Anda di halaman 1dari 22

Bab 1 Pendahuluan 1.

1 Latar Belakang Kondisi disfungsi ginjal sering dipengaruhi oleh glomeruli, tubulus ginjal, dan interstitium. Beberapa kondisi bisa mempengaruhi lebih dari satu bagian organ, dan kerusakan satu struktur tersebut bisa berdampak pada bagian yang lain. (Bullock & Henze, 2000). Glomerulonefritis (GN) merupakan suatu inflamasi pada glomerulus yang dapat terjadi secara primermaupun sekunder. Berbagai kemungkinan penyebab glomerulonefritis antara lain masuknya zat yang berasal dari luar yang bertindk sebagai antigen, rangsangan autoimun atau aktifasi komplemen lokal/pelepasan sitokin. Keterlibatan sel inflamasi komplemen dan mediator inflamasi akan menentukan perubahan stuktur dan fungsi glomerulus. (Rasyid & Wahyuni, 2009). Ada dua jenis gangguan glumerulonefritis yaitu glumerulonefritis akut dan kronis. Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak pada kedua ginjal. Peradangan akut glomerulonefritis terjadi akibat pengendapan kompleks antigen antibodi di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh sterptokokus (glomerulonefritis pascastreptokokus), tetapi dapat juga timbulsetelah infeksi lain. (Muttaqin, 2011) Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau sporadik,15 paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun.5 Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1. Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%). (Lumbanbatu, 2003) Penyakit Glomerulonefritis seperti nephritic atau nefrotik ataupun keduanya. Pada penyakit nephritic, juga disebut nefritis, ada proliferasi aktif sel glomerulus dan proses inflamasi yang luas. Inflamasi mengarah ke penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang mungkin bersifat sementara atau kemajuan gagal ginjal. Penurunan GFR, dengan retensi natrium dan air, dapat menyebabkan hipertensi, kerusakan glomerulus menyebabkan peningkatan glomerular basement membrane (GBM), dari peningkatan GBM tersebut menyebabkan proteinuria dan hematuria. (Bullock & Henze, 2000). Mekanisme kekebalan tubuh bertanggung jawab untuk kerusakan glomerulus di sebagian besar pada penyakit glomerulus primer dan berbagai penyakit sekunder. Cedera yang berhubungan dengan reaksi antigen-antibodi adalah penyebab paling umum dari kerusakan, meskipun mekanisme kekebalan sel-dimediasi dan lainnya juga memainkan peran. Antigen dalam reaksi mungkin eksogen (seperti agen infeksi) atau endogen (seperti yang terlihat pada penyakit autoimun tertentu dan
1

keganasan). Antigen-antibodi-terkait cedera dapat terjadi pada salah satu dari dua cara: pertama, antigen-antibodi kompleks beredar dalam darah menjadi terjebak dalam glomeruli. Kompleks tersebut terjebak memblokir glomeruli dan menyebabkan peradangan dan kerusakan struktural. Kedua, antibodi bereaksi terhadap antigen dalam membran glomerulus. Antigen mungkin bagian dari glomerulus sendiri atau bagian dari molekul yang sebelumnya terikat pada glomerulus, seperti obat atau bagian dari agen infeksi. Reaksi ini dapat memicu mekanisme kekebalan tubuh lainnya (seperti aktivasi komplemen) dan menyebabkan kerusakan glomerulus. (Bullock & Henze, 2000). Dari kasus yang terjadi di atas, peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sangat penting karena pada pasien glomerulonefritis sering timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Fokus asuhan keperawatan adalah mengidentifikasi masalah yang timbul yang diakibatakan oleh glomerulonefritis, merumuskan diagnosa keperawatan, membuat rencana keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan yang telah diberikan apakah sudah diatasi atau belum atau perlu modifikasi. Observasi jangka panjang diperlukan untuk membuktikan kemungkinan penyakit menjadi kronik dan menyebabkan gagal ginjal. 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Setelah perkuliahan diharapkan mahasiswa mengetahui mengenai konsep asuhan keperawatan pada klien dengan primary glomerular diseases: acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mengetahui anatomi fisiologi glomerulus 2. Mahasiswa mengetahui pengertian acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 3. Mahasiswa mengetahui etiologi acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 4. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis dari acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 5. Mahasiswa mengetahui patofisiologi acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 6. Mahasiswa mengetahui web of causation acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 7. Mahasiswa mengetahui komplikasi acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 8. Mahasiswa mengetahui uji laboratorium dan diagnostik acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 9. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 10. Mahasiswa mengetahui prognosis acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis. 11. Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan acute glomerulonephritis and chronic glomerulonephritis.

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Anatomi dan Fisiologi Glomerulus 2.1.1 Anatomi Glomerulus Ginjal terletak di dalam ruang retroperitonium sedikit di atas ketinggian umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturutturut dan kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks, yang berisi glomeruli, tubulus konturtus proksimalis dan distalis dan duktus kolektivus, serta di lapisan dalam, medula, yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung Henle, vasa rekta dan dyktus koligens terminal. Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang keluar dari aorta, arteri renalis multipel bukannya tidak lazim ditemui. Arteri renalis utama membagi menjadi cabangcabang segmental dalam medula. Arteri-arteri ini menjadi arteri interlobaris yang melewati medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, yang berjalan sejajar dengan permukaan ginjal. Arteri interlobaris berasal dari arteri arkuata dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yang terspesialisasi dalam dinding arteriol aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (makula densa) yang berdeketan dengan glomerulus, membentuk paratus jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus yang kemudian bergabung menjadi arteriole aferen. Arterole aferen glomerulus dekat dengan medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar daripada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (veska rekta) ke tubulus dan medula. Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (glomerulus dan tubulus terkait). Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme penyaring ginjal. Kapiler glomerulus filapisi oleh sel endotelium yang mempunyai sitoplasma sangat tipis yang berisi banyak lubang (fenetrasi). Membran basalis glomerulus (MBG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel masangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran ini mempunyai 3 lapisan : a. Lamina densa yang sentralnya pada-elektron b. Lamina rara interna yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelial c. Lamina rara ektern yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel.

Gambar 1. Anatomi glomerulus (Cummings, 2001) Mesangium (sel mesangiumdan matriks) terletak di antara kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membran basalis dan membentuk bagian tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung pada kapiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran darah glomerulus, filtrasi dan pembuangan makromolekul (seperti kompleks imun) dari glomerulus, melalui saluran interseluler ke daerah jukstaglomerulus.kapsula Bowman, yang mengelilingi glomerulus, terdiri dari a. Membran basalis, yang merupakan kelanjutan dari membran basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimal b. Sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera. (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000) 2.1.2 Fisologi Glomerulus Saat darah melewati kapiler glomerulus, plasmanya difiltrasi melalui dinding kapiler glomerulus. Ultrafiltrat, yang bebas sel, mengandung semua substansi dalam plasma (elektolit, glukosa, fosfat, urea, kreatinin, peptida, protein dengan berat molekulrendah), kecuali protein (seperti albumin dan globulin) yang mempunyai berat molekul lebih dari 68.000. Filtrat terkumpul di ruang Bowman dan masuk tubulus, di mana komposisinya diubah sesuai dengan kebutuhan tubuh sampai filtrat tersebut meninggalkan ginjal sebagai urin. Filrat glomerulus adalah hasil akhir dari gaya-gaya yang berlawanan melewati dinding kapiler. Gaya ultrafiltrasi (tekanan hidrostatis kapiler glomerulus) berasal dari tekanan arteri sistemi, yang diubah oleh tonus arteriole aferen dan eferen. Gaya utama yang melawan ultrafiltrasi adalah tekanan onkotik kapiler kapiler glomerulus, yang dibentuk oleh perbedaan tekanan antara kadar protein plasma yang tinggi dalam kapiler dan ultrafiltrasi dalam 4

