan DBD berupa gerakan

pemberantasan sarang nyamuk yang diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992 dengan instrumen 3M (menguras, menutup, dan mengubur) tetapi tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. (Depkes RI, 2010) Oleh sebab itu, diperlukan suatu manajemen DBD untuk mencegah dan mengendalikan sumber penularan, agar tidak menjadi sumber infeksi dan mencegah terjadinya KLB.

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1. Defenisi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan syok. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006)

2.1.2. Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. (Depkes RI, 2007) Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. (Depkes RI, 2007)

2.1.3. Cara Penularan Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya

dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. (Depkes RI, 2007)

2.1.4. Epidemiologi Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas dimana telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur < 15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur 15 tahun. (Depkes RI, 2010) Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah Indonesia. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006)

2.1.5. Patogenesis Patogenesis DBD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang

kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuhnsehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai Antibody Dependent Enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia, dan syok. (Hadinegoro, 2004)

2.1.6. Strategi Pengobatan Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma danpenggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma danperdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis danpemantauan kadar hematokrit danjumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan danjumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat. (Depkes RI, 2007)

2.2. Manajemen Kesehatan Menurut Notoatmodjo, manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan nonpetugas kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan kata lain, manajemen kesehatan masyarakat adalah penerapan manajemen umum dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat sehingga yang menjadi objek dan sasaran manajemen adalah sistem pelayanan kesehatan masyarakat. (Herlambang, 2012) Ruang lingkup manajemen kesehatan secara garis besar mengerjakan kegiatan yang berkaitan dengan, (Herlambang, 2012) : a. Manajemen sumber daya manusia b. Manajemen keuangan (mengurusi cash flow keuangan) c. Manajemen logistik (mengurusi logistik-obat dan peralatan) d. Manajemen pelayanan kesehatan dan sistem informasi manajemen (mengurusi pelayanan kesehatan)

2.3. Manajemen Kesehatan pada Demam Berdarah Kebijakan dalam rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah (1) peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan kemandiriian masyarakat terhadap penyakit DBD, (2) meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penyakit DBD, (3) meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program pemberantasan DBD, dan (4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas program. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006) Strategi dalam pelaksanaan kebijakan di atas dilakukan melalui (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006): 1. Pemberdayaan masyarakat Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pemberantasan penyakit DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif masyarakat, maka upaya-upaya KIE, social marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai media massa dan sarana.

2. Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD Upaya pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sector kesehatan saja, peran sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangat menentukan. Oleh sebab itu, maka identifikasi stakeholders baik sebagai mitra maupun pelaku potensial, merupakan langkah awal dalam menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan kemitraan

diselenggarakan melalui pertemuan berkala, guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia di masing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian. 3. Peningkatan profesionalisme pengelola program SDM yang terampil dan menguasai IPTEK merupakan salah satu unsur penting dalam pelaksanaan program P2 DBD. Pengetahuan mengenai Bionomik vektor, virologi dan faktor-faktor perubahan iklim, tata laksana kasus harus dikuasai karena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam penyususnan kebijaksanaan program P2 DBD 4. Desentralisasi Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada kabupaten/kota. Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia kecuali di daerah yang di atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka kesakitan penyakit ini bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain, dikarenakan perbedaan situasi dan kondisi wilayah. 5. Pembangunan berwawasan kesehatan lingkungan Meningkatnya mutu lingkungan hidup dapat mengurangi angka kesakitan penyakit DBD karena di tempat-tempat penampungan air bersih dapat dibersihkan setiap minggu secara berkesinambungan, sehingga populasi vector sebagai penular penyakit DBD dapat berkurang. Orientasi, sosialisasi, dan berbagai kegiatan KIE kepada semua pihak yang terkait perlu dilaksanakan agar semuanya dapat memahami peran lingkungan dalam pemberantasan penyakit DBD.

Pokok-pokok program pemberantasan DBD mencakup beberapa hal yaitu: 1. Kewaspadaan dini DBD 2. Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, 3. Bulan Bakti gerakan 3M 4. Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas melakukan penyelidikan

epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat. 5. Penanggulangan KLB 6. Peningkatan profesionalisme SDM 7. Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD 8. Penelitian

Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan kegiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus sehingga kemungkinan penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah. Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan peran serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006) Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya adalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.

Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD), larvasidasi, penyuluhan, dan pengasapan menggunakan insektisisda sesuai kriteria. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih lanjut. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya

penanggulangan yang meliputi pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian Penanggulangan KLB meliputi penilaian operasional dan penilaian epidemiologi. Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi, dan penyuluhan. Sedangkan penilaian epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya

penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD dengan cara membandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan KLB. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular DBD di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan populasi nyamuk sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan dengan 3M, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan air, (2) menutup rapat-arapat tempat

10

penampungan air, dan (3) mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD. Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk Aedes aegipty adalah nyamuk domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukiman penduduk sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan penyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk. Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M Plus, yaitu menguras tempattempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti, menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk Aedes aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu, mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung air hujan. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006) Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006)

11

Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup nyamuk Aedes aegypti. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006) Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti, Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, dan gerakan-lainnya dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain penyakit DBD maka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan ikut terberantas. (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006)

12

BAB III KESIMPULAN


Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pengendalian DBD yang utama adalah dengan memutus rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektornya, karena sampai saat ini vaksin dan obatnya belum ada. Vektor DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus pengendaliannya tidak mungkin berhasil dengan baik kalau hanya dilakukan oleh sektor kesehatan, karena berbasis lingkungan dan nyamuk berkembang biak di wilayah permukiman penduduk. Untuk mencegah resistensi dan efektifitas, maka penggunaan insektisida harus selektif, tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, tepat cakupan. Peran serta masyarakat dan lintas sektor terkait harus ditingkatkan secara berkesinambungan melalui penyuluhan dan promosi kesehatan untuk mengendalikan sumber nyamuk melalui 3M plus dan PSN terpadu. Untuk meningkatkan daya ungkit pengendalian DBD akan terlaksana dengan baik kalau digerakkan oleh Kementrian Dalam Negeri termasuk pemerintah daerah di semua tingkat administrasi dan dukungan dukungan teknik dari sektor kesehatan.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi : Demam Berdarah Dengue [accessed 8th April 2013] Available from:

www.depkes.go.id/downloads/publikasi/.../BULETIN%20DBD.pdf 2. Departemen Kesehatan RI. 2007. Tatalaksana DBD. [accessed 8th April 2013]

Available from: www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf 3. Direktorat Kesehatan Dan Gizi Masyarakat. 2006. Kajian Kebijakan

Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular Studi Kasus DBD. 4. Herlambang, S., Murwani, A., 2012. Manajemen Kesehatan dan Rumah Sakit. Ed.1st. Yogyakarta : Gosyen Publishing, 39-40. 5. Hadinegoro, S.R., Satari, H.I. 2004. Demam Berdarah Dengue. Balai Penerbit FKUI.

14

Anda mungkin juga menyukai