Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS MANAGEMEN NYERI DAN PUASA PADA PASIEN ANAK

Disusun Oleh : Sevita Nuril Firdausi 0810710104

Pembimbing : dr. Ristiawan Muji L, SpAn

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG 2013

BAB 1 PENDAHULUAN Penatalaksanaan anestesi pada pasien anak anak tidaklah sama dengan dewasa. Tindakan anestesi yang aman sangat ditentukan oleh apresiasi penuh terhadap fisiologis, anatomis, dan farmakologis pada anak. Perbedaan karakteristik ini menyebabkan perlunya modifikasi pada peralatan dan teknik anesthesi. Resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas terhadap tindakan anesthesi pada umumnya berbanding terbalik dengan usia anak. Selain itu, pasien anakanak lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sehingga memerlukan strategi pembedahan dan anestesi yang tepat. Selain itu, perlu manajemen yang tepat dan spesifik pada pasien anak-anak terutama untuk manajemen nyeri dan puasa. Karena rasa nyeri pada anak-anak sangat sulit dinilai, dan untuk mengatur puasanya agak sulit karena pasien anak-anak tidak bisa terlalu lama menahan rasa haus dan lapar dan pada pasien anak-anak lebih sering menyebabkan dehidrasi. (Morgan, 2006) Nyeri adalah suatu hal yang dirasakan sebagai bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Sedangkan pada anak-anak sendiri nyeri merupakan fenomena yang kompleks. Seringkali sulit untuk membedakan rewel atau tangisan karena nyeri atau karena lapar dan takut pada anak. Suatu terapi nyeri yang efektif untuk menghentikan atau memodifikasi berbagai macam respon fisiologis terhadap stress telah menjadi komponen penting dalam praktik anestesi dan bedah pediatri modern. Berdasarkan pengalaman nyeri pada anak-anak tidak tertangani dengan baik karena gagasan yang salah bahwa mereka tidak, menderita atau merasa sakit, atau menanggapi atau ingat pengalaman menyakitkan ke tingkat yang sama yang dewasa lakukan. Keamanan dan kemanjuran analgesik yang meragukan serta kekhawatiran tentang risiko depresi pernapasan yang diinduksi opioid, menambahkan lebih banyak alasan mengapa nyeri pada anak-anak tidak tertangani dengan baik. Bahkan berdasarkan banyak penelitian, nyeri pasca operasi pada pasien pediatrik tidak cukup dikelola meskipun mortalitas. Selain nyeri pada pasien anak yang memerlukan manajemen khusus yaitu puasa pre-operatif dan post-operatif. Puasa diperlukan untuk mengurangi menyebabkan morbiditas dan bahkan beberapa melaporkan

resiko makanan atau cairan muntah masuk ke dalam paru-paru ketika pasien dilakukan anestesia. Karena hal tersebut dapat menyebabkan pasien dalam kondisi yang berbahaya. Puasa dilakukan sebelum operasi dan sesudah operasi, namun puasa sendiri tidak membahayakan kondisi pasien. Puasa sebelum operasi elektif dengan tidak adanya intake makanan padat atau cair bertujuan untuk meminimalkan volume cairan lambung pada waktu induksi anestesia yang akan mengurangi resiko aspirasi terutama pada pasien-pasien yang rentan terhadap aspirasi. Ketika asam lambung dan makanan masuk paru-paru mengakibatkan menyebar keseluruh paru terutama alveoli sehingga gangguan pertukaran 02 dan CO2 dan akhirnya menyebabkan jatuh ke dalam keadaan hipoksia dan sianosis. Anjuran untuk menjalani puasa sudah dimodifikasi dari sebelumnya yang sangat ketat sampai dengan larangan menurut jenis makanan. Meskipun begitu pengosongan lambung secara lengkap tidak dapat dipastikan walaupun dengan waktu puasa panjang. Selain itu, makanan padat melewati lambung sangat bervariasi dan tidak terprediksi, terkadang memerlukan lebih dari 12 jam terutama yang mengandung lemak tinggi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). (Loese, 2001) 2.1.2 Klasifikasi Nyeri Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu : 1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik. 2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis. 3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik. 4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat. 2.1.3 Penilaian Nyeri Pada Anak Penilaian nyeri adalah komponen yang paling penting dan kritis dalam managemen nyeri. Menilai nyeri pada anak merupakan tugas yang sulit, terutama karena sejauh ini tidak ada metode yang dapat diandalkan untuk menilai dan mengukur nyeri anak. Namun, self report dari anak adalah indicator tunggal yang paling handal dlam mengetahui keberadaan dan intensitas nyeri. Perkembangan kognitif dan

emosional bersama-sama dengan mekanisme pertahanan psikologis adalah variable penting dipertimbangkan dalam nyeri pediatri. (Avidan, 2003). Namun hal ini hanya mungkin pada anak dengan kognitif yang cukup dan kemampuan komunikatif. Pada bayi, atau anak dengan gangguan kognitif atau fisik, self report tidak selalu mungkin dan penilaian observasional dalam bentuk metode perilaku atau biologis adalah satu-satunya pilihan yang tersedia. Salah satu pendekatan standar hpenilaian nyeri adalah QUESTT, yaitu sebagai berikut: 1. Q Question the child 2. U Use pain rating scales 3. E Evaluate childs behavior 4. S Secure parents involvement 5. T Take cause of pain into account 6. T Take earliest action a. Memberikan Pertanyaan Self report: Pernyataan verbal si anak dan deskripsi nyeri merupakan faktor penting dalam penilaian nyeri. Anak-anak sampai 2 tahun dapat melaporkan dan menemukan rasa sakit, meskipun, pada usia ini mereka tidak akan mampu mengukur intensitas. Mempertanyakan rasa nyeri harus dilakukan dengan sabar dan dalam kata-kata yang akrab bagi anak. Lebih baik untuk berbicara kepada orang tua sebelum menanyai anak dan kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan rasa sakit dalam keluarga harus digunakan. Anak-anak, pada usia berapa pun dapat menyangkal rasa sakit jika si penanya adalah orang asing, atau takut menerima suntikan untuk rasa sakitnya. (Benzon, 2005) b. Menggunakan Skala Wajah Skala wajah: Anak-anak sampai 4-5 tahun dapat menggunakan standar pengukuran skala. Dokter harus memperkenalkan dan membahas aspek rinci dari skala untuk anak dan orang tuanya, sebelum menggunakan skala tersebut. Beberapa metode yang tersedia untuk self report adalah Hesters poker chip tool, Faces scale of Bieri et al, faces scale of Kutner and Le Page, Elands colour scale, Visual Analog Scale (VAS), Smiley Analog Scale, Oucher Scale of Beyer

and Wells, and Work Graphic Scale of Tesler et al. Anak-anak dari 7-8 tahun dapat menggunakan nol sampai sepuluh numerik skala atau bahkan skala VAS. Menggunakan skala di atas, nyeri diukur untuk rencana perawatan selanjutnya. (Benzon

Faces Pain Rating Scale (untuk anak)

Gambar 1. Faces Pain Scale c. Mengevaluasi Perilaku dan Perubahan Fisiologis Perubahan perilaku dan fisiologis : Perilaku distress spesifik misalnya menangis, aduh, ekspresi wajah (meringis), postur dan gerakan tubuh biasanya terkait dengan rasa sakit dan berguna dalam mengevaluasi nyeri pada anakanak dengan kemampuan komunikasi yang terbatas. Namun, sulit untuk membedakan antara perilaku karena rasa sakit dan jenis lain misalnya marabahaya. kelaparan, ketakutan atau kecemasan.

