Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN

Sebab penyakit pada orang lanjut usia pada umumnya lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini umpamanya disebabkan karena menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menua. Sel-sel parenkim banyak diganti dengan sel-sel penyangga (jaringan fibrotik), produksi hormon yang menurun, produksi enzim menurun, dan sebagainya. Selain itu daya imunitas tubuh juga akan menurun yang mengakibatkan faktor penyebab infeksi (eksogen) akan lebih mudah hinggap. Diagnosis penyait pada lansia juga lebih sukar untuk ditegakkan karena seringkali tidak khas gejalanya. Keluhan-keluhan pun tidak khas dan tidak jelas, atipik, dan tidak jarang asimptomatik. Pada umumnya perjalanan penyakit lansia bersifat kronis dan progresif. Dalam skenario ini disebutkan bahwa Mbah Suro yang usianya sudah 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau makan. Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, pada pasien ini mengeluhkan tidak mau makan karena telah terjadi proses menua pada saluran pencernaan mbah Suro yang menyebabkan nafsu makan turun dan akhirnya tidak mau makan. Pada lansia seperti mbah Suro kebanyakan gigi geliginya sudah banyak yang tanggal, disamping itu juga terjadi kerusakan gusi akibat proses degenerasi. Kedua hal ini sangat mempengaruhi mastikasi makanan. Lansia mulai sukar, kemudian malas untuk makan makanan berkonsistensi keras. Kelenjar saliva menurun produksinya yang mengakibatkan fungsi lidah sebagai pelicin makanan berkurang sehingga proses menelan lebih susah. Proses menelan yang susah ini diperparah dengan melemahnya otot polos pada faring dan esofagus. Selain itu terjadi juga atrofi mukosa lambung yang menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang. Ukuran lambung lansia menjadi kecil sehingga daya tampung terhadap makanan juga berkurang. Karena sekresi asam lambung berkurang maka rangsang lapar juga berkurang. Mukosa usus halus juga mengalami atrofi yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi dan maldigesti. Terjadi pula penurunan motilitas kolon yang menyebabkan peningkatan absorbsi

air dan elektrolit meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorbsi makanan), feses menjadi lebih keras, sehingga kesulitan buang air menjadi salah satu keluhan utama pada lansia seperti yang dialami pasien dalam skenario ini. Kondisi konstipasi ini juga disebabkan oleh peristaltik kolon yang melemah gagal mengosongkan rektum. Pada kasus dalam skenario mbah Suro menjadi lemas karena nafsu makan yang turun menyebabkan beliau tidak mau makan yang menjadikan Basal Metabolism Rate menurun. Kondisi ini menyebabkan penyediaan energi untuk beraktivitas terganggu karena kurangnya intake makanan sehingga tidak ada energi yang cukup untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Keluhan gelisah juga

dimungkinkan karena tidak adanya asupan makanan yang adekuat sehingga menyebabkan tubuh mengkompensasi ini dengan respon gelisah ini atau kondisi hipogikemik. Selama dua minggu mbah Suro dikabarkan tiduran terus (mengalami imobilisasi) tanpa melakukan aktivitas apapun yang dibuktikan dengan skor Norton yang didapatkan juga rendah. Kondisi ini juga dimungkinkan karena telah terjadi proses degeneratif pada sistem pencernaan mbah Suro yang diperparah dengan batuk yang diderita beliau. Imobilisasi diatas menyebabkan penumpukan sputum yang dapat menyebabkan terjadinya aspirasi. Ditambah lagi dengan fungsi otot diafragma dan otot interkosta yang sudah mengalami penurunan sehingga pengeluaran sputum akan terganggu. Disebutkan bahwa pada pasien tidak didapatkan nyeri dada dimana hal ini menyingkirkan diagnosis peyakit jantung. Batuk tidak berdarah juga secara tidak langsung menyingkirkan diagnosis penyakit tuberkulosis. Kondisi tidak demam pada pasien belum tentu menandakan tidak adanya infeksi pada pasien ini. Pada lansia ketika terjadi proses infeksi dalam tubuhnya bisa saja suhu dapat naik/tetap/turun akibat menurunnya respon IL 1 dan IL 6 terhadap benda asing dan menurunnya jumlah leukosit. Berdasarkan diskusi kelompok kami disepakati bahwa pada pasien ini kemungkinan besar juga mengalami pneumonia. Hal ini didasari oleh penumpukan sputum yang terjadi pasien diatas karena imobilisasi yang dialami

olehnya. Terdapatnya faktor faktor penyebab tersebut dan penumpukan sekret yang terbawa masuk ke paru melalui bronkus menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi pada jaringan parenkim paru. Hasil pemeriksaan paru yang menunjukkan bahwa didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat juga memperkuat dugaan terjadinya pneumonia karena semua yang didapatkan tersebut merupakan tanda-tanda penyakit ini. Selain itu juga pada pemeriksaan radiologi didapatkan foto thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan. Dalam skenario ini juga disebutkan bahwa tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar luka kemerahan. Kondisi ini mengarahkan kami kemungkinan pada pasien ini juga mengalami ulkus dekubitus. Ulkus dekubitus memang sangat erat kaitannya dengan imobilitas seperti yang dialami pasien dalam skenario ini. Imobilitas hampir pasti menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat yaitu adanya peningkatan tekanan kapiler pada kulit yang mendapat tekanan dan juga keadaan umum dari penderita. Peningkatan tekanan kapiler tersebut menyebabkan terjadinya iskemik yang kemudian akan menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan kulit. Pemberian oksigenasi dilakukan untuk mengatasi ulkus dekubitus karena berfungsi untuk mengoptimalkan oksigenasi jaringan yang mengatasi kondisi iskemik. Pemberian antibiotik diberikan atas indikasi adanya pneumonia. Sedangkan terapi cairan diberikan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh karena pasien mogok makan. Ulkus dekubitus juga dapat dikurangi dampaknya menggunakan kasur dekubitus untuk memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah. Konsul ke rehabilitasi medik dimaksudkan agar mendapatkan penanganan yang terintegrasi untuk meningkatkan kemandirian lansia.

Anda mungkin juga menyukai