Anda di halaman 1dari 17

Bronkiolitis

Posted: March 14, 2011 in Pediatric (I.Anak) Tags: Batuk, batuk pada anak, Bronkiolitis

3 Votes

I. DEFINISI

Bronkiolitis adalah Infeksi virus akut saluran pernapasan bawah yang menyebabkan obstruksi inflamasi bronkiolus, terjadi terutama pada anak-anak dibawah umur 2 tahun.

II. EPIDEMIOLOGI

Bronkiliotis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi umur 6 bulan.Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.2. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin terjadi oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromizedmempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi saluran napas bawah terbanyak pada anak. Dinegara dengan 4 musim, epidemiologi bronkiolitis menunjukkan puncak yang tajam setiap tahun pada musim dingin antara bulan januari dan maret sampai awal musim semi dan dinegara tropis banyak ditemukan pada musim hujan. Faktor yang memicu bronkiolitis RSV meningkat setiap musim dingin belum diketahui. Persentase rendah kasus bronkiolitis ditemukan pada musim panas. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003, bronkiolitis banyak ditemukan pada bulan januari sampai bulan Mei.

Insiden infeksi Respiratory Sensitial Virus (RSV) sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-laki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah,

jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI). Sekitar 70% kasus bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga harus dirawat di rumah sakit, sedangkan sisanya biasanya dapat dirawat di poliklinik.

III. ETIOLOGI

Penyebab yang paling banyak adalah Respiratory Sensitial Virus (RSV), kira-kira 45-80 % dari total kasus bronkiolitis akut. Parainfluenza Virus (PIV) 3 menyebabkan sekitar 25-50% kasus, sedangkan PIV tipe 1 dan 2, adenovirus tipe 1,2 dan 5, Rinovirus, virus influenza, enterovirus, herpes simplex virus, dan Mycoplasma pneumonia masing-masing menyebabkan sedikit kasus (< 25%). Penyebab Bronkiolitis Angka kejadian ++++ ++

Respiratory syncytial virus Parainfluenza virus tipe 3 Parainfluenza virus tipe 1 Parainfluenza virus tipe 2 Adenovirus Influenza virus (A atau B) Mycoplasma pneumoniae Enterovirus Herpes simplex virus Rhinovirus + + + + +

Data diperoleh dari referensi8

Catatan :

(+ + + +) >75% kasus

(+ +) 25-50% kasus

(+) <25% kasus

RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi.1Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas yang tidak bertahan lama. Penyakit ini merupakan infeksi nosokomial yang paling sering dalam bangsal pediatrik. Dan infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis.5,7 Virus ini ditemukan dengan cara kultur, enzyme immunoassay(EIA) atau dengan tes serologik pada pasien yang dirawat diRS. Bronkiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini karena antibodi neutralizing dari ibu masih tinggi pada 4-6 minggu kehidupan, kemudian akan menurun. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi saluran napas bawah, terutama terhadap virus. Bakteri sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi. Latar belakang genetik tidak begitu jelas.7

IV. PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian yang penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G ( attachment protein) yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pada pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Sebagian besar infeksi saluran napas ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi primer oleh virus RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak tahun-tahun pertama kehidupan akan bermanifestasi berat.

Selain melalui droplet, RSV bisa juga menyebar melalui inokulasi atau kontak langsung dengan sekresi hidung penderita. Seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.

Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus ini bereplikasi didalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas kesaluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran nafas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran nafas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. 2 Pada bronkiolus ditemukan obstruksi parsial atau total karena udema dan akumulasi mukus serta eksudat yang kental. Pada dinding bronkus dan bronkiolus terdapat

infiltrat sel radang. Radang juga bisa dijumpai pada peribronkial dan jaringan interstisial. Obstruksi parsial bronkiolus menimbulkan emfisema dan obstruksi totalnya menyebabkan atelektasis.