Gambar 2. CRIES Scale

Banyak skala untuk penilaian perilaku telah dijelaskan, antara lain, Directly Observed Behaviors, Childrens Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS), Toddler Preschool Post operative Pain Scale, Ten Item Post operative Pain Score, CRIES scale, facial expression scale of Wong et al and Nurse or Parent rating of pain. (Nicholls, 2001) Perubahan fisiologis: Seperti pada pengukuran perilaku, perubahan fisiologis tidak membeda-bedakan antara respon fisik untuk rasa sakit dan bentuk lain dari stres. Sebagian besar studi dari pengukuran fisiologis telah ditujukan pada nyeri akut tetapi indikatornya tidak bisa diandalkan pada nyeri persisten. Contoh perubahan fisiologis terhadap nyeri adalah peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah, menangis, berkeringat, penurunan saturasi oksigen, pelebaran pupil, flushing atau pucat, mual dan ketegangan otot. Vagal tone dan variabilitas denyut jantung seperti saat bernapas telah digunakan sebagai indeks dari rasa sakit dan penderitaan. Denyut jantung awalnya menurun dan kemudian meningkat dalam menanggapi nyeri.(Benzon, 2006) Operasi juga memicu pelepasan hormon stres (kortikosteroid, katekolamin, glukagon dan growth hormon). Kecuali di laboratorium dan penelitian, pengukuran ini belum berguna secara klinis untuk menilai dan mengobati rasa sakit. d. Secure parents involvement Orang tua harus ditanyai tentang pengenalan awal dan perilaku anak selama merasakan nyeri. Mereka harus harus juga didorong untuk aktif terlibat dalam penilaian, kemajuan serta strategi pengobatan nyeri pada anak mereka. (Benzon, 2006) e. Take cause of pain in to account Etiologi dan atau prosedur dapat memberikan petunjuk terhadap intensitas dan jenis nyeri yang diharapkan. (Benzon, 2006) f. Take a quick action to relieve the pain Menetapkan tingkat nyeri yang dapat diterima pada anak dan menggunakan metode yang tepat untuk menghilangkan nyeri tersebut.

2.2 Managemen Nyeri Pada Anak Ada berbagai macam modalitas yang berbeda untuk mengobati nyeri pediatrik. Tapi sebelum memilih untuk modalitas penghilang rasa sakit yang tepat, seseorang harus mengevaluasi risiko relatif atau manfaat, khasiat analgesik, keamanan, efek samping, biaya dan proses pemulihan. Sebuah persiapan psikologis yang baik dari anak serta orang tua, premedikasi yang tepat dan tindakan anestesi yang halus membantu dalam mengurangi kecemasan dan kebutuhan obat anti nyeri selama periode operasi.7 Modalitas managemen termasuk persiapan umum, terapi farmakologi, dan pendekatan nonfarmakologis.

2.2.1. Persiapan Umum Anak harus dibuat nyaman dan tidak tertekan, sebelum operasi serta selama tinggal di rumah sakit. Langkah ini mencakup kehadiran orang tua dengan anak, keperawatan dalam lingkungan yang nyaman, memungkinkan anak untuk mengadopsi posisi yang paling nyaman dan makan jika diperbolehkan.7 2.2.2. Terapi Farmakologi Dalam managemen nyeri, secara garis besar strategi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu:9 1) Tahap pertama dengan menggunakan analgetik non-narkotik seperti NSAID atau COX2 specific inhibitors. 2) Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti tahap 1 ditambah analgesic narkotik secara intermitten. 3) Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah analgesic narkotik yang lebih kuat. 2.2.2.1. Analgesik Non-narkotik Kelompok obat ini telah menjadi sangat populer untuk mengobati nyeri pasca operasi pada anak-anak karena mereka efektif dengan sedikit efek samping dan menghasilkan efek hemat opioid melalui penurunan mediator

inflamasi dihasilkan pada tempat cedera jaringan. Obat ini bertindak secara perifer melalui penghambatan prostaglandin (PG) dan dengan demikian, menghalangi mediator dan impuls nyeri aferen. Obat ini memiliki efek puncak di dosis yang lebih tinggi, meskipun ini dapat meningkatkan efek samping. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang atau sebagai kombinasi dengan narkotik untuk menurunkan efek sampingnya. a) Parasetamol (Asetaminofen): Obat ini adalah analgesik yang paling umum digunakan pada anak-anak. Parasetamol sangat berguna sebagai analgesic khususnya jika digunakan dengan Ibuprofen. Karena profil terapeutik yang aman, obat ini seharusnya menjadi alat managemen nyeri utama dalam mayoritas prosedur bedah. Meskipun dosis respon pada anak-anak tidak diketahui, 15-20 mg/kg dapat digunakan secara aman per oral setiap 4 jam. Formulasi injeksi parasetamol juga ada sebagai pro-drug paracetamol.10 Nefrotoksisitas dan hepatotoksisitas adalah komplikasi umum yang ditemui tetapi, tidak terlihat dalam penggunaan jangka pendek. b) Ibuprofen: Obat ini adalah analgesic yang lebih baik daripada acetaminophen. Keamanan Ibuprofen untuk digunakan pada anak-anak kurang dari 6 bulan belum ditetapkan. Namun, farmakokinetik pada anak usia lebih dari 3 bulan mirip dengan dewasa. Formulasi oral tersedia dan dosis 4-10 mg/kg setiap 6-8 jam cukup efektif.7 c) Diklofenak: Obat ini merupakan antiinflamasi yang lebih kuat dari acetaminophen dan ibuprofen. Namun, kejadian nefrotoksisitas dan GI komplikasi juga lebih tinggi dengan obat ini. Tersedia dalam bentuk tablet, sirup serta bentuk supositoria. Dosis oral adalah 1-1,5 mg/kg per 12 jam.7 d) Ketorolak: Ketorolak adalah analgesik yang sangat berguna pada anak30 dan efek hemat opioid itu telah dikonfirmasi. Merupakan obat non-narkotika dan dengan durasi tindakan untuk 4-6 jam, ketorolac rutin diresepkan bahkan untuk anak dalam dosis empiris. Baru-baru ini, rute IV juga telah telah dinyatakan aman pada anak-anak. Dosis IV atau IM dari ketorolac adalah 0,2-0,5 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam. Maksimum yang diijinkan dosis total per hari adalah 120 mg.7

Efek samping yang sering terlihat dengan pemakaian NSAID adalah peningkatan perdarahan, trombositopenia, presipitasi serangan asma, meningkatkan denyut jantung, retensi natrium dan air, ulserasi GI, perdarahan, hepatotoksisitas, nefrotoksisitas, mual, muntah, dan dispepsia dll. e) Ketamin: Ketamin telah digunakan secara rutin selama hampir 3 dekade. Peran N-methyl-D-aspartate reseptor (NMDA) dalam pengolahan masukan nociceptive telah menimbulkan ketertarikan kepentingan klinis baru di NMDA reseptor antagonis seperti ketamin. Obat ini dapat diberikan sendiri atau dalam kombinasinya dengan agen lain melalui oral, rektal, intramuskular, subkutan, intravena dan rute intraspinal. Ada bukti tentang kemanjuran ketamin dosis rendah (kurang dari 2 mg/kg intramuskular atau kurang dari 1 mg/kg intravena atau epidural) dalam pengelolaan nyeri akut pasca operasi. Akan tetapi dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut terkait dengan efek sampingnya.11 2.2.2.2. Analgesik Narkotik Opioid adalah andalan dalam pengelolaan nyeri pasca operasi dan mereka memberikan peningkatan toleransi terhadap rasa sakit. Pada bayi baru lahir, clearance berkurang dan eliminasi waktu paruh berkepanjangan dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Pematangan akan selesai 3-6 bulan dan bayi menjadi tidak lebih rentan terhadap depresi pernapasan. Tetapi pengawasan ketat dari bayi masih dibutuhkan, karena titrasi terhadap efek klinis terhambat adanya kesulitan dalam penilaian nyeri dan juga kadang-kadang adanya faktor risiko tinggi seperti kardio-respirasi dan kelainan neurologis.7 Penggunaan opioid pada bayi kurang dari dua bulan harus dengan pengawasan yang tepat dalam pengaturan perawatan intensif. Eliminasi waktu paruh dan klirens morfin pada bayi yang lebih tua dari dua bulan mirip dengan orang dewasa. Pada bayi dari enam bulan sampai dengan satu tahun, injeksi morfin 0,1 mg/kg dan atau 0,05 mg/kg IV dapat digunakan. Pemantauan pernapasan dan fasilitas untuk resusitasi harus tersedia karena masalah depresi pernapasan. Pada anak-anak 1-6 tahun, narkotika dapat digunakan dengan aman. Rute intravena adalah yang terbaik karena dapat mengatasi nyeri dengan segera.

10

Injeksi morfin 0,1 mg/kg atau petidin 1 mg/kg IV adalah regimen obat yang biasa diberikan.7 a) Morfin: Morfin masih tetap merupakan opioid standar untuk menghilangkan rasa sakit pada bayi dan anak-anak dari semua usia kelompok. Obat ini dianggap paling aman dalam dosis 0,1 mg/kg IM pada anak dengan pernapasan spontan.12 Namun, suntikan intramuskular tidak dianjurkan karena mereka menghasilkan tingkat plasma berfluktuasi dan siklus rasa sakit, kenyamanan dan sedasi. b) Kodein: Obat ini digunakan terutama sebagai antitusif kuat, daripada analgesik. Sebuah dosis tunggal 1 mg/kg adalah cukup baik sebagai antitusif dan analgesik. Depresi pernapasan tidak pernah terlihat setelah dosis tunggal.7 c) Pethidine: Pethidine tidak populer untuk managemen nyeri pasca operasi pada anak-anak karena praktis tidak menawarkan keunggulan dibandingkan morfin. Injeksi pethidine dalam dosis 1,5-2 mg/kg IM merupakan premedicant yang bermanfaat dan dalam dosis 1 mg/kg IV digunakan untuk analgesic intraoperatif dan pasca operasi.7 d) Fentanil: Meskipun fentanil telah dicoba di dosis 1-2 mg/kg, obat ini bukan merupakan analgesik sistemik popular untuk analgesia konvensional post operasi pada anak-anak.7 e) Buprenorfin: Dalam dosis 3-5 mg/kg adalah analgesic yang berguna untuk intra-operasi dan pasca-operasi. Sebuah bentuk tablet untuk administrasi sublingual adalah cocok untuk digunakan pada anak-anak yang lebih tua yang tidak suka suntikan.7 f) Pentazocine: Sebuah agonis parsial, juga dapat digunakan dalam dosis 1 mg/kg IM atau 0,5-0,75 mg/kg IV Ketika diberikan intravenous pada bayi yang sangat kecil, monitoring pernapasan yang hati-hati sangat penting.7

11

Efek samping yang umum ditemui dengan opioid yang mual, muntah, dispepsia, sembelit, retensi urin, depresi pernafasan, mengantuk, euforia dll. Intravena analgesia memberikan efek penghilang nyeri yang segera. Setelah dosis bolus intravena 0,1 mg/kg injeksi morfin, anak terhindar dari rasa sakit selama 1-3 jam. Analgesia intravena dapat diberikan dengan dua cara yang berbeda: continuous intravenous infusion atau patient controlled analgesia (PCA). i. Continuous IV infusion Teknik ini mempertahankan konsentrasi obat di atas tingkat terapi sehingga menghindari periode menyakitkan di antara dosis empiris. Hal ini membutuhkan pemantauan pasien secara hati-hati untuk efek terapi serta komplikasi yang mungkin, sehingga titrasi yang dilakukan sesuai dosis. Biasanya, hal ini dapat dicapai dengan dosis awal dari 0,05 morfin-1 mg/kg IV, diikuti dengan infus 0,015-0,025 mg/kg/jam pada anak <6 bulan dan 0,025-0,030 mg/kg/jam pada anak-anak yang lebih tua. Ini memberikan analgesia yang memuaskan tanpa efek depresi pernafasan. Jika anak sudah diintubasi dan sedang berventilasi, dosis lebih tinggi seperti 0,025 mg/kg/jam dapat diberikan bahkan di bayi kecil. Pada bayi baru lahir dosis tidak boleh melebihi 10 mg/kg/jam karena pada neonates terjadi penurunan klirens morfin dan peningkatan sensitivitas terhadap efek toksik. Apnea monitor dan pulse oximeters harus digunakan khusus, jika opioid digunakan pada bayi <6 bulan, atau pada anak dengan disfungsi pernapasan akut atau kronis. ii. Patient controlled analgesia (PCA) Ini adalah metode lain untuk memastikan pereda rasa sakit yang berkelanjutan. Patient controlled analgesia (PCA) telah dipelajari dalam pengaturan klinis dewasa sejak 1971. Namun, tidak pernah digunakan untuk pediatric sampai akhir 1980an.7 PCA telah didokumentasikan dapat menurunkan kecemasan anak tentang suntikan intramuskular yang menyakitkan dan meningkatkan kendali post operatif.13 Ini penting karena anak-anak dapat menahan rasa sakit sekali daripada disuntik analgesic berulang.

12

Persiapan

pre

operatif

memadai

dari

pasien

diperlukan

untuk

penggunaan PCA. Meski mahal, ada tingkat kepuasan pasien karena berpartisipasi dalam managemen nyeri terhadap dirinya. Dengan pengajaran pra-operasi yang sesuai, anak > 6 tahun dapat belajar untuk menggunakan pompa PCA. Seorang anaesthesiologist menyatakan, "Jika seorang anak bisa bermain video game, ia dapat menguasai penggunaan PCA . Untuk menggunakan PCA, anak harus memahami hubungan antara stimulus (nyeri), sebuah respon (menekan tombol), dan hasil tertunda (nyeri mereda).14 Adalah penting bahwa anak memahami harapan PCA adalah mengontrol rasa sakit, bukan penghilangan nyeri. Anak-anak harus hati-hati diperiksa untuk kognitif mereka dan kemampuan fisik untuk mengelola rasa sakit mereka dengan menggunakan PCA.15 Hal ini dapat digunakan baik sebagai infus PCA sendiri atau PCA dengan infus basal. PCA telah dilaporkan menghasilkan skor nyeri yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih baik daripada penggunaan morfin intramuskular, meskipun, total morfin yang digunakan, waktu untuk asupan oral, kejadian mual dan muntah atau retensi urin adalah sama. Jumlah total dosis per jam dari 0,050,1 mg/kg/jam morfin dapat digunakan. Memberikan infus basal 1/3-1/4 dari dosis per jam total dan PCA bolus sebagai dosis per jam tersisa dibagi dalam dosis yang sama pada 6-15 menit dari periode lockout bekerja dengan baik. Dosis morfin infus basal 12-15 mg/kg/jam telah berhasil digunakan tanpa efek samping.7 2.2.3 Pendekatan Non-farmakologis Berbagai macam pendekatan non-farmakologis, intervensi psikologis seperti hypnosis, terapi perilaku, acupuncture, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) telah dijelaskan peranannya dalam analgesia post operatif. Semua teknik tersebut memerlukan ko-operasi dari anak, kegunaannya pun terbatas pada kelompok anak tertentu.

2.1.4 Manajemen Nyeri Pada Anak 2.3 Puasa Preoperatif

13

Didefinisikan sebagai suatu prosedur ketika pasien tidak diperbolehkan mendapat asupan oral cairan atau padat dalam jangka waktu tertentu. Sebuah tinjauan catatan medis meliputi pemeriksaan fisik, dan survey pasien atau wawancara harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi preoperasi. Pada saat anamnesa dan pemeriksaan reflux, fisik dinilai juga atau mengenai gangguan penyakit motilitas gastroesophageal gejala disfagia,

gastrointestinal, potensi pengelolahan jalan nafas yang sulit, dan gangguan metabolik ( misal, diabetes mellitus) karena berhubungan dengan resiko regurgitasi dan aspirasi paru. Pasien harus diberitau tentang persyaratan puasa, dan tujuan dari procedure puasa. Kepatuhan pasien dengan persyaratan puasa harus dinilai pada saat prosedur (Apfelbaum, 2011). Puasa bertujuan mengurangi resiko terjadinya aspirasi cairan lambung ke paru-paru pada penderita yang sedang menjalani pembedahan. Aspirasi sering terjadi pada pasien yang anestesianya tidak adequat, hamil, gemuk, airway sulit, operasi emergency, perut penuh dan pasien dengan gangguan motilitas usus. Aspirasi cairan lambung hingga 30-40 cc dapat mengakibatkan kerusakan paru yang serius yang dapat kita hindari dengan cara mengurangi volume cairan lambung melalui puasa. Pada pasien hamil direkomendasikan untuk memberikan ranitidine 50 mg pada malam hari sebelum operasi dilakukan dan 2 jam sebelum operasi dilakukan. Selama persalinan, pasien risiko tinggi direkomendasikan untuk memberikan ranitidine 50 mg setiap 6 jam. Pada kasus emergency diusahakan untuk memberikan ranitidine IV 50 mg sesegera mungkin (Apfelbaum, 2011). Periode puasa yang harus dilakukan oleh pasien menjelang pembiusan disesuaikan dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi menjelang tindakan pembiusan dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan lambung dalam mengosongkan isinya. Cairan bebas ampas biasanya dengan cepat dapat dikosongkan oleh lambung (half life 10-20 menit) contohnya air mineral, jus buah tanpa ampas, minuman bersoda, teh dan kopi hitam, tapi tidak demikian dengan minuman beralkohol (Apfelbaum, 2011).. Makanan padat biasanya lebih lama bertahan dilambung jika dibandingkan dengan cairan. Biasanya sangat tergantung kepada kandungan gizi dari jenis makanan padat tersebut. Makanan yang banyak mengandung lemak atau makanan jenis daging biasanya memerlukan waktu hingga 8 jam

14

lebih untuk bisa dikosongkan sepenuhnya dari lambung. Sedangkan makanan ringan dan biskuit hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk keluar sepenuhnya dari lambung. Susu dalam hal ini tergolong bahan padat karena pada saat mencapai lambung dia akan bereaksi dengan asam lambung membentuk massa yang padat yang perlu waktu lebih lama untuk di cerna. Susu sapi memerlukan waktu hingga 5 jam hingga kosong sepenuhnya dari lambung. Sedangkan ASI yang kadar protein dan lemaknya lebih rendah dari susu sapi dalam proses pencernaannya memerlukan waktu yang lebih cepat (Apfelbaum, 2011)..

(American Society of Anesthesiologist fasting guidelines, 2010) Dari Keterangan di atas adalah penjelasan tentang waktu puasa yang di rekomendasikan oleh American Society of Anesthesiologist, tetapi dari penjelasan diatas terdapat beberapa kondisi yang dapat memperlambat pengosongan lambung, antara lain: 1. Faktor metabolik seperti penyakit DM yang tidak terkontrol, gagal ginjal. 2. Gastroesofageal refluks dapat memperlambat pengosongan lambung dari makanan padat. 3. Peningkatan tekanan intra-abdomen (hamil, obesitas) 4. Dalam pengaruh opioid 5. Trauma 2.4 Puasa Post Operatif Pasca-operasi puasa dilakukan untuk mencegah aspirasi paru yang timbul dari penundaan motilitas lambung atau usus setelah proses pembiusan dan pembedahan. Pada operasi gastrointestinal (GI), kekhawatiran terjadinya ruptur jahitan operasi karena dimulainya pemberian nutrisi oral atau enteral (EN) di awal dapat memperpanjang lamanya puasa pasca-operasi. Bukti diterbitkan

15

oleh The European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) pada tahun 2006 menunjukkan bahwa intervensi terhadap asupan gizi tidak perlu dilakukan saat pasca-bedah. Nutrisi oral dapat dimulai pada pasien bedah terutama kebanyakan pada pasien dengan operasi kolorektal yang diberikan segera setelah operasi, dan menunda dimulainya asupan oral terbukti tidak menunjukkan efek yang menguntungkan. Tinjauan sistematis terbaru dilakukan pada pasien yang menjalani operasi GI dilakukan pada tahun 2006, Ulasan ini menyetujui rekomendasi dari ESPEN tentang praktek asupan makanan pasca-operasi. Pasien yang menerima makanan enteral dini (dalam waktu 24 jam) dilaporkan lebih jarang mengalami komplikasi berupa sepsis dan waktu rawat inap di rumah sakit lebih singkat. Tidak ada peningkatan insiden ruptur jahitan luka operasi, infeksi pada luka operasi, pneumonia, abses intra-abdominal atau kematian. Pedoman praktis terbaik yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh ESPEN membuat rekomendasi gizi pasca operasi sebagai berikut (Weimann A, 2006): Inisiasi awal (<24 jam) makanan normal atau enteral setelah operasi GI. Ketika anastomosis dari saluran pencernaan proksimal telah dilakukan, EN dapat disampaikan melalui sebuah selang yang ujungnya ditempatkan distal ke anastomosis dalam waktu 24 jam operasi. asupan oral, termasuk cairan bening dapat dimulai dalam hitungan 1 jam setelah operasi pada kebanyakan pasien yang menjalani reseksi kolon. 2.4.1 Manajemen Puasa Perioperatif Pada Anak Manajemen puasa perioperatif pada anak antara lain (McQuillan, 2008) : Instruksi Puasa dirancang untuk meminimalkan resiko regurgitasi isi lambung dan aspirasi paru. Puasa mengurangi volume lambung namun tidak menjamin perut kosong. Puasa yang lama tidak mengurangi risiko aspirasi dan pada bayi dapat menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Bayi mungkin menghadapi risiko yang lebih besar terhadap regurgitasi. Terdapat pengurangan dari tonus lower esophageal sphincter dan juga terdapat kecenderungan perut yang mengembung selama pemberian

16

ventilasi melalui masker. Namun, kejadian pneumonitis akibat aspirasi pada anak-anak ini jauh lebih sedikit daripada pada orang dewasa. Cairan jelas dapat diberikan dengan aman hingga 2 jam sebelum operasi, dan asupan cairan (air atau minuman buah) harus diberikan. Anak-anak kurang iritabel pada induksi, dan mungkin ada pengurangan mual dan muntah pasca operasi. Data untuk susu dan makanan padat yang kurang jelas. ASI dicerna di lambung lebih cepat dibandingkan susu formula pada bayi. Setiap unit harus memiliki pedoman puasa. Komunikasi yang baik dengan staf bangsal dapat memastikan bahwa anak-anak menerima cairan bening yang memadai sebelum operasi dan pemberian susu untuk neonatus dan bayi dapat diberikan tepat waktu.

