Anda di halaman 1dari 10

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Potensi Perikanan Indonesia

2.1.1. Sumberdaya Perikanan Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya milik bersama (common resources) milik bersama dan bersifat akses terbuka (open acces), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perseorangan dan semua lapisan masyarakat berhak memanfaatkannya. Hal ini dapat menimbulkan berbagai macam persaingan juga akan memicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan secara besar-besaran dan tidak terkontrol sehingga akan menimbulkan kondisi tangkap lebih secara ekonomi (economic pverfishing) (Fauzi dalam Utami, 2012). Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan berperan sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini mupun masa mendatang. Disisi lain, sumber daya perikanan bersifat dinamis, baik dengan ataupun tanpa intervensi manusia. Sebagai ilustrasi, pada sumber daya perikanan tangkap, secara sederhana dinamika stok ikan ditunjukkan oleh keseimbangan yang disebabkan oleh pertumbuhan stok, baik sebagai akibat dari pertumbuhan individu (individu growth) maupun oleh perkembangbiakan (recruitment) stok itu sendiri. Dengan keterbatasan daya dukung lingkungan sumber daya di suatu lokasi, maka stok ikan akan mengalami pengurangan sebagai akibat dari kematian alami (natural mortality) sampai keseimbangan stok ikan sesuai daya dukung tercapai. Adanya intervensi manusia dalam bentuk aktivitas penangkapan pada hakekatnya adalah memanfaatkan bagian dari kematian alami, dengan catatan

bahwa aktivitas penangkapan yang dilakukan dapat dikendalikan sampai batas kemampuan pemulihan stok ikan secara alami (Kab Pelalawan, 2009). Sumberdaya perikanan di perairan umum akhir-akhir ini cenderung menurun, bahkan lebih dari itu dikhawatirkan beberapajenis ikan terancam punah. Banyak alasan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan hal tersebut. Dalam kaitannya dengan penangkapan ikan, sering terjadi orang melakukan penangkapan dengan bahan dan alat yang membahayakan keberlanjutan populasi ikan. Bahan dan alat tersebut adalah racun, bom dan setrum. Disamping itu juga didorong oleh keinginan meraih keuntungan yang besar tanpa mempedulikan hari esok, banyak orang melakukan penangkapan yang berlebihan termasuk menangkap anak-anak ikan (Syafei, 2005). 2.1.2. Sumberdaya Ikan Demersal Sumberdaya ikan demersal adalah ikan yang umumnya hidup di daerah dekat dasar perairan, ikan demersal umumnya berenang tidak berkelompok (soliter). Sumberdaya ikan demersal terbagi dua berdasarkan ukuran yaitu ikan demersal besar seperti kelompok kerapu (Grouper), kakap (Snaper) dan demersal kecil seperti kelompok Siganid (Baronang), Upenid (Upeneus spp) (Kementerian Kelautan Perikanan, 2013). Salah satu daerah penangkapan ikan demersal adalah Pantai Utara Jawa. Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan ini cukup tinggi dengan salah satu indikasinya adalah turunnya hasil tangkapan para nelayan serta makin berkurangnya ukuran-ukuran spesies ikan yang terdapat di perairan Pantai Utara Jawa.

2.1.3. Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup

penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut/perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa elemen atau subsistem (sarana produksi, usaha penangkapan, prasarana, unit pengolahan, unit pemasaran, dan unit pembinaan) yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan lainnya (Monintja, 2009). Hasil perikanan dari kegiatan pengangkapan khususnya dari laut masih menjadi sumber produksi ikan utama di dunia. Di Indonesia, dari total produksi ikan yang mencapai 5,243 juta ton pada tahun 2002, kontribusi perikanan laut mencapai lebih dari 78% dari total produksi ikan pada tahun tersebut. Perikanan pantai dengan skala dan struktur usaha, alat tangkap, dan nelayan yang sangat beragam menyumbang lebih dari 70% produksi tersebut. Tentunya, pengelolaan perikanan menjadi alat yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya, pemanfaatan dan berbagai aktivitas perikanan lainnya (Widodo dan Suadi, 2006). 2.1.4. Pengelolaan Perikanan Menurut UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Prinsip dasar yang mendasari ide pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung ( carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass udang. Disadari bahwa meskipun sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable), tetapi bukan tak terbatas. Apabila pemanfaatannya tidak seimbang dengan daya pulihnya maka sumberdaya tersebut dapat terdegradasi dan terancam kelestariannya, yang sering dikenal sebagai lebih tangkap (overfishing). Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kondisi tangkap lebih maka perlu adanya pengelolaan perikanan (Saputra, 2009). Berbagai hasil kajian yang berkembang belakangan ini, terutama di berbagai lokasi perikanan utama dunia, menunjukkan bahwa upaya pengelolaan semakin dirasakan meningkat kebutuhannya. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus menerus meningkat (intensif), dengan sedikit upaya pengelolaan, telah menyebabkan terjadinya kehilangan yang cukup besar keanekaragaman sumberdaya ikan dan habitatnya (Dulvy dkk, 2003 dalam Widodo dan Suadi, 2006).

