Anda di halaman 1dari 24

BAB I DATA PASIEN I.

Identitas : No RM Nama Jenis kelamin Usia Agama Alamat Pekerjaan Status perkawinan Tanggal Masuk RS II. Anamnesis : Auto dan allo anamnesis terhadap keluarga pasien Tanggal 20 Juni 2012 Keluhan utama Batuk berdahak bercampur darah Keluhan tambahan Badan terasa lemas, sesak, mual, mata berwarna kuning. Riwayat penyakit sekarang Pada pertengahan bulan Mei 2012 pasien didiagnosis penyakit TB oleh Puskesmas, saat itu pasien mengeluh batuk yang tidak sembuh dalam 1 bulan terakhir, awalnya batuk kering, namun kemudian berubah menjadi batuk berdahak, dahak warna kuning kehijauan, darah(+) yang berwarna merah terang. Pasien juga mengeluh sering keluar keringat dingin pada malam hari dan pada siang hari walaupun cuaca tidak panas,dan kadang juga timbul demam,. Pasien merasa berat badannya turun, 6 kg dari 45 kg menjadi 39 kg. Pasien kemudian pergi ke puskesmas, diperiksa dahak 3 kali, diperiksa rontgen dada dan oleh dokter disana dinyatakan sakit paru dan kemudian diberikan obat paru, Setelah mengkonsumsi obat paru selama 1 bulan, batuk darah menjadi jarang namun pasien merasakan mual dan pernah muntah yang berisi cairan dan isi makanan dengan frekuensi
1

: 234311 : Tn. Abdul Ghofur : Laki-laki : 73 tahun : Islam : Benda Sirampog RT 2/3 Brebes : Petani (pensiun) : menikah : 20 Juni 2012

1x, nyeri perut (-), demam (-), semenjak itu pasien menjadi lemas dan nafsu makan pasien menjadi turun. Pasien mengatakan kencingnya tidak berwarna coklat gelap, bab warna dempul (-), kemudian pasien juga baru menyadari bahwa matanya kuning 7 SMRS, kulit kuning (-). Riwayat minum alcohol (-), jamu jamuan(-), narkoba (-). 2 hari SMRS, batuk darah (+) tiba-tiba semakin sering, pasien juga merasakan lemas yang semakin lama semakin memberat, awalnya lemas dirasakan pasien jika beraktivitas tapi sekarang pasien mengaku merasa lemas tanpa pasien beraktivitas, sesak (+), demam (+). Karena keadaan pasien memburuk, pengobatan di hentikan dan pasien kemudian di rujuk ke RS DKT Purwokerto. Pasien selama ini menyangkal cepat capek jika berjalan jauh atau naik tangga (-), tidur menggunakan bantal tinggi (-), nyeri dada (-), nafsu makan menurun (+), status gizi dalam seminggu terakhir menurut pasien cukup. Riwayat penyakit dahulu Riwayat hepatitis (-), alergi obat (-), penyakit paru(-), Diabetes Melitus (-), Hipertensi (-), Ginjal (-) Riwayat penyakit keluarga Riwayat hepatitis (-), alergi obat (-), penyakit paru (-), Diabetes Melitus (-), Hipertensi (-), Ginjal (-) Riwayat pekerjaan, social, ekonomi, kejiawaan dan kebiasaan Pasien menikah, sudah bekerja, dan tinggal bersama keluarga. Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Pasien merokok (+) ,riw alkohol, riw. Jamu & obat-obatan, riw. Narkoba (-), free sex (-). Pemeriksaan fisik Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Tanda vital Tekanan darah : 90/60
2

Nadi : 80x/m Suhu : 37,1 Pernapasan : 28xm Tinggi badan : 159 Berat badan : 45 kg . IMT : 18 (underweight)

Status generalis Kepala Mata Telinga Hidung Leher Paru : normocephali : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+ : serumen + kering : secret -/: kelenjar getah bening tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O tampak pulsasi arteri Carotis, tidak ada pembesaran tiroid : Inspeksi Palpasi Perkusi : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis. : Fremitus Vokal melemah pada lapang paru kanan : sonor pada lapang paru kiri, sonor pada lapang paru kanan dan menjadi redup pada ICS VII linea mid clavicula dekstra ke bawah Auskultasi : suara dasar vesikuler menurun pada paru dx bagian bawah, suara dasar vesikuler normal pada lapang paru kiri, ronchi + / +, wheezing -/Jantung : Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak terlihat. : ictus cordis teraba pd ICS V linea midclavikulasinistra : Batas atas Batas kiri Auskultasi Abdomen :Inspeksi Palpasi Perkusi : ICS III linea sternalis sinistra : ICS V linea midclavikularis sinistra

Tenggorokan : faring tidak hiperemis, T1-T1

Batas kanan : ICS III linea sternalis dextra : Bunyi jantung I-II reg. Murmur (-), Gallop (-). : datar. : nyeri tekan (-), hepar teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak membesar, Murphy sign : Shifting dullness (-)
3

Auskultasi Ekstremitas Kulit

: bising usus (+) normal

: akral hangat, oedem pada kedua ekstremitas (- /- ), crt <2, palmar eritem (-). : turgor baik, pucat (-), ikterik (-)

Pemeriksaan Penunjang Lab tanggal 21/6/12 PEMERIKSAAN Hematologi Hb Ht Leukosit Trombosit LED Kimia Klinik Gula darah sewaktu Fungsi Hati SGOT SGPT Bilirubin total Bilirubin direk Bilirubin indirek Fungsi Ginjal Ureum darah Creatinin darah Asam urat Lab tanggal 22/6/12 PEMERIKSAAN Kimia Klinik Gula darah sewaktu Fungsi Hati Bilirubin total Fungsi Ginjal Ureum darah 91 20-50
4

NILAI HASIL 6,9 g/dl 27,9% 5.000 282.000 95 43 24 U/I 13 U/I 11,20 mg/dl 7,40 mg/dl 3,80 mg/dl 215 U/l 3,39 U/l 13,8 HASIL 101 7,8

NILAI RUJUKAN 11,7-15,5 33-45 5.000-10.000 150.000-440.000 0-15 mm/jam < 200 mg/dl 0-34 0-40 0,00-1,00 <0,2 <0,6 20-50 0,6-1,5 3,6 8,2 NILAI RUJUKAN < 200 mg/dl 0,00-1,00

Creatinin darah 3,0 Foto Thoraks tanggal 10 Mei 2012

0,6-1,5

Kesan : Efusi Pleura dekstra Resume Pasien laki-laki, 73 th, datang dengan keluhan Batuk berdahak bercampur darah dan badan terasa lemas, sesak, mual, mata berwarna kuning. Pasien merupakan pasien TB dalam pengobatan selama 1 bulan. Selama meminum OAT, pasien merasa mual dan pernah muntah. Muntah berisi cairan dan isi makanan dengan frekuensi 1 x, nafsu makan pasien menjadi turun, pasien juga mengeluh matanya kuning. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, Tekanan darah : 90/70, Nadi : 80x/m, Suhu : 38,2 C, RR : 28xm, Tinggi badan : 159, Berat badan : 45 kg, IMT : 18 (underweight). Sclera ikterik +/+, suara nafas ronkhi +/+, dan hepar teraba membesar 2 jari dibawah arkus costae. Pada pemeriksaan lab tanggal 21/6/12 ditemukan Hb: 6,9 g/dl , Ht : 27,9 %, LED : 95 mm/jam GDS : 43 mg/dl, bilirubin total 11,20. Bilirubin direk 7,40. Bilirubin indirek 3,80. Ureum: 215 mg/dl, Kreatinin : 3,39 mg/dl, Asam urat 13,8 mg/dl. Pada pemeriksaan lab tanggal 22/6/12 ditemukan Bilirubin total : 7,80 mg/dl Ureum : 91 mg/dl, Kreatinin 3,0 mg/dl . Usulan Pemeriksaan Penunjang DL SGOT/SGPT, Bilirubin, Ureum/Kreatinin Urinalisa
5

Diagnosis Kerja Drug induced hepatitis ec OAT TB paru, kasus baru, BTA (+) on OAT 1 bulan dengan Efusi Pleura Cachexia