ruang Bowman. Filtrasi dapat diubah oleh kecepatan aliran plasma glomerulus, tekanan hidrostatis dalam ruang Bowman, dan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus. (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000) Tekanan kapiler memiliki efek terhadap filtrasi glomerulus. Tekanan hidrostatik pada kapileer merupakan gaya utama yang mendorong air serta solut melewati membran filtrasi menuju kapsula Bowman. Tekanan ini dipengaruhi secara tidak langsung oleh efisiensi kontraksi jantung dan secara langsung oleh tekanan arterisistemik serta resistensi pada arteriol aferen dan eferen. Gaya yang mendorong komponen darah untuk dapat masuk ke dalam kapsula Bowman adalah tekanan hidrostatik kapiler, sedangkan gaya yang melawan masuknya komponen darah tersebut adalah tekanan di ruang Bowman serta tekanan onkotik efektif darah kaplier glomerulus. Volume total cairan yang tersaring oleh glomerulus sekitar 180 L/hari, atau 120 mL/menit. Jumlah filtrasi plasma per satuan waktu disebut glomerular filtration rate (GFR), dan berbanding langsung dengan tekanan perfusi pada kapiler glomerulus. Faktor-faktor yang menentukan GFR berkaitan langsung dengan tekanan yang mendorong atau melawan filtrasi. Perubahan pada resistensi arteriol aferen maupun eferen akan menyebabkan perubahan pada tekanan hidrostatik kapiler serta GFR. Vasokonstriksi pada salah satu arteriol memiliki efek berlawanan pada tekanan glomerular. Hal ini akan menurunkan GFR sehingga cairan tubuh terjaga. Sebaliknya, konstriksi dari arteriol eferen akan meningkatkan NFP dan selanjutnya meningkatkan GFR. Konstriksi dari kedua arteriol tersebut akan mengakibatkan perubahan kecil pada NFP, namun aliran darah renal akan menurun sehingga GFR pun akan ikut berkurang. (McCance KL, 2002) 2.2 Definisi Glomerulonefritis Glomerulonefritis (GN) merupakan suatu inflamasi pada glomerulus yang dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Berbagai kemungkinan penyebab GN antara lain masuknya zat yang berasal dari luar yang bertindak sebagai antigen, rangsangan autoimun atau aktivasi komplemen lokal /pelepasan sitokin. Keterlibatan sel inflamasi, komplemen dan mediator inflamasi akan menentukan perubahan struktur dan fungsi glomerulus. (Rasyid & Wahyuni, 2009) 1. Glomerulonefritis akut Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak pada kedua ginjal. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan kompleks antigen antibodi di kapiler kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk tujuh hingga sepuluh hari setelah infeksi faring atau kulit karena bakteri streptokokus (glomerulonefritis pascastreptokokus), tetapi dapat juga timbul setelah infeksi lain. Glomerulonefritis akut lebih sering terjadi pada laki laki di bndingkan pada perempuan dengan prevalensi (2:1), walaupun 5

dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering pada anak anak terutama pada usia 6-10 tahun. (Arif Muttaqin, 2011) 2. Glomerulonefritis kronis Glomerulonefritis kronis merupakan gangguan progresif yang berbahaya, terjadi karena penyakit glomerulus yang menunjukkan karakteristik nefrotik maupun nefritik. Glomeruli menjadi jaringan parut dan memungkinkan kerusakan total serta tubulus mengalami atropi. (Barbara & Reet.L , 2000) Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria (protein dalam urin) ringan, yang sering terjadi menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. (Corwin, Elizabeth, J. 2000) 2.3 Etiologi 1. Glomerulonefritis Akut Faktor penyebab yang mendasari sindrom ini secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan non infeksi a. Infeksi Infeksi streptokokus terjadi sekitar 5-10% pada orang dengan radang tenggorokan dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus, meliputi bakteri, virus dan parasit. b. Non-infeksi Penyakit sistemik multisistem, seperti pada lupus eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis, sindrom Goodpasture, granulomatosis Wegener. Kondisi penyabab lainnya adalah pada kondisi sindrom Guillain-Bare. 2. Glomerulonefritis Kronis Penyebab yang paling sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Kedua penyakit ini berkaitan dengan cedera glomerulus yang bermakna dan berulang. Hasil akhir dari peradangan tersebut adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Kerusakan glomerulus sering diikuti kerusakan tubulus. 2.4 Manifestasi Klinis Kasus Glomerulonefritia Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) 50% adalah asimptomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi saluran napas dengan nyeri tenggorok 2 minggu mendahului timbulnya sembab. Periode laten rata-rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik. Gross hematuria terjadi pada 30-50% pasien yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya 6

ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edema pretibial, atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edema. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipnea dan dispnea. Gejala-gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). (Sari Pediatri, 2003) 2.5 Patofisiolgi 2.5.1 Glomerulonefritis Akut Secara patofisiologi, pada glomerulonefritis akut akan terjadi dua perubahan, yaitu perubahan struktural dan perubahan fungsional. Perubahan Struktural Perubahan struktural meliputi hal-hal berikut: a. Proliferasi seluler : hal ini menyebabkan peningkatan jumlah sel di glomerulus karena proliferasi endotel, mesangial, dan epitel sel. Proliferasi tersebut dapat bersifat endokapilerglomerular (yaitu dalam batas-batas dari kapiler) atau ekstrakapiler (yaitu dalam ruang Bowman yang melibatkan sel-sel epitel). Dalam proliferasi ekstrakapiler, proliferasi sel epitel parietal mengarah pada pembentukan tertentu dari glomerulonefritis progresif cepat. b. Proliferasi leukosit : hal ini ditunjukkan dengan adanya neutrofil dan monosit dalam lumen kapiler glomerulus dan sering menyertai proliferasi seluler c. Penebalan membran basal glomerulus : perkembangan ini muncul sebagai penebalan dinding kapiler baik di sisi endotel atau membran dasar d. Hialinisasi atau sklerosis : kondisi ini menunjukkan cedera ireversibel Perubahan struktural ini diperantarai oleh reaksi antigenantibodi, agregat molekul (kompleks) dibentuk dan beredar ke seluruh tubuh. Beberapa dari kompleks ini terperangkap di glomerulus, suatu bagian penyaring di ginjal, dan menimbulkan respon peradangan. Reaksi peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus, serta filtrasi glomerulus. Protein-proten plasma dan sel darah merah bocor melalui glomerulus. Akhirnya membran glomerulus rusak sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang interstisium Bowman. Hal ini meningkatkan tekanan cairan interstisium yang dapat menyebabkan kolapsnya setiap glomerulus di daerah tersebut. Pengaktifan komplemen menarik sel-sel darah putihdan trombosit ke glomerulus. Pada peradangan terjadi pengaktifan faktor-faktor koagulasi yang dapat menyebabkan pengendapan fibrin, pembentukan jaringan parut, dan hilangnya fungsi glomerulus. Membran glomerulus menebal dan menyebakan penurunan GFR lebih lanjut. (Muttaqin, 2011) 7

2.5.2 Glomerulonefritis Kronis Hampir semua bentuk glomerulus akut memiliki kecenderunagan untuk berkembang menjadi glomerulonefritis kronis. Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal, terdiri atas jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1-2 mm atau kurang, bekas jaringan parut merusak sisa korteks menyebabkan permukaan ginjal menjadi kasar dan irreguler. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, serta cabang cabang arteri renal menebal. Perubahan ini terjadi dalam rangka untuk menjaga GFR dari nefron yang tersisa sehingga mengakibatkan sebuah konsekuensi kehilangan fungsional nefron. Perubahan ini pada akhirnya menyebabkan kondisi glomerulosklerosis dan kehilangan nefron lebih lanjut. Pada penyakit ginjal tahap dini, penurunan substansial pada GFR dapat mengakibatkan hanya sedikit peningkatan dalam kadar serum kreaitinin. Azotemia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum). Terlihat ketika GFR menurun hingga kurang dari 60-70 mL/menit. Selain peningkatan BUN dan kadar kreatinin, beberapa kondisi lain juga memperberat kondisi klinik, seperti penurunan produksi eritropoitin sehingga mengakibatkan anemia, penurunan produksi vitamin D sehingga megakibatkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme, hiperfosfatemia dan osteodistrofi ginjal, pengurangan ion hidrogen, kalium, garam dan ekskresi air, mengakibatkan kondisi asidosis, hiperkalemia, hipertensi, dan edema, serta disfungsi trombosit yang menyebabkan peningkatan kecenderungan terjadinya pendarahan. Akumulasi produk ureum (toksin uremik) mempengaruhi hampir semua sistem organ. Azotemia terjadi dengan tanda dan gejala uremia. Uremia terjadi pada GFR sekitar 10 mL/menit yang kemudian berlanjut pad kondisi gagal ginjal terminal. (Muttaqin, 2011) 2.6 Komplikasi Saat glomerulonefritis akut berubah menjadi kronis, maka dapat terjadi komplikasi berikut (Kaliegman & Arvin 2000): 1. Fungsi ginjal yang memburuk yang umumnya tercermin dari manifestasi klinis dan temuan laboratorium. Dapat juga ditemukan dengan tanda tanda seperti kelebihan beban volume, kongesti sirkulasi, hipertensi, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis, kejang kejang dan uremia. 2. Proteinuria Urin nampak berbusa pada kondisi proteinuria 3. Edema 4. Hipertensi 5. Hematuria 6. Urin nampak merah muda atau berwarna seperti cola pada kondisi ini 7. Anemia ( manifestasi penyakit yang progresif) 8

8. Ensefalopati hipertensif ( ditandai dengan sakit kepala, muntah, peka rangsang, konvulsi, dan koma) dapat disebabkan hipertensi kronis. 9. Gagal jantung yang dapat diakibatkan peningkatan volume darah karena retensi natrium dan air (berhubungan dengan kongesti paru). 10. Penyakit ginjal tahap akhir. 2.7 Uji laboratorium dan diagnostik Tidak ada uji diagnostik khusus untuk mendiagnosis glomerulonefritis, namun untuk menegakkan diagnosis biasanya di lakukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut: a. Pemeriksaan urin Pada pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan proteinuria, hematuria, adanya sedimen, sel darah merah, sel darah putih, penurunan klirens kreatinin. b. Tes peningkatan nitrogen urea darah (BUN), kreatinin serum, asam urat, perubahan elektrolit (asidosis metabolik, penurunan natrium dan kalsium, peningkatan kalium, peningkatan fosfor, pemeriksaan albumin serum dan kolesterol), anemia ringan dan leukositosis, peningkatan titer antibodi (antistreptolisin, antihialurodinase, atau antideoksiribonuklease) dan laju endap darah (LED) c. Biopsi ginjal Pada biopsi ini dapat diindikasikan, jika dilakukan, kemungkinan temuan adalah meningkatnya jumlah sel dalam dalam setiap glomerulus dan tonjolan subepitelial yang mengandung imunoglobulin dan komplemen. (Linda A, 2009) 2.8 Penatalaksanaan Menurut Brunner & Suddarth, 2001 tujuan penatalaksanaan adalah untuk melindungi fungsi ginjal dan menangani komplikasi dengan tepat. a. Medis 1. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih, dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis. 2. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis. 3. Pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.

4. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen. b. Keperawatan 1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya. 2. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. 3. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan Bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi. 4. Edukasi pasien a. Instruksikan pada pasien mencakup penjelasan dan penjadwalan evaluasi tindak lanjut terhadap tekanan darah, tindakan urinalisis untuk protein, dan kadar BUN serta kreatinin untuk menentukan perkembangan penyakit. b. Pasien diinstruksikan untuk memberi tahu dokter jika gejala gagal ginjal terjadi (seperti: keletihan, mual, muntah, haluaran urine berkurang). Pengobatan spesifik pada glomerulonefritis ditujukan terhadap penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi angiotensin. (angiotensin converting enzyme inhibitors, ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat. Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah dapat membantu menghambat progresivitas glomerulonefritis. Efektivitas penggunaan obat imunosupresif glomerulonefritis masih belum seragam. Diagnosis glomerulonefritis, faktor pasien, efek samping dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe glomerulonefritis karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-1 atau TNF dan aktivitas transkripsi NFkB yang berperan pada patogenesis glomerulonefritis. Siklofasfamid, klorambusil, dan azatioprin mempunyai efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus. Siklosporin walaupun sudah lebih dari 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal tetapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan glomerulonefritis. Imunosupresif lain seperti mofetil mikofenolat, takrolimus, dan sirolimus juga belum diindikasikan secara penuh untuk pengobatan glomerulonefritis. (Prodjosudjadi, 2009).

10

2.9 Prognosis Penyembuhan sempurna terjadi pada anak dengan glomerulonefritis lebih dri 95% pascastreptococus akut. Tidak ada bukti bahwa terjadi penjelekan menjadi glomerulonefritis kronis. Namun jarang fase akut menjadi sangat berat dan menimbulkan hialinisasi glomerulus dan insufisinsi ginjal kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari dengan manajemen yang tepat pada gagal ginjal atau gagal jantung akut. Kekambuhan sangat jarang terjadi. (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000).

11

Bab 3 Asuhan Keperawatan 3.1 Pengkajian Studi Kasus: An.Allen anak laki-laki berusia 10 tahun diterima di rumah sakit dengan keluhan nyeri pinggang, penurunan haluaran urine lebih dari satu minggu yang lalu dan berwarna merah, kemudian mengalami kelemahan serta bingung. An.Allen mempunyai riwayat infeksi faringitis & menunjukkan riwayat hipertensi. Pada pemeriksaan tanda vitalnya TD:140/90; frekuansi jantung 80 x/menit dan tidak teratur; pernapasan 25x/menit, tidak teratur; suhu badan 37,50c. Ia juga merasa mual dan muntah. An.Allen menyatakan bahwa sepatunya sempit, pergelangan kakinya menunjukkan edema. An.Allen tidak masuk sekolah selama 3 minggu karena tubuhnya lemas. Ia melaporkan perasaan depresi suatu waktu dan mudah sekali marah dengan hal yang sepele. Temuan laboratorium yaitu Kalium 5,7; nitrogren urea darah (BUN) 100, kreatinin 5, Ureum 24 mmol/24 jam, Hb 8. Ia didiagnosa mengalami glomerulonefritis. 1. Anamnesa a. Identitas penderita : An.Allen (10 tahun) b. Keluhan utama : Penurunan haluaran urin dan urin berwarna merah c. Riwayat kesehatan sekarang : Nyeri pinggang, penurunan haluaran urin lebih dari satu minggu yang lalu warna merah, kelemahan dan bingung, TD 140/90 mmHg, frekuensi jantung 80x/menit, RR 25x/menit, demam (+), mual muntah (+), edema ekstremitas bawah, depresi. Hasil laboratorium : K:5,7; BUN;100; Kreatinin:5; Ureum:24 mmol/24 jam, Hb:8,Dx:Glomerulonefritis d. Riwayat kesehatan dahulu : Infeksi faringitis dan hipertensi e. Riwayat penyakit keluarga : f. Riwayat psikososial :Tn.Allen mengalami bingung, depresi dan mudah marah . 2. Pemeriksaan fisik a. Status kesehatan umum: TD : 140/90 mmHg, Frekuensi jantung: 80x/menit & tidak teratur, RR : 25x/menit & tidak teratur , Suhu: 37,50C. b. ROS (Review of System) 1) Breathing : Gejala : Nafas pendek, tidak teratur Tanda : Takikardi 2) Blood : Gejala : Hipertensi Tanda : Pucat, edema 3) Brain : Gejala : Depresi Tanda : Bingung 4) Bladder : Gejala : Oliguri Tanda : Hematuria 5) Bowel : Gejala : Anoreksia 12

Tanda : Mual, muntah 6) Bone : Tidak dapat beraktivitas karena nyeri pinggang, kelemahan. 7) Sistem integumen : Edema ekstremitas bawah Pemeriksaan Laboratorium : K:5,7; BUN;100; Kreatinin:5; Ureum:24 mmol/24 jam, Hb:8 3.2 Analisa Data No Data Etiologi Masalah Keperawatan 1 DS: Klien Glomerulonefritis akut menyatakan nyeri Terbentuknya asam (skala:5), arachidonat pada bagian pinggang Substansi nyeri DO: Cemas, merintih, Syaraf sensoris dan memegang perifer pinggang, perilaku Sensitisasi neuron distraksi primer aferen TD : 140/90 mmHg Nyeri Nyeri Nadi: 80x/menit RR : 25 x/menit P:Ketika beraktivitas Q:Terjadi terusmenerus R:Pinggang (kanan dan kiri) S:Skala 5 T:Sakit setiap waktu 2 DS:Penurunan haluaran urin sejak 1 minggu yang lalu DO:Edema ekstremitas Penebalan membran glomerulus Penurunan GFR vol.urin, retensi cairan &Na, aldosteron Oliguria edema 13 Kelebihan volume cairan

DS :Mual dan muntah DO: Intake nutrisi kurang

Kelebihan vol.cairan Protein plasma dan sel darah bocor melalui gromerulus Proteinuria & hematuria

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari Mual,muntah,anoreksia kebutuhan tubuh Intake nutrisi kurang Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 3.3 Diagnosa keperawatan 1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron 2. Nyeri berhubungan dengan respon inflamasi, kontraksi otot sekunder, adanya infeksi glomerulus 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah 3.4 Intervensi keperawatan 1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik. Kriteria hasil: Pasien tidak sesak napas, edema ekstremitas berkurang, piting edema tidak ada, produk urine >600ml/hari. Intervensi Tindakan keperawatan: 1. Ukur intake dan output 2. Timbang berat badan 3. Berikan O2 tambahan dengan nasal kanul/masker sesuai indikasi. Rasional 1. Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine output. 2. Perubahan tiba-tiba dari BB menunjukkan adanya gangguan keseimbangan cairan. 3. Meningkatkan sediaan O2 untuk kebutuhan miokard untuk 14

Tindakan kolaborasi: 1. Berikan diet tanpa garam 2. Berikan diet tinggi protein tinggi kalori 3. Berikan diuretik (Furosemide, Sprinolakton, Hidronolakton) 4. Pantau data laboratorium elektrolit kalium.

1.

2.

3.

4.

melawan efek hipoksia/iskemia. Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma yang berdampak pada peningkatan beban kerja jantung dan akan meningkatkan demand miokardium. Diet rendah protein untuk menurunkan insufisiensi renal dan retensi nitrogen yang akan meningkatkan BUN. Diet tinggi kalori untuk cadangan energi dan mengurangi katabolisme protein. Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan di jaringan sehingga menurunkan risiko terjadinya edema paru. Hipokalemia dapat membatasi keefektifan terapi.

2. Nyeri berhubungan dengan respon inflamasi, kontraksi otot sekunder, adanya infeksi glomerulus Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam terdapat penurunan respon nyeri. Kriteria hasil: a. Secara subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri, skala nyeri (0-4) b. Secara objektif didapatkan TTV normal, wajah rileks, tidak terjadi penurunan perfusi perifer. Intervensi Lakukan manajemen nyeri keperawatan: 1. Atur posisi fisiologis 2. Istirahatkan klien 3. Berikan O2 tambahan dengan nasal kanul atau Rasional 1. Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang mengalami iskemia akibat respon peradangan glomerulus. 15

masker sesuai indikasi 4. Manajemen lingkungan: berikan suasana lingkungan tenang dan batasi pengunjung 5. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam 6. Lakukan manajemen sentuhan.

Anjurkan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan nyeri dengan segera. Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan

2. Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer dan akan meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan. 3. Meningkatkan asupan jumlah O2 yang ada dan memberikan perasaan nyaman pada pasien. 4. Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di lingkungan. 5. Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia jaringan. 6. Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dengan dukungan psikologis yang dapat membantu menurunkan nyeri. Massage ringan dapat meningkatkan aliran darah dan dengan otomatis membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri dan menurunkan sensasi nyeri. Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian mendadak. Pengetahuan yang didapat membantu mengurangi 16

menghubungkan berapa lama nyerinya dan dapat membantu nyeri akan berlangsung. mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik. Kolaborasi pemberian analgesik. Analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang. 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat Kriteria hasil: Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu, rasa mual muntah berkurang. Intervensi Berikan pasien makanan kecil dan tingkatkan sesuai dengan toleransi. Catat tanda kepenuhan gaster, regurgitasi, dan diare Rasional Kandungan makanan dapat mengakibatkan ketidaktoleransian GI, memerlukan perubahan pada kecepatan atau tipe formula serta menghindarkan pasien dari rasa mual yang pada akhirnya menyebabkan muntah. Fasilitasi pasien memperoleh Masukan minuman diet sesuai indikasi dan anjurkan mengandung kafein dihindari menghindari asupan dari agen karena kafein adalah stimulan iritan. SSP yang meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi pepsin. Hindarkan klien dari merokok (pasif), karena nikotin dalam rokok dapat mengurangi sekresi bikarbonat pankreas dan karenanya menghambat netralisasi asam lambung dalam duodenum. Nikotin juga meningkatkan stimulasi parasimpatis yang meningkatkan aktivitas otot dalam usus dan dapat menimbulkan mual dan muntah.

17

Bab 4 Penutup 4.1 Kesimpulan Arteriole aferen pada ginjal membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus yang kemudian bergabung menjadi arteriole aferen. Arterole aferen glomerulus dekat dengan medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar daripada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (veska rekta) ke tubulus dan medula. Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (glomerulus dan tubulus terkait). Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme penyaring ginjal. Gangguan pada glomerulus salah satunya adalah glomerulonefritis. glomerulonefritis merupakan suatu inflamasi pada glomerulus yang dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Glomerulonefritis primer dapat dibagi menjadi akut dan kronis. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi ataupun non-infeksi dan dapat juga akibat dari penyakit lain (misalnya diabetes mellitus). Manifestasi yang timbul diantaranya hematuri dan edema. Glomerulonefritis terjadi karena proliferasi, yang mana hal ini dapat menimbulkan reaksi antigen-antibodi, agregat molekul (kompleks) dibentuk dan beredar ke seluruh tubuh. Beberapa dari kompleks ini terperangkap di glomerulus, suatu bagian penyaring di ginjal, dan menimbulkan respon peradangan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari berbagai uji laboratorium. Komplikasi yang dapat timbul diantarnya edema, proteinuria dan hipertensi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan secara medis maupun keperawatan. Masalah keperawatan yang timbul dari kasus ini diantaranya kelebihan volume cairan, nyeri dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Masalah tersebut dapat diberikan asuhan secara terapeutik.

18

Infeksi sistem respirasi oleh Streptococus Beta Heolyticus grup A tipe nefritogenik Reaksi antigenantibodi di dalam darah Pengendapan kompleks antigen-antibodi kapiler glomerulus Timbul lesi dan peradangan Terbentuk substansi nyeri (PGE-2) Syaraf sensoris & perifer Sensitisasi pada neuron primer aferen MK: Nyeri Menarik sel-sel darah putih dan trombosit ke glomerulus Pengendapan fibrin dan pembentukan jaringan parut Membran glomerulus menebal Penurunan GFR Terbentuk asam arachidonat Glomerulonefriti s akut Aktivasi komplemen Kerusakan glomerulus secara progresif Glomerulonef ritis kronis Penumpukan toksik uremik, ketidakseimbang an cairan dan elektrolit Hipertensi sistemik Beban jantung Curah jantung MK: Penurunan curah jantung Respon asidosis metabolik dan sindrom uremia pada sist.saraf dan pernapasan MK: Pola nafas tidak efektif Respon hematologis produksi eritropoeitin 19

Gangguan permeabilitas selektif kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus Protein-protein plasma dan sel darah merah bocor melalui glomerulus Proteinuria & hematuria Respon sistemik : Mual, muntah, anoreksia

Reabsorbsi urea Uremia Azotemia

Penurunan volume urin, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron Oliguria

Intake nutrisi kurang MK: Ketidakseimbanga n nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh

Kehilangan sel darah merah , pembekuan darah Anemia MK: Risiko cedera

Oedem

MK: Kelebihan volume cairan

20

21

Daftar Pustaka Baradero, M., Dayrit, M.W. & Siswadi, Y. (2009). Klien dengan gangguan ginjal. Jakarta: EGC. Behran & Arvin, K. (2000). Ilmu kesehatan anak nelson. Jakarta: EGC Betz, Celily lynn & Linda A. Sowden.(2009). Buku saku keperawatan pediatri. (ed. 5). Jakarta:EGC. Bruner & Suddarth. ( 2001). Keperawatan medikal bedah. (Vol. 2). (ed. 8). Jakarta: EGC. Bullock, Barbara L & Henze, Reet L. (2000). Focus on patophysiology. Lippincot Williams & Wilkins: Philadelphia. Herdman, T.H. (2011). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 20122014. Jakarta: EGC. McCance K.L. & Huether. S.E. (2002). Pathophysiology; The biologic basic for disease in adults and children. (ed. 4). Missouri: Mosby Muttaqin, A. (2011). Asuhan keperawatan gangguan system perkemihan. Jakarta: Salemba Medika. NANDA International. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi & klasifikasi 2012-2014. Oxford: Wiley Blackwell Publishing. Sudoyo, Aru W. (et. all). (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. (jilid 2). (ed. 5). Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

22

Anda mungkin juga menyukai