Anda di halaman 1dari 22

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan

pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.

Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja. Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.

Penyebab

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson Infeksivirus jamur bakteri Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia koksidioidomikosis, histoplasma streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela malaria salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif,

parasit Obat

klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik Makanan Fisik Lain-lain Coklat udara dingin, sinar matahari, sinar X penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)

Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid. Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

GEJALA KLINIK

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ . Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

DIAGNOSIS BANDING

Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ. Erythema Multiforme Burns, Chemical

Burns, Ocular Staphylococcal Scalded Skin Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis Burns, Thermal Dermatitis, Exfoliative Toxic Shock Syndrome

PENATALAKSANAAN

Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin. Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsurangsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).

Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik. Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

PROGNOSIS Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis. http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/sindrom-steven-johnson/

SINDROM STEVEN-JOHNSON Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto

BATASAN Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. PATOFISIOLOGI Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

GEJALA KLINIK/Symptom Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di :

Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang

menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

DIAGNOSA Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.

PENATALAKSANAAN Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :

Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun

: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

PROGNOSIS Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

DAFTAR PUSTAKA 1. Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4. 2. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92. 3. Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44. 4. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 116473. 5. Yawalkar N, Egli F, Hari Y. Infiltration of cytotoxic T cells in drug-induced cutaneous eruptions. Clin Exp Allergy 2000; 30 : 847-55. 6. Yawalkar N, Shrikhande M, Hari Y. Evidence for a role for IL-5 and eotaxin in activating and recruiting eosinophils in drug-induced cutaneous eruptions. J Allergy Clin Immunol 2000; 106 : 1171-76. http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-steven-johnson/

amis, 27 Agustus 2009 ASKEP PENYAKIT SINDROM STEVEN JOHNSON

A. Apa yang dimaksud dengan penyakit SINDROM STEVEN JOHNSON ? Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127). Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480). Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136). B. Penyebabnya........? Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah: 1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik) a. Penisilline dan semisentetiknya b. Sthreptomicine c. Sulfonamida d. Tetrasiklin e. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol) f. Kloepromazin g. Karbamazepin h. Kirin Antipirin i. Tegretol 2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit) 3. Neoplasma dan faktor endokrin 4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X) 5. Makanan

C. Manifestasi Klinis Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: 1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. 3. Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis. Komplikasi : Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. D. Patofisiologi Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72). Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. E. Penatalaksanaan Kortikosteroid Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6x5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan). Antibiotik Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Infus dan tranfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari,

maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak. F. Pathway Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan makanan Reaksi alergi tipe III Terbentuknya kompleks antigen dan antibodi Terpangkap dalam jaringan kapiler Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast Kerusakan jaringan kapiler/organ Akumulasi neutrofil Reaksi alergi tipe IV Sel tak aktif, kontak kembali dengan antigen Melepas limfosit dan sitotoksin Reaksi radang Kelainan kulit dan eritema Inflamasi dermal dan epidermal Gangguan integritas kulit Nyeri Kelainan selaput lendir dari ofisiun Kesulitan menelan Intake in adekuat Kelemahan fisik <> G. Fokus Intervensi 1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh Intervensi: a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi. Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi c. Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi d. Kolaborasi dengan tim medis Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut 2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan Intervensi: a. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat Rasional: meningkatkan nafsu makan d. Kerjasama dengan ahli gizi Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan. 3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit KH: a. Melaporkan nyeri berkurang b. Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks Intervensi: a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum c. Pantau TTV Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat d. Berikan analgetik sesuai indikasi Rasional: menghilangkan rasa nyeri 4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas Intervensi: a. Kaji respon individu terhadap aktivitas Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari. b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal c. Jelaskan pentingnya pembatasan energi Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

5. G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis KH : - Kooperatif dalam tindakan - Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen Intervensi: a. Kaji dan catat ketajaman pengelihatan Rasional: Menetukan kemampuan visual b. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak. Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan. c. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan: Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan. d. Orientasikan thd lingkungan. -Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien. -Berikan pencahayaan yang cukup. -Letakan alat-alat ditempat yang tetap. -Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar. -Hindari pencahayaan yang menyilaukan. -Gunakan jam yang ada bunyinya. e. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien. Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun. H. Daftar Pustaka Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC. Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC. Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius. http://beniners.blogspot.com/2009/08/askep-penyakit-sindrom-steven-johnson.html

SENIN, 19 JULI 2010 Laryngitis Akut BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005

BAB I Pendahuluan Laringitis akut merupakan penyakit yang umum pada anak-anak, mempunyai onset yang cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut laringitis kronik. Laringitis didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan dapat disebabkan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi. Laringitis sering juga disebut juga dengan croup. Dalam proses peradangannya laringitis sering melibatkan saluran pernafasan dibawahnya yaitu trakea dan bronkus. Bila peradangan melibatkan laring dan trakea maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeitis, dan bila peradangan sampai ke bronkus maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeobronkitis.1,2,3,4

BAB II Epidemiologi Dari penelitian di Seattle Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Dari penelitian di Chapel Hill NC (Danny dkk, 1983) didapatkan data-data perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47, 31.2, dan 14.5, dan dari data-data tersebut didapatkan 1.26% membutuhkan perawatan di rumahsakit. Di Tuscon AZ didapatkan angka serangan croup selama tahun pertama kehidupan 107 kasus dari 961 anak. Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan laki-laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada keluarganya.2,5,6 Anatomi Laring Untuk mengerti patogenesis penyakit laringitis maka kita sebelumnya harus mengetahui anatomi dari laring. Laring terdiri dari 4 kartilago besar yaitu thyroid, krikoid, arytenoid, dan epiglotis, dihubungkan dengan otot, ligamen, dan membran fibroelastis dan membran mukus. Anatomi dari laring pada bayi berbeda dari orang dewasa, dan perbedaan tersebut membuat bayi lebih rentan pada infeksi saluran nafas atas. Laring pada neonatus terletak tinggi pada leher. Epiglotisnya lebih sempit, berbentuk omega, dan posisinya vertikal. Submukosa dari area subglotis merupakan daerah tersempit dari laring, tidak berserabut, menyebabkan ikatan yang lebih longgar dari membran mukus dibanding orang dewasa, memudahkan terjadinya akumulasi dari edema. Sebagai tambahan, kartilago yang menyokong saluran

udara dari bayi bersifat lunak, sehingga dapat menyebabkan saluran nafas collapse selama inspirasi. Saluran nafas dari neonatus berukuran 5-6 mm di diameter pada titik tersempitnya, yaitu cincin krikoid, sehingga bayi berada pada resiko tinggi terhadap gagal nafas.5

Gambar 2.1. anatomi saluran nafas.5 Etiologi Etiologi dari laringitis akut yaitu penggunaan suara berlebihan, gastro esophago reflux disease (GERD), polusi lingkungan, terpapar dengan bahan berbahaya, atau bahan infeksius yang membawa kepada infeksi saluran nafas atas. Bahan infeksius tersebut lebih sering virus tetapi dapat juga bakterial. Jarang ditemukan radang dari laring disebabkan oleh kondisi autoimun seperti rematoid artritis, polikondritis berulang, granulomatosis Wagener, atau sarkoidosis. Virus yang sering menyebabkan laringitis akut antara lain virus parainfluenza tipe 1 sampai 3 (75% dari kasus), virus influenza tipe A dan B, respiratory syncytial virus (RSV). Virus yang jarang menyebabkan laringitis akut antara lain adenovirus, rhinovirus, coxsackievirus, coronavirus, enterovirus, virus herpes simplex, reovirus, virus morbili (measles), virus mumps.1,2,3,4,5,6

gambar 2.2. Virus Parainfluenza.7

gambar 2.3. Virus Influenza.7

gambar 2.4. Adenovirus.7

gambar 2.5. Measles Virus atau Paramyxovirus.7 Bakteri walaupun jarang tetapi dapat juga menyebabkan laringitis akut, antara lain Haemophilus influenzae type B, Staphylococcus aureus, Corynebacterium diphtheriae, Streptococcus group A, Moraxella chatarralis, Escherichia coli, Klebsiella sp., Pseudomonas sp., Chlamydia trachomatis, Mycoplasma pneumoniae, Bordatella pertussis, dan sangat jarang Coccidioides dan Cryptococcus. C. diphtheriae harus dicurigai sebagai kuman penyebab terutama bila anak belum diimmunisasi, karena C. diphtheriae dapat meyebabkan membranous obstructive laryngitis.1,2,3,4,5,6

gambar 2.6. Haemophilus influenza.7

gambar 2.7. Staphylococcus aureus.7

gambar 2.8. Streptococcus pneumoniae.7

gambar 2.9. Corynebacterium diphtheriae.7 Selain virus dan bakteri laringitis juga dapat disebabkan juga oleh jamur, antara lain Candida albicans, Aspergilus sp., Histoplasmosis dan Blastomyces. Histoplasma dan Blastomyces dapat menyebabkan laringitis sebagai komplikasi dari infeksi sistemik.3,5

gambar 2.10. Candida albicans.7 Patofisiologi Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah. Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan pengecilan sedikit saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas yang besar dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas sesuai dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas akan berkurang. Sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan bernafas yang akan menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat. Hipoksia dengan sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau bahkan adanya cairan.1,4,5 Gejala Klinis dan Diagnosis Laringitis ditandai dengan suara yang serak, yang disertai dengan puncak suara (vocal pitch) yang berkurang atau tidak ada suara (aphonia), batuk menggonggong, dan stridor inspirasi. Dapat terjadi juga demam sampai 39-40, walaupun pada beberapa anak dapat tidak terjadi. Gejala tersebut ditandai khas dengan perburukan pada malam hari, dan sering berulang dengan intensitas yang menurun untuk beberapa hari dan sembuh sepenuhnya dalam seminggu. Gelisah dan menangis sangat memperburuk gejala-gejalanya. Anak mungkin memilih untuk duduk atau dipegangi tegak. Pada anak yang lebih

dewasa penyakitnya tidak begitu parah. Pada anggota keluarga lainnya mungkin didapatkan penyakit saluran pernafasan yang ringan. Kebanyakan pasien hanya bergejala stridor dan sesak nafas ringan sebelum mulai sembuh. Gejala tersebut sering disertai dengan gejala-gejala seperti pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada kebanyakan pasien gejala tersebut timbul 1 sampai 3 hari sebelum gejala sumbatan jalan nafas terjadi.3,4,5,6 Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa sampai megapmegap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang sudah ada sebelumnya.2,4,6 Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.1,2,3,4,5,6

gambar 2.11. gambaran laringoskopi dari laringitis akut.1,8,9

gambar 2.12. gambaran rontagen laringitis akut, gambaran steeple sign, dibandingkan dengan gambaran rontagen normal.5 Terapi pasien dengan laringitis harus ditangani dengan tenang dan dengan sikap yang menentramkan hati, karena emosi atau marah akan memperburuk keadaan distress pernafasan anak. Kebanyakan pasien mengalami hipoksemia, sehingga oksigenisasi harus dilakukan dan diberikan oksigen yang dilembabkan. Oksigenisasi dapat dinilai pertama-tama dengan cara oximetry pulse noninvasif untuk meminimalkan

ketidaknyamanan dan memaksimalkan ketenangan pasien. Bila distres pernafasan parah dan tidak responsif terhadap perawatan pertama makan harus diukur tekanan gas darah arteri untuk menilai hiperkapnia dan asidosis respiratori. Tetapi harus diingat bahwa PaCO2 normal dapat tidak menggambarkan keparahan penyakit karena sumbatan dapat terjadi tiba-tiba. Bila terjadi hiperkapnea maka kebanyakan pasien membutuhkan jalan nafas buatan.5 Pemberian makan pada pasien harus mempertimbangkan keparahan pernyakitnya. Pada pasien yang keadaannya gawat maka tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi.5 Nebulisasi epinefrin rasemic sementara dapat memperbaiki distres pernafasan, dengan efek dalam jam dari pemberian aerosol dan hilang efeknya setelah 2 jam. Namun tidak ada bukti bahwa penggunaan epinefrin rasemic merubah dasar penyakit dari laringiti, tetapi penggunaannya telah memperkecil perlunya saluran nafas buatan. Epinefrin rasemic dapat diberikan sering, sampai setiap setengah jam bila diperlukan untuk melegakan distres pernafasan. Epinefrin resemic diberikan dalam dosis 0.25 ml dari larutan 2.25% untuk setiap 5 kg Berat badan, sampai dosis maksimum 1.5 ml. Epinefrin rasemic ini harus diberikan dengan nebulisasi dalam oksigen, karena dapat menyebabkan perburukan sementara dari ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi dalam paru-paru. Irama jantung dan nadi harus dimobitor dan obat harus dihentikan bila terjadi aritmia. Bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja dengan dosis 5 ml larutan 1:1000 ternyata manjur setara 0,5 efinefrin rasemic 2.25% yang dilarutkan dengan 4.5 ml normal saline dalam memperbaiki distres pernafasan pada laringitis. Efeknya juga hilang dalam 2 jam seperti resemic epinefrin.4,5,6 Pengguanaan kortikosteroid dalam terapi laringitis menimbulkan kontroversi. Pada awalnya penelitian yang menilai kemanjuran steroid menggunakan metodologi yang salah dan menggunakan dosis yang kecil. Lalu bukti-bukti mucul bahwa dosis steroid setara dengan 100 mg kortisol atau 0,3 mg/kg dexametason dapat jadi efektif mengurangi keparahan laringitis dalam 12 dan 24 jam. Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa kemanjuran dari penggunaan dosis tunggal parenteral 0.6 mg/kg deksametason dalam mengurangi gejala dan mempercepat kesembuhan, juga mengurangi kebutuhan perawatan intensif dan intubasi endotrakeal. Pada pasien yang memerlukan intubasi, penggunaan prednisolon 2 mg/kg.hari telah menunjukan mempercepat extubasi. Dalam sebuah penelitian pada 120 pasien dengan laringitis yang sedang, penggunaan dexamethasone secara oral dengan dosis 0.15, 0.3 dan 0.6 mg/kg sama efektifnya untuk menghilangkan gejala dan kebutuhan nebulisasi epinefrin. Malah, pertimbangan untuk menggunakan dexamethasone pada pasien dengan laringitis yang parah sekarang direkomendasikan oleh Committee of Infectious Disease of the American Academy of Paediatrics, The Infectious Diseases and Immunization Comittee of the Canadian Paediatric Society, dan the Respiratory Committee of the Paediatric Societ of New Zealand. Penelitian terakhir lebih difokuskan kepada pengguanaan steroid nebulisasi. Budesonide nebulisasi dengan dosis 2 mg telah menunjukkan kemanjuran dalam memperbaiki stridor, batuk, dan berbagai kegawatan 2 jam setelah pengobatan. Onset yang cepat ini menunjukkan efek steroid pada permeabilitas vaskular dibandingkan dengan efek anti inflamasi saja. Konsep ini didukung oleh penelitian lebih baru yang menunjukkan nebulisasi 2 mg budesonide sama efektifnya dengan nebulisasi 4 mg epinefrin dalam melegakan gejala. Lebih lanjut, nebulisasi 2 mg bunesonide secara statistik sama manjurnya dengan 0.6 mg/kg dexamethasone per oral