Penatalaksanaan Farmakologi OAT stop IVFD D5% # Dycinone O2 4 L/menit Transamin 3 x 1 amp Vitamin K 3 x 1 amp Dexamethason 2 x 1 amp Ranitidin 2 x 1 amp Difloxin 1 x 500 mg Drip Aminofusin Hepar 1 x 1 Bed Rest Total posisi semi fowler Diet lunak 1700 kkal NGT 500cc/12 jam

Non Farmakologi

Prognosis Tgl 21/6/12 Ad Vitam Ad Functionam Ad Sanationam : dubai ad malam : dubia ad malam : dubai ad malam Assesment Plant Drug induced OAT stop 500cc/12 jam TB paru, kasus O2 4 L/menit
6

Subjective Objective Batuk berdarah Ku/Kes: Cm/ TSS mual muntah (-) (+), 36,5c, R : 28x/m Mata : CA-/-, SI +/+

(+), sesak (+), Td : 110/80, Nadi : 74x/m, S : hepatitis ec oat IVFD D5% # Dycinone

Leher : jvp 5-2 cmh20 wh-/Jantung : bj i-ii regular, m-, gAbdomen : cekung, Hepar

baru, BTA (+) Transamin 3 x 1 amp dengan Pleura Efusi Dexamethason 2 x 1 amp Ranitidin 2 x 1 amp Difloxin 1 x 500 mg Drip Diet lunak 1700 kkal Drug NGT induced IVFD D5% 500cc/12

Paru : vesikuler +/+, rh+/+, on OAT 1 bulan Vitamin K 3 x 1 amp

teraba 2 jari dibawah Arcus Cachexia Costa, Supel BU N, Ascites (-) Ekstremitas : akral hangat, 22/6/12 Batuk (-), mual muntah (-) edema -/berdarah Ku/Kes: Cm/ TSS (+), 36,5c, R : 30x/m Mata : CA-/-, SI +/+ Leher : jvp 5-2 cmh20 wh-/Jantung : bj i-ii regular, m-, gAbdomen : cekung, Hepar teraba 2 jari dibawah Arcus Cachexia Costa, Supel BU N, Ascites (-) Ekstremitas : akral hangat, 23/6/12 Batuk mual muntah (-), edema -/berdarah Ku/Kes: Cm/ TSS (+), 36,5c, R : 28x/m Mata : CA-/-, SI +/+ Leher : jvp 5-2 cmh20 wh-/Jantung : bj i-ii regular, m-, gAbdomen : cekung, Hepar Drug

sesak

(+), Td : 110/70, Nadi : 80x/m, S : hepatitis ec oat jam O2 4 L/menit TB paru, kasus Transamin 3 x 1 amp baru, BTA (+) Dexamethason 2 x 1 dengan Pleura Efusi Ranitidin 2 x 1 amp Difloxin 1 x 500 mg Drip Aminofusin Hepar 1 x 1 Diet lunak 1700 kkal & Entrasol sonde induced IVFD D5% 500cc/12

Paru : vesikuler +/+, rh+/+, on OAT 1 bulan amp

(+), sesak (+), Td : 110/80, Nadi : 74x/m, S : hepatitis ec oat jam O2 4 L/menit TB paru, kasus Dexamethason 2 x 1 baru, BTA (+) amp dengan Pleura Efusi Difloxin 1 x 500 mg Drip Aminofusin Hepar 1 x 1
7

Paru : vesikuler +/+, rh+/+, on OAT 1 bulan Ranitidin 2 x 1 amp

teraba 2 jari dibawah Arcus Cachexia Costa, Supel BU N, Ascites (-) Ekstremitas : akral hangat, 24/6/12 Batuk (-), edema -/berdarah Ku/Kes: Cm/ TSS 36,5c, R : 28x/m Mata : CA-/-, SI +/+ Leher : jvp 5-2 cmh20 wh-/Jantung : bj i-ii regular, m-, gAbdomen : cekung, Hepar teraba 2 jari dibawah Arcus Cachexia Costa, Supel BU N, Ascites (-) Ekstremitas : akral hangat, edema -/Drug

Diet lunak 1700 kkal & Entrasol sonde

induced IVFD D5% 500cc/12 jam Dexamethason 2 x 1

sesak

(+), Td : 100/70, Nadi : 74x/m, S : hepatitis ec oat

mual (-),

TB paru, kasus amp baru, BTA (+) Ranitidin 2 x 1 amp dengan Pleura Efusi Aminofusin Hepar 1 x 1 Diet lunak 1700 kkal & Entrasol sonde

Paru : vesikuler +/+, rh+/+, on OAT 1 bulan Betrix 1 x 1 skin test

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Metabolisme Obat Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada
8

fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. 1 Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-pbenzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan. 1 Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat. Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:

Inducers
o o o o o o o

Phenobarbital Phenytoin Carbamazepine Primidone Ethanol Glucocorticoids Rifampin


9

o o o

Griseofulvin Quinine Omeprazole - Induces P-450 1A2

Inhibitors
o o o o o o

Amiodarone Cimetidine Erythromycin Grape fruit Isoniazid Ketoconazole 1

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut. 2 2.2. Mekanisme Hepatotoksisitas Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang
10

meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogenimunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolitmetabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen). 2 Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). 2 2.3. Implikasi Klinis Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansisubstansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. 2 Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya. 2

11

Menurut International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan :\ 1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat. 2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat. 3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus 4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat. 1 Diagnosis dari hepatitis drug induce adalah ketika kadar AST dan ALT normal dan gejala serta tanda dari hepatotoksis membaik setelah pemberian semua obat anti TB dihentikan, dan terdapat satu dari kriteria: peningkatan lima atau lebih dari lima nilai normal ALT dan atau AST, peningkatan kadar serum total bilirubin diatas 1,5 mg/dl, peningkatan AST dan atau ALT sebelum pengobatan OAT dengan anorexia, mual, muntah, malaise, organomegali dan jaundice. Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang
12

menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat. 1 Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya. 1 Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. 1 2.4. Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat

1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu. 2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola
13

makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat. 3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita. 4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat. 5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun. 6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat. 7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah. 8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat short-acting

14

9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan mendorong terjadinya penyakit hati, yakni: o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin) o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat o Usia Muda - Salisilat, asam valproik o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate 1 2.5. Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (Oat) Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). 3

15

Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. 3
2.6.

Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan

hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. 3. Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat
2.7.

Efek Hepatotoksik OAT Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase

(ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas. 3

16

Isoniazid (INH) Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak). 3 Rifampisin Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. 3
17

Pirazinamid Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi. 3 Etambutol Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. 3 Streptomisin Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. 3
2.8.

Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat

Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaan:
-

Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi
18

Paduan obat yang dianjurkan


-

sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.
-

Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi 4

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian. 5,6.
2.9.

Rekomendasi Mengelola OAT Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat

diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain: Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut harus dihentikan Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol. Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai 8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar. 3

19

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan. Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75 mg / hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan. Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg). 3
2.10. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT

Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai

pengobatan TB dan sebaiknya

dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. 3 Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan Hepatotoksisitas Imbas OAT 1.Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT 2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian OAT 3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang abnormal.
20

4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg / dl). 5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati. 6. Pemberhentian obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari kimia hati yang abnormal.5, 6 2.11. Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis: Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda dan gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah memulai pengobatan dan kemudian setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi). Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga minggu pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka tidak ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi bukti klinis. Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai kadar transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis). Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit
21

dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.: * Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis * Hari 3: INH dengan dosis penuh * Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis * Hari 6: RMP pada dosis penuh * Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis * Hari 9: EMB pada dosis penuh Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan. Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika pola kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar tercantum di bawah ini. Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai berikut:
22

1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak adanya obatobatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya 2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir (dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). 5, 6

DAFTAR PUSTAKA 1. Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and Hepatology. 2010
2. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas

Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006. 3. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment . Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis . Jakarta. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. 2008 5. Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267
23

6. Yin Yang dkk. Incidence of ATLI in China. BMC Public Health; 2011

24

Anda mungkin juga menyukai