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mokusilier, mukus tertimbun didalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran nafas juga akan mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran nafas juga meningkatkan ekspresi Intercelluler Adhesion Molecule-1(ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran nafas. Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran nafas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran nafas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnia, asidosis metabolik sampai gagal nafas. Karena resistensi aliran udara saluran berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran nafas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep sehingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali diatas normal. Atelektasis dapat terjadi bila terdapat obstruksi total. Proses patologik ini menimbulkan gangguan pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi berkurang, dan hipoksemia. Pada umumnya, hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada keadaan yang sangat berat. Berbeda dengan bayi, Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus karena sudah dapat mentoleransi udema saluran nafas dengan baik. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan konstribusi terhadap hal ini.2,5 Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran nafas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV. Fase penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat mencapai 15 hari.

Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran nafas dan asma :

Infeksi akut virus saluran nafas pada bayi atau anak kecil seringkali disertai wheezing.

Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran nafas pada saat bayi/ usia muda.5 Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan seluler. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.

IgM adalah bersifat sementara dan tampak terlalu lambat untuk membantu patogenesis bronkiolitis. Antibodi IgA dan IgG spesifik muncul pada minggu kedua, tetapi umurnya begitu pendek sehingga penderita mudah dapat mendapat serangan reinfeksi dalam 1 tahun.

Ada beberapa keprihatinan bahwa keparahan gejala pada infeksi selanjutnya mungkin lebih besar pada penderita yang mempunyai kadar IgE spesifik RSV tinggi, biasanya terjadi defisiensi fungsi sel supresor antigen-spesifik RSV.

Hampir 70-80% anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring pada 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.

Infeksi virus sering berulang pada bayi. Hal ini disebabkan oleh:

1.

Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.

2.

Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I inhibitor dengan akibat tidak bekerjanya

sistem antigen presenting.

3.

Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan kemampuan virus untuk menginfeksi makrofag

serta limfosit. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi seperti kegagalan produksi interferon, interleukin I inhibitor, hambatan terhadap antiobodi neutralizing, dan kegagalan interaksi dari sel ke sel.

V. IMMUNOPATOLOGI

Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun antara antibodi non-neutralizing dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan pengamatan di mana terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara pasif didapatkan dari ibu masih cukup tinggi.

RSV-Respons IgE Spesifik Infeksi oleh virus dapat mengakibatkan respons IgE spesifik. Timbulnya IgE spesifik berhubungan dengan derajat beratnya penyakit. Respons ini disertai peningkatan kadar histamin pada sekret hidung yang ditemukan pada anak dengan mengi akibat infeksi saluran napas bawah oleh virus RSV. Hal ini menunjukkan keterlibatan IgE pada infeksi virus, walaupun pada orang dewasa dikeluarkannya histamin oleh sel basofil kadang-kadang tidak disertai peningkatan kadar IgE. Ada beberapa penelitian mengenai hubungan antara serum anti RSV IgE dengan kadar IgG dengan kecenderungan timbulnya mengi di kemudian hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa atopi bukan merupakan faktor risiko terjadinya bronkiolitis, tetapi respons IgE merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan kecenderungan terjadinya mengi berulang.

Efek Infeksi Virus Terhadap Saluran Napas Efek infeksi virus terhadap inflamasi saluran napas:

1. Sel epitel

Sel epitel merupakan tempat hidup virus saluran napas. Adanya infeksi ini akan menyebabkan kerusakan selama replikasi virus. Virus ini juga akan merangsang dikeluarkanya mediator inflamasi (sitokin) dan kemokin seperti interleukin 6, interleukin 8, interleukin 11, Granulocyt Macrophag Stimulating Factor (GM-CSF), dan Rantes. Dengan dikeluarkanya mediator kimia tersebut akan menyebabkan inflamasi. 2. Sel endotel

Kelainan sel endotel akan memberikan gangguan pada saluran napas melalui dua mekanisme:

a. Terjadinya reaksi inflamasi pada sel endotel.

b.Transudasi protein plasma dari pembuluh darah ke mukosa hidung menyebabkan sekresi hidung dan bendungan.

Adanya transudasi dapat diketahui dengan pengukuran albumin dan IgG. Kedua zat tersebut akan meningkat puncaknya 2 4 hari setelah infeksi oleh virus. Mekanisme terjadinya transudasi ini berkaitan dengan aktivasi mediator kinin, sehingga meningkatkan permeabilitas sel endotel.

3. Granulosit

Sel neutrofil merupakan sel inflamasi yang muncul pada saat infeksi akut oleh virus. Sel ini berfungsi sebagai kemotaksis faktor seperti IL-8 dan leukotrin B4. Kompleks virus RSV dan antibodi akan merangsang IL-6 dan IL-8 yang disekresi oleh sel neutrofil, sehingga akan dilepaskan sitokin. Selain itu, virus dapat juga mengaktivasi granulosit, sel mast, dan basofil.

4. Makrofag dan monosit

Adanya infeksi pada saluran pernapasan oleh virus akan menyebabkan dikeluarkanya mediator kimia dari sel makrofag dan monosit. Selama infeksi saluran napas sitokin: IL-q, TNF alfa, dan IL-8 dapat ditemukan pada sekret hidung. Pada fase akut ini, sitokin yang dikeluarkan akan menyebabkan gejala sistemik seperti demam dan malaise. Adanya interleukin I dan TNF alfa berhubungan erat dengan timbulnya mengi pada anak-anak dan dapat berkembang menjadi reaksi alergi serta asma di kemudian hari.

5. T-sel

Infeksi virus dapat merangsang spesifik dan non-spesifik T-sel. T-sel ini dapat menyebabkan timbulnya asma.

Ada 3 kemungkinan virus dapat menyebabkan eksaserbasi asma:

a.

T-sel membantu membersihkan virus, tetapi tidak berhubungan dengan gejala asma.

b.

Virus T-sel spesifik dapat menyebabkan gejala asma, tetapi bila infeksinya telah berat.

c.

Infeksi virus dengan cepat mengaktivasi T-sel sehingga menyebabkan inflamasi dan gejala-gejala selama infeksi.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa infeksi virus menyebabkan rangsangan terhadap T-sel non-spesifik dan terjadi gangguan pada fungsi paru.

VI. MANIFESTASI KLINIK.

Mula-mula bayi menderita gejala infeksi saluran napas atas yang ringan berupa pilek yang encer, batuk, dan bersin, kadangkadang disertai demam yang tidak terlalu tinggi (subfebrile) dan nafsu makan berkurang. Gejala ini berlangsung beberapa hari. Kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum.2 Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 13 hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat timbul beberapa hari dan perjalanannya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali, bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas >60 x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang disertai sianosis. Karena bayi mempunyai dinding dada yang lentur, retraksi suprasternal dan kosta tampak jelas dan tepi kosta terlihat melebar pada setiap pernafasan untuk menambah volume tidalnya. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Terdapat ekpirasi yang memanjang dan wheezing kadang-kadang terdengar dengan jelas. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media dan faringitis. Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis ( hydrochloric, nitrit acid, sulfur dioxide). Karakteristiknya : gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhan mengarah pada penyakit paru kronis. Histopatologi : hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. VII. DIAGNOSIS.

Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran napas atas yang ringan.

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assesment Instrumen (RDAI) yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan. Tabel . Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI) (dikutip dari Klassen, 1991)

SKOR 0 WHEEZING Ekspirasi 1 Akhir Sebagian 2 dari 4 lap.paru 2 Semua 3 dari 4 lap.paru Semua 3 4

Skor maksimal

(-) (-)

4 2

Inspirasi (-) 2

Lokasi

RETRAKSI Supraklavikular

(-) (-)

Ringan Ringan

Sedang Sedang

Berat Berat

3 3

Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3

Subkostal

TOTAL

17

Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen <95% adalah tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap. Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung darah lengkap menunjukkan kenaikan tingkat sedang dan hitung leukosit biasanya normal dengan atau tanpa pergeseran ke kiri. Pada pasien dengan peningkatan leukosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.

Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan kenaikan PCO 2 (hiperkapnia), karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edema dan hipersekresi bronkiolus.

Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hiperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan kebawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan : siluet jantung yang menyempit, jantung

terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.2,6

VIII. DIAGNOSA BANDING.

Asma Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya. Berbeda dengan asma yang mengalamiwheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering

Bronkitis Congestive heart failure Miokarditis Udema pulmonum Pneumonia (virus atau bakteri) Lymphoid interstitial pneumonia Aspirasi benda asing atau terpapar zat beracun (zat kimia, asap,toksin) Broncomalasia Cystic fibrosis Gastroesophageal reflux (GER)

Tabel 2. Diagnosis banding 13 pada anak dengan mengi


DIAGNOSIS
Asma

TANDA
Riwayat mengi berulang, beberapa diantaranya tidak berkaitan

dengan serangan batuk dan pilek Hiperinflasi dada

Ekspirasi memanjang

Pengurangan pemasukan udara (jika berat terjadi obstruksi udara)

Respon baik terhadap bronkhodilator

episode pertama mengi pada anak umur < 2 tahun Hiperinflasi dada

Bronkhiolitis -

Ekspirasi memanjang

Pengurangan pemasukan udara (jika berat terjadi obstruksi udara)

Kurang / tidak respon terhadap bronkhodilator

mengi selalu berhubungan dengan disertainya batuk dan pilek tidak ada riwayat keluarga yang menderita asma

ekspirasi memanjang

Mengi yang berkaitan dengan batuk dan pilek

Pengurangan pemasukan udara (jika berat terjadi obstruksi udara)

Respon baik terhadap bronkhodilator

Mengi cenderung lebih ringan dari pada asma

tiba. -

riwayat onset penyumbatan saluran nafas dan mengi secara tibaMengi bisa unilateral

Aspirasi benda asing

Perangkap udara dengan hiperresonan dan pergeseran mediastinum

Tanda kolaps paru : pengurangan masukan udara dan perkusi tumpul (dull percussion) tidak respon terhadap bronkhodilator

Pneumonia

batuk dengan nafas cepat retraksi dinding dada bawah

demam

suara nafas kasar

napas cuping hidung

stridor

IX. TATA LAKSANA

Infeksi oleh virus RSV biasanya sembuh sendiri ( self limited) sehingga pengobatan yang ditujukan biasanya pengobatan suportif. Prinsip dasar penanganan suportif ini mencakup : oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. Dibagian anak RS Dr.Soetomo selain dengan terapi suportif, juga diberikan secara rutin nebulasi agonis 2 pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada kasus-kasus berat. Antibiotik diberikan jika keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri.

Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Soetomo adalah :

Cairan dan nutrisi : adekuat, tergantung kondisi penderita. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik.

Bronkodilator : nebulasi dengan agonis 2 : salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4-6 kali per hari.

Steroid diberikan pada bronkiolitis berat: Dexametason 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis IV. Antibiotik : penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder. Digitalisasi : bila ada tanda payah jantung.2 TERAPI OKSIGEN Oksigen harus diberikan kepada semua penderita, hal ini penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga tidak memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-paru. Oksigenasi dengan kadar

oksigen 30-40% sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia.5 Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen didalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit), masker (minimun 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apneu berulang. CPAP( continous positive airway pressure) biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil, mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). TERAPI CAIRAN Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi akibat keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernapasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diperlukan pemberian cairan rumatan. Cara pemberian cairan ini bisa intravena atau nasogastrik. Akan tetapi, harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak napas akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru.

Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status dehidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas atau distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH ( Sindrome of Inappropriate Anti Diuretik Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. OBAT_OBATAN Antibiotik Penggunaan antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Kecuali jika terdapat tanda-tanda infeksi sekunder seperti perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau adanya dugaan sepsis maka perlu diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinalis, untuk itu secepatnya diberikan antibiotik yang memiliki spektrum luas.

Ribavarin Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus.5

Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messeger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam 3 hari setelah gejala timbul atau 10 hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermamfaat pada fase awal infeksi. 2 Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi mengenai efektivitas dan keamanannya.2,5 Dalam sebuah penelitian dengan pemberian ribavirin ini dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan di rumah sakit lebih singkat, dan adanya perbaikan fungsi paru. Tetapi dalam penelitian lain, penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat. Dan keterlambatan dalam memulai terapi. Kekurangan dari terapi ribavirin, harganya yang sangat mahal.2

American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan penyakitnya menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 1218 jam per hari atau dosis kecil dengan 2 jam 3 x/hari. 5 Bronkodilator (Albuterol, Proventil, Ventolin, Salbutamol dan Epineprin) Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan hampir selama 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid.

Obat-obatan beta 2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurang pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosiler akan lebih baik.

Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta 2 agonis secra nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen.

Sebuah penelitian meta analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang singkat (shot-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang. Studi terbaru Wainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epinefrin secara nebulisasi tidak menurunkan lama perawatan dirumah sakit. Epinefrin memberi efek alfa dan beta adrenergik.

Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta 2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan.

Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli)

Beta 2 agonis dapat meningkatkan aktivitas mukosilier Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma Efek samping nebulasi beta agonis lebih minimal dibandingkan epineprin. Kortikosteroid (Prednison dan Metil prednisolon) Pemakaian kortikosteroid pd bronkiolitis masih kontroversial. 3 Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektivitas kortikosteroid pada pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan plasebo terhadap saturasi oksigen, laju napas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian deksametason intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan terhadap skor klinis, laju napas, dan tes fungsi paru pada hari ke-3. Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang dirawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kgBB mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.

Antikolinergik Bekerja menghambat kontraksi otot polos pada bronkospasme. Ipratropium (Atrovent) Keuntungannya masih belum terbukti.

X. PENCEGAHAN Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan dari kontak dengan penderita ISPA.

Penggunaan imunoglobulin (RSV-Ig) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia(BPD), bayi prematur (< 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan terhadap jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk RS serta memperpendek waktu perawatan. RSV-Ig dapat ditoleransi dengan baik.

Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti F glycoprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin, diberikan secara intravena, juga bisa digunakan sebagai imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live recombinat) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat. Indikasi dirawat pasien bronkiolitis adalah :

Umur <3 bulan (meningkatnya resiko apneu dan penyakit menjadi lebih berat ). Usia kehamilan kurang 34 minggu Adanya faktor resiko Adanya apneu, takipneu, retraksi, gizi buruk dan agitasi. Pulse oximetry <95% Pada foto rontgen terlihat adanya atelektasis. Kriteria pulang pada pasien ini adalah :

Tidak ada lagi tanda-tanda gawat napas (HR<60 menit) baik ketika istirahat maupun saat makan. Retraksi minimal saat istirahat (tidak menangis) Cairan yang masuk adekuat Saturasi O2 > 93 % Umur diatas 2 bulan tanpa riwayat kelahiran prematur Tidak riwayat penyakit jantung-paru XI. KOMPLIKASI

Biasanya komplikasinya bisa berupa apneu, pneumonia, sindrom aspirasi, gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik, dehidrasi, atrial tachycardia. Pneumothorak dapat juga terjadi pada penyakit obstruksi yang berat Ada beberapa kelompok pasien yang beresiko tinggi terhadap infeksi RSV yang berat yaitu : bayi prematur (usia kehamilan <35 minggu), penyakit jantung kongenital, penyakit paru kronik, fibrosis kistik, dan kelainan fungsi imunologi (bisa karena kemoterapi, transplantasi, dan kelainan imunodefisiensi kongenital atau didapat)

Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterial dan gagal jantung jarang dijumpai.

XII. PROGNOSIS

Kebanyakan prognosis pasien dengan bronkiolitis adalah baik. Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut dalam waktu sesudah 48-72 jam. Prognosis menjadi buruk pada pasien dengan kelainan imunologi atau penyakit kardiopulmoner yang kronik. Perjalanan penyakit biasanya 7-10 hari tapi pada beberapa pasien mencapai 3-4 minggu. Sekitar 30-40% anakanak dengan bronkiolitis akan timbul wheezing berikutnya hingga umur 7 tahun, yang ditandai dengan peningkatan eosinofil selama infeksi RSV masih ada. Mortalitas karena infeksi RSV primer kurang dari 1%. Anak dapat meninggal karena komplikasi pneumonia, apneu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi, karena dehidrasi atau superinfeksi bakteri yang tidak terobati. Pada beberapa penelitian dinyatakan bahwa pasien yang mempunyai riwayat bronkiolitis sebelumnya akan menjadi faktor resiko tinggi timbulnya wheezing yang berulang atau predisposisi terjadinya asma pada masa kanak-kanak. Dan juga bisa dijumpai kelainan fungsi pernapasan yang minimal pada anak-anak usia sekolah.

Anda mungkin juga menyukai