Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Agama merupakan kebudayaan, sebagai sub sistem kebudayaan, agama terkait dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya seperti kesenian, bahasa, oraganisasi sosial, sistem pengetahuan, mata pencaharian, ekonomi, teknologi. Sehingga agama dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal itu juga dapat dilihat dari keberadaan kehidupan beragama di Bali. Sebagian besar orang Bali menganut Agama Hindu dan keberadaan Agama Hindu merupakan akar budaya Bali. Sistem teologi masyarakat Bali bersumber pada ajaran Agama Hindu yang berkeyakinan bahwa Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi adalah Esa adanya. Perkembangan Agama Hindu yang dianut masyarakat Bali dewasa ini mempunyai sejarah dan proses yang panjang. Unsur-unsur budaya pra-Hindu tampak tetap bertahan dan berakulturasi dengan ajaran Hindu yang datang dari India dan unsur budaya lainnya yang pernah berkembang di Bali. Perjalanan dan pengalaman sejarah kebudayaan Bali merefleksikan sifat kebudayaan Bali sebagai sosok kebudayaan yang terbuka, selektif, luwes dan adaptif (Geriya, 2000). Hasil akulturasi tersebut terutama akulturasi dalam sistem kepercayaan atau sistem teologi masyarakat Bali melahirkan agama Hindu Bali sebagai agama yang diwarisi dan dilaksanakan masyarakat Bali hingga saat ini. Pengamalan
1

agama Hindu di Bali berpegang teguh pada tiga kerangka agama Hindu terdiri dari : (1) Tatwa merupakan pengamalan ajaran agama Hindu yang menitikberatkan pada makna filosofis, (2) Susila adalah pengamalan ajaran agama yang menekankan pada aturan dalam etika berprilaku, (3) Upacara merupakan pengamalan ajaran agama yang memfokuskan perhatian pada ritual keagamaan. Namun masyarakat Bali melaksanakan ketiga kerangka tersebut sekaligus. Orang tidak akan disebut pemeluk agama yang baik apabila mengambil hanya salah satu dari ketiga kerangka agama tersebut. Bila seseorang hanya memfokuskan diri pada tatwa tetapi tidak pernah mengadakan upacara ritual dan tidak berprilaku sesuai ajaran agama, maka orang tersebut belum dapat disebut pemeluk agama yang baik. Demikian pula sebaliknya, bila orang yang beretika baik dan selalu mengadakan upacara ritual tetapi tidak tahu makna filosofis dan kepada siapa akan dipersembahkan maka yadnya itu akan terbuang sia-sia. Ajaran tattwa diimplementasikan melalui ajaran panca sraddha yaitu lima kepercayaan yang merupakan inti dari ajaran Agama Hindu di Bali. Kelima ajaran tersebut antara lain : (1) Widhi sraddha adalah kepercayaan terhadap adanya Tuhan/Ida Sanghyang Widhi, (2) Atma sraddha adalah kepercayaan terhadap adanya Atman, (3) Karma phala sraddha adalah kepercayaan terhadap adanya hasil perbuatan seseorang, (4) Punarbhawa sraddha adalah kepercayaan terhadap adanya reinkarnasi atau kehidupan yang berulang-ulang, (5) Moksa sraddha adalah kepercayaan terhadap adnya tujuan akhir hidup manusia yaitu kelepasan. Ajaran susila yang menitikberatkan pada etika berperilaku umat Hindu baik dalam tataran individu maupun dalam kehidupan sosial. Secara individu
2

konsep susila diimplementasikan melalui ajaran Tri Kaya Parisuddha yang artinya tiga perbuatan yang baik dan benar. Kayika artinya umat Hindu hendaknya berbuat yang baik dan benar, wacika artinya berkata-kata yang baik dan benar, serta manacika artinya umat Hindu hendaknya senantiasa berpikir yang baik dan benar. Sedangkan dalam kehidupan sosial masyarakat konsep susila

diimplementasikan dalam ajaran Tri Hita Karana artinya tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan, yaitu (1) parhyangan adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan sang pencipta, (2) pawongan adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia, (3) palemahan adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya. Sedangkan upacara yang menitikberatkan pada ritual keagamaan diimplementasikan melalui ajaran panca yadnya artinya lima macam upacara koban suci, yang bagian-bagiannya antara lain : (1) dewa yadnya adalah korban suci ditujukan kepada para dewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi, (2) rsi yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada para Maharsi, (3) pitra yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada para leluhur, (4) manusa yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada sesama manusia, (5) bhuta yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada para bhuta kala. Dalam melaksanakan ketiga kerangka agama Hindu ini umat diberikan kebebasan untuk beribadat sesuai dengan kemampuan dan jalan mana yang akan ditempuh. Dalam ajaran Agama Hindu di Bali ada empat jalan untuk mengamalkan ajarannya yang diistilahkan catur marga, antara lain : (1) bhakti marga yaitu pengamalan ajaran agama melalui penyerahan diri secara bulat
3

kepada Ida Sang Hyang Widhi, (2) karma marga yaitu pengamalan ajaran agama melalui kerja yang dilandasi dengan konsep rame ing gawe sepi ing pamrih, (3) jnana marga yaitu pengamalan ajaran agama melalui penerapan ilmu pengetahuan, (4) raja marga yaitu pengamalan ajaran agama melalui tapa brata yoga dan samadhi. Pengamalan ajaran agama Hindu di Bali lebih menonjol pada pengamalan melalui bhakti dan karma. Namun tidak menutup kemungkinan pada era sekarang ini karena pendidikan telah demikian maju maka juga diimbangi dengan pengamalan ajaran agama melalui jnana marga. Berbhakti kepada Tuhan tidak akan mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kerja (karma). Kerja terealisasi dari pengetahuan (jnana). Tanpa pengetahuan orang tidak akan dapat mengerjakan sesuatu. Orang yang giat bekerja dan pandai namun tidak pernah sembahyang, tidak akan disebut sebagai pemeluk agama yang baik, demikian pula sebaliknya orang yang selalu bhakti kepada Tuhan namun tidak mengetahui hakikat yang dibhaktikan juga merupakan hal yang bohong. Orang yang senantiasa bhakti dan mengetahui tentang hakikat kebenaran Tuhan, namun berperilaku yang tidak baik juga bukan pemeluk agama yang baik. Jadi ketiga hal yaitu bhakti, karma dan jnana hanya dapat dipisahkan dalam definisi saja, namun dalam pelaksanaannya saling terkait. Ajaran agama Hindu di Bali bersumber pada Weda yang ditransformasi ke dalam teks-teks lontar. Dalam teks-teks lontar tersebut dinyatakan bahwa Tuhan itu Esa adanya yang mewujud menjadi aneka (ekatwa anekatwa swalaksana bhatara). Dalam penghayatan makna tersebut bahwa Tuhan itu hanya satu namun

orang bijaksana menyebutkan dengan banyak nama sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Tidak semua orang dapat dengan mudah memusatkan pikiran kepada Tuhan yang bersifat gaib. Karena memang beliau bersifat tak terpikirkan (acintya). Demi kepentingan bhakti maka Tuhan yang tak terpikirkan dan tak berwujud tersebut diwujudkan melalui murti puja yaitu pemujaan Tuhan dengan sarana perwujudan tertentu yang merupakan simbol-simbol kemahakuasaan Tuhan seperti : arca perwujudan, pratima, pralingga, gambar, aksara suci dan sebagainya. Hal itu bukan berarti umat menyembah patung atau wujud konkretnya namun apa yang ada dibalik yang nyata itulah yang disembah. Perwujudan itu hanyalah sebagai pengantar pemusatan pikiran agar tertuju kepada Tuhan. Di Bali banyak ada arca-arca perwujudan. Ada yang berbentuk manusia dengan segala kelebihannya seperti : bertangan empat, lidah mengeluarkan api, postur arca perwujudan yang tinggi besar dan lain sebagainya. Salah satu arca perwujudan itu adalah Barong Landung. Di Desa Adat Selat Kecamatan Abiansemal, terdapat arca perwujudan yang berbentuk Barong Landung. Barong Landung tersebut disimpan pada Gedong Pasimpenan yang dipersembahkan sesajen pada hari-hari raya tertentu. Pamaksan pura tersebut meyakini bahwa Barong Landung itu merupakan perwujudan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi yang akan memberikan kesejahteraan bagi umat.

Keberadaan Barong Landung di Desa Adat Selat tersebut telah menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih lanjut yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah eksistensi/keberadaan Barong Landung di Desa Adat Selat, Kecamatan Abiansemal ? 2. Apakah fungsi Barong Landung yang ada di Desa Adat Selat, Kecamatan Abiansemal? 3. Bagaimanakah peranan Barong Landung sebagai media komunikasi di Desa Adat Selat, Kecamatan Abiansemal?

1.3 Tujuan Penelitian Ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan Umum

Secara

umum

penelitian

ini

bertujuan

untuk

menggali

dan

mendokumentasikan keberadaan Barong Landung di Desa Adat Selat Dalam hal ini Barong Landung merupakan produk budaya Bali yang perlu mendapat
6

perhatian dalam pelestarian nilai budaya yang dilandasi oleh ajaran Agama Hindu. Dalam jangka panjang hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan pembanding bagi yang berkepentingan dalam penelitian sejenis.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :


1.

Untuk mengetahui dan mendeskripsikan keberadaan Barong Landung di Desa Adat Selat, Kecamatan Abiansemal.

2.

Untuk mengetahui dan mendeskripsikan fungsi Barong Landung yang ada di Desa Adat Selat, Kecamatan Abiansemal.

3.

Untuk mengetahui dan mendeskripsikan peranan Barong Landung Sebagai Media Komunikasi Di Desa Adat Selat, Kecamatan Abiansemal.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai guna atau mempunyai manfaat sebagai bentuk kontribusi bagi pihak-pihak tertentu, baik secara teoretis maupun secara praktis, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan, terutama menyangkut hal-hal yang erat kaitannya dengan bidang kajian ini.
7

1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat merangsang para peneliti lainnya untuk melakukan penelitian yang sejenis, karena Barong Landung ini penting dilakukan pengkajian sebagai suatu usaha untuk melembagakan ajaran bhakti dan pemujaan kepada leluhur di kalangan masyarakat awam dan menjernihkan pandangan-pandangan di kalangan umat yang masih kabur mengenai keberadaan, fungsi dan nilai-nilai pendidikan yang sarat akan makna. Temuan-temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini akan memberikan sumbangan pengetahuan khususnya ritual Agama Hindu. 1.4.1 Manfaat Praktis Secara praktis ini akan memberikan manfaat bagi umat, yakni untuk membuka dan menambah wawasan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran-ajaran Agama Hindu, sehingga keberadaan Barong Landung tidak hanya didasari atas tradisi (gugon tuwon atau mula keto), tetapi lebih didasari atau pemahaman yang berlandaskan pada sastra agama.

Anda mungkin juga menyukai