Anda di halaman 1dari 38

Pemicu Iwan, 6 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan sering bersin-bersin dengan ingus encer, bening sejak 1 tahun

yang lalu. Keluhan ini sering disertai mata berair dan gatal. Ia juga sering menggosok-gosokkan hidungnya yang gatal. Keluhan ini timbul terutama pada pagi hari atau bila Iwan bermain di tempat yang berdebu. Ibu Iwan, Ny. Tati sering mengalami serangan sesak napas, terutama pada malam hari atau bila terlalu capek. Keluhan sesak napas yang dialami Ny. Tati ini biasanya menghilang sesudah menggunakan obat hirup. Adik Iwan, Asih, berusia 3 tahun, sering mengalami gatal-gatal, bila makan udang. Ayah dan kakaknya tidak mempunyai keluhan yang sama. Data tambahan: Hb = 10 gr/dl Eritrosit = 3,5 juta Leukosit = 7.000 Trombosit = 150.000 Hitung jumlah leukosit = 0/ 9/0/61/25/525 Eosinofil total darah = 390 LED = 25 mm/jam Eosinofil sekret nasal = + IgE total = 35 Klarifikasi dan Definisi: 1. Bersin : pengeluaran udara melalui hidung dan mulut secara involunter, mendadak, dengan paksaan dan dapat didengar. 2. Gatal : sensasi kulit tidak menyenangkan dan mencetuskan rasa ingin mengantuk.

Keyword:

1. Bersin bersin 2. Ingus encer

3. Mata berair 4. Mata gatal 5. Hidung gatal 6. Main di tempat berdebu 7. Sesak napas bila malam atau terlalu capek 8. Gatal di kulit bila makan udang 9. Penyakit atopi

Analisis Masalah:

Iwan, 6 tahun mengeluh sering bersin dengan rinorea encer, mata berair dan gatal terutama di pagi hari atau terpapar alergen serta memiliki riwayat keluarga dengan penyakit atopi.

Hipotesis:

Iwan, 6 tahun mengalami rhinitis alergi dengan faktor predisposisi genetik dan alergen berupa debu

Pertanyaan Diskusi:

1. Jelaskan mengenai sistem imun secara umum! 2. Apa itu reaksi hipersensitivitas? 3. Bagaimana patogenesis reaksi hipersensitivitas?

4. Apa itu alergi? 5. Apa saja bentuk alergen yang bisa menyebabkan alergi? 6. Apa saja faktor yang bisa menyebabkan alergi? 7. Bagaimana hubungan riwayat penyakit keluarga dengan keluhan? 8. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit alergi? 9. Bagaimana penanganan penyakit alergi? 10. Apa itu penyakit atopi? 11. Apa yang dimaksud dengan rhinitis alergi? 12. Apa saja etiologi rhinitis alergi? 13. Bagaimana klasifikasi rhinitis alergi? 14. Bagaimana patogenesis rhinitis alergi? 15. Apa saja gejala klinis rhinitis alergi? 16. Apa saja diagnosis banding dari rhinitis alergi? 17. Bagaimana menegakkan diagnosis rhinitis alergi? 18. Bagaimana tata laksana rhinitis alergi? 19. Apa saja komplikasi rhinitis alergi? 20. Apa saja pilihan obat untuk Iwan 6 tahun?

Mind Mapping

TUBUH

Lingkunga n

Genetik Anafilak tik Citotoxi c Klasifika si Imuno complex Delayed

Terpapar alergen berulang

Faktor yang mempengaruhi

REAKSI Akibat dari HIPERSENSITIVITAS reaksi Hal-hal yang hipersensitivitas

Pembahasan Pemicu

1. Jelaskan mengenai sistem imun secara umum!

Sistem imun dapat bertugas jika ada antigen atau imunogen. Antigen adalah sebuah substansi makromolekul yang sebagian besar tersusun atas protein dan ada juga yang berupa lipopolisakarida yang dapat berikatan dengan antibodi dan reseptor sel T (TCR). Imunogen adalah substansi makromolekul yang dapat menstimulasi sel B untuk menghasilkan antibodi. Ada juga molekul kecil yang disebut sebagai hapten, yang harus menggunakan carrier berupa makromolekul untuk dapat berikatan, sehingga dapat disebut sebagai imunogen. Contoh hapten misalnya molekul obat.

Antibodi merupakan substansi glikoprotein spesifik yang disebut dengan imunoglobulin (gamma immunoglobulin) yang akan berikatan dengan antigen atau mengaktifkan komplemen. Struktur imunoglobulin terdiri dari heavy chain dan light chain. Heavy chain dapat tersusun atas struktur gamma (IgG), alpha (IgA), (IgM), (IgD), dan (IgE). Light chain terdiri dari struktur dan . Imunoglobulin mempunyai Fab, yaitu tempat untuk mengikat antigen yang spesifik, susunan asam aminonya variabel, dan Fc untuk melekat di Fc reseptor di sel mast atau di makrofag lain dan tersusun atas asam amino yang konstan. Jenis imunoglobulin : - IgA: terdapat sekitar 15-20% dari seluruh jenis Ig, memiliki berat molekul 360000, monomer atau dimer, heavy chain berupa rantai , berperan imunitas mukosa, dan waktu paruh 6 hari. - IgD : terdapat 1%, memiliki berat molekul 160000, heavy chain berupa rantai , berfungsi sebagai reseptor antigen sel B naf. - IgE : berfungsi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe cepat, ADCC ( Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity) pada eosinofil, pada helminth atau parasit. - IgM : struktunya berupa pentamer, berfungsi sebagai reseptor antigen sel B naf, aktivasi komplemen. - IgG: paling banyak, memiliki struktur monomer, berfungsi sebagai opsonisasi, aktivasi komplemen, dan ADCC. Sistem imun itu sendiri dibagi menjadi 2 jenis, yaitu sistem imun alamiah (nonspesifik) dan sistem imun didapat (spesifik). Mekanisme imunitas spesifik bekerja lebih lambat dibandingkan imunitas nonspesifik namun antara kedua sistem tersebut terjadi kerja sama yang erat. Sistem Imun Non-Spesifik Sistem imun ini tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respons langsung. Sistem imun nonspesifik dibagi menjadi 3 jenis pertahan, yaitu: Pertahanan Fisik/Mekanik

Dalam sistem pertahanan fisik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Pertahanan Biokimia Dalam sistem pertahanan biokimia, lisozim, sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin dan asam neuraminik, merupakan beberapa contoh pertahanan terhadap infeksi. Pertahanan Humoral Sistem imun nonspesifik ini menggunakan berbagai molekul larut tertentu yang diproduksi di tempat infeksi dan berfungsi lokal, misalnya peptida antimikroba (defensin, katelisidin, dan IFN dengan efek antiviral). Namun juga ada faktor larut lainnya yang diproduksi di tempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA (Protein Fase Akut). Pertahanan Selular Sel-sel sistem imun nonspesifik ini dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Contoh sel yang dapat ditemukan di sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil. basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah dan trombosit. Contoh sel yang dapat ditemukan di jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma dan sel NK. Sistem Imun Spesifik Sistem imun spesifik memiliki kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem imun spesifik humoral dan sistem imun spesifik selular. Sistem Imun Spesifik Humoral Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B yang berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang di sumsum tulang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi tersebut dapat ditemukan dalam serum dan berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya.

Sistem Imun Spesifik Selular Pemeran utama dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T yang

dibentuk di sumsum tulang (pada orang dewasa) tetapi mengalami pematangan di kelenjar timus atas pengaruh timosin yang dapat ditemukan di peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Namun hanya 5-10% dari seluruh jumlah sel T yang diproduksi yang dapat matang dan meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi. Sel T terdiri dari 3 subset dengan fungsi yang berlainan, yaitu CD4 +, CD8+, dan Ts. Fungsi utama sistem imun ini adalah sebagai pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan.

2. Apa itu reaksi hipersensitivitas?

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernh dipajankan atau dikenal sebelumnya.

3. Bagaimana patogenesis reaksi hipersensitivitas?

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut: 1. Reaksi Tipe I 2. Reaksi Tipe II 3. Reaksi Tipe III 4. Reaksi Tipe IV Mekanisme berbagai gangguan yang diperantarai secara imunologis Tipe I Tipe Anafilaksis Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

Alergen mengikat silang antibodi IgE Anafilaksis, beberapa pelepasan amino vasoaktif dan mediator bentuk asma bronkial lain dari basofil dan sel mast rekrutmen sel radang lain IgG atau IgM berikatan dengan antigen Anemia pada permukaan sel fagositosis sel autoimun, target atau lisis sel target oleh komplemen eritroblastosis sel yang bergantung antibody Kompleks antigen-antibodi fetalis, atau sitotosisitas yang diperantarai oleh penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris Reahsi Arthus, serum

II

Antibodi terhadap Antigen Jaringan Tertentu Penyakit Kompleks Imun

hemolitik

III

lupus mengaktifkan komplemen menarik sickness, perhatian nenutrofil pelepasan enzim eritematosus sistemik, tertentu lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain- bentuk glomerulonefritis akut lain

IV

Hipersensitivitas Selular (Lambat)

Limfosit T tersensitisasi pelepasan Tuberkulosis, sitokin dan sitotoksisitas yang dermatitis kontak, diperantarai oleh sel T penolakan transplan

Tipe I : Reaksi Anafilaksis Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Patofisiologi :

Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil dipersenjatai, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator. Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat. Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan menghilang setelah 60 menit. Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Mediator Primer Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a). Mediator Sekunder a. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar molar, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit. b. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus. c. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil.

d. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I Kerja Infiltrasi sel Mediator Sitokin (misalnya, TNF) Leukotrien B4 Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis Faktor pengaktivasi trombosit Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin meningkatkan permeabilitas vaskular) Faktor pengaktivasi trombosit Leukotrien C4, D4, E4 Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin Spasme otot polos Prostaglandin D2 Leukotrien C4, D4, E4 Histamin Prostaglandin Faktor pengaktivasi trombosit Manifestasi Klinis : Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema pada kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Tipe II : reaksi sitotoksik Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang diikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu: 1. Respon yang bergantung komplemen Komplemen dapat memperantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut: a. Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. b. Eritroblastosis fetalis karena inkompatibilitas antigen rhesus, antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri. c. Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri. d. Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya) yang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).

e. Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibodi terhadap protein desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.

2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.

3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otototot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi terhadap tiroid tiroid hipertiroidisme. dapat reseptor (TSH) dan merangsang Graves, hormon merangsang menyebabkan fungsi antibodi perangsang epitel otot. Pada penyakit

Tipe III : reaksi imun kompleks Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ). Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks

imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali (3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh. Patofisiologi: Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigenantibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan imun apakah pembentukan kompleks menyebabkan

penyakit dan pengendapan jaringan: a. Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi. b. Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag imun yang dalam berlebih sirkulasi atau dan disfungsional kompleks jaringan. Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai meningkatkan menyebabkan kemungkinan bertahannya pengendapan

jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut dan hemodinamika pembuluh darah yang ada. Tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembuuah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria. Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk prostaglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya. Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral) sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus, bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai oleh sel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor. Hipersensitivitas tipe lambat Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam

sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DTH. Secara keseluruhan, sitokin yang paling berperan adalah: a. IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN- oleh sel T dan sel NK yang poten. b. IFN- mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN- merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN- meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis. c. IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T penonton yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal. d. TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DTH.

Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T Sel T CD8+ tersensitisasi membunuh sel target yang membawa antigen. Molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor. Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Perforin melubangi membran plasma pada sel target. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisis osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan

apoptosis. Selain imunitas virus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft. 4. Apa itu alergi?

Alergi merupakan reaksi seseorang yang menyimpang terhadap kontak/pajanan zat asing (alergen), dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis. Alergi merupakan suatu perubahan reaksi (menyimpang) dari tubuh seseorang terhadap lingkungan berkaitan dengan peningkatan kadar imunoglobin E, suatu mekanisme sistem imun.

5. Apa saja bentuk alergen yang bisa menyebabkan alergi?

Hampir semua alergen berupa protein. Ada 7 kriteria sehingga protein mempunyai peran sebagai alergen karena dapat mengaktifkan TH2 dalam memicu perkembangan IgE. a. Protein tersebut harus menimbulkan terjadinya respon pada sel T. b. Protein tersebut harus bersifat sebagai enzim aktif, dan kebanyakan alergen bersifat proteasis. c. Protein itu pada kadar yang rendah dapat mempengaruhi subset sel T populasi CD4 membentuk IL-4. d. Protein tersebut mempunyai berat molekul yang rendah sehingga dapat berdifusi masuk e. Protein alergen harus mudah larut. f. Protein tersebut harus tetap stabil dan tidak rusak pada kondisi kering. g. Alergen tersebut harus mempunyai peptida yang dapat berikatan dengan MHC kelas II dari host yang mengawali aktivasi sel

Bentuk alergen yang dapat menyebabkan alergi :

a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur. b. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan. c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

6. Apa saja faktor yang bisa menyebabkan alergi? a. Faktor genetik (ras, predisposisi alergi, riwayat keluarga) b. Faktor lingkungan (alergen dari lingkungan luar, alergen dari lingkungan dalam, polusi udara, air, gaya hidup, makanan, paparan assap rokok).

7. Bagaimana hubungan riwayat penyakit keluarga dengan keluhan? Kromosom 5q diketahui memiliki peranan pada pelepasan sitokin yang mempengaruhi produksi IgE. Resiko alergi pada bayi dengan riwayat keluarga alergi: a. Kedua orang tua tidak ada riwayat alergi, maka 5-15% anak beresiko terkena alergi. b. Salah satu orang tua menderita alergi, maka 25-30% anak beresiko alergi. c. Salah satu orang tua memiliki riwayat alergi, maka 20-40% anak beresiko memiliki alergi. d. Kedua orang tua memiliki riwayat alergi, maka 50-80% anak beresiko terkena alergi. 8. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit alergi?

a. Anamnesis ( Riwayat Penyakit) Usia? Apakah mendadak, frekuensi, dan lamanya serangan? Apakah keluhan paling hebat pada pagi, siang atau sore hari? Bagaimanakah perjalanan penyakitnya ? Bertambah beratkah?

b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus lengkap untuk melihat gejala alergi yang tampak. c. Pemeriksaan Laboratorium 1. Tes Kulit

Tes kulit merupakan sarana penunjang diagnosis penyakit alergi. Tujuannya untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Ada 2 jenis, yaitu: a) Prick Test (tes tusuk) Mula-mula kulit dibersihkan dengan alkohol sampai kering, kemudian alergen diteteskan berbaris dengan jarak 2 cm diatas kulit kemudian dilakukan dengan jarum halus (jarum harus baru). Pembacaan dilakukan setelah 20 menit dan diukur diameter urtikaria yang timbul. Digunakan tes kontrol sebagai pembanding yaitu larutan buffer phospat). Bila hasilnya sama dengan tes kontrol berarti negatif. Hasil positif (+) bila : + ++ +++ : tidak terdapat bentol dengan diameter eritema < 20mm : tidak terdapat bentol dengan diameter eritema > 20mm : bila terdapat bentol dan eritema

b) Patch Test (tes tempel) Patch Test dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai penyebab dermatitis alergi kontak. Bila ada reaksi berarti alergi terhadap bahan tersebut. Bahan yang akan di tes ditempelkan pada kertas saring yang impermeabel kemudian ditempel pada kulit. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan diulang 72 jam kemudian. Hasil positif bila: + ++ +++ : bila ada eritema : bila ada eritema dan papula : bila ada eritema, papula dan vesikula

d. Pemeriksaan Lain 1. Spirometri

Digunakan untuk menentukan obstruksi saluran napas, baik beratnya maupun reversibilitasnya. 2. Foto dada Digunakan untuk melihat komplikasi asma. 3. Pemeriksaan tinja Digunakan untuk melihat cacing dan telurnya pada kasus urtikaria yang tidak bisa diterangkan. 4. Laju endap darah Untuk melihat kemungkinan terjadinya infeksi. 5. IgA, IgG

9. Bagaimana penanganan penyakit alergi?

Prinsip penanganan penyakit alergi: a. Pertama, dengan menggunakan inhibitor spesifik yang dapat memblok sintesis molekul yang memediasi inflamasi pada sel mast. b. Kedua, menginjeksikan antigen spesifik in desensitization regimes, yang diyakini menyebabkan toleran pada alergen. Agen ini diduga dapat memacu produksi sel T regulator. Pengobatan penyakit alergi: 1) Antihistamin Terdapat dua jenis antagonis reseptor H1 yakni yang generasi pertama dan generasi kedua. Perbedaan yang mencolok adalah efek sedatif yang kuat pada sebagian besar obat generasi pertama. Obat generasi pertama juga lebih menghambat reseptor otonom. Generasi kedua kurang sedatif karena kurangnya kemampuan dalam menembus blood brain barrier.