2.2.

Pelabuhan Perikanan

2.2.1. Definisi Pelabuhan Perikanan Menurut PERMEN Kelautan dan Perikanan No 16 tahun 2006, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan

bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Pelabuhan perikanan merupakan basis utama dalam kegiatan industri perikanan tangkap yang harus dapat menjamin suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkap di laut. Pelabuhan perikanan berperan sebagai terminal yang menghubungkan kegiatan usaha di laut dan di darat ke dalam suatu sistem usaha dan berdayaguna tinggi. Aktivitas unit penangkapan ikan di laut harus keberangkatannya dari pelabuhan dengan bahan bakar, makanan, es, dan lain-lain secukupnya. Informasi tentang data harga dan kebutuhan ikan di pelabuhan perlu dikomunikasikan dengan cepat dari pelabuhan ke kapal di laut. Setelah selesai melakukan pekerjaan di laut kapal akan kembali dan masuk ke pelabuhan untuk membongkar dan menjual ikan hasil tangkapan (Nurdiyanto, 2003). 2.2.2. Tipe-tipe Pelabuhan Perikanan Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER. 16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, telah ditetapkan bahwa pembagian kriteria pelabuhan secara teknis yaitu: a. PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera) Tipe A Pelabuhan perikanan samudera melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan laut lepas; memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 60 GT; panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m; mampu menampung sekurangkurangnya 100 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya

6.000 GT kapal perikanan sekaligus; ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor; dan terdapat industri perikanan. b. PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) Tipe B Pelabuhan Perikanan Pantai melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikananberukuran sekurangkurangnya 30 GT;panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m; mampu menampung sekurangkurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250 GT kapal perikanan sekaligus; dan terdapat industri perikanan. c. PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Tipe C Pelabuhan Perikanan Pantai melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 10 GT; panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 m; mampu menampung sekurangkurangnya 30 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 300 GT kapal perikanan sekaligus. d. PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Pangkalan Pendaratan Ikan melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan; memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 3 GT; panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m, dengan kedalaman kolam minus 2 m;

mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus. Sedangkan menurut SK Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jateng Nomor 523/074/SK/II/2005, maka TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dibagi menjadi empat kelas berdasarkan Nilai Produksi (Raman) per tahun TPI tersebut. Adapun pembagiannya dapat diuraikan sebagai berikut : 1). TPI Kelas I : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) lebih dari Rp. 50 milyar 2). TPI Kelas II : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) antara Rp. 25 s/d 50 milyar 3). TPI Kelas III : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) antara Rp. 10 s/d 25 milyar 4). TPI Kelas IV : TPI dengan Nilai Produksi (Raman) kurang dari Rp. 10 milyar 2.2.3. Fungsi Pelabuhan Perikanan Murdiyanto (2003) dalam Novianti (2008) menjelaskan bahwa fungsi khusus pelabuhan perikanan adalah fungsi-fungsi yang berkaitan dengan masalah perikanan yang memerlukan pelayanan khusus pula yang belum terlayani oleh adanya berbagai fasilitas fungsi umum, seperti fasilitas tempat pelelangan ikan, fasilitas penanganan, fasilitas pengolahan ikan, dan sebagainya. Menurut penjelasan pasal 41 ayat 1 UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan, dalam rangka pengembangan pelabuhan perikanan, pemerintah membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi sebagai berikut: (1) Tempat tambat labuh kapal perikanan; (2) Tempat pendaratan ikan; (3) Tempat pemasaran dan distribusi ikan; (4) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan;

(5) Tempat pengumpulan data perikanan; (6) Tempat penyelenggaraan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; dan (7) Tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan. Dalam rangka pengembangan pelabuhan perikanan, sudah seharusnya pelabuhan perikanan menjalankan fungsinya secara optimal sehingga terwujud pelabuhan perikanan sebagai pusat ekonomi berbasis aktivitas kelautan dan perikanan.

2.3.

Alat Tangkap Cantrang Menurut Sumiono dan Nuraini (2007), cantrang rnerupakan alat

penangkap ikan tradisional yang dipertahankan keberadaannya oleh para nelayan di Indonesia, khususnya di daerah pantai utara Jawa. Alat tangkap ini mempunyai andil yang cukup besar dalam memproduksi ikan laut di utara Jawa, disamping beberapa alat tangkap lain seperti pukat cincin, pukat pantai, dogol, arad, rampus. trammel net, jaring insang, dan pancing rawai. Penangkapan ikan dengan alat tangkap cantrang merupakan rekayasa teknologi, yang disesuaikan dengan tujuan menangkap ikan-ikan yang hidup di dasar perairan. Alat tangkap ini cukup efektif untuk menangkap ikan demersal Menurut Zarochman dan Dulgofar (1990) dalam Sudirman dan Mallawa (2004), cantrang merupakan pengembangan dari alat tangkap dogol tradisional dengan modifikasi alat dan bahan berupa penambahan alat bantu dari tali selambar yaitu kapstan/winch yang dibuat dari gardan mobil.

Konstruksi jaring pada alat tangkap cantrang yang digunakan terdiri dari bagian sayap, badan dan kantong jaring dimana masing-masing bagian mempunyai ukuran yang berbeda. Badan jaring merupakan bagian terbesar dari alat tangkap cantrang yang terletak antara kantong dan sayap. Bagian sayap merupakan sambungan dan perpanjangan antara badan jaring dengan tali selambar yang berfungsi sebagai penghalau ikan untuk masuk ke mulut jaring, selanjutnya ikan masuk ke badan jaring dan badan jaring mengarahkan ikan-ikan masuk ke bagian kantong jaring (Sudirman dkk, 2008). Menurut Subani dan Barus (1989) dalam Wardhani (2012), daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah penangkapan yang baik untuk alat tangkap cantrang yaitu harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir. 2. Arus laut cukup kecil (< 3 knot). 3. Cuaca terang tidak ada angin kencang. Penangkapan dengan jaring cantrang dapat dilakukan sepanjang tahun. Ombak yang besar merupakan faktor yang sulit untuk melakukan operasi penangkapan. Jenis-jenis ikan demersal seperti peperek (Leiognathus spp), ikan kuwe (Caranx sp), ikan layur (Trichiurur savala), kurisi (Nemiptherus sp), ikan bloso (Saurida sp), ikan sebelah (Psettodes erumei), merupakan jenis yang dominan yag tertangkap dengan alat tangkap cantrang (Sudirman dan Mallawa, 2004).

2.4.

Catch Per Unit Effort (CPUE) Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE)

merupakan angka yang menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Dimana, nilai ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksplotasi terus menerus (Fitrianti, 2011). Hasil tangkapan per unit upaya sebagai indicator besarnya (ukuran) stok. Hampir semua ahli perikanan di dunia menggunakan data hasil tangkapan per unit upaya dalam menduga stok ikan, diasumsikan ketika stok ikan mengalami penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun secara bertahap. Dengan asumsi ini, ahli perikanan mengabaikan kemampuan adaptasi dan kapasitas sumberdaya nelayan. Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat, kemungkinan dipindahkan ke bagian lain dimana ikan diperkirakan masih cukup banyak (Sadovy,dkk dalam Fitriani, 2011). Menurut King (1995) dalam Fitriani (2011), hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan angka yang

menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Nilai ini bisa digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksplotasi terus menerus. Nilai CPUE yang menurun dapat menandakan bahwa potensi sumberdaya sudah tidak mampu menghasilkan lebih banyak walaupun upaya ditingkatkan. Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan hasil tangkapan per unit alat tangkap pada kondisi bimassa yang maksimum.

Anda mungkin juga menyukai