Ingested Material Minimum Fast Clear Liquids 2 hr Breast Milk 4 hr Light Meal, Infant Formula, and Other Milk6 hr

17

BAB 3 LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien Nama Usia Jenis kelamin Alamat Berat badan Register Dirawat di Tanggal dilakukan Anestesi Lama anesthesi Diagnosis pra bedah Jenis pembedahan Jenis anesthesia : An. M R. : 11 bulan : Laki laki : : 10 kg : 13060xx : R.15 : 15 Maret 2013 : 2 jam (pukul 08.15 10.15 WIB) : Post duhamels procedure : Potong stomp : General anesthesia

3.2 Pemeriksaan Pre-Operasi (14 Maret 2013) 3.2.1 Anamnesis Pre-Operasi A M P L : Riwayat alergi susu sapi : Cefadroxil, Paracetamol kalau perlu : Riwayat ISPA (-), asma (-), penyakit jantung bawaan (-), riwayat pembedahan (+), riwayat kejang (-), biru (-) : Direncanakan puasa sebelum operasi

18

: Riwayat susah buang air besarDi diagnosis hirchsprung disease dilakukan Duhamels Procedure Riwayat dilahirkan di bidan dengan BB 2700 gram, Riwayat tumbuh kembang dalam batas normal

3.2.2 Pemeriksaan Fisis Pre-Operasi B1 : Airway paten, napas spontan, RR 28 x/menit, Rh (-), Wh (-), Nafas cuping hidung (-), Mallampati 1, leher bebas, jarak tiromental > 6 cm, buka mulut 3 jari, foto thorax (-) B2 : Akral hangat, kering, merah; nadi 110 x/menit, reguler, kuat angkat; CRT < 2; S1S2 single regular, murmur (-), EKG (-), Temperatur 36.4C B3 : GCS 456 B4 : kateter (-), produksi urin (+)spontan, pampers (+) B5 : flat, soefl, BU (+) N, mual (-), muntah (-) B6 : mobilitas (+), edema (-) 3.2.3 Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (08 Maret 2013) Darah Lengkap Hb Eritrosit Leukosit Trombosit Hematokrit : 11,3 g/dl : 4,84 g/dl : 12.320 /l : 329.000 /l : 31,6% (N : 13,4 17,7 gr/dl) (N : 13,4 17,7 gr/dl) (N : 4.300 13.300 /l) (N : 142.000 424.000 /l) (N : 40-47%)

Faal Hemostasis PPT APTT Kimia Klinik Albumin Berdasarkan : 3,15 g/dL pemeriksaan fisis (Kontrol: 3,5-5,5 g/dL) dan laboratorium yang telah : 11,7 detik : 42,9 detik (Kontrol: 11,4 detik) (Kontrol: 24,8 detik)

dilakukan, maka pasien ini dikategorikan ke dalam ASA 2 dengan Hipoalbumin 3,15 g/dL

19

3.3 Persiapan Operasi 3.3.1 Di Ruang 15 Surat ijin operasi + surat ijin tindakan anestesi Puasa o o o Minum asi terakhir 6 jam pre operasi (pukul 02.00) Minum susu formula terakhir 4 jam pre operasi (pukul 04.00) Minum air putih terakhir 2 jam pre operasi (pukul 06.00)

IVFD C 1:4 40 cc/jam Premedikasi : o Metoclopramide 1,5 mg/jam iv pukul 07.00 (0,15 mg/kgBB)

Sedia darah 2 labu PRC 3.3.2 Di Kamar Operasi Scope Tubes Airway Tape Introducer Connector Suction suction Obat emergensi SA, lidokain, adrenalin, efedrin, dexamethasone 3.4 Durante Operasi (15 Maret 2013) 3.4.1 Laporan Anesthesi Jenis anesthesia : General anesthesia Teknik anesthesia : Intubasi oral sleep apnea dengan ETT cuffed (+) kinking no.4 dengan orofaringeal tube Stetoskop, Laringoskop ETT (cuffed) size 3, 4, 5 Oropharyngeal airway Plaster for fixation Untuk memandu agar pipa ETT mudah

dimasukkan penyambung antara ETT dengan tube mesin

anestesi memastikan tidak ada kerusakan pada alat

20

Lama anesthesi Lama operasi

: 2 jam (pukul 08.15 - 10.15 WIB) : 1 jam 30 menit (08.35-10.05 WIB)

3.4.2 Tindakan General Anesthesia Induksi : Propofol : Fentanyl Atracurium Gas inhalasi 3 mg iv 75 g iv 2,5 mg iv (0,05-0,1 mg/kgBB) (1-3 g/kgBB) ( 0,1 mg/kgBB)

: O2 2 lpm + N2O 2 lpm + isofluran kinking dengan orofaringeal tube

Teknik anestesi : intubasi oral sleep apnea dengan ETT 4 cuff (-) Pernapasan Posisi anestesi Teknik khusus Infus : O2 Jackson Reese, TV 4l/mnt, frekuensi 20 x/mnt : supine :: lengan kiri : venflon 22 G

Masalah anestesi: Pediatri, Hipoalbumin Medikasi durante operasi 1. Fentanyl 2. Anthrain 3. Dexamethason 4. Atracrurium Tahapan berlangsungnya anesthesi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pasien diposisikan pada posisi supine dengan head up 150 Memastikan kondisi stabil dengan vital sign dalam batas normal Obat midazolam 2,5 mg diberikan secara intravena untuk induksi. Pasien diberi oksigen 100% 8 L dengan metode over face mask Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 8 L dilanjutkan dengan metode face mask selama 2-5 menit Obat fentanyl 75 g dimasukkan secara i.v untuk tujuan induksi. Obat lidocain 30 mg dimasukkan i.v untuk melemahkan refleks jalan napas dan mencegah peningkatan TIK selama intubasi. Dipastikan apakah airway pasien paten Dimasukkan muscle relaxant vecuronium 2,5 mg i.v dan diberi bantuan napas dengan ventilasi mekanik.

21

10. Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETT 11. Dilakukan intubasi ETT dilakukan ventilasi dan oksigenasi 12. Cuff dikembangkan, lalu cek suara napas pada semua lapang paru dan lambung dengan stetoskop, dipastikan suara napas dan dada mengembang secara simetris ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator 13. Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 lpm, N2O 2 lpm, dan isofluran MAC 0,8% 14. Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-tanda komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan napas, nyeri). 15. Pemberian vecuronium diulang dengan dosis 1 mg setelah 45 menit pemberian vecuronium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol). 16. Selama operasi diberikan morfin 2 mg i.v dan fentanyl 50 g i.v sebagai analgesik intraoperatif. Sedangkan antrain 250 mg i.v diberikan menjelang akhir pembedahan untuk memberikan efek analgesia post operatif. 17. Selain itu diberikan pula mannitol dengan dosis 25 gram sebagai salah satu manajemen peningkatan TIK. 18. Menjelang akhir pembedahan, diberikan lidocain 30 mg i.v untuk melemahkan refleks jalan napas dan mencegah peningkatan TIK selama ekstubasi, serta diberikan neostigmin 1 mg i.v untuk reversal dari muscle relaxant dan menghindari pemanjangan efek blokade neuromuskular. 19. Dilakukan ekstubasi setelah operasi selesai dalam kondisi deep anesthesia. 3.4.3 Cairan Jam I : 265 cc (M+O) Jam II : 265 cc (M+O) Jam III : 265 + 250 cc (M+O+transfusi PRC)

22

Cairan masuk: Pre operasi : D5 NS 500 cc

Durante operasi : NS 200 cc Cairan keluar: Perdarahan : 60 cc

Other fluid loss : 600 cc Produksi Urine : PO : Tidak ditampung DO : Tidak ditampung EBV ABL M O4 : 800 cc : 65,4 cc : 40 cc/jam : 40 cc/jam

3.4.4 Hemodinamik Durante Operasi

3.5 Post Operasi 3.5.1 Pemeriksaan Fisis Post Operasi

23

B1 : Airway paten, napas spontan, RR 28 x/menit, Rh (-), Wh (-), Nafas cuping hidung (-), Mallampati 1, leher bebas, jarak tiromental > 6 cm, buka mulut 3 jari, foto thorax (-) B2 : Akral hangat, kering, merah; nadi 110 x/menit, reguler, kuat angkat; CRT < 2; S1S2 single regular, murmur (-), EKG (-), Temperatur 36.4C B3 : GCS 456 B4 : kateter (+), produksi urin (+) spontan, pampers (+) B5 : flat, soefl, BU (+) N, mual (-), muntah (-) B6 : mobilitas (+), edema (-)

3.5.2 Terapi Post Operasi Infus Antibiotika : RL 65 ml/jam : sesuai TS bedah

Pengobatan lain: inj metoclopramide 3 x 5 mg (0,15 mg/kgBB) inj ranitidine inj ketorolac 2 x 25 mg (0,25-1 mg/kgBB) 3 x 15 mg (0,5-0,75 mg/kg)

diberikan hingga 3 hari post operasi 3.5.3 Monitoring Cek tensi, nadi, napas, dan suhu setiap 15 menit selama 1 jam Bila muntah, kepala dimiringkan, head down, suction aktif, dan diberikan ondansetron 2 mg (0,1 mg/kgBB) Bila RR 8 x/menit, diberikan O2 10 L/menit dengan NRBM Bila nadi 60 x/menit, diberikan Sulfas Atropin 0,25 mg (0,01-0,02 mg/kgBB) Jika tekanan darah sistole < 80 mmHg, diberikan RL/NS 250 cc dalam 30 menit efedrin 2,5-7,5 mg (0,1-0,3 mg/kgBB) Bila kesakitan, diberikan ketorolac 3x15 mg Pindah ruangan jika Aldrette score > 8 dan tidak terdapat nilai 0

24

BAB 4 PEMBAHASAN Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 11 bulan dengan Hirscprug Disease yang telah menjalani operasi sigmoidectomi pada tanggal 16 Mei 2012. Setelah operasi tersebut pasien dapat buang air besar selama satu setengah bulan. Namun setelah itu gejala tidak bisa buang air kemudi sebelumnya dan saat ini akan menjalani operasi reanastomosa + tutup stoma. Pasien diasses dengan ASA 1 dan direncanakan akan dilakukan anestesi GA intubasi oral sleep apnea. Prosedur yang akan dijalani oleh pasien merupakanan jenis operasi besar yang

1. Preoperatif 1.1. Penilaian Peroperatif

25

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi. Kunjungan pramedikasi paling lambat dilakukan sehari sebelum hari operasi. Kunjungan preoperasi mempunyai tujuan yaitu: o o Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun urtikaria). o o Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status o o praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan) Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien Pemberian obat-obatan premedikasi (Latief, 2009). Tabel 1. Klasifikasi ASA (Twersky RS dan Phillip BK, 2008) Class P1 P2 P3 P4 P5 P6 E Definition A normal healthy patient A patient with mild systemic disease (no functional limitations) A patient with severe systemic disease (some functional limitations) A patient with severe systemic disease that is a constant threat to life (functionality incapacitated) A moribund patient who is not expected to survive without the operation A brain-dead patient whose organs are being removed for donor purposes If the procedure is an emergency, the physical status is followed by "E" (for example, "2E") Berdasarkan dari anamnesis didapatkan bahwa pasien telah mengalami perdarahan menstruasi yang sangat banyak sejak 1 bulan ini. Selain itu pasien juga tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan,

26

maupun asma. Pasien tersebut juga tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes mellitus, serta penyakit sistemik lainnya. Hal ini didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan EKG yang masih dalam batas normal. pada pemeriksaan fisik di dapatkan tinggi badan pasien 155 cm dan berat badan 60 kg (BMI : 25 kg/m 2 ) sehingga dapat dikategorikan sebagai overweight. Berdasarkan data-data tersebut, maka pasien dapat digolongkan ke dalam kategori ASA 2 dengan overweight. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada prosedur anestesi pasien dengan obesitas, antara lain terdapat variasi komorbiditas kardiopulmo, gastrointestinal, endokrin, dan timbunan jaringan berlebih merupakan tantangan tersendiri dalam anestesi regional. Obesitas telah terbukti menimbulkan kesulitan dalam mengidentifikasi interspace vertebra lumbal, begitu pula dengan pasien dengan kelebihan berat badan/overweight. Dalam sebuah penelitian terhadap lebih 9000 pasien dengan anestesi lokal, pasien dengan BMI >30 kg/m2 1,6 kali lebih sering mengalami kegagalan anestesi regional dibandingkan pasien dengan pasien dengan BMI > 25 kg/m2 . Hal ini dapat dipahami karena terdapat kesulitan dalam menentukan landmark atau lokasi pungsi, memposisikan pasien, dan jarum yang digunakan pada proses anestesi tidak mencukupi panjangnya untuk mencapai tempat blokade yang diinginkan. Meskipun demikian, anestesi regional sering kali tetap menjadi pilihan untuk pasien overweight dan obesitas, karena dapat mengurangi angka kejadian komplikasi kordiopulmonal dan jalan nafas dibandingkan dengan tehnik general anestesi (Ingrade, 2009).

1.2.

Persiapan Preoperatif Semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien

1.2.1. Masukan Oral

27

yang menjalani anestesi dimana terjadi penurunan reflek laring selama anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut maka paien harus dipuasakan, Tabel 2. Guideline Puasa Sebelum Operasi Elektif (Twersky RS dan Phillip BK, 2008)

Pada pasien ini dipuasakan selama 8 jam, dengan tujuan untuk mengurangi efek samping dari regional anestesi spinal dan epidural yaitu timbulnya mual dan muntah. 1.2.2. Terapi cairan perioperatif Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, bisa terjadi kebutuhan cepat maintenance terjadinya dan luka operasi urin, seperti sekresi pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit karena pembentukan gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus-menerus dari kulit dan paru. Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 3. Kebutuhan rumatan cairan (Morgan, 2006)

28

Berat Badan 10kg pertama 10kg berikutnya Tiap kg di atas 20kg

Jumlah 4 mL/kg/jam + 2 mL/kg/jam + 1 mL/kg/jam

Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak 1000cc cairan RL sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 60kg dimana kebutuhan cairan maintenance adalah (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100cc/jam dan pasien ini dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi. Jadi defisit cairan pasien ini secara total selama puasa adalah 800cc. 1.2.3. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anesthesia Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi reflek yang membahayakan (Latief, 2009) Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Pada pasien ini untuk manajemen obat premedikasi digunakan metokloperamide 50 mg

29

intravena sebagai antiemetik. Pemilihan metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metokloperamide juga mempunyai efek analgesi pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi. Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin 50 mg intravena. Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi. Tabel 5. Obat-obatan yang bekerja di H 2 receptor untuk mencegah pnemonia aspirasi (Morgan, 2006) Drug Cimetidine Route PO Dose 300 800 mg IV Ranitidine PO 300 mg 150 300 mg IV Famotidine PO IV Nizatidine PO 50 mg 2040 mg 20 mg 150 300 mg Nonparticulate antacids PO 1530 mL 510 mi n 3060 min 0.51 h 1012 h 12 h 1012 h 12 h 1012 h Onset 12 h Duration 48 h

30

Drug Metoclopramide

Route IV

Dose 10 mg

Onset 13 mi n

Duration 12 h

PO

1015 mg

3060 min

2. Durante Operasi 2.1. Pemilihan Teknik Anestesi Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan tehnik regional anestesi untuk pembedahan, operasi obstetri, dan manajemen nyeri postoperatif telah mengalami peningkatan. Tehnik combined spinal-epidural (CSE), merupakan tehnik anestesi yang relatif baru, meliputi blokade subaraknoid dan pemasangan kateter epidural dalam prosedur yang bersamaan. Tehnik CSE memungkinkan onset blokade neuroaksial yang cepat yang selanjutnya dapat diperpanjang dan dimodifikasi. Idealnya, CSE menggabungkan keuntungan dari blokade spinal (onset cepat, efek blokade yang kuat, dosis obat rendah) dan blokade epidural (titrasi level agent anestesi, mampu memberikan efek anestesi yang lama) dan menghindari kerugian masing-masing (spinal: hanya bisa sekali injeksi, tingkat blokade yang sulit diprediksi; epidural: segmen yang meleset, blokade motor yang tidak komplit, toksisitas anestesi lokal). Bagaimanapun, tehnik CSE lebih kompleks dibanding blokade epidural atau spinal saja dan menghasilkan blokade multikompartmen. Hal ini memungkinkan timbulnya komplikasi baru atau modifikasi komplikasi dari tehnik yang sudah ada. Tehnik CSE tidak dapat dipikirkan sesederhana spinal blokade diikuti epidural blokade. Terdapat beberapa variasi tehnik, peralatan, dan obat-obat anestesi yang digunakan (Cook,2000). Pada literatur, tehnik anestesi ini sering digunakan untuk pembedahan umum, ortopedi, dan trauma, seperti pada pembedahan urologi dan ginekologi. Dengan menggunakan tehnik CSE, anestesi pada pembedahan onsetnya lebih cepat, lebih cepat 15-20 menit dibanding tehnik epidural. Selain itu, kateter epidural memungkinkan penambahan dosis anestesi yang tidak dapat dilakukan pada satu tehnik anestesi saja. Pada pasien ini, digunakan tehnik CSE karena tindakan operasi TAH dan SOVC yang memerlukan waktu yang lama, sehingga

31

dapat dilakukan penambahan dosis anestesi regional bila dosis anestesi spinal sudah tidak cukup lagi sementara efek anestesi masih dibutuhkan untuk pembedahan (Cook,2000).

2.2 Pemilihan Obat Anestesi 2.2.1. Penggunaan Obat Induksi Anestetik Sufentanil dan fentanyl, dengan atau tanpa lokal anestesi, merupakan obat paling sering diberikan intratekal untuk menimbulkan efek anestesi untuk persalinan dengan tehnik CSE. Penggunaan obat opioid intratekal, fentanyl dengan dosis 25-50 g. Pada umumnya, pemberian injeksi tunggal obat opioid lipid-soluble intratekal tidak cukup untuk menimbulkan efek analgesi selama durasi operasi. Oleh karena itu, perlu kombinasi dengan bupivakain. Kombinasi fentanil dan bupivakain memberiksn efek anestesi yang cepat tanpa blok motorik, meringankan nyeri, dan memiliki durasi lebih panjang dibandingkan pemberian fentanil tunggal. Bupivakain yang sering digunakan untuk anestesi spinal adalah jenis hiperbarik(diperoleh dengan mencampur dengan dekstrose) dengan dosis 5-15 mg. sedangkan bupivakain untuk anestesi epidural yang sering dipakai bupivakain plain (isobarik) konsentrasi 0,5%, analgesinya sampai 8 jam, volum yang digunakan < 20 cc. keuntungan dari obat hiperbarik adalah lebih mudah memprediksi level/tingkat blokade (jarang mengakibatkan blokade tinggi sehingga mnyebabkan hipotensi dan nausea). Sedangkan keuntungan obat plain/isobarik adalah penyebarannya obat tidak terlalu bergantung pada posisi dan jika terjadi hipotensi, penurunan dagu (head-down tilt) dapat digunakan supaya venous return meningkat tanpa menyebabkan cephalgia. Pada pasien ini digunakan fentanil 50 g di kombbinasikan bupivakain 0,5% heavy 20 mg pada anesttesi spinal, selain itu digunakan juga epidural bupivakain 0,5% plain total volume 10 cc (Cook, 2000). 2.2.2. Penggunaan Obat Lain Midazolam 3 mg

32

Pada pasien ini digunakan obat midazolam. Midazolam juga bisa berfungsi sebagai induksi dan sedasi, dosisnya lebih besar dan pemberiannya melalui intravena. Ondansetron 4 mg Ondansetron secara selektif memblok reseptor serotonin tanpa

Pada pasien ini dipilih ondansetron sebagai antiemetik post operatif. mempengaruhi reseptor dopamin, reseptor serotonin terletak di perifer dan sentral (chemoreceptor trigger zone pada area postrema dan nukleus solitarius) dan mempunyai pengaruh yang penting terhadap inisiasi refleks muntah, namun tidak seperti metocloperamide yang mempengaruhi motilitas usus dan sfingter tonus esofagus bagian bawah. Ondansetron digunakan sebagai antiemetik postoperasi dan lebih baik dibanding metokloperamide jika digunakan sendiri. Kalnex 500 mg mungkin terjadi akibat tindakan pembedahan. 2.3. Terapi Cairan Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Pasien ini mempunyai berat badan 60 kg sehingga kebutuhan cairan 100 cc/jam. Oleh karena pasien telah puasa selama 3 jam selama operasi berlangsung maka kebutuhan cairan yang dibutuhkan pada pasien ini selama perioperatif adalah 3 x 100 cc = 300 cc. Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah. Pada pasien ini jumlah darah yang hilang diperkirakan 1200 cc, terdiri dari tabung suction 1000 cc dan kasa besar 200 cc. Selain itu pada pasien ini, produksi urine
33

Pada pasien ini digunakan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang

durante operasi 400 cc/jam. Kehilangan cairan intraoperatif juga dapat terjadi akibat evaporasi dan distribusi ke ruang ketiga (contoh akibat luka bakar, inflamasi, infeksi, dll). Kehilangan cairan dalam bentuk ini dapat diperkirakan berdasarkan jenis operasinya.

Tabel 4. Jumlah Cairan yang hilang Secara Distribusi ke ruang ketiga dan Evaporasi (Morgan, 2006) Degree of Tissue Trauma Minimal (eg, herniorrhaphy) Moderate (eg, cholecystectomy) Severe (eg, bowel resection) Additional Fluid Requirement 02 mL/kg 24 mL/kg 48 mL/kg

Pasien ini menjalani operasi Total Abdominal Histerektomi (TAH) dan Salpingo Oovorektomi Vries Coup (SOVC). Operasi ini termasuk dengan derajat trauma jaringan berat, sehingga cairan yang hilang adalah 6 ml/kg BB x 60 kg 360 cc. Sehingga hilangnya cairan sekitar 0-360 cc/jam. Oleh karena operasi berlangsung selama 3 jam, maka kebutuhan cairan selama operasi adalah: Kebutuhan cairan rumatan/maintanance : 100 cc/jam x 3 jam = 300 cc Kebutuhan cairan lain cc Jumlah produksi urine durante operasi : Estimasi jumlah darah yang hilang cc + 2980 cc Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi: RL HES PRC (3 labu) : 2000 cc : 1000 cc : 600 cc + : = 400 cc = 1200 : 360 cc/jam x 3 jam = 1080

34

3100 cc 2.4. Monitoring Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: - Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter - Heart rate, nadi, dan kualitasnya - Warna membran mukosa, dan capillary refill time - Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) - Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi - Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 90-140, D: 50-70), nadi antara 70-80x/menit. RR : 16-20x/menit. 3. Postoperatif 3.1. Recovery dari CSE Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pasien yang tersedasi secara berat atau hemodinamik tidak stabil saat dilakukan anestesi regional seharusnya juga mendapat suplementasi oksigen di PACU (Post Anesthesi Care Unit). Tingkat sensoris dan motoris secara periodik dicatat dan didokumentasikan. Selain itu penting dilakukan pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, dan frekuensi napas secara periodik (tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Kateter urine tetap diperlukan pada pasien dengan subarakhnoid block selama lebih dari 4 jam. 3.2. Kriteria Discharge dari PACU Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa. Postanesthetic Aldrete Recovery Score Original Criteria Modified Criteria Point Value

35

Color Pink Pale or dusky Cyanotic Respiration Can breathe deeply and cough Shallow but adequate exchange

Oxygenation SpO2 > 92% on room air SpO2 > 90% on oxygen SpO2 < 90% on oxygen

2 1 0

Breathes deeply and coughs 2 freely Dyspneic, shallow or limited 1 0 2

breathing Apnea or obstruction Apnea Circulation Blood pressure within 20% of Blood pressure 20 mm Hg

normal of normal Blood pressure within 2050% Blood pressure 2050 mm 1 of normal Blood pressure Hg of normal deviating > Blood pressure more than 0

50% from normal 50 mm Hg of normal Consciousness Awake, alert, and oriented Fully awake Arousable but readily drifts back Arousable on calling to sleep No response Not responsive Activity Moves all extremities Same Moves two extremities Same No movement Same Based on Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.

2 1 0 2 1 0 Anesth Analg

1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89. Idealnya, pasien di-discharge bila total skor minimal 8. Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien di-assess dengan Aldrete Score 10 karena pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperatif, pasien mampu bernafas dalam dan batuk, SpO 2 96% dengan udara ruangan, dan pasien mampu menggerakkan keempat ekstrimitasnya. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindah ke ruangan biasa. 3.3 Post Dural Puncture Headache/Spinal Headache Nyeri kepala yang timbul pada postoperatif setelah regional anestesi dapat terjadi akibat berbagai macam sebab, salah satu yang tersering adalah akibat komplikasi dari pungsi dural selama regional anestesi. Penyebab nyeri kepala terkait dengan anestesi yang paling sering terjadi

36

adalah Post Dural Puncture Headache (PDPH)/Spinal headache. PDPH biasanya digambarkan sebagai rasa sakit kepala yang berat, tumpul, tidak berdenyut, biasanya di fronto-occipital, yang tidak hanya berhubungan dengan postural (akan memberat pada posisi tegak dan berkurang pada posisi terlentang),tetapi juga berlangsung selama lebih dari 24 jam. Gejala yang dirasakan dapat disertai atau tanpa mual muntah, gangguan peglihatan/pendengaran (Chohan, 2003). Patofisiologi terjadinya PDPH, adalah akibat kebocoran yang berasal dari pungsi dural yang akan mengakibatkan hilangnya tekanan CSF pada spinal dan hilangnya kemampuan mempertahankan otak agar tetap terapung. Ketika pasien dalam posisi tegak lurus, otak yang melorot, dan ketegangan meningen serta struktur intra kranial lain menimbulkan nyeri kepala seperti yang tampak pada gejala PDPH. Diperkirakan pada postur vertikal, gradien hidrostatik otak meningkat, memaksa SCF lebih banyak untuk keluar melalui tusukan pada dural, tubuh kemudian berusaha mengkompensasi hilangnya volume intrakranial melalui vasodilatsi.sebagian besar nyeri pada PDPH berhubungan dengan distensi vaskular (Chohan, 2003). PDPH biasanya merupakan proses yang self-limiting. Bila tidak ditangani, 75% penderita PDPH akan sembuh dalam 1 minggu pertama dan 88% akan sembuh dalam 6 minggu. Terapi yang paling sering dilakukan untuk mengatasi PDPH biasanya ditujukan untuk mengurangi nyeri dan gejala pnyerta sampai lubang dural sembuh sendiri atau dapat ditoleransi tubuh. Terapi konservatif PDPH meliputi hidrasi, bedrest, dan analgesik. Insiden PDPH pada setelah dilakukannya CSE masih kontroversial. Beberapa peneliti melaporkan penurunan angka kejadian PDPH dibandingkan metode epidural saja, tetapi yang lain melaporkan adanya peningkatan insiden (Chohan, 2003). Pasien ini memiliki BM 25 kg/m2 sehingga dapat dikategorikan sebagai overweight. Dalam literatur dilaporkan bahwa pada pasien dengan kelainan metabolisme obesitas, terjadi peningkatan risiko terjadinya pungsi dural yang tidak disengaja,namun kejadian PDPH lebih rendah dari pada pasien non-obese. Penurunan insiden PDPH pada pasien obese kemungkinan akibat dari penurunan gradien tekanan antara

37

subaracnoid dan ruang epidural, karena peningkatan lemak epidural sehingga terdapat lebih banyak epidural plug untuk menutup pungsi dural. Selain itu tekanan intra abdomen yang tinggi akan mngurangi kebocoran CSF di spinal (Ingrade, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Pediatric Anesthesia. In: Lange-Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006; 44: 922-50. 2. Latief, SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag. Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Jakarta, 2001. 3. Fisher SM. Postoperative pain management in paediatrics. Br J Perioper Nurs. 2000 Feb; 10(2): 80-84. 4. Gehdoo RP. Post operative pain management in paediatric patients. Indian J. Anaesth. 2004; 48 (5): 406-414. 5. Engelhardt T, Crawford M. Sublingual morphine may be a suitable alternative for pain control in children in the postoperative period. Paediatr Anaesth 2001; 11(1): 81-83. 6. McDonald AJ, Cooper MG. Patient controlled analgesia: An appropriate method of pain control in children. Paediatric Drugs 2001; 3(4): 273-284. 7. Golianu B, Krane EJ, Galloway KS, Yaster M. Pediatric acute pain management. Pediatr Cl N Am 2000; 47(3): 559-587. 8. Apfelbaum, Jeffrey L., M.D, Caplan, Robert A., M.D., Richard T. Connis, Ph.D., Epstein, Burton S., M.D., Practiced Guidelines for Preoperative Fasting and the Use of Pharmachologic Agent to Reduced the Risk of Pulmonary Procedures. Aspiration An to Healthy Report Patients by the Undergoing American Elective of Updated Society

Anesthesiologists Committee on Standards and Practiced Parameter. Anesthesiology 2011; 114:495-511

38

9. Bachman. C. M.D,.Frequently Asked Question Preoperative fasting Society for Anestesia.2012 10. Benzon. R., Fishman. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia Second Edition. Pennsylvania:Elsevier Churchill Livingstone.2005 11. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anesthesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2007 12. Richardo, V. Ph. D. Techniques in Regional Anesthesia and Pain

Management for Anestesia. 2012

39

Anda mungkin juga menyukai