Semua agen ini diserap cepat dengan onset of action 15-30 menit dan mencapai dosis maksimal dalam waktu 1-2 jam. Obat ini terdistribusi secara merata di tubuh, kecuali 2nd gen. Beberapa obat ini dimetabolisme secara ekstensif di hepar oleh sistem mikrosomal. Beberapa obat 2nd gen dimetabolisme oleh CYP3A4 sehingga dapat memunculkan interaksi obat dengan obat lain. Sebagian besar obat mempunyai durasi kerja 4-6 jam, namun meclizine dan beberapa 2nd gen lebih long acting, dengan durasi kerja 12-24 jam. Ekskresi melalui urin setelah 24 jam. Untuk golongan obat dan contoh obat-obatnya bisa diliat sendiri di slide ya. Yang di-highlight itu diphenhydramine yang biasanya ada di obat flu dan chlorpheniramine alias CTM dari golongan alkilamin, keduanya memiliki efek sedasi . Indikasi: - Reaksi alergi. Antihistamin H1 sering digunakan sebagai obat pertama untuk mencegah atau mengobati reaksi alergi. Pada rhinitis alergi dan urtikaria, dimana histamin merupakan mediator utama, histamin merupakan obat pilihan dan efektif jika digunakan sebelum eksposur. - Mabuk kendaraan dan gangguan vestibular. Contohnya antimo (dimenhydrinate) - Hipnotik, efek samping sedasinya. Yang digunakan terutama diphenhydramine. - Common cold: efek antikolinergik lemah dari generasi pertama mengurangi rhinorrea Efek Samping: Efek sedatif (generasi pertama), mulut kering, pusing, mual, dan muntah. Cetirizine, loratadine, desloratadine, fexofenadine, dan terfenadine kurang menembus blood brain barrier sehingga relatif bebas dari efek sedasi. Pemberian antihistamin topikal dapat bersifat alergenik. Beberapa obat bersifat teratogenik (hydroxyzine, fexofenadine, azelastine) dan non teratogenik (chlorpheniramine,diphenhiyramine, cetirizine, loratadine). Interaksi Obat: Pemberian bersamaan dengan inhibitor CYP3A4 seperti ketokonazol dan eritromisin dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi terfenadine/astemizole darah sehingga berakibat abnormalitas cardiac rhytm. Dua obat itu sekarang sudah ditarik dari pasaran. Selain itu, jika digunakan bersama alkohol, sedative, hipnotik, dan anxiolitik akan meningkatkan efek depresan pada SSP.

Antagonis Reseptor H2 digunakan untuk menurunkan sekresi asam lambung. Contohnya: cimetidine, ranitidine, famotidine. Untuk H3 dan H4 masih dalam tahap trials, belum ada yang disetujui untuk digunakan secara klinis. 2) Glukokortikoid Biasanya digunakan untuk reaksi hipersensitivitas yang tidak berespon terhadap pemberian antagonis H1. 3) Sodium cromoglicate dan nedocromil Di negara-negara maju digunakan sebagai profilaksis untuk asma bronchial karena efek sampingnya yang jauh lebih sedikit daripada kortikosteroid inhalant. Tapi karena harganya mahal, sehingga masih sering dipakai yang kortikosteroid inhalan. 10. Apa itu penyakit atopi?

Atopi adalah kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE antibodi terpapar alergen. Faktor genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Salah satu orang tua mempunyai penyakit alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua mempunyai penyakit alergi, maka resiko pada anak adalah 50-70%. 11. Apa yang dimaksud dengan rhinitis alergi?

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

12. Apa saja etiologi rhinitis alergi?

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.

13. Bagaimana klasifikasi rhinitis alergi?

Berdasarkan waktu paparan dan jenis alergen: a. Seasonal allergic rhinitis (SAR) terjadi pada waktu yang sama setiap tahunnya musim bunga, banyak serbuk sari beterbangan b. Perrenial allergic rhinitis (PAR) terjadi setiap saat dalam setahun penyebab utama: debu, hewan, jamur, kecoa c. Occupational allergic rhinitis terkait dengan pekerjaan

Berdasarkan lamanya terjadi gejala a. Intermiten Kurang dari 4 hari seminggu atau kurang dari 4 minggu setiap saat kambuh

b. Perisisten Lebih dari 4 hari seminggu atau lebih dari 4 minggu setiap saat kambuh Berdasarkan Keparahan dan Kualitas Hidup a. Ringan Tidak mengganggu tidur, aktivitas harian, olahraga, sekolah, pekerjaan ataupun tidak ada gejala yang mengganggu b. Sedang sampai Berat Terjadi satu atau lebih kejadian di bawah ini: 1) Gangguan tidur, 2) Gangguan aktivitas harian, kesenangan atau olahraga, 3) Gangguan pada sekolah atau pekerjaan, atau 4) Gejala yang mengganggu

14. Bagaimana patogenesis rhinitis alergi?

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF ( Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa

dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada

tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

15. Apa saja gejala klinis rhinitis alergi?

Gejala rhinitis alergi: Rasa gatal di hidung, mata dan langit-langit Serangan bersin, pilek dan hidung tersumbat Rinorea jernih Edema infraorbita bilateral (sianosis infraorbita) Alur hidung horizontal/ transversal Mukosa hidung pucat, kebiruan dan bengkak Obstruksi hidung Eksem pada lipatan ekstremitas

16. Apa saja diagnosis banding dari rhinitis alergi?

1. Rhinitis vasomotor (non alergi) Memiliki gejala klinis : a. Dicetuskan sebagai rangsangan yang spesifik seperti asap rokok, bau yang menyengat, parfum, makanan pedas, udara dingin, perubahan suhu. b. Gejala yang dominan tampak : hidung tersumbat secara bergantian untuk sebelah kiri dan kanan tergantung posisi pasien, rinorea mukosa ataupun serosa, dan jarang ada gejala pada mata. c. Memburuk pada pagi hari atau saat bangun tidur karena perubahan suhu ekstrem. 2. Rhinitis medikamentosa Merupakan rhinitis yang terjadi akibat penggunaan vasokonstriktor topical (tetes hidung/spray) atau bisa pula akibat drug abuse. Gejala yang dominan tampak : a. Hidung sumbat secara terus-menerus dan berair b. Edema/hipertrofi konka c. Sekret sangat banyak d. Pemasangan tampon tidak mengurangi edema 3. Rhinitis virus Dikenal pula sebagai common cold, flu. Gejala klinis muncul pada saat imunitas tubuh menurun. a. Rasa panas dan kering serta gatal pada hidung bagian dalam b. Bersin berulang-ulang c. Hidung sumbat, ingus encer. d. Terdapat demam dan pusing/sakit kepala 4. Rhinitis hipertrofi Dapat disebabkan oleh bakteri pimer maupun sekunder. Merupakan kelanjutan dari rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor. Gejala klinis yang muncul : a. Terdapat rasa sumbatan pada hidung b. Mulut kering c. Nyeri kepala d. Gangguan tidur e. Sekret yang dihasilkan banyak dan mukopurulen 5. Rhinitis atrofi (kronik) Gejala klinis yang tampak:

a. Secret kental namun cepat kering sehingga membentuk krusta dan berbau busuk b. Napas berbau c. Ingus kental hijau d. Gangguan penghidu e. Hidung tersumbat f. Sakit kepala 6. Rhinitis jamur Terdapat inflamasi mukosa yang berat dan terjadi saat sistem imun tubuh menurun.

17. Bagaimana menegakkan diagnosis rhinitis alergi? Diagnosis rhinitis alergi berdasarkan dari gejala yang dikeluhkan pasien, adanya bersin, rinorea, hidung gatal dan kongesti yang muncul tanpa infeksi saluran napas atas dan abnormalitas struktural. Diagnosis ini juga didukung oleh pemeriksaan laboraturium dengan didapatnya kadar IgE tinggi, antibodi IgE spesifik dan tes kulit alergi yang positif. Evaluasi rhinitis alergi membutuhkan riwayat pasien termasuk rincian dari lingkungan tempat tinggal pasien dan diet, riwayat kondisi alergi keluarga seperti rhinitis alergi, eksim, dan asma, pemeriksaan fisik, dan evaluasi laboratorium. Riwayat dan temuan laboratorium memberikan petunjuk identitas faktor pencetus. Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik meliputi: kelainan perkembangan wajah, maloklusi gigi, allergic gape (terus-menerus membuka mulut untuk bernapas, bibir pecah-pecah, allergic shinners (lingkaran hitam di bawah mata dan lipatan hidung). Edema konjungtiva, gatal, berair, dan hiperemia sering ditemukan. Pemeriksaan rhinoskopi anterior dapat ditemukan sekret hidung, pembengkakan, dan membran mukosa kebiruan dengan sedikit eritema atau tidak ada, dan turbinat bengkak yang dapat menghalangi jalan napas hidung. Mungkin perlu untuk menggunakan dekongestan topikal untuk melakukan pemeriksaan yang memadai. Sekret hidung purulen menunjukkan adanya infeksi. Anak-anak dengan rhinitis alergi sering memiliki sinusitis, konjungtivitis, otitis media, otitis serosa, dan eksim. Rhinitis alergi merupakan faktor risiko untuk asma. Tes kulit Epikutan adalah metode terbaik untuk mendeteksi alergen-IgE spesifik. Tes ini sensitif, murah, dan cepat, dan risiko ketidaknyamanan yang minimal. Untuk menghindari hasil negatif palsu, sebelum pengujian, montelukast harus disimpan selama 1 hari, antihistamin generasi pertama selama 3-4 hari, dan antihistamin generasi kedua selama 5-7

hari. Serum immunoassays untuk IgE spesifik terhadap alergen memberikan alternatif yang cocok untuk pasien dengan dermatografik atau dermatitis yang luas, menggunakan obat yang mengganggu degranulasi sel mast dan yang berisiko tinggi untuk anafilaksis. Ditemukan eosinofil dalam hapusan hidung mendukung diagnosis rhinitis alergi dan neutrofil menunjukkan rhinitis menular. Eosinofilia darah dan konsentrasi total serum IgE memiliki sensitivitas yang relatif rendah. Metode laboratorium yang lebih baik untuk evaluasi obyektif masih diperlukan untuk menilai efek pengobatan. 18. Bagaimana tata laksana rhinitis alergi?

Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa: 1) Antihistamin Antihistamin adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1. Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya. 2) Dekongestan oral

Dekongestan oral bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase "tappering off" dari obatobatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya krisis hipertensi. 3) Sodium kromolin Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien. 4) Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin. Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast. Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani pengobatan penyakit paru. 5) Imunoterapi. Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen, tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFNy). Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena

berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang membran mastosit. 6) Antibodi netralisasi Antibodi netralisasi bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini berikatan dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan. 7) Konkotomi Konkotomi dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 19. Apa saja komplikasi rhinitis alergi?

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

20. Apa saja pilihan obat untuk Iwan 6 tahun?

Oral antihistamin digunakan untuk menghilangkan gejala. Antihistamin dapat menghilangkan bersin dan rinorea. Antihistamin generasi kedua yang lebih dipilih karena efek sedasi-nya yang lebih sedikit. Cetirizine: > 6 tahun: 5-10 mg/hari dalam dosis tunggal atau dibagi menjadi 2 Levocetirizine: 6-11 tahun : 2.5 mg 1 kali sehari Loratadine : > 6 tahun: 10 mg 1 kali sehari Fexofenadine: 6-11 tahun: 30 mg 2 kali sehari Desloratadine: 6-11 tahun : 2.5 mg 1 kali sehari Azelastine antihistamin topical tersedia dalam bentuk nasal spray (5-12 tahun: 1 spray tiap lubang hidung 2 kali sehari; dan sebagai tetes mata (>3 tahun: 1 tetes tiap mata yang terkena 2 kali sehari Pasien dengan gejala yang persisten dan lebih parah membutuhkan pengobatan dengan kortikosteroid intranasal, terapi paling efektif untuk rhinitis alergi. Agen ini mengurangi semua gejala rhinitis alergi dengan inflamasi eosinofilik tetapi bukan rhinitis alergi yang berhubungan dengan neutrofil atau bebas inflamasi. Obat-obat lama seperti beclomethasone, triamcinolone, dan flunisolide di absorbs dari organ pencernaan dan pernapasan. Obat kortikosteroid baru seperti budesonide, fluticasone propionate, mometasone furoate, dan ciclesonide telah dikembangkan dengan aktivitas topikal yang baik dengan sistemik yang lebih rendah. Fluticasone (>4 tahun: 1-2 sprays/lubang hidung 1 kali sehari), mometasone (211 tahun: 1 spray/lubang hidung 1 kali sehari), budesonide (>6 tahun: 1 spray lubang hidung 1 kali sehari, dosis bisa ditingkatkan jika diperlukan; dosis maksimum pada anak <12 tahun: 2 sprays/ lubang hidung 1 kali sehari) dan ciclesonide (>6 tahun dengan SAR: 2 sprays/ lubang hidung 1 kali sehari) memiliki bioavailabilitas sistemik lebih rendah.

DAFTAR PUSTAKA Irawati, Nina, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok , Kepala, Leher Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Kumar V, et.al . 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC. Soebaryo R W, Jacob TNA. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai