Anda di halaman 1dari 2

Dramaturgi Sang Koruptor

Erving Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada kesepakatan perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok tertentu. Hal ini sama seperti yang terlihat pada kasus korupsi, dimana koruptor menjalankan perannya di lingkungan mereka yang sarat manipulatif. Mereka berusaha mengontrol diri seperti penampilan, keadaan fisik, dan perilaku aktual dan gerak agar perilaku menyimpang yang mereka jalani tidak dapat diketahui oleh lingkungan mereka. Karena mereka mengerti kedudukan yang melekat pada dirinya semata-mata demi melayani kepentingan publik menjadi domain kepentingan pribadi. Dengan begitu sang koruptor tak jarang dapat berperan ganda, bisa berwatak baik dan buruk. Berperilaku "baik" merupakan prasyarat mutlak untuk mendapatkan jabatan publik yang dikehendakinya. Baik itu melalui legitimasi politik, pendidikan, sosial. Ekonomi yang di kemas sedemikian rupa, agar tampil sebagai sosok yang berhati peduli atau memiliki integritas pengabdian jujur, bersih dan berani. Jangan terkecoh, itu hanya tipu muslihat tuntutan peran agar dapat melanggengkan tujuan awal menduduki posisi jabatan publik.

Habitus Birokrat
Peta berpikir dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri. Dengan konsep dramaturgi dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana- suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya permaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Dramaturgi dianggap masuk kedalam perspektif obyektif karena cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, dan mengikuti alur. Misalnya, habitus birokrat saat ini harus menjalani hidup dengan mengikuti alur yang terkesan mewah, yang notabene diperlukan biaya yang sangat besar. Jika hanya berpangku pada penghasilan rutin/bulan barangkali belum cukup memenuhi standar gaya hidup birokrat yang borjuis. Dengan demikian ia pun memilih untuk mencari penghasilan diluar pendapatan rutin/bulan tentunya dengan cara-cara yang manipulatif. Hitungan mereka pun sudah matang bila harus berurusan dengan hukum, mungkin tak lebih dari tiga sampai lima tahun jika harus menjalani nestapa penjara. Bagi koruptor hukuman itu tak akan membuat efek jera atau merasa bersalah. Sebab koruptor berbekal materi yang cukup mapan untuk mendelegitimasi persamaan tidak lagi di depan hukum,

tapi ditentukan dihadapan otoritas politik dan akumulasi modal ekonomi. Semua itu terjadi sangat sistemik serta disesuaikan dengan kepentingan subjektif birokrat yang berjiwa manipulatif. Habitus subjektif birokrat ini akan beralih menjadi objektif saat ia menjalani peran yang dipilihnya tersebut. misalnya, seorang birokrat dibuat tak berdaya jika berada dalam kubangan sistem yang korup. Apalagi jika otoritas yang dimilikinya sangat kecil tentu akan berimplikasi pada sikap patuh terhadap atasan. Disinilah ia akan terhimpit dengan situasi yang delematis, satu sisi ia ingin ambil sikap untuk terhindar dari lingkar setan korupsi, tapi di lain hai ia tak kuasa untuk beranjak pergi sebab ia menggantungkan nasibnya dari jabatan tersebut. sikap pasrah itu lambat laun akan menjadi toleran terhadap cara-cara manipulatif. Itulah mengapa dramaturgi sang koruptor disebut memiliki muatan subjektif dan objektif. Karena pelakunya, menjalankan perannya secara natural, alamiah sampai pada sikap toleran dan bahkan dapat menjadi aktor dari sistem yang korup tersebut.

Kekuasaan Anti Korupsi


Bila kita dapat memahami makna korupsi diawali dari pintu kekuasaan, maka mengakhirinya pun harus menggunakan otoritas politik kekuasaan negara. Sebab negara tak mungkin mampu mengurus rakyatnya, jika birokrat sudah bermental korup. Sejatinya jalan pintas atas perilaku koruptor di era reformasi ini dapat ditebus dengan kemauan politik negara. Rakyat masih punya keyakinan bahwa bangsa ini dapat dikelola dengan baik melalui kebijakan yang anti korupsi. Seperti kesamaan persepsi pada kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada koruptor. Hukuman bagi para koruptor sebenarnya harus lebih berat dan tanpa toleransi dengan mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil memberantas korupsi. Barangkali China dapat menjadi negara rujukan untuk belajar menghentikan sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati bagi koruptor merupakan simbol perlawanan terhadap korupsi, apalagi China kerapkali menjatuhkan vonis mati kepada pelaku korupsi. Adapun wacana untuk memiskinkan koruptor perlu dipertimbangkan agar dapat menjadi bagian politik hukum bangsa ini. Kemudian, para koruptor seharusnya tidak saja dijatuhi hukuman berat melalui pengadilan, tetapi juga perlu diberi sanksi social dengan mengasingkan mereka dari interaksi fisik. Sanksi social semacam itu akan lebih baik jika dimulai dari pejabat atau pemimpin di berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih berwatak paternalistic: meniru apa yang dilakukan petinggi. Barangkali sanksi yang sangat berat akan menghentikan dramaturgi sang koruptor seperti apa yang sering menjadi tontonan publik akhir-akhir ini. Entah sampai kapan kita akan meributkan korupsi dari kasus ke kasus. Kemarin Gayus dan saat ini Nazarudin, entah besok siapa lagi? Semoga saja bangsa ini masih memiliki spirit kekuasaan yang anti korupsi, agar dapat mengatasi dramaturgi sang koruptor dengan jalan yang tidak toleran.*** Opini Bangkapos, Selasa 4 Oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai