Anda di halaman 1dari 57

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 44 tahun, dengan usia rata rata sekitar tiga puluh tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49 %) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak anak). Pada kehidupan sehari hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. di Indonesia sendiri belum ada data lengkap, dari data rekam medik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta tahun 1998 tercatat penderita cidera kepala sebanyak 1091 orang dengan cidera kepala berat 137 orang. Di RSA

"Jaury" Ujung Pandang pada tahun 1997, tercatat 6128 penderita yang dirawat, 322 diantaranya adalah penderita cidera kepala.

Dari keseluruhan kasus cidera kepala, 10% adalah cidera kepala berat dengan angka kematian kurang lebih sepertiganya. Sepertiga lainnya hidup dengan kecacatan dan sepertiga sisanya sembuh (tidak tergantung pada orang lain). Namun demikian mereka mungkin masih mengalami gangguan kepribadian dan kesulitan dalam berkomunikasi dalam jangka waktu lama. Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang dari 200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.

Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak frekuensi hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar meninggal. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, oleh karena itu setiap perawat yang pertama kali melihat penderita tersebut, diharapkan mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama penderita, sebelum dokter tiba ataupun sebelum melakuka rujukan kepada rumah sakit yang mempunyai fasilitas bedah saraf. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan

menghindarkan terjadinya cedera kepala sekunder, merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita Berdasarkan data yang diperoleh penulis tertarik untuk mengangkat kasus dengan judul : Laporan Seminar Kasus pada An. A dengan Encefalitis ec Subdural Hematoma di Ruang Observasi Bedah RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan diagnose Subdural Hematoma 2. Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui penyebab-penyebab terjadinya Subdural

Hematoma b) Untuk mengetahui manifestasi klinik dari penyakit Subdural Hematoma c) Untuk mengetahui evaluasi diagnostic untuk menunjang diagnose Subdural Hematoma d) Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan Subdural

Hematoma e) Untuk menentukan diagnose dan intervensi keperawatan pada pasien dengan Subdural Hematoma

C. Manfaat Penulisan a. Instansi Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi instansi rumah sakit khususnya, petugas di ruang observasi bedah dalam memberikan pelayanan perawatan profesional pada klien Gangguan sistem persyarafan; Subdural Hematoma b. Institusi Adanya tugas penulisan ini dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi institusi pendidikan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, sehingga peserta didik mampu mengaplikasikan ilmu dan keterampilan secara efisien di tempat praktek dan di tempat kerjanya untuk masa yang akan datang c. Bagi mahasiswa Tugas asuhan keperawatan ini diharapakan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan bahan kajian dalam mengupayakan cara-cara untuk mengembangkan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system persyarafan

D. Sistematika Penulisan Untuk mendapat gambaran secara singkat dan jelas yang menyeluruh dari laporan ini maka penulis memakai sistematika yang terdiri dari BAB I sampai dengan BAB V, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN : Dalam bab ini membahas tentang Latar Belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS : Dalam bab ini membahas tentang konsep medis terdiri atas: pengertian, etiologi, patofisilogi, manifestasi klinis, klasifikasi, komplikasi, dan penatalaksanaan. Konsep Keperawatan terdiri atas : pengkajian, diagnosa, dan intervensi. BAB III ANALISA KASUS : Dalam bab ini membahas tentang pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan evaluasi.

BAB II TINJAUAN UMUM I. KONSEP MEDIS A. Pengertian Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

B. Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada :

Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak anak.

Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.

Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati

C. Patofisiologi Pada subdural hematoma dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera akselerasi-

deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior. Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tandatandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik. Pada trauma kepala dapat juga

menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial. Akibat cedera kepala, otak akan relatif

bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena gantung (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.

Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi. Meninx terdiri dari duramater, arachnoid dan piameter. Daerah yang terdapat diantara arachnoid dan duramater (disebut daerah subdural), dimana tidak seperti pada daerah epidural, tidak dibatasi oleh sutura kranialis. Jembatan-jembatan vena (Bridging veins) melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal menuju sinus dural. Pendarahan pada venavena ini da pat terjadi sebagai akibat dari mekanisme sobekan (dapat pula karena doro ngan rotasional atau linear di sepanjang permukaan subdural dan peregan gan traumatik dari venavena, yang dapat terjadi dengan cepat akibat dekompr esi ventrikular.

Karena permukaan subdural tidak dibatasi oleh sutura cranialis, darah dapa menyebar di seluruh hemisper dan masuk ke dalam fisura hemisfer hanya dibatasi oleh refleksi dural. Kemampuan darah untuk menyebar relatif berakhir tak terkendali dan memberikan gambaran yang meluas daripada bentuk bikonfex pada hampir semua epidural hematom. Mekanisme yang biasa menyebabkan munculnya hematom subdur al akut adalah benturan yang cepat dan kuat pada tengkorak. Karena otakyang bermandikan cairan serebrospinal (CSS) dapat bergerak, sedangkan sinu venosus dalam keadaan terfiksir,berpindahnya posisi otak yang terjadipada tra uma, dapatmerobek beberapa vena halus pada tempat dimana mereka me nembus duramater, dengan akibat terjadi perdarahan di dalam ruangsubd ural. Subdural hematom akut biasanya ada hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali disertai dengan laserasi atau kontusi otak.

E. Klasifikasi 1. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cederakepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mmtebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens 2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subduralsub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebaltetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinyadidapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari seldarah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 3. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu bermingguminggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahanlahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik,

didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens. Pembagian Subdural kronik : Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu : 1. Tipe homogen ( homogenous) 2. Tipe laminar 3. Tipe terpisah ( seperated) 4. Tipe trabekular (trabecular) Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk

laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu: 1. Tipe konveksiti ( convexity). 2. Tipe basis cranial ( cranial base ). 3. Tipe interhemisferik Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.

D. MANIFESTASI KLINIS 1. Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

2.Hematoma Subdural

Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring

pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. 3. Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan

lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah :

Sakit kepala yang menetap Rasa mengantuk yang hilang-timbul Linglung Perubahan ingatan Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Kejang Edema pupil Menarik diri

F. Penatalaksanaan Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak: 1. Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah. 2. Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang 3. Kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon. 4. Barbiturat, digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. 5. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi

kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma. Diantaranya yaitu : a. Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.

b.

Piracetam,

merupakan

senyawa

mirip

GABA

suatu

neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena. c. Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena. Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,

reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali. Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extraaksial. Indikasi Operasi kesadaran tanda tiba-tiba herniasi/ di depan mata

Penurunan

Adanya

lateralisasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan nafas.

Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik

yang stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate 0,20,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan

hipovolemia. Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Pemberian dosis kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial. Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa

diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.

Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium. Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya multiple trauma.

Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu.

G. Pemeriksaan Penunjang 1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak 2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. 3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang. 4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. 5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

H. Komplikasi Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien post operasi craniotomi antara lain : 1. Edema cerebral 2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral 3. Hypovolemik syok 4. Hydrocephalus 5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus) 6. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding

pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini. 7. Infeksi Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik. 8. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan.

2. KONSEP KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

2. Blood Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia, disritmia). 3. Brain Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan dengan

pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). b.Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,

kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. 4. Blader Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensiauri, ketidakmampuan menahan miksi. 5. Bowel Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi 6. Bone Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

B. Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) 2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, adanya benda asing dijalan nafas 4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.

C. Intervensi Keperawatan 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik. Kriteria hasil : Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK. a. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP. b. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis.

c. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu. Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. d. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa. Sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus e. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang. Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau

menurunkan TIK f. Bantu pasien untuk menghindari / membatasi batuk, muntah, mengejan. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK. g. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK. h. Berikan obat sesuai indikasi.

Rasional : Diuretik pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, edema otak dan TIK. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri. Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan

metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Tujuan : mempertahankan pola pernapasan efektif. Kriteria evaluasi : bebas sianosis, GDA dalam batas normal a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat

ketidakteraturan pernapasan. Rasional : Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis. b. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi. Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.

c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas. d. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar. Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis. e. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 1015 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. Rasional : Penghisapan biasanya jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. f. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel. Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru. g. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri dan Lakukan rontgen thoraks ulang Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.

h. Berikan oksigen Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia.

3.

Bersihan Jalan Nafas tidak efektif Tujuan Intervensi Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning. Berikan O2 Anjurkan pasien untuk menunjukkan keefektifan istirahat dalam Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Lakukan Keluarkan dalam dengan suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara batuk fisioterapi dan napas jalan nafas dengan kriteria hasil: jalan nafas yang paten klien tidak merasa tercekik irama nafas frekuensi pernafasan jalan tidak jalan Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab. dalam

Diagnosa

Bersihan Jalan Nafas Setelah dilakukan asuhan tidak efektif keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan : Faktor berhubungan: Infeksi Disfungsi neuromuskular hiperplasia bronkus alergi jalan nafas asma trauma Obstruksi nafas: spasme nafas sekresi tertahan banyaknya mukus adanya dinding yang

dada jika perlu sekret atau

rentang normal ada suara

nafas abnormal

tambahan Berikan bronkodilator Monitor hemodinamik Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl status

jalan Saturasi O2 batas normal nafas buatan

Foto thorak dalam batas

sekresi bronkus adanya adanya asing nafas. Batasan Karakteristik DS: Dispneu di eksudat

normal

Lembab Berikan antibiotik Atur intake untuk cairan

di alveolus benda jalan

mengoptimalkan keseimbangan. Monitor status O2 Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk respirasi dan

DO: Penurunan nafas Orthopneu Cyanosis Kelainan suara nafas (rales, wheezing) Kesulitan berbicara Batuk, tidak efekotif atau tidak ada Produksi sputum Gelisah Perubahan frekuensi dan irama nafas suara

mengencerkan sekret Jelaskan pada pasien dan keluarga penggunaan tentang peralatan :

O2, Suction, Inhalasi.

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Tujuan : Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi. Kriteria evaluasi : Mencapai penyembuhan luka tepat waktu. a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. Rasional : Pencegahan infeksi nosokomial harus tetap diterapkan. b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi. Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya. c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera d. Ajarkan melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum. Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis. e. Berikan antibiotik sesuai indikasi cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

Rasional : Terapi profilatik digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial

BAB III ANALISA KASUS I. Identitas Klien Nama Umur Jenis Kelamin Agama Tanggal masuk Tanggal pengkajian Diagnosa : An. A : 3 tahun 8 bulan : Laki-laki : Islam : 27 Maret 2012/ pukul 15.55 Wita : 27 Maret 2012/ pukul 18.30 Wita : Ensefalitis ec subdural hematoma

II. Tindakan Pra Hospital NaCl 16 tpm Ceftriaxone 2x500 mg/IV/12 jam Luminal 75 mg/IM Diazepam Rectal 2x10 mg

III. Triage a. Keluhan Utama : Kesadaran menurun b. Riwayat keluhan utama : Kesadaran menurun dialami sejak dini hari , sebelumnya ada riwayat jatuh dari kamar mandi 2 bulan yang lalu dan dibawa ke RS Majene, keluarga tidak ingat penanganan yang diberikan oleh RS tersebut. Klien tiba-tiba kehilangan kesadaran setelah 2 bulan

jatuh. Pingsan (+), mual (+), muntah (+), kejang (+) sebanyak 3x dengan frekuensi 15 menit, batuk (+), lendir (+), demam (-), menggigil (-) c. TTV : TD : 90/60 N : 96/menit S : 37 C P : 26x/menit d. Berat badan : 14 kg Panjang Badan : 96 cm IV. Pengkajian Primer a. Airway : Terdapat sumbatan jalan napas berupa produksi sekret yang meningkat Terdapat bunyi napas tambahan (wheezing)

b. Breathing Napas pendek Dyspnea Frekuensi napas 26x/menit Pernapasan spontan torakoabdominal Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan

c. Circulation Tekanan darah 90/60 mmHg Nadi 96x/menit

d. Disintegrity GCS 8 (E2 M4 V2) Perubahan reaksi pupil : anisokor pada pupil kiri Perubahan perilaku berupa gelisah Perubahan motorik berupa kejang

V. Pengkajian Sekunder 1) BREATHING Napas pendek Dyspnea Frekuensi napas 26x/menit Pernapasan spontan torakoabdominal Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan Terdapat bunyi napas tambahan (wheezing)

2) BLOOD 3) BRAIN GCS 8 (E2 M4 V2) Perubahan reaksi pupil : anisokor pada pupil kiri Perubahan perilaku berupa gelisah Perubahan motorik berupa kejang Tekanan darah 90/60 mmHg Nadi 96x/menit

4) BLADER Tidak dapat dikaji, karena klien segera dipasangkan kateter untuk persiapan operasi cyto 5) BOWEL Mual Respon menelan menghilang

6) BONE Terdapat kelemahan otot, klien kejang, suhu tubuh meningkat menjadi 38 dan ketika klien tiba di IRD Bedah klien sesegera mungkin di anastesi untuk dilakukan intubasi untuk untuk perlindungan jalan nafas menghindari lidah jatuh kebelakang dan intubasi tersebut dilakukan juga untuk persiapan ok cyto VI. Pemeriksaan Penunjang - Hasil CT Scan (27 Maret 2012) a. Tampak lesi hiperdens dengan gambaran crescent sign yang membentuk fluid-fluid level pada frontotemporoparetialis sinistra b. Tampak midline shift ke kanan sejauh 2 cm yang menyempitkan ventrikel lateralis sisi kiri c. Dinsitas gray dan white matter dalam batas normal d. Sulci dan gyri sedikit obliterasi e. Orbita, aircell mastoid dan sinus paranasalis yang terscan dalam batas normal f. Tulang-tulang terscan kesan intak

- Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 27 Maret 2012 Pemeriksaan WBC HGB HCT MCV PLT Hasil 23, 32 11,9 32,6 74,1 493 Nilai Normal 4-10 12-16 37-48 80-97 150-400 Satuan [10^3/uL] g/dL [%] [fL] [10^3/uL]

VII. TERAPI MEDIKASI - NaCl 16 tpm - O2 NRM 10 liter/menit Prosedur Intubasi endotrakeal a. Pre medikasi : - Atropin 0,25 mg Spasme/kejang pada kandung empedu, kandung kemih dan usus, keracunan fosfor organik - Fentanyl 25 mg Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kanker. Fentanyl bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk

menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.

b. Induksi - Propofol 30 mg Propofol merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan dalam induksi dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi. Injeksi secara intravena pada dosis terapetik memberikan efek hipnotik dengan cepat, biasanya dalam waktu 40 detik dari awal - Muskulo relaxant Roculax 10 mg Penunjang anestesi umum untuk memudahkan tindakan intubasi endotrakeal dan pembedahan. - Insersi ETT ID 5,0 laringoscopy, kembangkan cuff, fiksasi di sudut bibir kanan sepanjang 16 cm c. Maintenance O2 via Jackson rees 8 liter/menit dan fentanyl 10 mg menghasilkan relaksasi otot rangka selama

Indikasi pemasangan O2 Jackson Rees adalah pada pasien yang memerlukan flow yang tinggi dan juga memerlukan konsentrasi O2 yang tinggi (100%). VIII. Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

penghentian aliran darah (hematoma); edema cerebral, hipoksia

DO : - Perubahan perilaku berupa gelisah -Abnormalitas berbicara - Perubahan respon motorik berupa kejang - Perubahan reaksi pupil : anisokor pada pupil kiri 2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak) DS : Dyspnea Nafas pendek berbicara berupa suara tidak jelas ketika

DO : P = 26 x /mnt 3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan

banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, adanya benda asing dijalan nafas DS : Dispneu DO : Terpasanag O2 NRM 10 liter/menit Kelainan suara nafas (terdengar wheezing) Kesulitan berbicara Tidak mampu batuk efektif Gelisah

IX. Tindakan Keperawatan 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral. Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik. Kriteria hasil : Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK Klien mampu bicara dengan jelas, menunjukkan konsentrasi, perhatian dan orientasi baik Fungsi sensori motorik cranial tetap utuh : kesadaran menjadi baik (GCS 15, tidak ada gerakan involunter) Intervensi : INTERVENSI Tentukan menyebabkan faktor-faktor RASIONAL yg Penurunan tanda/gejala dalam neurologis atau setelah

koma/penurunan kegagalan

pemulihannya

perfusi jaringan otak dan potensial serangan awal, menunjukkan perlunya pasien peningkatan TIK. Pantau secara /catat teratur status dan dirawat di perawatan intensif. neurologis Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial bandingkan peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan

dengan nilai standar GCS.

perkembangan kerusakan SSP.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, Reaksi

pupil

diatur

oleh

saraf

cranial

kesamaan antara kiri dan kanan, okulomotor (III) berguna untuk menentukan reaksi terhadap cahaya. apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan

antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan

fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III). Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh frekuensi nafas, suhu. penurunan membesar) TD diastolik (nadi yang

merupakan

tanda

terjadinya

peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat

mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan

metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK. Pantau intake dan out put, turgor Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total kulit dan membran mukosa. tubuh yang terintegrasi dengan serebral perfusi dapat

jaringan.

Iskemia/trauma

mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan

ini

dapat

mengarahkan

pada

masalah

hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.

Turunkan stimulasi eksternal dan Memberikan efek ketenangan, menurunkan berikan kenyamanan, seperti reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau

lingkungan yang tenang.

menurunkan TIK.

Bantu pasien untuk menghindari Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan /membatasi mengejan. batuk, muntah, intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.

Tinggikan kepala pasien 15-45 Meningkatkan aliran balik vena dari kepala derajad sesuai indikasi/yang dapat sehingga akan mengurangi kongesti dan ditoleransi. oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK. Batasi pemberian cairan sesuai Pembatasan indikasi. cairan diperlukan untuk

menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.

Berikan oksigen tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat

indikasi.

meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: Diuretik digunakan pada fase akut untuk diuretik, steroid, antikonvulsan, menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, edema yang jaringan. selanjutnya menurunkan untuk

analgetik, sedatif, antipiretik.

Antikonvulsan

mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri Sedatif digunakan untuk mengendalikan

kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2. Pola

napas

tidak

efektif

berhubungan

dengan

kerusakan

neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak) Tujuan: Mempertahankan pola pernapasan efektif. Kriteria evaluasi : GDA dalam batas normal INTERVENSI RASIONAL

a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman Pernapasan lambat, periode apnea dapat

pernapasan. Catat ketidakteraturan menandakan perlunya ventilasi mekanis pernapasan. b. Pantau dan catat kompetensi reflek Kemampuan memobilisasi atau

gag/menelan dan kemampuan pasien membersihkan sekresi penting untuk untuk melindungi jalan napas sendiri. pemeliharaan jalan napas. Kehilangan Pasang jalan napas sesuai indikasi. refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi. c. Angkat kepala tempat tidur sesuai Untuk memudahkan ekspansi

aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas. e. Anjurkan pasien untuk melakukan Mencegah/menurunkan atelektasis. napas dalam yang efektif bila napas. pasien sadar. atelektasis. Penghisapan biasanya jika pasien koma f. Lakukan penghisapan dengan ekstra atau dalam keadaan imobilisasi dan hati-hati, jangan lebih dari 10-15 tidak dapat membersihkan jalan Mencegah/menurunkan

detik. Catat karakter, warna dan napasnya sendiri. kekeruhan dari sekret g. Auskultasi suara napas, perhatikan Untuk mengidentifikasi adanya masalah daerah hipoventilasi dan adanya paru seperti atelektasis, kongesti, atau suara tambahan yang tidak normal obstruksi jalan napas yang

misal: ronkhi, wheezing, krekel.

membahayakan

oksigenasi

cerebral

dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru. h. Pantau analisa gas darah, tekanan Menentukan oksimetri dan Lakukan ronsen keseimbangan kecukupan asam pernapasan, basa dan

thoraks ulang i. Memaksimalkan oksigen

kebutuhan akan terapi pada Memaksimalkan oksigen pada darah

darah arteri dan membantu dalam arteri dan membantu dalam pencegahan pencegahan hipoksia. hipoksia.

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, adanya benda asing dijalan nafas Tujuan Setelah dilakukan Intervensi tindakan Pastikan kebutuhan oral tracheal suctioning.

keperawatan pasien menunjukkan

keefektifan jalan nafas dibuktikan Berikan O2 ...l/mnt, metode dengan kriteria hasil : Mendemonstrasikan batuk Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam pasien untuk

efektif dan suara nafas yang Posisikan bersih, tidak ada sianosis dan

memaksimalkan ventilasi

dyspneu (mampu mengeluarkan Lakukan fisioterapi dada jika perlu sputum, bernafas dengan Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

mudah, tidak ada pursed lips)

Menunjukkan jalan nafas yang Auskultasi paten (klien tidak merasa

suara

nafas,

catat

adanya suara tambahan

tercekik, irama nafas, frekuensi Berikan bronkodilator : pernafasan dalam rentang Monitor status hemodinamik

normal, tidak ada suara nafas Berikan pelembab udara Kassa abnormal) Mampu dan basah NaCl Lembab mengidentifikasikan Berikan antibiotik faktor yang Atur intake untuk cairan

mencegah

penyebab. Saturasi O2 dalam batas normal Foto thorak dalam batas normal

mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2 Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan : O2, Suction, Inhalasi.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Penyebab Subdural Hematoma Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Menurut teori, penyebab hematoma subdural adalah hantaman yang keras pada kepala dan akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah kamudian terjadi pendarahan. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Hal tersebut sejalan dengan teori, berdasarkan hasil pengkajian yang didapatkan dari keluarga An. A, An A memiliki riwayat pernah jatuh di kamar mandi sejak 2 bulan yang lalu ketika digendong oleh ayahnya, setelah jatuh pada saat itu An. A sempat pingsan, mual, dan muntah kemudian keluarga segera membawanya ke rumah sakit Majene. Klasifikasi subdural terbagi 3 yaitu, perdarahan akut, sub akut, dan kronik. Berdasarkan hasil pengkajian yang ditemukan pada An. A didapatkan bahwa An. A mengalami perdarahan subdural kronik, karena berdasarkan teori ditemukan bahwa perdarahan subdural kronik biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma

B. Manifestasi Klinik Penurunan kesedaran merupakan salah satu data yang dapat menegakkan diagnosis terjadinya perdarahan pada kepala, khususnya subdural hematoma. Berdasarakan hasil pengkajian GCS pada An. A, An. A mengalami penurunan kesadaran secara berkala, keluarga An. A mengatakan bahwa 5 hari sebelum dibawa ke RSWS, An. A mengalami perubahan dari hari setelah 5 hari tersebut, klien tiba-tiba Pingsan, mual, muntah, kejang sebanyak 3x dengan frekuensi 15 menit, batuk (+), lendir (+). Kemudian klien dibawa ke RSWS, di ruang triage didapatkan GCS An. A adalah 8 (E2M4V2) dengan tambahan manifestasi klinik berupa pupil anisokor kiri. Setelah dimasukkan ke dalam ruang observasi bedah, GCS klien menurun menjadi GCS 6 (E1M4V1) Manifestasi klinik tersebut sejalan dengan manifestasi klinik subdural kronik yaitu :

Sakit kepala yang menetap Rasa mengantuk yang hilang-timbul Linglung Perubahan ingatan Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Kejang Edema pupil Menarik diri

C. Evaluasi Diagnostik Untuk menegakkan diagnosis, penurunan kesadaran bukan satu-satunya data yang dapat menunjang, namun perlu ada pemeriksaan CT SCAN. Ct scan dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Pemeriksaan CT SCAN sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk menentukan adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat Telah dilakukan pemeriksaan CT scan pada An. A dengan hasil sebagai berikut : a. Tampak lesi hiperdens dengan gambaran crescent sign yang membentuk fluid-fluid level pada frontotemporoparetialis sinistra b. Tampak midline shift ke kanan sejauh 2 cm yang menyempitkan ventrikel lateralis sisi kiri c. Dinsitas gray dan white matter dalam batas normal d. Sulci dan gyri sedikit obliterasi e. Orbita, aircell mastoid dan sinus paranasalis yang terscan dalam batas normal f. Tulang-tulang terscan kesan intak Hasil Ct scan tersebut sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa hasil ct scan pada pasien subdural hematoma adalah ada bagian hipodens yang berbentuk cresent, hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak).

Pada subdural hematoma dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera akselerasideselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior. Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena gantung (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerahdaerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.

D. Penatalaksanaan Sejalan dengan teori penatalaksanaan yang diberikan pada kasus subdural hematoma kronik dengan manifestasi klinik yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs).

An. A menunjukkan gejala yang sangat progresif berupa GCS yang semakin menurun, kejang, pupil anisokor, dan manifestasi lainnya. Maka penanganan yang dilakukan pada An. A adalah intubasi, berdasarkan teori adalah pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) sebaiknya dilakukan intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan nafas. Tindakan tersebut telah dilakukan kepada An. A yang dimana An. A segera dilakukan proses intubasi, An. A menjalani prosedur anastesi berupa pre medikasi dengan pemberian atropin 0,25 mg dan fentanyl 25 mg 1-4 ug/kg. Proses Induksi diberikan propofol 30 mg 1-2 mg/kg dan musculo relaxant berupa Roculax 10 mg. Kemudian dilakukan Insersi ETT ID 5,0 laringoscopy, kembangkan cuff, fiksasi di sudut bibir kanan sepanjang 16 cm dan dilanjutkan maintenance O2 via Jackson rees 8 liter/menit dan fentanyl 10 mg Tindakan tersebut telah sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal

disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.

E. Asuhan Keperawatan Data dari hasil pengkajian yang dilakukan secara menyeluruh yang terdiri dari identitas klien, Vital sign atau tanda-tanda vital, pengkajian primer dan sekunder. Pengkajian primer yang terdiri dari jalan nafas, pola nafas, sirkulasi darah, dan kesadaran. Pengkajian sekunder yang meliputi pengkajian dari 6B yaitu : breathing, blood, brain, balder, bowel, dan bone. Pemeriksaan penunjang yan terdiri dari pemeriksaan Ct-scan dan darah rutin dianalisa untuk menentukkan diagnose keperawatan guna memberikan intervensi pada klien. Adapun diagnosa yang muncul sesuai dengan kasus An.A adalah (1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hematoma); edema cerebral, hipoksia. Dengan data penunjang karakteristik berupa perubahan perilaku berupa gelisah, abnormalitas berbicara berupa suara tidak jelas ketika berbicara, perubahan respon motorik berupa kejang, perubahan reaksi pupil : anisokor pada pupil kiri (2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Dengan data penunjang berupa klien terlihat mengalami dyspnea dan nafas pendek, dan pernapasan meningkat dari nilai normal yaitu 26x/menit. (3) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, adanya

benda asing dijalan nafas. Dengan data penunjang klien terlihat dyspneu, terlihat kesulitan berbicara, terpasang O2 NRM 10 liter/menit, tidak mampu batuk efektif, kelainan suara napas berupa wheezing Pengangkatan diagnosa ini sejalan dengan teori, yaitu dimana untuk menetukan diagnose tersebut harus memliki data mayor dan minor lebih dari dua dan data-data tersebut haruslah mendukung diagnose keperawatan yang akan ditegakkan untuk menentukan intervensi keperawatan yang akan dilakukan kepada klien.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan pengkajian dan intervensi yang dilakukan pada kasus An.A di RS. Wahidin Sudirohusodo, dapat disimpulkan bahwa : 1. Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. 2. Penyebab utama dari subdural hematoma yaitu hantaman keras yang mengenai kepala yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural 3. Terdapat 3 klasifikasi subdural hematoma, yaitu subdural akut, subdural sub-akut, dan subdural kronik. Manifestasi klinik utama dari subdural hematoma adalah penurunan kesasaran. Adapun manifestasi lainnya yaitu : Sakit kepala yang menetap, rasa mengantuk yang hilang-timbul, linglung, perubahan ingatan, kejang, dan edema pupil 4. Evaluasi diagnostic untuk menegakkan diagnosis Subdural hematoma dapat dinalai dari gambaran CT scan.

5. Penatalaksanaan klien dengan subdural hematoma kronik dengan manifestasi klinik yang progresif berupa tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus diperhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). 6. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah : Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung). Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, adanya benda asing dijalan nafas. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. 7. Diagnosa keperawatan pada An. A belum ada yang mampu teratasi karena klien terus-menerus mengalami penurunan kesadaran yang progresif, namun intervensi keperawatan yang dilakukan dapat mengurangi resikoresiko fatal yang dapat terjadi pada klien An.A

B. Saran 1. Pada kasus darurat dan memerlukan tindakan yang cepat dan tanggap sebaiknya hasil laboratorium seperti ct scan, AGD, dan pemeriksaan yang launnya dapat diproses secara cepat oleh pihak laboratorium sehingga memudahkan pada tim medis untuk memberikan tindakan yang tepat dan cepat. 2. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antara sesama perawat, tim medis dan tenaga kesehatan lainnya karena itu hendaknya kerjasama yang baik senantiasa dipelihara dan terus dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2 (terjemahan). PT EGC. Jakarta. Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta Mutaqqin Arief. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Di akses pada tanggal 28 maret 2012. http://books.google.co.id/books?id=LhzANK2oLfoC&printsec=frontcover& h l=id#v=onepage&q&f=false " Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung. Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. 4.Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai