Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian Bahasa memiliki peran yang penting bagi kehidupan manusia. Bahasa juga digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain. Bahasa juga digunakan untuk membedakan manusia dengan yang lain. Menurut Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa lain ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain. Komunikasi yang terjalin tersebut, yang kemudian membuat mereka berbeda satu sama lain. Dengan adanya komunikasi manusia juga dapat bertukar informasi dengan yang lain. Komunikasi memungkinkan setiap orang melakukan tindak tutur atau peristiwa tutur. Salah satu bentuk komunikasi dalam kegiatan berbahasa sehari-hari adalah interaksi verbal, yaitu komunikasi lisan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.Ketika interaksi verbal berlangsung, pembicara (penutur) tidak selamanya dapat menyampaikan pesan kepada pendengarnya sesuai dengan maksud yang hendak

dicapai penutur tersebut. Hal seperti itu, antara lain terlihat pada peristiwa penghinaan. Peristiwa penghinaan merupakan hal yang unik.Penghinaan tidak terjadi karena penutur mengatakan Saya menghina anda! kepada lawan bicaranya, melainkan dapat timbul karena penutur mengatakan ujaran yang dapat diartikan oleh lawan bicaranya sebagai penghinaan. Dengan kata lain, pendengar dapat menafsirkan ujaran penutur sebagai tindakan yang menghinanya sekalipun ujaran yang disampaikan penutur tidak secara langsung menunjukan penghinaan. Misalnya, pendengar dapat merasa terhina oleh pujian penutur. Hal ini dapat terjadi karena penutur memang bermaksud menghina dengan cara memuji, ataupun karena ia sungguh-sungguh memuji. Salah satu contoh yang dapat digunakan untuk memahami tindak tutur adalah sebuah film.Film merupakan sebuah media elektronik yang mereflesikan dunia nyata.Dalam sebuah film, kita dapat melihat adanya peristiwa tutur yang terjadi antar tokoh.Di dalam sebuah film, kita juga dapat melihat adanya peristiwa tutur yang merupakan faktor utama adanya sebuah tindak tutur.Dengan adanya peristiwa tutur serta situasi tutur dalam sebuah film, kita dapat melihat dengan jelas tindak tutur yang terjadi. Dalam naskah film The Help yang merupakan film adaptasi drama 2011 berasaskan novel karya Kathryn Stockett. Film ini berkisah tentang seorang wanita muda putih, Eugenia yang bernama "Skeeter" Phelan, dan hubungan beliau dengan dua pembantu rumah hitam saat Publik Hak era Amerika pada awal tahun 1960-an.
2

Skeeter adalah seorang wartawan yang memutuskan untuk menulis sebuah buku kontroversial dari sudut pandang pembantu rumah (dikenal sebagai Bantuan), mengungkapkan rasisme mereka berhadapan dengan karena mereka bekerja untuk keluarga kulit putih.The Helpmempunyai review positif dan menjadi sukses. Pada Januari 29, 2012, The Help memenangkan Screen Actors Guild Penghargaan Kinerja Cemerlang oleh Barisan aktor dalam Motion Picture dalam film ini juga terdapat tindak-tindak kebahasaan yang menunjukan penghinaan. Menurut teori tindak tutur apabila penutur menyampaikan ujaran yang membuat pendengarnya merasa terhina, dapat dikatakan bahwa pembicara tersebut telah melakukan verbal abuse. Dalam skripsi ini penulis menggunakan kajian pragmatik dalam menganalisis pokok masalah yang dibahasa karena istilah bentuk ujaran verbal abuse merupakan istilah yang dikenal dalam kajian pragmatik.

1.1 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis ingin mengetahui: 1. Dengan cara apa verbal abuse dalam film The Help terjadi? 2. Jenis-jenis verbal abuse apa saja yang muncul dalam film The Help?

1.2 Tujuan Penelitian Dengan identifikasi masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mendeskripsikan dengan cara apa verbal abuse dalam film The Help dapat terjadi.
3

2. Untuk menjelaskan jenis-jenis verbal abuse apa saja yang muncul dalam film The Help. 1.3 Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki dua kegunaan yaitu secara teoritis dan secara praktis.Kegunaan teoritis yang didapat dari penelitian ini adalah membuktikan penggunaan mengenai verbal abuse yang penulis pakai dalan mengolah data agar lebih akurat dalam penyajiannya. Penelitian ini juga berfungsi untuk menambah wawasan pada para peneliti dalam bidang pragmatik,. Secara praktis, penelitian ini berfungsi untuk mengetahui bahwa dalam proses pemahaman terhadap suatu ujaran, pemakai bahasa Inggris juga mengenal dan memahami isi dari suatu teks wacana. Dan juga para pemakai bahasa juga mendapat gambaran bagaimana menganalisis suatu makna yang tersirat maupun yang tersurat didalam suatu ujaran yang berdasarkan konteks. 1.5 Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini, penulis hanya akan membatasi permasalahan yang akan membatasi permasalahan yang akan dibahas pada tindak ujaran, khususnya verbal abuse (insulting).Untuk menganalisis data penulis menggunakan tindak verbal abuse menghina yang terdapat dalam data penulis tidak hanya menggunakan aspek-aspek situasi tutur, tetapi juga melihat psikologi komunikasi para peserta tutur.Taylor dalam Rakhmat (1989:124) mengemukakan, Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa anda bersedia

membuka diri, bagaimana kita mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat .Jadi, ada pengaruh psikologis yang terdapat dalam diri seseorang ketika menafsirkan pesan atau ujaran. 1.4 Metodelogi Penelitian Penulis menggunakan metode analisis deskriptif dalam menganalisis data yang diperoleh. Yaitu metode yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa dan tindak verbal abuse menghina dari suatu ujaran dalam naskah film The Help.Kemudian penulis menganalisis tindak verbal abuse menghina tersebut dengan menggunakan teori aspek-aspek situasi tutur yang dikemukakan oleh Leech. Dengan meggunakan metode analisis deskriptif penulis membatasi data yang digunakan dalam penelitian dengan hanya memilih tindak verbal abuse menghina dalam naskah film tersebut. Setelah itu penulis membaca kembali dari awal untuk mencari data berupa dialog yang didalamnya terkandung tindak verbal abuse menghina. Data-data dari analisis tersebut kemudian diolah menggunakan teori yang sebelumnya telah dipilih. Selanjutnya, penulis akan menganalisis data yang telah diperoleh. Terakhir data tersebut dijabarkan secara apa adanya tanpa adanya manipulasi data, yang kemudian dibuat kesimpulannya. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini bersikap desktriptif dan merupakan studi kepustakaan.Oleh karena itu, penulis dalam penelitian ini hanya melakukan studi pusaka

keperpustakaan.Antara lain Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan

Universitas

Katholik

Atmajaya,

Perpustakaan

Universitas

Widyatama,

dan

Perpustakaan Jurusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran. Penulis membutuhkan waktu sekitar lima bulan, dari Maret sampai dengan Juli untuk mengumpulkan data dan membaca buku-buku referensi, serta menganalisis data yang sudah terkumpul berdasarkan teori dari buku-buku referensi tersebut.

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Pragmatik Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik. Menurut Leech (1983) pragmatik adalah studi mengenai makna di dalam kaitannya dengan situasi tutur, Pragmatics studies meaning in relation to speech situation, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam membahas mengenai pragmatik maka tidak akan lepas dari situasi tutur. Leech (1983) juga menambahkan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan). Menurut Yule dan Cahyono (1995:213) bahwa Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna yang dikehendaki oleh penutur. Penutur disini adalah peserta dalam peristiwa bahasa atau komunikasi yang berarti si penyampai pesan dan si penerima pesan. Pendapat lain juga diungkapkan oleh Wijana (1996:2), menurutnya pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasan itu digunakan di dalam komunikasi. Dengan kata lain, pragmatik merupakan bagian dari linguistik yang mempelajari tentang keselarasan dalam berbahasa. Fromkin (2002:201) menurutnya Pragmatics is concerned with the

interpretation of linguistic meaning in context. Pragmatik berhubungan dengan penafsiran makna linguistik pada sebuah konteks, sehingga yang dibahas di dalam
7

pragmatik tidak akanlepas dari makna yang selalu berkaitan dengan konteks yang terjadi. Konteks dapat berupa situasi tutur, hubungan antara penutur dengan lawan tutur, maupun tempat pembicara berada saat melakukan sebuah tuturan. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna berdasarkan konteks yang terjadi saat tuturan sedang terjadi atau sedang dituturkan.Pragmatik merupakan alat berkomunikasi yang tidak bisa dilepas dari sebuah konteks yang dapat dipahami oleh lawan tutur. Dengan adanya rumusan tersebut, maka sebuah tuturan menurut ilmu pragmatik berhubungan dengan konteks dan situasi tutur. 2.2 Situasi Tutur Secara lebih rinci Leech (1983) menyebutkan bahwa makna pragmatik berbeda dari makna semantik karena pragmatik adalah makna yang berkenaan dengan aspekaspek situasi tutur. Jika kajian makna yang dilakukan melibatkan salah satu atau lebih dari aspek-aspek situasi tutur dibawah ini,jelaslah kajian itu merupakan kajian pragmatik. Aspek-aspek situasi tutur adalah: 1. Penutur dan lawan tutur Konsep mengenai penutur serta lawan tutur juga terkait dengan penulis serta pembaca apabila konsep tersebut merupakan sebuah media tulis. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya. selalu

2. Konteks Dalam hal ini kita mengartikan konteks sebagai setiap latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki dan disepakati oleh penutur dan petutur serta ikut menentukan interprestasi petutur terhadap apa yang dimaksudkan oleh penutur pada saat menututrkan sebuah ujaran. 3. Sasaran Istilah sasaran ini dipakai untuk menggantikan istilah maksud

(intention).Menurut Leech istilah sasaran lebuh netral dibandingkan dengan istilah maksud. 4. Ilokusi Ujaran sebagai bentuk dari sebuah tindakan, yaitu daya ilokusi dari sebuah ujaran atau dengan kata lain ucapan dianggap sebagai bentuk kegiatan suatu tindak ujar. 5. Ujaran Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam pragmatic kata ujaran dapat digunakan dalam arti lain, yaitu, sebagai produk suatu tindak verbal.Ujaran tidak hanya mengandung ilokusi, melainkan juga mengandung daya ilokusi, yakni kemungkinan fungsi-fungsi ilokusi.

2.2.1 Teori Tindak Tutur Speech Act Theory Austin dalam bukunya How to do things with words memperkenalkan pertama kali istilah tindak ujar (speech acts). Austin berpandangan bahwa a theory of language is part of a theory of action (teori bahasa merupakan bagian dari teori tindakan) (Austin dalam Leech, 1993:29). Menurutnya, dalam mengujarkan suatu kalimat, seseorang dapat dikatakan juga sedang melakukan suatu tindakan.Saat mengucapkan suatu ujaran ada suatu tindakan yang dilakukan oleh si pembicara yang merupakan bagian dari makna ujaran atau kalimat yang diujarkan.Kalimatkalimat tersebut diungkapkan untuk menyatakan atau melaporkan suatu

keadaan.Kemudian ungkapan-ungkapan tersebut dikombinasikan dengan tindakan. Dengan kata lain, pada saat yang sama kalimat yang dituturkan tersebut digunakan sebagai wujud perwujudan dari suatu tindakan. Oleh karena itu, teori Austin disebut sebagai teori tindak tutur (speech act theory). Tindak tutur merupakan inti dari sebuah komunikasi, sehingga setiap tuturan yang dituturkan oleh penuturnya pasti terdapat tindakan-tindakan yang memiliki makna tersendiri.Hal ini seperti yang ada pada tindakan yang seorang penutur lakukan, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Menurut Austin dan Leech (1993:280-281) penutur terlibat dalam tiga macam tindakan yang ketiganya dilaksanakan secara serentak:

10

1. Tindak Lokusi Tindak Lokusi menurut Austin (1962) adalah tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.Pengertian tindak lokusi juga dijelaskan oleh Wijana (1996:17), menurutnya tindak lokusi merupakan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu tanpa harus menyertakan konteks tuturan. (1) Dont go into the water Pada contoh (1), pernyataan tersebut dapat diartikan sebagai sebuah tindak lokusi yang melarang seseorang agar tidak masuk ke dalam air.Analisa tersebut dibuat tanpa melihat konteks maupun situasi tutur yang ada saat ujaran tersebut dituturkan karena tindak lokusi diidentifikasi maknanya dari segi fonetik, sintaksis, dan semantik. 2. Tindak Ilokusi Austin (dalam Cutting, 2002:16) menyatakan tindak tutur ilokusi adalah an illocutionary act is an act performed in saying something. Jadi, tindak ilokusi adalah tindakan yang dilakukan si pembicara pada saat ia mengujarkan sesuatu. Dalam hal ini penutur selain mengujarkan sesuatu, penutur juga mempunyai maksud tertentu.Tindak ilokusi dapat meliputi pernyataan, tawaran, janji, dan lain-lain dalam pengujaran. Misalnya pada tuturan tanganku gatal, dalam tuturan tersebut penutur tidak hanya menginformasikan apa yang sedang dialaminya, tetapi juga penutur

11

memberitahukan

kepada

petuturnya

dan

mengharapkan

petuturnya

melakukan sesuatu agar rasa gatalnya itu hilang, seperti memberinya obat. 3. Tindak Perlokusi Dalam mengucapkan sesuatu pada umumnya akan menimbulkan efek tertentu terhadap perasaan, perilaku, atau perilaku teman bicara. Kita menyebut penampilan tindakan seperti ini sebagai penampilan dari tindak perlokusi. Tindak yang mengacu pada apa yang kita hasilkan atau yang kita capai dengan mengatakan sesuatu. Definisi lain yaitu pengaruh yang dihasilkan pada pendengar karena pengujaran kalimat dan pengaruh yang berkaitan dengan situasi pengujarannya. Jika tindak perlokusi yang ditimbulkan sesuai dengan yang diinginkan penutur hal ini menandakan tercapainya tindak pelokusi.Tuturan yang dituturkan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary act) atau memiliki efek bagi orang yang mendengarkan. Sebagai contoh, (1) I was very busy yerterday Pada contoh (1), apabila dituturkan oleh seorang yang tidak dapat menghadiri sebuah undangan kepada orang yang mengundangnya.Tindak ilokusi yang terjai adalah sebuah permohonan maaf.Tindak perlokusinya adalah orang yang mengundangnya dapat memaklumi dan memaafkannya kerena dia tidak dapat datang karena ada kesibukan. Edmonson (1981:44) mengemukakan teorinya mengenai penanda perlokusi. Menurut Edmonson, perlokusi yang dilakukan oleh pembicara dapat dilihat
12

dari dampak ujaran pembicara para pendengar. Dalam menjelaskan teorinya tersebut, Edmonson memberi ilustrasi beberapa kata kerja perlokusi, yang salah satu diantaranya adalah kata kerja to insult dalam kalimat laporan He insulted her by taking of her husbands success. Mengenai beberapa kata kerja perlokusi yang diilustrasikannya, Edmonson (1981:44) menjelaskan: That perlocutionary verbs denote the effect of an utterance of the hearer, irrespective of whether this effect was intentional on the part pf the speaker or not, means that it is literally the case that the effect of what one says may determine what one has done in saying it Dengan kata lain, bahwa kata kerja perlokusi menyatakan dampak ujaran pada pendengar, terlepas dari apakah dampak ini disengaja atau tidak oleh pembicaranya, berarti bahwa dari apa yang dikatakan seseorang dapat menentukan apa yang telah dilakukannya ketika mengatakan ujaran itu.

2.3 Ujaran Pada umumnya ujaran lebih banyak digunakan dibanding dengan tulis menulis.Sistem penulisan itu merupakan gambaran bentuk-bentuk ujaran, dari gambaran atau gagasan objek non-linguistik.Ujaran juga diteliti jauh lebih komunikatif dibanding bahasa tulisan karena melibatkan sender dan receiver secara langsung dalam berkomunikasi. Dalam menggunakan ujaran, Hurford dan Heasley (1983:15) berpendapat bahwa an utterance is the use by a particular speaker, on a particular occasion, of a piece of
13

language, such as a sequence of sentence, or a single phrase, or even a single word.Ujaran yang digunakan seseorang dalam kesempatan tertentu dapat berupa kalimat, frasa, bahkan sebuah kata.

2.4 Prinsip Kerja Sama Pada dasarnya kegiatan berkomunikasi, khususnya komunikasi lisan (interaksi verbal), tidak terdiri atas percakapan-percakapan yang terlepas satu sama lain, melainkan yang saling berkaitan. Salah satu ciri komunikasi adalah upaya bekerja sama. Tanpa adanya prinsip kerjasama komunikasi akan terganggu. Prinsip ini oleh Grice (1989:26) dinamakan prinsip kerjasama atau cooperative principle.Prinsip kerjasama dari Grice ini adalah: Make your contribution such as is required, at the stage at which is occurs, by the accepted purpose or direction of the talk in which you are engaged. (Buatlah kontribusi percakapan anda sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat berbicara dengan mengikuti tujuan percakapan yang anda ikuti). Berkaitan dengan prinsip itu, Grice mengemukakan bahwa dalam melaksanakan prinsip kerjasama, setiap penutur harus mematuhi empat maksim, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim revelance) dan maksim cara(maxim of manner). Keempat maksim Grice tersebut dijabarkan sebagai berikut: A. Maksim kuantitas (maxim of quantity) Make your contribution as informative as is required (for the current purposes of the exchange).
14

(Berikan informasi anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh petutur) Do not make your contribution more informative than is required. (Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar). Wijana (1996:47) memberikan sebuah contoh yaitu kalimat informatif dibawah ini: There is a male adult human being in upright stance using his legs as a means of locomotive to propel himself up a series of flat-topped of some six sevem inces high. Dari contoh diatas, kalimat yang digunakan dalam memberikan sebuah informasi sangat jarang digunakan dan terlalu berlebihan untuk konsep yang sama biasanya digunakan kalimat: There is a man going upstairs. B. Maksim Kualitas (maxim of quality) Try to make your contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged. Try to make your contribution one that is true. (Katakanlah yang sebenarnya). Do not say what you believe to be false. (Jangan katakana sesuatu yang anda tahu bahwa semua itu tidak benar).

15

Do not say that for which you lack adequate evidence. ( Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup).

C. Maksim Hubungan (maxim of relevance) - Make your contribution relevant. ( Katakan yang relevan). D. Maksim Cara (maxim of manner) :be perspicuous and specically. - Avoid obscurity of expression. (Hindari kekaburan ujaran). - Avoid ambiguity. (Hindari ambiguitas). - Be brief (avoid unnecessary prolixity) (Katakan dengan jelas) - Be orderly (Bicaralah sistematis).

2.5 Konteks Konteks adalah yang muncul sebelum dan atau sesudah kata, sebuah frasa, atau bahkan ujaran yang lebih panjang atau sebuah teks.Biasanya konteks membantu dalam pemahaman makna tertentu dari kata, frase, dan lainnya.Dalam menentukan makna suatu kata, kita harus berhati-hati sebab kadang kala itu mempunyai makna ganda atau lebih.Makna suatu kata itu tergantung pada konteks dimana kata tersebut

16

muncul.Dalam makna ujaran, konteks menentukan isi yang terkandung dalam ujaran tersebut. Menurut Kridalaksana (2001:120) konteks adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu, atau pengetahuan yang samasama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara. Pendapat lain mengenai konteks dikemukakan oleh McManis (1998:197) menurutnya konteks dapat dibagi menjadi empat, yaitu konteks fisik, konteks epistemik, konteks linguistik, dan konteks sosial. 1. Konteks Fisik (physical context) Hal yang dibahas di dalam konteks fisik adalah tempat dimana tuturan berlangsung, objek yang dibicarakan, dan kejadian yang sedang terjadi. 2. Konteks Epistemik (epistemic context) Konteks epistemik adalah latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan pendengar. 3. Konteks Linguistik (linguistic context) Konteks linguistik adalah tuturan-tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada pendengar dengan nada-nada tertentu.Contohnya, tuturan yang dituturkan dengan nada sarkastik. 4. Konteks sosial (social context) Konteks sosial adalah hubungan sosial yang terjadi antara penutur dengan pendengar dan cara yang digunakan oleh penutur dan petutur.

17

Dari penjelasan tentang konteks diatas dapat disumpulkan bahwa konteks berperan dalam menentukan isi yang terkandung dalam suatu ujaran, sebab kadang kala itu mempunyai makna ganda sehingga sering terjadi kesalahpahaman dalam memahami makna suatu ujaran. 2.6 Pelecehan Verbal (Verbal Abuse) Menurut Kathy Bosch (dalam http://extension.unl.edu/publications) pelecehan verbal (verbal abuse) adalah perilaku yang terus menerus menggunakan kata-kata dan permainan pikiran untuk untuk menanamkan keraguan dalam diri seseorang dan untuk membangun pelaku merasa dominasi dan kontrol. Pelecehan verbal (verbal abuse) juga dapat dikatakan sebagai bentuk kasar perilaku yang melibatkan penggunaan bahasa. Pelecehan Verbal (verbal abuse) dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan karena dalam penyampaiannya, bahasa yang digunakan mengandung unsur kekerasan dan dapat disampaikan dengan cara negative. Efek dari pelecehan verbal (verbal abuse) dapat terlihat tidak hanya saat peristiwa terjadi namun juga dalam jangka waktu panjang yang melibatkan pelecehan emosional. Pelecehan Verbal (verbal abuse) memiliki bentuk karakter. Ciri-ciri pelecehan verbal (verbal abuse) menurut Anderson (dalam: http://www.leaderu.com) ialah sebagai berikut: 1) Pelecehan verbal (lewat kata-kata) bersifat menyakitkan dan biasanya menyerang sifat dan kemampuan diri mitra pendengarnya. 2) Pelecehan verbal dapat terbuka (melalui ledakan marah dan menghina) atau tersembunyi (melibatkan komentar sangat halus, bahkan sesuatu yang
18

cenderung berdekatan dengan pencucian otak). Pelecehan verbal (verbal abuse) yang bersifat terang-terangan misalnya pelecehan verbal yang bersifat menyalahkan atau menuduh. Sedangkan yang terselubung bertujuan untuk mengendalikan tanpa disadari oleh mitra tutur. 3) Pelecehan verbal menipulatif dan mengendalikan. Komentar yang

meremehkan pun dapat disuarakan dengan cara yang paling halus namun tujuannya adalah megendalikan atau memanipulasi. 4) Pelecehan verbal tidak dapat diprediksi. Mitra tutur bisa tiba-tiba terkejut dengan tuturan karena tanggapan atau komentar yang menyakitkan. 5) Pelecehan verbal berbahaya karena harga diri dari mitra tutur bisa berkurang secara bertahap, biasanya tanpa ia menyadarinya. 6) Pelecehan verbal mengungkapkan pesan ganda. 7) Pelecehan verbal biasanya meningkat dalam intensitas dan frekuensi yang variatif. Pelecehan verbal biasanya dimulai dengan ejekan yang menyamar sebagai bahan lelucon. Pelecehan verbal juga dapat meningkat sebagai kekerasan secara fisik. Pelecehan verbal (verbal abuse) dapat hadir dalam berbagai bentuk, misalnya: sikap melawan, pemotongan, menyangkal, gertakan, memfitnah, meremehkan, menyindir, melecehkan, menuduh, menyalahkan, menghalangi, menghina, melawan, mengalihkan, berbohong, memarahi, mengejek, merendahkan, mengancam,

menyebut nama (panggilan negative), berteriak, dan mengamuk. Bahkan terkadang pelecehan verbal berbentuk sebagai lelucon.
19

Beberapa contoh pelecehan verbal (verbal abuse) akan dipaparkan pada bahasan berikut: 1) Melawan Sambil meletakkan pikiran, perasaan, persepsi, dan pengalaman lewat berdebat untuk meletakkan pemikiran pada seseorang. A: Diluar dingin ya? B: Tidak, tidak dingin kok! Keluar sana! A: Aku tidak tahu dia sekasar itu. B: Itu bukan kasar, kau saja yang lemah! 2) Pemotongan Menolak untuk berbagai ide, perasaan, pikiran, mimpi, dan keintiman antara mitra bicara. A: Aku tidak mau berbicara dengan anda. Anda terlalu emosional! 3) Merendahkan Meminimalkan prestasi atau pengalaman seseorang. A: Aku dapat nilai B! Senangnya B: Ah, itu bukan apa-apa! Aku selalu dapat A! 4) Pelecehan verbal yang menyamar sebagai lelucon Menceritakan lelucon yang bersifat menghina atau mempermalukan. A: Kau tahu bagaimana takutnya Maria ketika ada guntur? Mari saya ceritakan saat ia masuk kedalam lemari 5) Menuduh dan Menyalahkan
20

Menyalahkan orang lain untuk kesalahan sendiri. A: Kenapa kamu berbuat seperti itu? B: Yah, kalau kau tidak bertindak begitu bodoh, aku tidak akan melakukannya! 6) Kritikan dan Penilaian Berisi kritikan atau penilaian yang kasar atau negative. A: Aku tidak percaya kau menghabiskan uang untuk ini ?! 7) Meruntuhkan Mengikis kepercayaan diri atau harga diri orang lain. A: Kalau aku punya tugas yang mudah seperti anda, saya tidak akan butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya. 8) Mengancam Secara tidak langsung merugikan kesejahteraan orang lain. A: Anda akan menyesal jika anda pergi dengan dia. Pelecehan verbal (verbal abuse) dapat terjadi pada berbagai ras, usia, budaya, dan strata. Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dimana ia berada. Sistem nilai, pola hubungan, dan interaksi antarmanusia, kepercayaan atau budaya (Haballah, 2003:20). 2.7 Pengertian Menghina (Insulting) Secara umum, kata menghina (insulting) menggambarkan sifat suatu tindakan. Dalam pengertian sehari-hari, sifat tindakan yang digambarkan oleh kata menghina

21

seringkali diwakili oleh beberapa kata yang lain, misalnya oleh kata mengejek, mencela, menyinggung perasaan, dan menganggap remeh. Kamus OxfordAdvanced Learners Dictionary menyebutkan bahwa arti menghina (insulting) adalah: speak or act in a way that hurts or is intended to hurt a persons feelings or dignity. Dengan kata lain, menghina adalah ucapan atau tindakan yang menyakiti atau dimaksudkan untuk menyakiti perasaan atau martabat (harga diri) seseorang. Menurut pengertian ini, inti dari timbulnya tindakan menghina adalah tersakitinya perasaan atau martabat (harga diri) seseorang. Telah disebutkan diatas bahwa pengertian verbal abuse adalah suatu ujaran atau tindakan yang dihasilkan ujaran penutur terhadap pendengarnya. Dengan demikian, verbal abuse menghina (insulting) terjadi bila seorang pendengar merasa terhina oleh ujaran penutur. 2.8 Psikologi Komunikasi Penghinaan adalah peristiwa yang menyangkut perasaan atau pengaruh psikologis. Untuk membantu mengungkap keterangan mengapa seseorang dapat menafsirkan suatu ujaran sebagai tindakan yang menghinanya, dengan melihat faktor psikologis, penulis mengambil beberapa teori psikologi, khususnya psikologi komunikasi. Teoriteori psikologi ini diperlukan untuk menyingkapkan faktor psikologis yang ada dalam diri pendengar yang menyebabkan menafsirkan ujaran penutur sebagai tindakan yang menghinanya, sementara teori-teori kajian bahasa bidang pragmatik yang telah disebut lebih dahulu digunakan untuk mendukung uraian deskriptif tentang proses bagaimana seseorang pendengar dapat menafsirkan ujaran penutur sebagai tindakan
22

yang menghinanya. Penjelasan kajian pragmatik mengenai faktor yang menyebabkan seorang pendengar dapat menafsirkan ujaran pembicara sebagai tindakan yang menghinanya terbatas pada logika saja atau dengan kata lain, pada faktor eksternal (di luar pengaruh yang ada dalam jiwa pendengar). Pengaruh keadaan psikologis seseorang dalam menafsirkan suatu ujaran pada suatu peristiwa komunikasi tentulah tidak dapat diabaikan karena pengaruhnya dapat menerangkan sampai pada kecenderungan motivasi orang tersebut dalam menilai pesan ujaran atau dengan kata lain, faktor internal. Taylor dan Rakhmat (1989:124) mengemukakan, Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa anda bersedia membuka diri, bagaimana kita mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat. Jadi, pengaruh psikologis dalam diri seseorang ketika ia menafsirkan pesan atau ujaran. Rakhmat (1989:118) menyatakan, Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri anda, positif atau negatif. Konsep diri positif akan membawa kita pada keberhasilan komunikasi, sedangkan konsep diri negatif adalah sebaliknya. Ada lima cirri konsep diri negatif yang dikutip dari Rakhmat (1989:118) dari Brooks dan Emmert (1976:42-23): Pertama, ia peka pada kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan justifikasi atau logika keliru.
23

Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat

menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang semacam ini, segala embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, mereka pun bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apaun dari siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Inilah sifat yang ketiga, yaitu sifat hiperkritis. Keempat, orang yang konsep dirinya negatif cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Kelima, orang yang konsep dirinya negatif bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain untuk membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.

24

Anda mungkin juga menyukai