dalam mengurangi gejala, mengurangi kebutuhan nebulisasi epinefrin dan mengurangi lama perawatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada anak yang laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat. Masih tidak diketahui apakah pemberian kortikosteroid berulang aman dan menguntungkan. Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid jangka lama antara lain candidiasis.4,5,6 Penggunaan helium-oksigen telah berhasil meningkatkan aliran udara pada pasien dengan obstruksi saluran nafas atas. Kepadatan helium yang rendah mengurangi hambatan aliran udara yang turbulen.5,6 Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Intubasi harus dilakukan dengan perhatian penuh, sehingga meminimalkan cedera dan inflamasi saluran nafas. Tube endotrkea harus sampai 1 ukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya berdasarkan usia pasien (atau seukuran dengan jari kelingking pasien) dan tube dipotong untuk memperpendek panjangnya dan mengurangi resistensi aliran udara. Setelah diintubasi pasien jarang memerlukan bantuan ventilator mekanik. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Penghisapan harus diminimalkan untuk mengurangi cedera saluran nafas. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit untuk 24 jam sampai seminggu atau lebih, dan kriteria pemulangan pasien harus terjadi perbaikan distres pernafasan dan tidak diperlukan terapi spesifik dalam 24 jam.5 Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus, dimana penicillin adalah obat pilihannya.3

BAB III Kesimpulan Laringitis akut merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada laring dan dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Penyebab tersering dari laringitis akut ini adalah virus parainfluenza. Gejala yang terjadi pada laringitis akut ini adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Gejala biasanya lebih berat pada malam hari. Bisa didahului oleh pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor terus menerus, megap-megap (air hunger), hipoksia, saturarsi oksigen yang rendah, dan sianosis. Dari pemeriksaan penunjang bisa didapatkan pada laringoskopi ditemukan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara, kadang bercak-bercak dari sekresi, pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Dari pemeriksaan rontagen leher dapat ditemukan gambaran staplle sign pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral.

Dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis. Pada pasien dengan keadaan gawat tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi. Nebulisasi epinefrin rasemic dapat memperbaiki distres pernafasan, tetapi bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja. Anak yang menderita laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat. Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit. Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus.

DAFTAR PUSTAKA 1. http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm 2. Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. h 388-392. 3. Kasper, Dennis L. Harrisons Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw Hill. 2005. h 192. 4. Landau, Louis I. Pediatric Respiratory Diseases. USA: Mosby. 1999. h 539-541. 5. Grad, Roni. Acute infections producing upper airway obstruction. Dalam: Kendigs disorder of the respiratory tract in children. Edisi 6. USA: W.B. Saunders. 1998. h 447-460 6. Rosevelt, Genie E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408. 7. http://www.visualsunlimited.com 8. http://www.akh-wien.ac.at/hno/kkentz_de.htm 9. http://www.entorg.net/laryngitis_2.htm http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/laryngitis-akut.html

Anda mungkin juga menyukai