Anda di halaman 1dari 4

Tiga Macam Jiwa

Jiwa seseorang dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, sebagaimana telah dijelaskan
oleh para ulama. Ketiga jiwa tersebut dibagi atas dasar kondisi yang melingkupinya.

1. Jiwa yang Tenang (Nafsu Muthmainnah)
Allah menjelaskan nafsu jenis ini dalam firman-Nya;
Og++C^4C ^EL-
OELjE;C^- ^g_ /R_O-
_O) l)4O LO41-4O LOE1OO
^gg Oj>7u1 O) Og4:gN ^g_
Oj>7u1-4 /ELE_ ^@
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,dan masuklah ke dalam surga-Ku.(QS. Al-Fajr: 27-30).
Orang-orang mukminlah pemilik jiwa ini, jiwanya tenang terhadap apa yang dijanjikan Allah, demikian
menurut Imam Qatadah. Sementara Imam Al-Hasan menyatakannya sebagai jiwa yang merasa
tenang dengan firman Allah dan membenarkannya.
Jiwa ini membangun ketenangannya dengan yaqzhah (kesadaran) dan iman (keyakinan)
terhadap semua hal yang berasal dari Allah; janji-janji-Nya, pahala dan azab-Nya, siksa kubur dan
hari kebangkitan-Nya, perintah dan larangan-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, ketetapan dan
takdir-Nya serta jaminan kecukupan dari-Nya.
Ia ridha Allah sebagai satu-satunya Rabb, Ilah, Penguasa, dan Pengatur alam semesta. Ia
juga ridha Islam sebagai dinnya dan Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Salam sebagai nabi dan rasul
Allah. Atas alasan inilah ia merasakan ketenangan hidup. Ia telah menemukan, dan bukan mencari.
Nafsu ini membangun hubungannya dengan Allah secara intens, berzikir untuk mengingat-
Nya, menumbuhkan cinta di hatinya dengan beribadah kepadaNya, berinabah kepada-Nya,
bersegera dalam taubatnya serta merindukan perjumpaan dengan-Nya.
Ia berbahagia ketika bisa menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, tenang ketika
mengingat-Nya, damai ketika berdekatan dengan-Nya, dan tenggelam dalam kekhusyuan munajat
kepada-Nya. Ia berada pada ketenangan dan ketentraman dalam keikhlasan penghambaan, sebab
keduanya merupakan hakikat muthmainnah.
2. Ammaarah bis Suu
Adapun jika nafsu manusia memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan seluruh sifat-sifat di
atas secara diametral, maka ia adalah jiwa jenis kedua, yakni ammarah bis suu. Jiwa tercela yang
menjadi sarang dari segala keburukan. Firman Allah ;
.4`4 7e@O4q /O^4^ _ Ep)
"^EL- E4OE`V g7EOOO) )
4` =gO4O EO).4O _ Ep) O).4O
EOOEN 7gOO ^)@
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf;53).
Dalam ayat ini jiwa disebut dengan kata ammaarah yang berarti selalu mengajak kepada
keburukan, karena ia diciptakan dalam keadaan bodoh dan zalim. Keburukan adalah kebiasaan dan
karakternya, sehingga ia tidak mengajak manusia kecuali sesuai dengan kebodohan dan
kezalimannya.
Setan adalah teman setia nafsu jenis ini, yang selalu memberi janji-janji palsu dan angan-
angan kosong. Setan juga selalu mengajak kepada kebatilan dan perbuatan jahat, serta
menampakkan kerusakan dalam bentuk keindahan, dan keburukan dalam bentuk kesenangan.
Nafsu ini akan selalu bengkok, bodoh dan zalim, ia tidak akan pernah lurus, berilmu dan
bersikap adil tanpa rahmat dari Allah dan jika Allah tidak menghendaki kelurusan itu baginya.
Kezhaliman itu terjadi karena kebodohan yang dimiliki atau karena kebutuhan kepada sesuatu.
Dalam hal ini, kebutuhan nafsu kepada Allah untuk memberikan padanya ilmu, membersihkan
kotoran yang melekat pada karakternya dan memperbaiki keadaannya, merupakan kebutuhan yang
wajib dan terpenting. Tidak ada kepentingan lain yang bisa menyamainya.
Og^4C 4g~-.-
W-ONL4`-47 W-ON):+-> g4O7C7=
^}C^OO=- _ }4`4 ;7)l44C
g4O7C7= ^}C^OO=- +O^^)
+O4C g7.4=E^)
@OL^-4 _ O4 N;_ *.-
7^OU4 +O+-4uO4O4 4` _O.Ee
7Lg` ;}g)` 4 -44 O}4
-.- O.4ONC }4` +7.4=EC +.-4
77OgE- _1)U4 ^g
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh
mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-
perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-
Nya. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. :21)
3. Nafsu Lawwamah.
Adapun sifat nafsu ketiga adalah nafsu lawwamah, berarti jiwa yang banyak mencela. Ia
adalah nafsu yang selalu berubah keadaannya, dan kadang mengalami keragu-raguan karenanya.
Pada satu kesempatan ia melakukan pekerjaan nafsu muthmainnah dan pada kesempatan yang lain
melakukan pekerjaan nafsu ammaarah bis suu. Kadang ia ingat, sadar, gembira, taat, ridha dan
tenang. Namun kadang ia lupa, berpaling, bermaksiat, menggerutu dan gelisah.Firman Allah ;
4 NO^~q +^EL)
gO4`-O^U- ^g
Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al-Qiyaamah;2).
Ia adalah nafsu seorang mukmin yang tidak melihat sesuatu kecuali menyesali apa yang telah
berlalu dan luput darinya. Kadang muncul pertanyaan dalam dirinya, mengapa aku dulu makan ini,
minum ini, berbuat begini, berkata begini dan berniat begini. Ia sesali keburukan kenapa ia lakukan, ia
sesali kebaikan kenapa ia tidak memperbanyaknya. Sebagaimana peryataan Ibnu Abbas,
Semua jiwa akan mencela dirinya pada hari kiamat. Pelaku kebaikan akan mencela dirinya,
mengapa tidak berbuat lebih baik. Pelaku keburukan akan mencela dirinya, mengapa tidak bertaubat
dari keburukannya.
Tiga sifat nafsu yang disebutkan di atas, pada dasarnya merupakan peringkat kematangan
kepribadian seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh DR. Utsman An-Najati dalam kitab Al-Quran
wa Ilmu Nafs. Seseorang yang nafsu ammarah bis suu-nya dominan dalam dirinya, maka dia adalah
manusia yang tidak matang kepribadiannya. Seperti anak kecil yang melihat pemenuhan seluruh
keinginannya adalah puncak obsesinya. Dia tidak melihat kebaikan dalam penahanan dan
pengendalian nafsu
Sedangkan manusia dengan nafsu lawwamah yang dominan adalah manusia dengan
kesadaran akan manfaat pengendalian nafsu, namun kadang-kadang masih terjebak pada keinginan
untuk mengikuti dorongan nafsu, meski kemudian ia sesali,.
Pada puncak kematangan kepribadiannya, manusia akan menyerahkan seluruh ukuran
kebaikan dan keburukan kepada Allah dan tenang dengan segala keputusannya. Dia melihat bahwa
pemenuhan hawa nafsu tidak paralel dengan kebaikan, juga pada penahanan dan pengendaliannya
tidak selalu berarti penderitaan. Kebahagiaan dan ketenangan ada di dalam ketundukan pada apa
yang dipilihkan Allah baginya.
Dalam sebuah ayatnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
E` }4` _/EC ^@_ 4O-474
E_O41O4^- 4Ou^O- ^@g Ep)
47O_^- "Og- O4E^- ^@_
E`4 ;}4` 4~ 44` gO)4O
OE_4^4 "^EL- ^}4N O4OE-
^j Ep) OE4O_^- "Og-
O4E^- ^j
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
syurgalah tempat tinggal(nya). (QS.An-Naaziat:37-41).
Ayat ini memberi tahu kita adanya dua kecenderungan dalam diri manusia. Di satu sisi ada
ajakan untuk melampaui batas dan mengutamakan dunia, sementara di sisi lain ada ajakan untuk
takut kepada Allah dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu. Manusia dengan demikian memiliki
kecenderungan untuk terbujuk kepada kedua-duanya.
Ada konflik batin dalam diri manusia untuk mengarahkan nafsunya secara tepat. Di sinilah
letak cobaan dan ujian Allah bagi manusia. Bila dilihat dari sisi ini, maka ada dua macam manusia;
yang pertama adalah manusia yang mampu menguasai nafsunya dan menjadikan nafsu itu tunduk
atas kemauannya; yang kedua adalah manusia yang dikuasai oleh hawa nafsunya dan tunduk
kepada kemauan nafsunya, dirinya menjadi pelayan yang siap melayani keinginan majikan bernama
nafsu.
Dalam upaya meluruskan hati dan jiwa, seorang muslim hendaknya mampu mengendalikan
hawa nafsunya di bawah kendali syariat, dan menundukkannya untuk tidak melampaui batas dari apa
yang telah digariskan oleh syariat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai